Anda di halaman 1dari 15

Hubungan Nyeri Lutut dengan Posisi Kerja Berjongkok

dan Faktor Risiko Lainnya pada Peternak Sapi Perah


Studi di Provinsi Jawa Barat

Indah Maulida R,1* Retno Asti W,2 I Nyoman Murdana3

1Program Magister Kedokteran Kerja, FK Universitas Indonesia


2Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, FK Universitas Indonesia
3Departemen Rehabilitasi Medik, FK Universitas Indonesia
*Corresponding Authorl: indah_1801@yahoo.com

Abstrak
Peternak sapi perah terpajan faktor risiko besar untuk mengalami nyeri lutut. Posisi kerja berjongkok
memberikan tekanan pada lutut dapat menyebabkan cedera dan penyakit degeneratif sendi lutut. Tujuan
penelitian untuk mengetahui prevalensi dan faktor yang berhubungan dengan nyeri lutut pada peternak sapi
perah di Jawa Barat. Penelitian potong lintang dilakukan pada 117 orang di Unit Pelaksana Teknis Daerah
(UPTD) Balai Pengembangan Ternak Sapi Perah dan Hijauan Makanan Ternak (BPT-SP HPT) Cikole,
Lembang pada Mei-Juni 2017 dengan jumlah sampel total populasi. Dilakukan wawancara, pengisian
kuesioner KOOS (Knee Injury and Osteoarthritis Outcome Score) dan observasi posisi kerja. Analisis data
dilakukan dengan program statistik SPSS Statistics 20.0 Sebanyak 88% subjek mengalami nyeri lutut
dengan keluhan terbanyak nyeri lutut ringan (84%). Didapatkan hubungan nyeri lutut dengan posisi
berjongkok (ORc=7.36). Faktor risiko determinan adalah masa kerja 6-10 tahun dengan ORA sebesar 7.35
(95% CI 1.25-42.95, p=0.027) dan masa kerja >10 tahun dengan ORA sebesar 26,09 (95% CI 1.24-547.59,
p=0.036). didapatkan Prevalensi nyeri lutut pada peternak sapi perah sebesar 88%. Terdapat hubungan
nyeri lutut dengan posisi kerja berjongkok. Faktor risiko determinan berhubungan nyeri lutut adalah masa
kerja lebih dari 5 tahun. Saran untuk Memperbaiki kondisi kerja pemerah sapi untuk mengurangi paparan
terhadap faktor-faktor risiko selama masa kerja.
Kata kunci. Faktor Risiko, KOOS, Nyeri lutut, Peternak, Prevalensi.

