Anda di halaman 1dari 20

Makalah Fiqh Mu’amalah

“Jual Beli Murabahah dan Implementasinya dalam


Lembaga Keuangan Syariah”

Disusun oleh :

1. Nadia ZSalsa Purwanta 201710170311111


2. Supardik 201710170311148
3. Niken Eka Saputri 201710170311157
4. Pika Sulistianti 201710170311159
5. Elina Yunita Putri 201710170311308
6. Husna Bahakhiri 201710170311439

AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
MALANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Kami panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya
dan hidayah-Nya Kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai salah satu
tugas dari dosen pada mata kuliah Fiqh Mu‟amalah tentang “Jual Beli Murabahah
dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”.
Tercurah dari segala kemampuan yang ada , kami berusaha membuat
makalah ini dengan sebaik mungkin, namun demikian kami menyadari
sepenuhnya bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dikarenakan
keterbatasan pengetahuan kami, maka dengan sepenuh hati kami mohon maaf dan
mengaharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan
selanjutnya.
Tujuan kami menyusun makalah ini untuk menjelaskan tentang Jual Beli
Murabahah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah. Terakhir
kami ucapkan terimakasih untuk semua pihak yang sudah membantu
dan memudahkan penyelesaian makalah ini, kami berharap semoga makalah ini
bisa bermanfaat.

Malang, 16 Maret 2019

Penyusun

i
Daftar Pustaka

Cover

Kata Pengantar .................................................................................................. i

Daftar Isi........................................................................................................... ii

A. Definisi Murabahah ...............................................................................1


B. Dasar Hukum Murabahah .....................................................................2
1. Dasar Dalam Al Qur‟an ..................................................................2
2. Dasar Dalam As Sunnah ................................................................3
C. Rukun dan Syarat Jual Beli Murabahah ................................................3
D. Murabahah Dengan Permintaan Pembeli ..............................................4
1. Jual beli Murabahah dengan Perjanjian Yang Mengikat ................5
2. Jual Beli Murabahah Tanpa Dengan Perjanjian yang Mengikat .....7
E. Aplikasi Murabahah dalam Lembaga Keuangan Syariah ....................8

Kesimpulan .....................................................................................................16
Daftar Pustaka .................................................................................................17

ii
A. Definisi Murabahah
Murabahah merupakan masdar dari kata rabaha-yurabihu-murabahatan.
Secara terminologi, dalam kitab tuhfah al-Fuqaha‟ disebutkan:
“ jual beli mjr jual beli murabahah adalah kepemilikan objek jual beli dengan jual
beli seraya memberikan pengganti sejumlah dengan harga awal dan tambahan
keuntungan atau laba”.

Menurut Veithzal Rivai, jual beli murabahah adalah akad jual beli atas
suatu barang dengan harga yang disepakati antara penjual dan pembeli, sete;ah
sebelumnya penjual menyebutkan dengan sebenarnya harga perolehan atas barang
tersebut dan besarnya keuntungan yang diperoleh.

Jual beli murabahah diperbolehkan menurut jumhur sahabat, tabi‟in dan


ulama mazhab. Hanya saja menurut kalangan Hanafiyah meninggalkan jual beli
ini lebih baik. Imam Syafi‟i tanpa menyandarkan pendapatnya pada suatu teks
syari‟ah berkata: “Jika seseorang menunjukkan suatu barang kepada seseorang
dan berkata „belikan barang (seprti) ini untukku dan aku akan memberimu
keuntungan sekian”. Imam Nawawi menyatakan bahwa murabahah adalah boleh
tanpa ada penolakan sedikit pun. Imam Nawawi juga menyatakan: “jual beli
murabahah hukumnya sah, yaitu apabila seseorang membeli suatu barang dengan
harga seratus dirham dan aku jual kepadamu, aku mengambil laba satu dirham
setiap sepuluh dirhamnya”.

Al-Syairazi menyatakan dalam kitab al-Muhadzdzab: “barang siapa yang


memberi suatu barang, maka ia diperbolehkan menjualnya dan mengambil untung
sedikit atau banyak, berdasarkan Sabda Rasulullah SAW.. „ Apabila dua jenis
barang berbeda, maka barterlah sesukamu‟. Berdasarkan hal ini, maka
diperbolehkan dengan menjual barang dengan jual beli murabahah, yaitu dengan
menjelaskan modal pembelian barang tersebut dan kadar keuntungan yang
dipeeroleh. Seperti mengatakan, Harga barang ini 100 dirhamdan aku jual dengan
keuntungan satu dirham disetiap sepuluh dirham”.

Ibnu Qudamah mengatakan bahwa murabahah adalah jual beli dengan


mengambil keuntungan tertentu yang diketahui pihak penjual dan pembeli.

1
Masing-masing pihak harus mengetahui modal atau harga awal dari barang
tersebut.

Komplikasi hukum ekonomi syariah (KHES) pasal 20 ayat 6


mendifinisikan murabahah: “Murabahah adalah pembiayaan saling
menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang
membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga
pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan
atau laba bagi shahib al-mal dan pengembalikannya dilakukan secara tunai atau
angsur”.