Association of Knee Pain and Working on Squatting Position


and Other Risk Factors Among Dairy Farmers.
A Study in West Java, Indonesia

Abstract
Dairy farmers have been identified having high risk for knee pain. Squatting position when milking cows
create awkward knee posture and high compression on knee joint that could lead to knee injury and
degenerative diseases on knee joint. This study aims to identify the prevalence of knee pain among dairy
farmers and the association of squatting position and other factors with knee pain among Dairy Farmers in
West Java. A cross sectional study on 117 respondents was conducted at Unit Pelaksana Teknis Daerah
(UPTD) Balai Pengembangan Ternak Sapi Perah dan Hijauan Makanan Ternak (BPT-SP HPT) Cikole,
Lembang from May through June 2017 with total population sampling. Instruments used were standardized
inteview form and KOOS (Knee Injury and Osteoarthritis Outcome Score) questionnaire. Working position
was observed. SPSS Statistics 20.0 program was used to analyze the data. In this study, 88% dairy farmers
had knee pain, mostly with mild knee pain. Association was found between knee pain and squatting (ORc=
7.36). Determinants for knee pain are working period 6-10 years with ORA=7.35 (95% CI 1.25-42.95,
p=0.027) and working period >10 tahun with ORA = 26,09 (95% CI 1.24-547.59, p=0.036). Prevalence of
knee pain among dairy farmers was 88%. The study suggest that knee pain among dairy farmers had
association with squatting position. Working period >5 years was identified as determinant factor. It is
necesary to improve dairy farmers working condition to reduce exposure of risk factors during working
period.
Keywords. Prevalence, Risk Factor, Knee Pain, KOOS, Squatting, Dairy Farmers.
Pendahuluan
Salah satu gangguan otot rangka yang banyak dialami oleh pekerja adalah nyeri
lutut. Nyeri lutut adalah suatu masalah kesehatan yang umum terjadi di seluruh
dunia. Nyeri pada lutut dapat mempengaruhi Activity Daily Living (ADL) sehingga
akan menyulitkan dalam melaksanakan tugas. Pekerjaan yang memberikan
tekanan terus menerus pada lutut seperti berjongkok, berlutut, berdiri,
mengemudi, memanjat dan mengangkat beban berat dapat menimbulkan
keluhan nyeri pada lutut. Keluhan ini seringkali berlangsung kronis atau persisten
(menetap)(1,2).
Peternak sapi melakukan pekerjaan yang menuntut aktivitas fisik yang berat
seperti mengangkat beban berat, memindahkan peralatan kerja dan posisi kerja
janggal, akibatnya banyak pekerja mengeluhkan gangguan muskuloskletal
hingga timbul ketidakmampuan bekerja. Peternak sapi perah harus memerah
sapi setidaknya 2 (dua) kali sehari untuk mencegah terjadinya mastitis pada sapi.
Pada saat memerah sapi, peternak sapi harus bekerja dalam posisi janggal
dimana mereka harus berjongkok atau berlutut saat memerah. Penelitian
menyebutkan postur ketika bekerja seperti berjongkok atau berlutut berhubungan
dengan keluhan nyeri lutut.(1,3,4)
Sektor pertanian di Indonesia tahun 2004–2014 menyerap sekitar 35–45% dari
angkatan kerja. Subsektor peternakan merupakan subsektor yang menyerap
tenaga kerja terbesar ketiga, yaitu naik dari 9,89% pada tahun 2007 menjadi
11,51% pada tahun 2011. Peternakan juga produktivitas tenaga kerja yang
paling tinggi.Di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2011
jumlah peternak sapi sebanyak 5,9 juta jiwa dengan jumlah sapi perah sebanyak
14,2 juta ekor dengan provinsi Jawa Barat sebagai penghasil produksi susu sapi
terbesar setelah provinsi Jawa Timur. (5,6)
Kondisi kesehatan peternak sapi perah di Indonesia belum banyak diketahui.
Penelitian oleh IPB di peternakan sapi di Bogor tahun 2014 didapatkan bahwa
pekerja peternak sapi masih belum memiliki akses yang cukup terhadap layanan
kesehatan kerja. Sebagian besar pengobatan yang dilakukan oleh peternak sapi
dibiaya dari biaya pribadi dan biasanya peternak akan mencari pengobatan ke
tempat pelayanan kesehatan apabila gangguan kesehatan yang dialami sudah
cukup parah. Kondisi ini akan mengganggu produktivitas kerja peternakan
karena jumlah peternak sapi yang semakin berkurang tiap tahunnya dan
permintaan hasil produksi sapi yang terus meningkat.(7)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan tingkat nyeri lutut pada
peternak sapi, mengetahui hubungan antara posisi kerja dan lama berjongkok,
faktor sosiodemografi (usia, jenis kelamin, status gizi, kebiasaan merokok dan
kebiasaan olahraga) serta faktor sosiookupasi (masa kerja dan beban angkat)
dengan keluhan nyeri lutut pada peternak sapi.
Tinjauan Teoritis
Lutut terdiri dari tiga persendian (artikulasi) yaitu tibiofemoral, patelofemoral dan
tibiofibular. Sendi tibiofemoral memungkinkan perpindahan berat tubuh dari
tulang femur ke tulang tibia yang secara fungsional bersama dengan otot
quadriceps dan sendi patelofemoral akan membantu pergerakan tubuh
Gerakan ekstensi lutut dilakukan oleh otot quadricep lingkup gerak ekstensi 5-10
derajat hiperekstensi atau 0 derajat. Fleksi lutut terjadi karena adanya kontraksi
otot hamstring. Fungsi fleksi lutut, ekstensi panggul, maupun gerakan eksternal
dan internal rotasi panggul dengan menggunakan beban tubuh, beban yang
dihasilkan sangat besar seperti: melompat, berjalan, berlari, mengangkat,
mendorong dan menarik.
Nyeri sendi lutut adalah serangkaian peristiwa yang terjadi di nosiseptor (nyeri
inflamasi) akibat dari lesi di jaringan yang diakibatkan penggunaan berlebihan
(termasuk ketegangan otot, tendonitis dan bursitis) yang mungkin berlangsung
sikat atau lama, dapat ringan atau berat dan hilang timbul, dapat menetap atau
sembuh sempurna.(8)
Ada tiga tempat yang dapat menjadi sumber nyeri pada lutut: sinovial, jaringan
lunak sendi dan tulang. Pada nyeri sinovial, reaksi radang timbul karena adanyan
debris dan kristal dalam cairan sendi. Dapat juga terjadi karena adanya kontak
dengan rawan sendi waktu sendi bergerak.(9,10)
Nyeri akibat kerusakan pada jaringan lunak sendi diawali dengan adanya
peradangan, misalnya pada tendon dan otot yang melekat di sekitar patella yang
disebabkan oleh penggunaan oleh otot yang berlebihan. Nyeri juga dapat terjadi
karena robekan ligamen dan kapsul sendi, peradangan bursa atau kerusakan
meniscus.
Penilaian kondisi nyeri lutut membutuhkan kerjasama dari pasien, oleh karena itu
instrumen yang digunakan harus mudah, relevan terhadap kondisi pasien,
reliable, valid dan responsive terhadap perubahan kondisi pasien.
KOOS merupakan instrumen untuk menilai pendapat pasien tentang lutut
mereka dan masalah yang terkait. KOOS dapat digunakan baik pada masa akut
maupun kronik yang ada hubungannya dengan cidera atau gangguan pada lutut
selama interval jangka pendek dan panjang, KOOS terdiri dari 5 sub-skala; nyeri,
gejala, aktifitas fungsional sehari-hari (ADL), aktifitas olahraga dan rekreasi, dan
kualitas lutut yang berhubungan dengan kelangsungan kualitas hidup (QOL).(11)
Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri lutut terbagi menjadi faktor
sosiodemografis dan faaktor sosiookupasi. Faktor sosiodemografis antara lain
usia, jenis kelamin, status gizi, pendidikan, kebiasaan olahraga dan kebiasaan
merokok.
Pertambahan usia akan menyebabkan terjadinya perubahan neurofisiologi dan
penurunan persepsi sensoris stimulus dan peningkatan ambang nyeri. Pada usia
produktif, nyeri lutut lebih banyak disebabkan karena cidera dan penggunaan
yang berlebihan (overuse of joint). Nyeri lutut yang awalnya ringan dan sebentar
dapat menjadi semakin memburuk dari waktu ke waktu. Peradangan yang terjadi
pada sendi merupakan bagian dari proses penyembuhan penyakit, namun juga
menimbulkan rasa nyeri. Pada saat timbulnya inflamasi, penggunaan sendi yang
terus menerus akan menimbulkan nyeri lutut yang kronis.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa wanita memiliki kecenderungan 5 kali
lebih besar mengalami gangguan muskuloskeletal dibandingkan laki-laki, salah
satunya adalah keluhan nyeri pada lutut. Penyebab pasti belum diketahui, namun
diperkirakan karena anatomi tubuh wanita yaitu bentuk panggul yang lebih besar
dari pria hingga meningkatkan tekanan pada sendi lutut. Hormon estrogen juga
disebutkan sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kelemahan
pada ligament sendi lutut.
Berat badan berlebih memiliki hubungan dengan timbulnya nyeri lutut. Penelitian
melaporkan adanya hubungan antara berat badan berlebih dengan kejadian
osteoarthritis pada lutut. Pada keadaan normal, gaya berat badan akan melalui
medial sendi lutut dan akan diimbangi otot-otot paha lateral sehingga resultan
akan jatuh pada bagian sentral sendi lutut. Pada individu yang memiliki berat
badan berlebih, resultan gaya akan bergeser ke medial sehingga beban yang
diterima sendi lutut tidak seimbang, hal tersebut akan menyebabkan nyeri pada
sendi lutut.
Pendidikan dapat membentuk perilaku dan kepribadian individu Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa pendidikan berhubungan dengan perilaku sehat.
Menurut Fred C. Pampel, penambahan lama pendidikan satu tahun dapat
mengurangi angka kematian sekitar 8%, juga disebutkan bahwa kurangnya
pengetahuan dan akses informasi menyebabkan seseorang memiliki
keterbatasan pengetahuan tentang bahaya perilaku tidak sehat sehingga kurang
motivasi untuk mengadopsi perilaku sehat.
Efek aktivitas fisik seperti olahraga pada sendi lutut belum jelas. Olahraga dapat
meningkatkan aliran darah pada tubuh, namun beberapa gerakan olah raga
dapat menimbulkan trauma pada lutut. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
gerakan-gerakan pada olahraga seperti berlari, squat jump, memanjat,
bersepeda, angkat berat dapat meningkatkan kompresi pada sendi lutut terutama
pada sendi patellofemoral. Gerakan pada olahraga ini dapat menyebabkan
kerusakan permukaan patella bagian dalam.Penelitian yang dilakukan oleh
Vignon et al menyimpulkan bahwa aktivitas olahraga dapat menjadi faktor risiko
Osteoarthritis lutut tergantung dari jenis, intensitas dan lama nya aktivitas olah
raga.
Kebiasaan merokok telah dihubungkan dengan kondisi nyeri muskuloskletal
kronis. Merokok memiliki efek negatif terhadap metabolism kartilago. Penelitian
pada hewan percobaan menunjukan komponen tembakau memiliki efek merusak
fungsi kondrosit, menghambat proliferasi sel dan sintesis matriks ekstraseluler.
Merokok dapat meningkatkan oksidasi sel dan menyebabkan hilangnya kartilago.
Merokok juga meningkatkan kadar karbondioksida di pembuluh arteri yang
akhirnya akan menimbulkan hipoksia dan kerusakan pada kartilago.
Faktor sosiookupasi yang mempengaruhi nyeri lutut antara lain posisi kerja, masa
kerja dan beban angkat. Beban berlebihan pada sendi lutut merupakan salah
satu faktor risiko timbulnya nyeri lutut. Diketahui bahwa aktivitas fisik dapat
memberikan beban pada lutut, terutama bila terdapat fleksi lutut lebih dari 90 o
sehingga timbul cedera pada kartilago lutut. Penelitian melaporkan bahwa
terdapat hubungan antara posisi kerja berjongkok dan berlutut serta mengangkat
beban berat dengan angka kejadian osteoarthritis lutut. Penelitian oleh Cooper
et al melaporkan kejadian osteoarthtitis lutut pada pekerja yang mengangkat
beban berat (OR=1,4) dan semakin tinggi kejadian bila mengangkat beban berat
dikombinasikan dengan posisi kerja berjongkok atau berlutut (OR=5,4). NIOSH
1994 telah mengeluarkan perhitungan rekomendasi beban angkat pada manual
handling yang dapat diangkat oleh pekerja untuk menghindari terjadinya cedera
muskuloskletal. Recommended Weight Limit (RWL) NIOSH merupakan
rekomendasi batas beban yang dapat diangkat oleh manusia tanpa menimbulkan
cidera pada pekerjaan yang dilakukan secara repetitive dan dalam jangka waktu
yang cukup lama. Lifting Index (LI) adalah sebuah variabel yang menyatakan
estimasi relative tegangan fisik dari sebuah aktivitas pengangkatan. Semakin
besar nilai LI, semakin besar pula tingkat resiko untuk mendapatkan cidera pada
sebuah aktivitas pengangkatan
Pekerjaan yang dilakukan oleh peternak sapi perah sehari-hari banyak
memberikan risiko ergonomis. Risiko ini akan memberikan dampak gangguan
kesehatan bagi peternak, salah satunya adalah gangguan nyeri lutut. Berikut ini
adalah tugas-tugas dari peternak sapi perah yang dapat menimbulkan nyeri
lutut:(12)
1. Memberi makan sapi/anak sapi
Pekerjaan ini memiliki risiko ergonomic. Memanjat Silo untuk mengambil
pakan sapi, mengangkat pakan seberat 25-30 Kg, memberikan pakan kepada
sapi dan anak sapi biasanya membutuhkan posisi membungkuk, menggapai,
menggenggam ember/bak, mengangkat beban berat dan membawa beban
tersebut dengan jarak tempuh tertentu
2. Posisi janggal dalam memerah sapi
a. Setengah Berjongkok: Setengah berjongkok dengan fleksi salah satu
lutut 70 -100o
b. Berjongkok sambil berjinjit: Berjongkok dengan sudut lutut >90 o dengan
ekstensi sendi ankle
c. Berjongkok penuh: Berjongkok dengan posisi kedua lutut sejajar, sudut
tibia dan femur > 90o