Jual beli murabahah adalah jual beli dimana sipenjual mengambil


keuntungan dari barang yang dijualnya, sementara sipembeli mengetahui harga
awal dari barang tersebut. Misalnya, Andi membeli sebuah laptop seharga Rp.
4.750.000 Kemuadian ia menjual kembali laptop tersebut kepada Ali seharga
5juta; Andi memberi tahu kepada Ali mengenai harga awal laptop tyersebut, yaitu
Rp 4.750.000.

B. Dasar Hukum Murabahah

a. Dasar dalam Al Quran

Adapun mengenai tentang hukum Murabahah aslinya diperbolehkan. Ini pun juga
sudah dijelaskan dalam firman Allah yang menjelaskan halalnya jual beli. Allah
ta‟ala berfiman :
“ Padahal Allah telah menghalalkan jual beli”( QS. AL Baqarah : 275 )

Adapun hal ini juga dijelaskan dalam surat Al nisa‟ ayat 29. Dari firman diatas
kita dapat mengambil kesimpulan bahwa jual beli yang dihalalkan jauh lebih
banyak daripada jual beli yang diharamkan.

2
b. Dasar dalam Al sunnah

Hadist riwayat Abu Bakar

“ ketika Nabi Muhammad saw hendak hijrah, Abu Bakar membeli dua ekor unta,
kemudian berkata kepadanya :” biar aku membayar salah satunya”. Abu Bakar
menjawab :” ambillah unta itu tanpa harus mengganti harganya”, Nabi Saw
kemudian menjawab :” Jika tanpa membayar harganya, maka aku tidak akan
mengambilnya”

Ibnu Al – „Asqalani berkata :

“ apabila di suatu daerah telah berlaku bahwa suatu barang yang dibeli seharga
sepuluh dirham kemudian dijual sebelas dirham, maka hal ini tidak apa-
apa(boleh)”

Berdasarkan landasan hadist diatas, dapat dikatakan bahwa hukum jual beli adalah
boleh dengan berbagai syarat dan ketentuan.

C. Rukun Dan Syarat Jual Beli Murabahah

Rukun jual beli murabahah sama halnya dengan jual beli pada umumnya,
yaitu adanya pihak penjual, pihak pembeli, barang yang dijual, harga dan akad
atau ijab kabul. Sementara syarat jual beli murabahah adalah :

Pertama syarat yang terkait dengan sigat atau akad, akad harus jelas baik
ijab ataupun kabul dan kesinambungan antar keduanya.

Kedua syarat syah jual beli murabahah yaitu

1. Akad jual beli harus sah


2. Pembeli mengetahui harga awal barang yang menjadi objek jual beli
3. Barang yang menjadi objek jual beli murabhah merupakan komoditas
mitsli atau ada padananya serta dapat diukur, ditakar,ditimbang ataupun
jelas ukuran,kadar dan jenisnya. Tidak boleh keuntungan barang yang
sejenis dengan objek jual beli,seperti beras dengan beras,emas dengan
emas.

3
4. Jual beli pada akad yang pertama bukan barang barter dengan barang
ribawi yang boleh ditukar dengan barang sejenis ribawi menurut ulama
malikiyah adalah makanan yang dapat dikonsumsi ,serta menurut kalangan
hanafiyah dan hanbaliyah setiap komoditas ditakar dan atau ditimbang.
Kalangan ulama dari empat mazhab ini bersepakat bahwa emas dan perak
atau barang lain sejenis merupakan barang ribawi. Dengan seperti ini
barang ribawi tidak bisa dijual belikan dengan murabahah.
5. Keuntungan atau laba harus diketahui oleh pihak yang bertransaksi , baik
penjual maupun pembeli, apabila keuntungan tidak diketahui oleh
pembeli, maka tidak dapat dikatakan sebagai jual beli murabahah.

Secara singkat, syarat jual beli murabahah adalah sebagai berikut:


1. Para pihak yang berakad harus cakap hukum dan tidak dalam keadaan
terpaksa.
2. Barang yang menjadi objek transaksi adalah barang yang halah serta jelas
ukuran, jenis dan jumlahnya.
3. Harga barang harus dinyatakan secara transparan (harga pokok dan
komponen keuntungan)dan mekanisme pembayarannya di sebut dengan
jelas
4. Pernyataan serah terima dalam ijab kabul harus di jelaskan dengan
menyebutkan secara spesifik pihak-pihak yang terlibat yang berakad.

D. Murabahah dengan Permintaan Pembeli

Murabahah dengan permintaan pembeli maksuadnya adalah apabila ada


dua pihak dimana pihak pertama mengajukan permintaan atau permohonan
kepada pihak kedua untuk membelikan suatu barang lalu pihak pertama akan
memberikan keuntungan..