Metode Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian ini dilakukan
di UPTD Balai Pengembangan Ternak Sapi Perah dan Hijauan Pakan Ternak
Cikole – Lembang Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat pada bulan Mei sampai
Juni 2017.
Populasi penelitian adalah seluruh peternak sapi perah di UPTD Balai
Pengembangan Ternak Sapi Perah dan Hijauan Makanan Ternak Cikole –
Lembang Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dan kelompok binaan di
kabupaten Bandung Barat berjumlah. Dari total sampel sebanyak 122 orang
terdapat 3 responden yang tidak dapat mengikuti penelitian dikarenakan tidak
berada ditempat saat dilakukan pengambilan sampel. Dari 119 sampel, 2 orang
sampel tidak dilibatkan lebih lanjut karena menderita cidera lutut akibat olahraga,
sehingga total sampel analisis sebanyak 117 orang.
Variabel terikat adalah tingkat nyeri lutut yang dirasakan oleh responden dalam
1 minggu terakhir yang diambil dengan mengisi kuesioner KOOS (Knee Injury
and Osteoarthritis Outpu Score). Variabel bebas adalah posisi kerja dan lama
berjongkok yang terdiri dari posisi berjongkok penih, posisi setengah berjongkok
dan posisi jongkok jinjit; faktor sosiodemografi (usia, jenis kelamin, status gizi,
pendidikan kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok) dan faktor sosiookupasi
(masa kerja dan beban angkat)
Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara, pengukuran berat
badan dan tinggi badan, perhitungan RWL dan LI untuk beban angkat, pengisian
kuesioner KOOS dan observasi posisi kerja untuk pemerahan 1 ekor sapi. Data
kemudian diolah menggunakan program SPSS 20.