Jual beli murabahah dengan tanpa permintaan untuk membelikan sudah


disepakati ulama bahwa hukumnya boleh, namun murabahah dengan model ada
permintaan membelikan, hukumnya masih diperdebatkan dikalangan ulama.

Secara garis besar, jual beli murabahah dengana dan permintaan untuk
membelikan ini ada tiga bentuk :

4
1. Jual beli Murdbahah dengan Perjanjian yang Mengikat

Adanya dua pihak yang membuat perjanjian yang mengikat di antalmitak,


di mana pihak pertama mengajukan permohonan kepada pihak kedua untuk
membelikan suatu barang, kemudian pihak pertama akan membeli barang
tersebutdengan memberikan sejumlah keuntungan, baik secara persentase maupun
dengan cara perhitungan yang lain. Perjanjian ini dibuat sebelum barang di beli
dan mengikat kedua belah pihak, sehingga ada konsekuensi hokum yang
akanditanggung bagi pihak yang melakukan wanprestasi. Misalnya Andi
mengajukan permohonan kepada sebuah bank atau lembaga keuangan lain untuk
membelikan sebuah mobil dengan harga Rp150.000.000, kemudian Andi dan
pihak bank sepakat bahwa Andi harus memberikan kuntungan sebesar
Rp5.000.000. Mereka membuat perjanjian, namun barang yang menjadi objek
perjanjian belum ada atau belum dibeli oleh pihak bank.

Hukum murabahah model ini diperdebatkan di kalangan


ulama.Jumhurulamamuta'akhirin mengharamkan model murabahah semacamini,
karena adanya perjanjian yang mengikat bahwa pihak kedua mengharuskan pihak
pertama untuk membeli barang tersebut. Ada beberapa dalil yang digunakan
jumhurulama

a. Keumuman hadis yang melarang jual beli barang yang belum menjadi hak
milik penjual. Pihak bank membuat perjanjian dengan nasabah untuk
membeli barang tertentu, namun barang yang menjadi objek perjanjian
tersebut belum ada.

ٍِ ٔ‫ ا فببتبعٔ ى‬ٙ‫ اىبيع ىيس عْد‬ٍْٚ ‫ اىسجو فيسيد‬ْٚ‫عِ حنيٌ بِ حزاً قبه يب زس٘ه هللا يبتي‬
>>‫اىس٘ق فقبه التبع ٍب ىيس عْدك‬
“Dari Hakim bin Hizam, Beliau berkata kepadaRasulullah,
"WahaRasulullah, ada orang yang mendatangiku. Orang tersebut ingin
mengadakan transaksi jual beli, denganku, barang yang belum aku miliki.
Bolehkah aku membelikan barang tertentu yang diainginkan di pasar
setelah bertransaksi dengan orang tersebut?' Kemudian, Nabibersabda,
"Janganlah kau menjual barang yang belum kau miliki."

5
Selain hadis di atas, ada hadis lain yang menjadi landasan larangan untuk
menjual barang yang bukan milik si penjual, yaitu hadis riwayat Abu
Daud:

ٌ‫ بيع ٗال زبح ٍب ى‬ٚ‫اليحو سيف ٗبيع ٗال شسطبُ ف‬-‫ملسو هيلع هللا ىلص‬-‫عِ عبد هللا بِ عَسٗ قبه قبه زس٘ه هللا‬
‫تضَِ ٗال‬
‫بيع ٍب ىيس عْدك‬
"Dari Abdullah bin Amrberkata, Rasulullahsallallahu
'alaihiwasallambersabda: tidak halal menggabungkan utang dengan jual
beli, tidak pula duasyarat dalam jual beli, tidak pula keuntungan tanpa ada
pengorbanan, dan tidak pula menjual barang yang tidak kamu miliki."
b. Keumumanlarang yang berlaku dalam hadis yang melarang jual beli
barang yang belum di tangan penjual, yaitu riwayat dari Ibnu Umar:

>>ٔ‫ يست٘في‬ٚ‫<<قبه ٍِ ابتبع طعبٍب فال يبعٔ حت‬-‫ملسو هيلع هللا ىلص‬-ٚ‫اُ اىْب‬-‫ هللا عَْٖب‬ٚ‫زض‬-‫عِ ابِ عَس‬

Dari Ibnu 'Umar radiallahuAnhuma, sesungguhnya Nabi Muhammad


Sallallahualaihiwasallam bersabda: barangsiapa yang membeli bahan
makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai
menerimanya.
Bila ada perjanjian antara pihak pertama (nasabah) dengan pihak kedua
(bank) untuk jual beli barang secara murabahah, sementara objek jual beli
atau barang belum ada, maka hal ini sama hukumnya dengan jual beli
barang yang belum ibymenjadi hak penjual. Hukum jual beli semacam ini
haram atau dilarang.
c. Jumhurulama mengatakan bahwa hak ikat jual beli murabahah semacam
ini pada dasarnya sama saja dengan jual beli uang dengan uang dengan ada
tambahan dari salah satu pihak karena ada tenggang waktu, dan di antara
keduanya ada penyerahan barang.
Berkaitan dengan model transaksi di atas, nasabah berkewajiban
membayar jumlah uang yang lebih banyak, dengan asumsi sebagai laba
bagi bank, namun barang yang menjadi objek belum ada. Hal ini sama saja