Hasil Penelitian
Prevalensi tingkat nyeri lutut pada peternak sapi perah dapat dilihat pada tabel
1. Dari hasil pengolahan data didapatkan 88% responden memiliki keluhan nyeri
lutut dengan rincian 98 orang responden (84 %) memiliki tingkat nyeri lutut
ringan (skor KOOS 67-99) dan 5 orang responden (4 %) memiliki tingkat nyeri
lutut sedang (skor KOOS 34-66). Tidak ada responden yang mengeluhkan nyeri
lutut berat.

Tabel 1. Karakteristik Tingkat Nyeri Lutut


n %
Nyeri Lutut
Tidak 14 12
Ya 103 88
- Ringan 98 84
- Sedang 5 4
- Berat 0 0
Berdasarkan kuesioner KOOS didapatkan gambaran dari subskala nyeri lutut.
Hampir seluruh subskala didapatkan keluhan yang terbanyak berupa keluhan
ringan yaitu subskala pain (78,6%), symptoms (87,2%), ADL (75,2%), QoL
(76,1%). Untuk subskala sport sebagian besar menyebutkan tidak ada keluhan
(70,9%).
Dari hasil observasi kerja memerah sapi, seluruh pemerah melakukan posisi
kerja berjongkok penuh. Sembilan puluh tiga orang pekerja (75 %) melakukan
perubahan ke posisi kerja setengah berjongkok dan 38 orang pekerja (32,5%)
melakukan perubahan ke posisi kerja berjongkok sambil berjinjit. Dari hasil olah
data untuk lama posisi kerja jongkok dalam satu hari kerja didapatkan nilai
median 108 menit 45 detik, sedangkan untuk posisi setengah berjongkok
didapatkan nilai median 5 menit dan posisi jongkok berjinjit nilai median 3 menit
12 detik.
Hasil pengolahan data faktor sosiodemografi, lebih dari separuh jumlah
responden berusia diatas 40 tahun (52,3%), dengan usia termuda 23 tahun dan
usia tertua 56 tahun. Hampir separuh responden berpendidikan SMA/setara
(47,9%). Hampir seluruh responden berjenis kelamin laki-laki (97,4%) dan
memiliki status gizi tidak obesitas (96.6%). Hasil perhitungan indeks Brinkmann
untuk merokok didapatkan sebagian besar responden merupakan perokok
dengan sebanyak 55 orang perokok ringan (47%) dan 54 orang perokok sedang
(46,2%). Hampir seluruh responden memiliki kebiasaan olah raga yang buruk
(94,9%).
Hasil pengolahan data faktor sosiookupasi, sebagian besar responden telah
bekerja sebagai pemerah sapi lebih dari 10 tahun (57,2%). Dari hasil olah data
didapatkan bahwa nilai median LI (Liftimg Index) satu kali angkat untuk pakan
rumput adalah 13,16 kali RWL, nilai median LI pakan konsentrat 3,21 kali RWL
dan nilai median LI kaleng susu 2,15 kali RWL.
Dari analisis bivariat didapatkan hubungan keluhan nyeri lutut dengan posisi
kerja berjongkok, usia diatas 40 tahun, masa kerja >5 tahun dan beban angkat
LI pakan rumput dan LI pakan konsentrat (p<0,05).
Selanjutnya dilakukan analisa multivariat untuk faktor-faktor yang memiliki nilai
p<0,25 yaitu posisi kerja jongkok (p< 0,001), lama jongkok lebih dari 109 menit
dalam satu hari kerja (p=0,104), usia ≥ 40 tahun (p=0,003), pendidikan dibawah
SMA/setara (p=0,08) masa kerja 6-10 tahun (p=0,009) dan lebih dari 10 tahun
(p<0,001) serta beban angkat LI pakan rumput (p< 0,001), dan beban angkat LI
pakan konsentrat (p< 0,001).
Hasil analisis multivariat menunjukan terdapat 1 variabel bebas yang
berhubungan terhadap nyeri lutut yaitu masa kerja lebih dari 5 tahun