6
dengan jual beli uang dengan namun jumlah uang pembeli lebih banyak,
hukumnya sama saja dengan riba nasiah dan riba fadhl yang hukumnya
haram.
Sebagian ulama memperbolehkan transaksi murabahah dengan
model pada poin pertama di atas. Argumentasi pendapat yang kedua ini
adalah karena kebutuhan manusia membutuhkan penyelesaian hukum
yang lebih fleksibel.Selama model transaksi tersebut dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan, maka diperbolehkan, meskipun barang sebagai
objek jual beli belum di tangan si penjual atau bank. Hal ini sebagaimana
yang berlaku pada akad salam dan istisna"
Menurut Khalid bin Ali al-Musyaiqih, dari dua pendapat
sebagaimana dipaparkan di atas, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat
jumhurulama yang mengharam kan jual beli murábahah dengan adanya
perjanjian jual beli yang mengikar Alasan penghalalan karena adanya
kebutuhan tidak dapat diterima secara hukum, karena masih ada
kelonggaran melalui cara lain

2. Jual Beli Murabahah tanpa Dengan Perjanjian yang Mengikat


Maksud jual beli murabahah tanpa ada perjanjian antara penjual
dan pembeli, atau antara nasabah dengan pihak bank bila mana nasabah
mengajukan permohonan kepada bank untuk mengajukan permohonan
pembelian barang.Pihak nasabah mencari barang untuk di beli pihak
bank.Dalam hal ini tidak ada perjanjian yang mengikat bahwa pihak
nasabah harus membeli barang tersebut.Setelah pihak bank membeli
barang tersebut baru pihak nasabah dan pihak bank melakukan transaksi
jual beli barang tersebut Tentunya dalam transaksi ini kedua belah pihak
menyepakati berapa laba yang akan di berikan kepada pihak bank sebagai
pihak penjual Laba ini pada dasarnya sebagai kompensasi bagi pihak bank
karena adanya penundaan pembayaran dari pihak nasabah atau pembeli.
Hukum transaksi jual beli murabahah model seperti di atas
menurut mayoritas ulama diperbolehkan dan tidak ada perbedaan pendapat
di antara mereka.Berkaitan dengan adanya perintah membeli dana danyata

7
waranlaba dari sang pembeli seperti model murabahah di atas, Imäm al-
Syafi'imengatakan:

ٙ‫ اىسجو اىسجو اىسعية فقبه اشتسٕرٓ ٗازبحل فيٖب مرا فبشتسإب اىجو فبىشساءجبئزٗاىر‬ٙ‫ٗاذا از‬
‫ ٍْبعب‬ٚ‫قبه أزبحل فيٖب بب ىخيبز إُ شبء أحدث فيٖب بيعب ٗإُ شبءتسمٔ ٕٗنرا إُ قبه اشتسى‬
‫ ٍتبع شئت ٗأّب أزحبل فئ فنو ٕرا س٘اء‬ٛ‫ٗٗصفٔ ىٔ أٍٗتبعب أ‬

“Bila seseorang memperlihatkan kepada orang lain suatu barang, kemudian


berkata kepadanya: belikan lah barang ini, dan aku akan memberikan keuntungan
Maka orang (yang disuruh) itu pun membelinya. Pembelian seperti ini Orang yang
mengatakan: "Aku akan memberikan keuntungan pada mu mempunyai pilihan:
jika mau dia membeli barang (sebagaimana janjinya) jika mau dia
meninggalkannya (tidak jadi membelinya)”

Meskipun mayoritas memperbolehkan jual beli murabahah dengan model


kedua ini, namun ada ketentuan-ketentuan yang harus ditaati.Pertama, tidak boleh
ada perjanjian yang mengikat antara pihak penjual dan pembeli sebagaímana yang
berlaku pada murabahah model pertama.Bila tidak ada perjanjian antara
keduanya, baik secara lisan maupun tertulis, maka hukumnya boleh Kedua.pihak
yang harus menjamin barang adalah pihak penjual, dalam hal ini adalah pihak
bank, dan bukan pihak nasabah Karena pihak bank sebagai penjual sebagai
pemilik barang Dengan demikian, apa bila ada cacat pada barang, yang
bertanggung jawab.

E. Aplikasi Murabahah dalam Lembaga Keuangan Syariah

Murabahah yang dipraktikkan pada LKS merupakan transaksi jual beli dimana
seorang nasabah datang kepada pihak bank untuk membelikan sebuah komoditas
dengan kriteria tertentu, dan ia berjanji akan membeli komoditas/barang tersebut
secara murabahah, yakni sesuai harga pokok pembelian ditambah dengan tingkat
keuntungan yang disepakati kedua pihak, dan nasabah akan melakukan
pembayaran secara installment (cicilan berkala) sesuai dengan kemampuan

8
finansial yang dimiliki. Dalam prakteknya terdapat terdapat 3 (tiga) pihak yang
terlibat dalam terwujudnya suatu akad murabahah, yakni bank syariah,
produsen/pemasok barang dan nasabah. Pada perjanjian murabahah, bank
membiayai pembelian barang atau aset yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan
membeli terlebih dahulu barang itu dari pemasok barang dan setelah kepemilikan
barang itu secara yuridis berada di tangan bank, kemudian bank tersebut
menjualnya kepada nasabah dengan menambahkan suatu markup/margin atau
keuntungan dimana nasabah harus diberitahu oleh bank berapa harga beli bank
dari pemasok dan menyepakati berapa besar mark-up/margin yang ditambahkan
ke atas harga beli bank tersebut. Ada tiga model penerapan jual beli murabahah
yang dilakukan di perbankan syariah, yaitu:

1) Model yang konsisten terhadap fiqih muamalah. Dalam model ini bank
melakukan pembelian barang terlebih dahulu setelah sebelumnya terjadi
kesepakatan atau perjanjian. Setelah barang tersebut dibeli atas nama bank baru
kemudian dijual ke nasabah dengan harga jual yaitu senilai perolehan ditambah
margin keuntungan yang sesuai dengan kesepakatan bank dan nasabah.

2) Mirip dengan tipe pertama, tapi perpindahan kepemilikan terjadi secara


langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan proses pembayarannya
dilakukan oleh bank secara langsung kepada penjual/supplier.

3) Ketika terjadi perjanjian murabahah antara bank dengan nasabah, yang pada
saat yang itu juga mewakilkan kuasanya kepada nasabah untuk membeli sendiri
barang yang akan dibelinya. Murabahah yang dipraktikkan pada LKS dikenal
dengan murâbahah li al-âmir bi al-Syirâ‟ , adalah transaksi jual beli di mana
seorang nasabah datang kepada pihak bank untuk membelikan sebuah komoditas
dengan kriteria tertentu, dan ia berjanji akan membeli komoditas/barang tersebut
secara murabahah, yakni sesuai harga pokok pembelian ditambah dengan tingkat
keuntungan yang disepakati kedua pihak, dan nasabah akan melakukan
pembayaran secara installment (cicilan berkala) sesuai dengan kemampuan
finansial yang dimiliki. Beberapa ulama kontemporer berbeda pendapat tentang
kedudukan hukum praktik murâbahah li al-âmir bi al-Syira‟. Ada ulama yang
memperbolehkan dan ada pula ulama yang melarang atau mengharamkan.

9
Diantara ulama yang mengakui keabsahan/kebolehan murâbahah li al-âmir bi al-
Syirâ adalah Sâmî Hamûd, Yusuf Qardhawi, Ali Ahmad Salus, Shadiq
Muhammad Amin, Ibrahim Fadhil, dan lainnya. Argumentasi mereka adalah
sebagai berikut :

a. Hukum asal dalam muamalah adalah diperbolehkan dan mubah kecuali terdapat
nash shahih dan sharih yang melarang dan mengharamkannya. Berbeda dengan
ibadah Mahdhah hukum asalnya adalah haram kecuali ada nash yang
memerintahkan untuk melakukannya. Oleh karena itu dalam muamalah tidak
perlu mempertanyakan dalil yang mengakui keabsahan dan kehalalan, yang perlu
diperhatikan adalah dalil yang melarang dan mengharamkannya. Sepanjang tidak
terdapat dalil yang melarangnya, maka transaksi muamalahsah dan halal
hukumnya.

b. Keumuman nash Al-Qur‟an dan hadis yang menunjukan kehalalan segala


bentuk jual beli, kecuali terdapat dalil khusus yang melarangnya. Yusuf Qardhawi
mengatakan, dalam surat al-Baqarah; 275 Allah menghalalkan segala bentuk jual
beli secara umum, baik jual belimuqâydhah (barter), sharf (jual beli mata
uang/valas), jual beli salam ataupun jual beli mutlak serta bentuk jual beli lainnya.
Semua jenis jual beli ini halal, karena ia masuk dalam kategori jual beli yang
dihalalkan Allah, dan tidak ada jual beli yang haram kecuali terdapat nash dari
Allah dan Rasulnya yang mengharamkannya.

c. Terdapat nash ulama fikih yang mengakui keabsahan akad ini, di antaranya
pernyataan Imam Syafi‟i dalam kitab alUmm: “dan ketika seseorang
memperlihatkan sebuah barang tertentu kepada orang lain, dan berkata:
“belikanlah aku barang ini, dan engkau akan aku beri margin sekian”, kemudian
orang tersebut mau untuk membelikannya, maka jual beli tersebut diperbolehkan”.
Namun demikian, orang yang meminta untuk dibelikan tersebut memiliki hak
khiyar, jika barang tersebut sesuai dengan kriterianya, maka bisa dilanjutkan
dengan akad jual beli dan akadnya sah, sebaliknya, jika tidak sesuai, maka ia
berhak untuk membatalkannya”. Berdasarkan pernyataan ini, dapat disimpulkan
bahwa Imam Syafi‟i memperbolehkan transaksi Murâbahah li alÂmir bi al-Syirâ,