Tabel 2. Analisis Multivariat Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri Lutut


Variable Crude OR Adj OR p 95% CI
Posisi Kerja Jongkok 7,36 -

Lama Jongkok Diatas median (> 109 menit) 2,76 2,59 0,109 0,611 11,054

Usia >= 40 tahun 23,19 3,35 0,427 0,169 66,615

Pendidikan Dibawah SMA 2,98 0,55 0,474 0,105 2,850

Masa kerja 6-10 tahun 9,04 7,351 0,027 1,258 42,955


Masa Kerja > 10 tahun 51,86 26,09 0,036 1,243 547,58

Beban Angkat LI Pakan Rumput 7,36 -


Beban Angkat LI Pakan Konsentrat 7,36 -

Pembahasan
Keluhan nyeri lutut merupakan salah satu keluhan muskuloskeletal yang banyak
terjadi pada pekerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi nyeri
lutut pada peternak sapi. Hasilnya didapatkan prevalensi sebesar 88% peternak
sapi mengeluhkan nyeri pada lutut dalam satu minggu terakhir.
Prevalensi nyeri yang timbul akan berbeda tergantung dari pajanan yang dialami
oleh pekerja. Pada penelitian Park JH, et al pada peternak sapi di provinsi
Gyeonggi – Korea Selatan didapatkan prevalensi nyeri pada ekstrimitas bawah
sebesar 11,7%, yaitu nyeri pada kaki dan lutut (13). Penelitian lain pada peternak
sapi perah di Swedia melaporkan keluhan nyeri pada lutut pekerja sebanyak 40-
41% (14). Perbedaan prevalensi dengan penelitian ini karena adanya perbedaan
dari jenis peternakan dan cara pengambilan data. Peternakan di Korea Selatan
dan Swedia menggunakan model peternakan tipe parlor, sedangkan penelitian
ini dilakukan pada model peternakan tipe stanchion. Data pada penelitian di
Korea Selatan dan Swedia menggunakan kuesioner Nordic untuk menilai
keluhan musculoskeletal. Sedangkan penelitian ini menggunakan Kuesioner
KOOS untuk menilai keluhan nyeri lutut. Penelitian di Korea kuesioner diisi di
pusat kesehatan kerja korea (KOSHA) sehingga angka prevalensi yang
didapatkan lebih kecil mungkin dikarenakan responden yang datang mengisi
kuesioner adalah responden yang sehat
Tingkat nyeri lutut responden dinilai secara subyektif dengan menggunakan
kuesioner KOOS (Knee Injury and Osteoarthritis Outcome Score) dengan
menjawab pertanyaan terkait gangguan pada lutut dalam 1 minggu terakhir. Dari
hasil kuesioner diketahui 88% responden memiliki keluhan nyeri lutut. Sebagian
besar responden (98 orang) mengeluhkan nyeri lutut ringan yaitu skor KOOS
antara 99 – 67 dan didapatkan 5 orang responden mengeluhkan nyeri lutut
sedang, yaitu dengan skor KOOS 65, 64, 61, 60 dan 40. Tidak ada responden
yang mengeluhkan nyeri lutut berat.
Subskala Aktivitas Hidup pada kuesioner KOOS menggambarkan gangguan
nyeri lutut terhadap aktivitas sehari-hari responden. Terdapat aktivitas yang
dikeluhkan oleh responden yaitu nyeri lutut saat buang air. 45 orang responden
mengeluhkan nyeri ringan pada lutut, 22 orang mengeluhkan nyeri sedang, dan
1 orang mengeluhkan nyeri berat (sulit) untuk melakukan aktivitas tersebut.
Sebagian besar responden tidak menyebutkan adanya gangguan terhadap
aktivitas seperti naik turun tangga, berdiri tegak, berjalan, naik kendaraan,
berbelanja, memasang dan melepas sepatu, aktivitas kamar mandi, duduk dan
aktivitas lainnya dengan lutut menekuk.
Pada subskala Tingkat Kualitas Hidup ditanyakan pada responden apakah nyeri
lutut yang dialami menyebabkan responden mengurangi aktivitas. Dari 117
responden, 56 orang menjawab tidak mengurangi aktivitas, 48 orang sedikit
mengurangi aktivitas dan 15 orang mengurangi aktivitas dengan beristirahat
danmngurangi aktivitas fisik. Namun hampir seluruh responden (107 orang)
mengatakan bahwa nyeri lutut yang dialami tidak mengurangi rasa percaya diri
dalam beraktivitas.
Dalam melakukan pemerahan sapi, seluruh pekerja harus melakukan posisi
berjongkok karena posisi ambing sapi yang berada sejajar lutut pekerja. Median
waktu berjongkok dalam satu hari 108 menit 45 detik. Lama pemerahan ini akan
bervariasi tergantung dari jumlah sapi dan kapasitas produksi sapi.
Pekerja melakukan perubahan posisi dari jongkok menjadi setengah jongkok
atau jongkok berjinjit selama melakukan pemerahan sapi. Perubahan posisi
maupun lama dalam posisi tersebut tergantung dari kebiasaan pekerja dan
kondisi kerja.
Dari hasil analisis bivariat, posisi kerja jongkok menyebabkan nyeri lutut pada
88% pekerja (ORc=7,357). Hasil ini sesuai dengan penelitian lainnya yang
menyebutkan bahwa posisi kerja janggal seperti berjongkok dan lama paparan
dapat menyebabkan keluhan nyeri pada lutut.(2,4,15,16)
Faktor Sosiodemografi yang diteliti antara lain usia, jenis kelamin, status gizi,
pendidikan, kebiasaan merokok dan kebiasaan olah raga. Dari analisis bivariat
usia diatas 40 tahun terbukti sebagai faktor yang berhubungan dengan nyeri lutut
dengan dengan nilai ORc=23,189 (95% CI 2,916-184,39; p= 0,003). Hal ini sesuai
dengan penelitian lain yang menyebutkan bahwa pertambahan usia akan
menyebabkan perubahan pada strukur tulang dan sendi serta peningkatan
terhadap ambang nyeri.(1,3,17). Dapat disarankan untuk mengurangi work load
bagi pekerja dengan usia diatas 40 tahun.
Pada analisis bivariat, jenis kelamin perempuan tidak memiliki hubungan
bermakna secara statistik dengan keluhan nyeri lutut. Hal ini berbeda dengan
penelitian penelitian oleh Miranda et al menemukan perempuan lebih berisiko
memiliki keluhan nyeri lutut dibanding laki-laki (OR=1,6).(18) Perbedaan hasil
yang didapat pada penelitian ini mungkin disebabkan jumlah pekerja perempuan
yang sangat sedikit. Hanya 3 orang pekerja perempuan terlibat pada penelitian
ini dimana ketiganya baru bekerja selama 6 bulan sebagai pemerah sapi. Namun
seluruh pekerja perempuan mengeluhkan nyeri lutut yang tidak ada sebelum
bekerja sebagai pemerah sapi.
Status gizi obesitas tidak memiliki hubungan hubungan bermakna secara statistik
dengan keluhan nyeri lutut. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian lain yang
menyatakan bahwa obesitas merupakan faktor risiko kuat timbulnya penyakit
sendi lutut salah satunya osteoarthritis. Studi di Chingford menunjukan bahwa
setiap peningkatan 2 unit Indeks Massa Tubuh (IMT), OR Osteoarthritis lutut
secara radiografik akan meningkat sebesar 1,36 poin.(19) Hal ini mungkin
disebabkan jumlah pekerja obesitas yang sedikit, hanya terdapat 4 orang pekerja
yang mengalami obesitas. Dari ke empat orang tersebut, 3 orang pekerja
memiliki keluhan nyeri lutut yang berarti 75 % pekerja dengan obesitas
mengalami nyeri lutut.
Lebih dari separuh responden memiliki pendidikan dibawah SMA/Setara. Hasil
analisis bivariat tidak menunjukan hubungan yang bermakna nyeri lutut dengan
pendidikan. Beberapa penelitian memiliki hasil yang berbeda-beda tentang
hubungan pendidikan dengan nyeri lutut. Study cohort yang dilakukan oleh
Felson DT et al mengenai AO Lutut dan Pekerjaan yang membutuhkan fleksi
sudut lutur, tidak ditemukan hubungan antara pendidikan dengan OA lutut (20).
Di korea, prevalensi nyeri pada lutut lebih tinggi pada pendidikan pekerja dibawah
SMA, namun seperti penelitian ini, tidak didapatkan hubungan antara pendidikan
dengan nyeri lutut.(13)
Sebagian besar responden pada penelitian ini merupakan perokok (97,4%). Hasil
analisis bivariat tidak menunjukan hubungan yang bermakna antara kebiasaan
merokok dengan nyeri lutut. Beberapa penelitian memiliki hasil yang berbeda-
beda tentang hubungan merokok dengan nyeri lutut. Penelitian Miranda et al
menunjukan peningkatan risiko nyeri lutut pada perokok (OR= 1.3) (18).
Sedangkan penelitian lain ada yang menemukan efek protektif merokok terhadap
kartilago. (21,22). Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan
merokok dengan keluhan nyeri lutut.
Sebagian besar responden memiliki kebiasaan olahraga yang buruk (94,9%).
Hanya 6 orang pekerja yang dalam 6 bulan terakhir secara rutin melakukan olah
raga seminggu 2 kali selama minimal 30 menit. Pada analisis bivariat kebiasaan
olahraga tidak memiliki hubungan bermakna dengan nyeri lutut. Efek aktivitas
fisik seperti olahraga terhadap sendi lutut masih belum jelas. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa olahraga seperti renang, bersepeda memberikan efek
protektif terhadap sendi lutut karena dapat menguatkan struktur sendi dan
meningkatkan aliran darah. (23,24). Namun terdapat penelitian lain yang
menyebutkan bahwa gerakan-gerakan olahraga tertentu seperti berlari dan
angkat berat dapat menyebabkan kerusakan pada sendi patellofemoral,
tergantung dari intensitas dan lamanya aktivitas. (18,25)
Faktor Sosiookupasi yang diteliti antara lain masa kerja dan beban angkat. Lebih
dari separuh responden telah bekerja sebagai pemerah sapi selama >10 tahun
(57,3%). Dari hasil analisis bivariat ditemukan bahwa masa kerja memiliki
hubungan yang bermakna dengan keluhan nyeri lutut (ORc=51,86). Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa semakin lama paparan
sendi lutut terhadap faktor-faktor penyebab, maka risiko timbulnya nyeri lutut pun
akan semakin besar.(18,25–27)
Masa kerja merupakan faktor yang dominan berhubungan dengan nyeri lutut
yang dialami oleh responden, yaitu untuk responden dengan masa kerja 6-10
tahun, ORA sebesar 7.35 (95% CI 1.25-42.95, p=0.027) dan masa kerja >10
tahun dengan ORA sebesar 26,09 (95% CI 1.24-547.59, p=0.036). Penelitian oleh
Sandmark (2000) menemukan bahwa pekerja yang melakukan pekerjaan yang
banyak membebani sendi lutut dengan masa kerja lebih dari 10 tahun memiliki
risiko yang lebih besar untuk timbul osteoarthritis lutut. Penelitian tersebut juga
menyebutkan penggunaan repetitive sendi lutut dalam jangka waktu yang lama
berhubungan dengan keluhan pada lutut.(25).
Penelitian ini menujukan bahwa masa kerja lebih dari 5 tahun memiliki hubungan
paling besar dengan keluhan nyeri lutut. Beberapa cara untuk mengurangi risiko
yaitu melakukan rotasi kerja ke bagian lain dengan melakukan analisa risiko pada
bagian yang akan dituju, serta dengan mengubah desain tempat kerja yang lebih
ergonomis. Selain itu dapat diberikan alat bantu saat melakukan pemerahan
seperti tempat duduk untuk mengurangi kompresi pada lutut pekerja
Pekerjaan sebagai pemerah sapi termasuk pekerjaan yang memiliki load beban
yang tinggi. Beban angkat ini terbagi atas mengangkat kaleng hasil perahan susu
sapi dalam dua kali siklus pemerahan, dan mengangkat pakan sapi yaitu 2 kali
pakan rumput dan 1 kali pakan konsentrat untuk tiap-tiap sapi.

Tabel 3. Beban Angkat Pemerah Sapi


Recommended Range Lifting
No Beban Angkat
Weight Limit (RWL) Index (LI)
1 Pakan Rumput 1,9 Kg 5,26 - 15,79
2 Pakan Konsentrat 15,6 Kg 3,21 - 6,41
3 Kaleng Susu 18,6 Kg 0,54 - 2,42

Hasil analisis bivariat didapatkan bahwa beban angkat yang memiliki hubungan
dengan keluhan nyeri lutut adalah LI pakan rumput dan LI pakan konsentrat
(ORc=7,36). Pada penelitian ini ditemukan LI pada pakan rumput dan pakan
konsentrat melebihi RWL, yang akan meningkatkan risiko cidera
muskuloskeletal. Hal ini sesuai dengan literature bahwa beban berlebihan pada
sendi lutut menjadi salah satu faktor risiko timbulnya nyeri lutut.(18,25)
Menurut penelitian Cooper et al (1994), pekerjaan mengangkat beban yang berat
berisiko mengalami penyakit sendi lutut seperti osteoarthritis, dan akan lebih
meningkat apabila pekerjaan tersebut juga melibatkan posisi berjongkok (OR 5,4;
95% CI 1,4-21.0). Timbulnya risiko ini disebabkan oleh mekanisme kerusakan
kartilago dan menisci akibat peningkatan tekanan pada sendi lutut karena beban
yang berat.(28)
Tingginya beban angkat yang harus dikerjakan oleh pemerah sapi merupakan
bagian dari tuntutan pekerjaan.. Untuk beban angkat ini, dapat dilakukan
modifikasi dengan mengurangi ukuran cerangka pakan, memberikan alat bantu
angkat seperti gerobak serta mengubah cara angkat dengan memperbaiki posisi
dan jarak antara pakan dengan sapi

Kesimpulan
Prevalensi keluhan nyeri lutut pada peternak sapi perah di provinsi Jawa Barat
sebesar 88 % dengan 84% mengalami nyeri lutut ringan dan 4% mengalami nyeri
lutut sedang. Tidak ada yang mengalami nyeri lutut berat. Pada analisa bivariat
didapatkan hubungan antara posisi kerja berjongkok dan lama berjongkok lebih
dari 109 menit dengan nyeri lutut pada peternak sapi perah di Jawa Barat. Faktor
sosiodemografik yang berhubungan dengan timbulnya nyeri lutut pada peternak
sapi perah di Jawa Barat adalah usia peternak diatas 40 tahun dan faktor
sosiookupasi yang berhubungan dengan timbulnya nyeri lutut pada peternak sapi
perah di Jawa Barat adalah masa kerja lebih dari 5 tahun dan beban angkat
pakan rumput dan pakan konsentrat diatas Lifting Index. Pada analisa multivariat
didapatkan masa kerja lebih dari 5 tahun merupakan faktor determinan yang
berhubungan dengan nyeri lutut pada pemerah sapi.
Saran
Saran bagi pemerintah dalam hal ini UPTD BPT-SP HPT Cikole agar
mengembangkan standar kerja aman untuk mencegah timbulnya penyakit akibat
kerja pada peternak sapi serta memberikan pelayanan kesehatan kerja kepada
peternak sapi di bawah binaannya melalui kerjasama dengan puskesmas
kecamatan Lembang.
Untuk mengurangi paparan terhadap faktor risiko perlu alat bantu kerja seperti
tempat duduk dalam melakukan pemerahan untuk mengurangi nyeri lutut yang
dialami peternak sapi, melakukan rotasi antara unit kerja untuk mengurangi
pajanan faktor risiko, serta memperbaiki cara angkat, jarak angkat, frekuensi
angkat dan genggaman pada wadah agar beban angkat sesuai dengan
rekomendasi NIOSH (23 kg).
Saran bagi pekerja agar menggunakan tempat duduk kecil untuk mengurangi
nyeri pada lutut serta menggunakan alat bantu dalam mengangkat beban yang
berat.
Untuk penelitian berikutnya bisa melalukan penelitian dengan program intervensi
terhadap nyeri lutut, dan melakukan penelitian mengenai nyeri lutut pada
peternak sapi tradisional

Daftar Referensi

1. Neogi T, Nevitt MC, Yang M, Curtis JR, Torner J, Felson DT. Consistency of knee
pain: correlates and association with function. Osteoarthritis Cartilage. 2010
Oct;18(10):1250–5.

2. Herquelot E, Bodin J, Petit A, Ha C, Leclerc A, Goldberg M, et al. Long-term


persistence of knee pain and occupational exposure in two large prospective cohorts
of workers. BMC Musculoskelet Disord [Internet]. 2014 Dec 5 [cited 2016 Dec
24];15. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4289228/

3. O’Reilly SC, Muir KR, Doherty M. Occupation and knee pain: a community study.
Osteoarthritis Cartilage. 2000 Mar 1;8(2):78–81.