10
dengan syarat pembeli atau nasabah memiliki hak khiyar, yakni hak untuk
meneruskan atau

membatalkan akad. Selain itu, penjual juga memiliki hak khiyar, dengan demikian
tidak terdapat janji yang mengikat kedua belah pihak.

d. Transaksi muamalah dibangun atas asas maslahat. Hukum Islam tidak melarang
bentuk transaksi kecuali terdapat unsur kezaliman di dalamnya, seperti riba,
penimbunan (ihtikâr ), penipuan dan lainnya, atau diindikasikan transaksi tersebut
dapat menimbulkan perselisihan atau permusuhan di antara manusia, seperti
adanya gharar atau bersifat spekulasi. Permasalahan pokok dalam muamalah
adalah unsur kemaslahatan. Jika terdapat maslahah, maka sangat dimungkinkan
transaksi tersebut diperbolehkan. Seperti halnya diperbolehkannya akad istishna,
padahal ia merupakan jual beli/bai„ alma‟dûm (obyek tidak ada saat akad), karena
adanya kebutuhan dan maslahah yang akan didapatkan, tidak menimbulkan
perselisihan dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat.

e. Pendapat yang memperbolehkan bentuk murabahah ini dimaksudkan untuk


memudahkan persoalan hidup manusia. Syariah Islam datang untuk
mempermudah urusan manusia dan meringankan beban yang ditanggungnya.
Banyak firman Allah yang menyatakan hal ini, di antaranya: “Allah hendak
memberikan keringanan kepadamu” (An-Nisa ayat 28), dan Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (al-Baqarah ayat
185). Kehidupan manusia di zaman sekarang lebih kompleks, jadi mereka
membutuhkan kemudahan-kemudahan. Akan tetapi maksud dari kemudahan di
sini adalah menjaga kemaslahatan dan hajat hidup orang banyak sebagaimana
ingin diwujudkan oleh syara‟. Beberapa ulama kontemporer yang melarang dan
mengharamkan praktik murabahah li al-amir bi alSyira‟ diantaranya adalah: Bakr
bin Abdullah Abu Zaid, Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Rafîq al-Mishrî dan
lainnya.

Berikut ini adalah argumen yang memperkuat pendapat mereka :

a. Transaksi murabahah di LKS/bank syariah sebenarnya bukan dimaksudkan


untuk melakukan jual beli tapi hanya sekedar hîlah atau trik untuk menghalalkan

11
riba. Mereka mengatakan bahwa maksud dan tujuan sebenarnya transaksi
murabahah adalah untuk mendapatkan uang tunai, sebab kedatangan nasabah ke
LKS/bank syariah sebenarnya adalah untuk mendapatkan uang tunai. Sementara
itu, pihak LKS/bank syariah tidak membeli barang melainkan hendak menjualnya
kepada nasabah dengan cara cicilan, sehingga dapat dimaknai bahwa LKS/bank
syariah sebenarnya tidak sungguh-sungguh membeli barang tersebut.

b. Kedua, tidak ada satu orang pun dari ulama terdahulu (salaf ) yang
membolehkan murabahah, bahkan ada yang menyatakan keharamanmurabahah.

c. Transaksi murabahah termasuk jual beli „ înah yang diharamkan. Jual beli „înah
adalah pinjaman ribawi yang direkayasa dengan praktik jual beli.

d. Transaksi murabahah termasuk bay„atâni fi bay„ah. Rasulullah SAW telah


melarang bentuk jual beli bay„ atâni fi bay„ ah dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Nasa‟i dan Tirmidzi. Untuk mengetahui apakah
transaksi murabahah termasuk bay„atâni fi bay„ah, maka perlu mengetahui
maksud dari model akad tersebut. Menurut Imam Syafi‟i bay„atâni fi bay„ah
maksudnya adalah: Seorang penjual berkata: Saya menjual barang ini kepada
kamu Rp. 100.000,- secara tempo dan Rp.50.000,- secara kontan, terserah mau
pilih yang mana, dan kontrak jual beli berlangsung tanpa adanya satu pilihan pasti
dan jual beli mengikat salah satu pihak.

e. Bank syariah dalam melakukan transaksi murabahah, menjual barang yang


tidak atau belum dimilikinya (bai‟ alma‟dûm ) , dimana pihak bank syariah dan
nasabah berjanji untuk melakukan transaksi murabahah. Untuk mewujudkan
kesepakatan tersebut,mereka membuat transaksi janji; pihak bank berjanji untuk
menjual barang, dan pihak nasabah berjanji untuk membeli barang. Keharusan
nasabah untuk membeli karena perjanjian berubah menjadi transaksi yang
sebenarnya, padahal barangnya belum ada. Bentuk ini bertentangan dengan kaidah
umum syariat yang melarang jual beli pada barang yang tidak dimiliki.