4. Nonnenmann MW, Anton DC, Gerr F, Yack HJ. Dairy farm worker exposure to
awkward knee posture during milking and feeding tasks. J Occup Environ Hyg.
2010 Aug;7(8):483–9.

5. Pranadji T, Hardono GS. Dinamika Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian. [cited 2017
Feb 11]; Available from:
http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/patanas/4_1_buku_2.pdf

6. Badan Pusat Statistik [Internet]. [cited 2017 Feb 11]. Available from:
https://www.bps.go.id/index.php/publikasi/4296
7. Febriani EM, others. Status pekerjaan pada peternakan sapi perah dan kaitannya
dengan tingkat kesejahteraan. 2014 [cited 2017 Feb 11]; Available from:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/72104

8. KRT. Lucas Meliala. Update on Neuropathic Pain Management [Internet]. 2010


[cited 2016 Dec 29]. Available from:
https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:lZrA8Ys3UBoJ:https://cl
inicalupdates2010.files.wordpress.com/2010/03/prof-
lukas.pdf+&cd=6&hl=en&ct=clnk

9. McAlindon TE. The knee. Best Pract Res Clin Rheumatol. 1999 Jun 1;13(2):329–
44.

10. Kidd BL, Morris VH, Urban L. Pathophysiology of joint pain. Ann Rheum Dis.
1996;55(5):276.

11. Roos EM, Roos HP, Lohmander LS, Ekdahl C, Beynnon BD. Knee Injury and
Osteoarthritis Outcome Score (KOOS)—development of a self-administered
outcome measure. J Orthop Sports Phys Ther. 1998;28(2):88–96.

12. Ergonomic Conditions | NYCAMH [Internet]. [cited 2016 Dec 29]. Available from:
http://farmworkercliniciansmanual.com/index.php/patient-farm-
type/dairy/common-dairy-hazards/ergonomic-conditions/

13. Jh P, Hs L, K L. Work-related musculoskeletal symptoms among dairy farmers in


Gyeonggi Province, Korea. J Prev Med Public Health Yebang Uihakhoe Chi. 2010
2010;43(3):205–12.

14. Kolstrup CL. Work-related musculoskeletal discomfort of dairy farmers and


employed workers. J Occup Med Toxicol Lond Engl. 2012 Nov 15;7(1):23.

15. Punnett L, Wegman DH. Work-related musculoskeletal disorders: the


epidemiologic evidence and the debate. J Electromyogr Kinesiol. 2004
Feb;14(1):13–23.

16. Hwang J, Kong Y-K, Jung M-C. Posture evaluations of tethering and loose-housing
systems in dairy farms. Appl Ergon. 2010 Dec;42(1):1–8.

17. Adebusoye. (n.d.). Magnitude of knee osteoarthritis and associated risk factors
among adult patients presenting in a family practice clinic in Nigeria. Retrieved
December 25, 2016, from
http://www.jmedtropics.org/article.asp?issn=22767096;year=2013;volume=15;issu
e=2;spage=144;epage=150;aulast=Adebusoye

18. Miranda H, Viikari-Juntura E, Martikainen R, Riihimäki H. A prospective study on


knee pain and its risk factors. Osteoarthritis Cartilage. 2002 Aug 1;10(8):623–30.

19. Hart DJ, Doyle DV, Spector TD. Incidence and risk factors for radiographic knee
osteoarthritis in middle-aged women: the Chingford Study. Arthritis Rheum. 1999
Jan;42(1):17–24.
20. Dt F, Mt H, A N, J B, G G, Pw W, et al. Occupational physical demands, knee
bending, and knee osteoarthritis: results from the Framingham Study. J Rheumatol.
1991 Oct;18(10):1587–92.

21. Amin S, Niu J, Guermazi A, Grigoryan M, Hunter DJ, Clancy M, et al. Cigarette
smoking and the risk for cartilage loss and knee pain in men with knee osteoarthritis.
Ann Rheum Dis. 2007 Jan;66(1):18–22.

22. Felson DT, Anderson JJ, Naimark A, Hannan MT, Kannel WB, Meenan RF. Does
smoking protect against osteoarthritis? Arthritis Rheumatol. 1989;32(2):166–172.

23. Flandry F, Hommel G. Normal anatomy and biomechanics of the knee. Sports Med
Arthrosc Rev. 2011 Jun;19(2):82–92.

24. Urquhart DM, Tobing JFL, Hanna FS, Berry P, Wluka AE, Ding C, et al. What Is
the Effect of Physical Activity on the Knee Joint? A Systematic Review: Med Sci
Sports Exerc. 2011 Mar;43(3):432–42.

25. Sandmark H, Hogstedt C, Vingård E. Primary osteoarthrosis of the knee in men and
women as a result of lifelong physical load from work. Scand J Work Environ
Health. 2000;26(1):20–5.

26. Bergenudd H, Nilsson B, Lindgärde F. Knee pain in middle age and its relationship
to occupational work load and psychosocial factors. Clin Orthop. 1989
Aug;(245):210–5.

27. Klußmann A, Gebhardt H, Liebers F, von Engelhardt LV, Dávid A, Bouillon B, et


al. Individual and occupational risk factors for knee osteoarthritis – Study protocol
of a case control study. BMC Musculoskelet Disord. 2008;9:26.

28. Cooper C, McAlindon T, Coggon D, Egger P, Dieppe P. Occupational activity and


osteoarthritis of the knee. Ann Rheum Dis. 1994 Feb 1;53(2):90–3.

Anda mungkin juga menyukai