f. Bank syariah dalam melakukan transaksi murabahah, telah mewajibkan


transaksi dengan sekedar janji. Apabila janji tersebut tidak sampai menjadi suatu
keharusan, maka tidak ada masalah dalam transaksi murabahah. Tapi apabila janji

12
untuk membeli itu menjadi suatu keharusan, maka para ulama banyak yang
menolaknya, karena dasar keharusan membeli tersebut tidak ada dalam kaidah
umum syariat dan tidak boleh mewajibkan transaksi hanya dengan sekedar janji.
Dari perbedaan pendapat para ulama tentang murabahah li al-amir bi al-Syira
diatas, Muhammad Taqi Usmani mengatakan bahwa pada awalnya murabahah
bukanlah sebuah bentuk pembiayaan, melainkan hanya berfungsi sebagai alat
untuk menghindari “bunga bank” dan juga bukan merupakan instrumen ideal
untuk mengembangkan tujuan riil ekonomi Islam. Instrumen murabahah hanya
digunakan sebagai langkah peralihan yang dilakukan dalam proses islamisasi
ekonomi. Untuk menghindari praktik murabahah yang menyimpang pada praktik
hilah, bai‟„înah, bay„atâni fi bay„ah, dan bai‟ al-ma‟dûm para ulama kontemporer
mensyaratkan beberapa ketentuan dalam praktik jual beli murabahah di lembaga
keuangan syariah sebagai berikut:

1). Jual beli murabahah bukan merupakan pinjaman yang diberikan dengan
imbalan bunga, tetapi jual beli murabahah merupakan jual beli komoditas dengan
harga tangguh dengan

menetapkan margin keuntungan diatas biaya perolehan yang telah disetujui


bersama. Dalam hal ini, apabila harga tangguh lebih tinggi dari harga tunai maka
kedua pihak harus menyepakatinya sebelum mereka berpisah, hal tersebut
bertujuan agar akad tersebut terhindar dari bay„atâni fi bay„ah,

2). Bank atau lembaga keuangan syariah lainnya selaku pemberi pembiayaan
harus sudah membeli komoditas/barang dan menyimpannya dalam kekuasaannya,
atau dapat juga membeli melalui orang ketiga sebagai agennya sebelum
komoditas/barang tersebut dijual kepada nasabahnya. Apabila hal tersebut tidak
dilakukan maka yang terjadi adalah bai‟ al-ma‟dûm (memperjual belikan sesuatu
yang belum ada/dimiliki). Meskipun demikian, apabila pembelian dilakukan
secara langsung ke pihak supplier tidak praktis, pemberi pembiayaan
diperbolehkan memanfaatkan nasabah sebagai agen/wakil menggunakan akad
wakalah untuk membeli barang/komoditas yang diperlukan atas nama bank atau
lembaga keuangan syariah lainnya selaku pemberi pembiayaan. Dalam kasus ini,
selama barang tersebut belum dibelikan oleh nasabah sebagai agen maka tidak

13
boleh dilakukan akad jual beli terhadap barang/komoditas antara nasabah dan
pihak pemberi pembiayaan. Bahkan bila nasabah sudah membelikan
barang/komoditasnya pun, resiko atas kerusakan atau kehilangan barang masih
terletak dipihak pemberi pembiayaan hingga dilakukannya akad jual beli antara
kedua belah pihak.

3). Barang/komoditas yang diperjual belikan tidak boleh dari nasabah sendiri
(komoditas milik nasabah) dengan perjanjian buy back (pembelian kembali),
mengingat model perjanjian seperti ini termasuk dalam kategori bai„ inah yang
dilarang dan diharamkan oleh sebagian besar ulama. Dengan mempertimbangkan
syarat-syarat diatas, maka praktik murâbahah li al-âmir bi al-Syirâ‟ yang
dilakukan pada lembaga Keuangan Syariah (LKS) harus mengikuti prosedur
sebagai berikut:

Nasabah dan LKS menandatangani perjanjian umum ketika LKS berjanji untuk
menjual dan nasabah berjanji untuk membeli komoditas atau barang tertentu pada
tingkat margin tertentu yang ditambahkan dari biaya perolehan barang; LKS
selanjutnya bisa menunjuk nasabah sebagai agennya untuk membeli komoditas
yang diperlukan nasabah atas nama LKS, dan perjanjian keagenan dengan akad
wakalah ditandatangani oleh kedua belah pihak; Nasabah membelikan komoditas
atas nama LKS dan mengambil alih penguasaan barang sebagai agen LKS, pada
tahap ini resiko komoditas masih ada pada LKS; Nasabah menginformasikan
kepada LKS bahwa ia telah membeli komoditas/atau barang atas nama LKS, dan
pada saat yang sama menyampaikan penawaran untuk membeli barang tersebut
dari LKS LKS menerima penawaran tersebut dan proses jual beli berlangsung
dengan pembayaran secara cicilan/tangguh sesuai kesepakatan. Jika proses jual
beli telah berlangsung maka kepemilikan dan resiko komoditas/barang telah
beralih ke tangan nasabah. Langkah-langkah yang dilakukan pada contoh diatas
diperlukan apabila LKS menjadikan nasabah sebagai agennya, tetapi lain halnya
jika LKS membeli komoditas/barang langsung ke supplier maka perjanjian
keagenan yang dicontohkan diatas tidak diperlukan lagi. Dalam hal ini, setelah
LKS membelikan barang langsung ke pihak supplier maka proses jual beli antara
LKS dan nasabah bisa dilaksanakan. Di Indonesia, aplikasi jual beli murabahah
pada bank syariah dilakukan berdasarkan Keputusan Fatwa Dewan Syariah

14
Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Peraturan Bank Indonesia
(PBI). Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan Direktur Utama BPR
Syariah Bina Amanah Satria, Direktur BPR Syariah Khasanah Ummat dan
Direktur BPRS

Bumi Arta Sampang, akad murabahah yang dilakukan oleh ketiga BPR Syariah
tersebut mempunyai kesamaan sebagai berikut:

1. Ketika jumlah barang yang dibeli hanya terdiri dari 1 hingga 2 unit:

a. Nasabah terlebih dulu membuat daftar pesanan yang akan dibeli

b. BPR Syariah akan membelikan barang sesuai kriteria yang disebutkan oleh
nasabah

c. BPR Syariah melaksanakan akad murabahah yang dilakukan langsung setelah


barang menjadi milik bank secara sah. Contoh akad murabahah untuk kasus diatas
adalah pembelian kendaraan bermotor atau rumah.

2. Ketika jumlah barang yang dibeli banyak dan bermacammacam:

a. Nasabah terlebih dulu membuat daftar pesanan yang akan dibeli

b. Bank melaksanakan akad wakalah, yaitu memberikan wewenang kepada


nasabah untuk bertindak atas nama bank dalam melakukan pembelian barang
yang dibutuhkannya.

c. Setelah akad wakalah dilakukan dan secara prinsip barang tersebut sudah
menjadi milik BPR Syariah, selanjutnya BPR Syariah akan melakukan akad
murabahah. Dalam pelaksanaannya, BPR Syariah sebaiknya melakukan akad
wakalah dan akad murabahah pada hari dan waktu yang bersamaan. Apabila akad
murabahah dilakukan beberapa hari kemudian setelah wakalah dilakukan,
beberapa resiko yang mungkin timbul dan menjadi beban bank.

15
KESIMPULAN

Murabahah merupakan masdar dari kata rabaha-yurabihu-murabahatan.


Secara terminologi, dalam kitab tuhfah al-Fuqaha‟ disebutkan:
“ jual beli mjr jual beli murabahah adalah kepemilikan objek jual beli dengan jual
beli seraya memberikan pengganti sejumlah dengan harga awal dan tambahan
keuntungan atau laba”.

Dasar Hukum Murabahah

a. Dasar dalam Al Quran


b. Dasar as sunah.

Rukun jual beli murabahah sama halnya dengan jual beli pada umumnya, yaitu
adanya pihak penjual, pihak pembeli, barang yang dijual, harga dan akad atau ijab
kabul.

Secara singkat, syarat jual beli murabahah adalah sebagai berikut:


1. Para pihak yang berakad harus cakap hukum dan tidak dalam keadaan
terpaksa.
2. Barang yang menjadi objek transaksi adalah barang yang halah serta jelas
ukuran, jenis dan jumlahnya.
3. Harga barang harus dinyatakan secara transparan (harga pokok dan
komponen keuntungan)dan mekanisme pembayarannya di sebut dengan
jelas
4. Pernyataan serah terima dalam ijab kabul harus di jelaskan dengan
menyebutkan secara spesifik pihak-pihak yang terlibat yang berakad.

16
Daftar Pustaka

Musthofa, Imam (2016),FIQH MU‟AMALAH KONTEMPORER,Edisi ke 1,


Cetakan ke 2, Rajawali Pers, Jakarta

Sami Hasan Hamud, Tatwir al-A‟mal al-Mashrafiyah Bima Yattafiq alSyari‟ah al-
Islamiyah (Beirut: Mathba‟ah al-Syarq,1992), hlm.431. 23Sutan Remy Sjahdeini,
Perbankan Syariah Produk-Produk Dan AspekAspek Hukumnya, Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2009.Hal.178.

Sami Hasan Hamud, Tathwîr al- A‟mâl al-Mashrafiyah Bimâ Yattafiq alSyarî ‟ ah
al-Islâmiyah , Aman: Mathba‟ah al-Syarq, 1992.hal.431 25 Ah Azharuddin Lathif,
Konsep Dan Aplikasi Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah Di Indonesia,
Jurnal

17

Anda mungkin juga menyukai