Anda di halaman 1dari 19

Panduan Praktik Klinis

Dermatomikosis

Kode ICD-10: L111.9

RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang


2019

ii
Versi Dokumen

Draft PPK versi ke- 2

Last updated pada tanggal: Februari 2019

ii
Lembar Pengesahan

Panduan Praktik Klinis


Dermatomikosis

telah membaca dan menyetujui

Kepala Departemen Kepala Divisi


Dermatologi dan Venereologi Dermatologi Infeksi

DR. Dr. Yuli Kurniawati, Sp.KK(K), DR. Dr. Rusmawardiana, Sp.KK (K),
FINSDV, FAADV FINSDV, FAADV

telah disahkan di Palembang, pada tanggal 4 Februari 2019


oleh:

dr . Mohammad Syahril, SpP, MPH


Direktur Utama

ii
Tim Penyusun

Pengarah
Direktur Utama dr . Mohammad Syahril, SpP, MPH
Direktur Medik dan Keperawatan dr. Hj. Zubaidah, SpP, MARS
Tim Penyusun dan Telaah
Ketua Divisi DR. Dr. Rusmawardiana, Sp.KK(K), FINSDV,
Dermatologi Alergo Imunologi FAADV

Staf Divisi DR. Dr. Raden Pamudji, Sp.KK, FINSDV, FAADV


Dr. Fifa Argentina, Sp. KK, FINSDV

Panduan Praktik Klinis – RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang iii


Daftar Isi

Lembar Pengesahan ........................................................................................................................... iii


Tim Penyusun......................................................................................................................................iii
Daftar Isi .............................................................................................................................................. iv
Daftar Singkatan...................................................................................................................................v
Pendahuluan ........................................................................................................................................ 1
Metode Penyusunan ........................................................................................................................... 2
Isi............................................................................................................................................................ 3
1. Definisi ......................................................................................................................................3
2. Kriteria diagnostik ..................................................................................................................3
3. Pemeriksaan penunjang .........................................................................................................6
4. Penatalaksanaan ......................................................................................................................6
5. Diagnosis banding...................................................................................................................8
6. Edukasi .....................................................................................................................................9
7. Prognosis ..................................................................................................................................9
8. Kepustakaan.............................................................................................................................9
Lampiran 1. ..........................................................................................................................................12

Panduan Praktik Klinis – RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang iv


Daftar Singkatan

CPG Clinical Practice Guidelines


EBM Evidence-based Medicine
ICD International Classification of Disease
PERDOSKI Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
PNPK Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
PPK Panduan Praktik Klinis
OE Onikomikosis Endoniks
ODT Onikomikosis Distrofik Totalis
OSDL Onikomikosis Subungual Distal Lateral
OSP Onikomikosis Superfisial Putih
OSPr Onikomikosis Subungual Proksimal

Panduan Praktik Klinis – RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang v


Pendahuluan

Dermatomikosis merupakan penyakit jamur pada kulit yang disebabkan oleh dermatofita
dan beberapa jamur oportunistik seperti Malasezzia, Candida (kecuali C. albicans),
Trichosporon, Rhodutorula, Cryptococcus atau Aspergillus, Geotrichum, Alternaria, dan lainnya.
Berdasarkan lingkungan hidupnya, dermatomikosis terbagi menjadi tiga golongan: (1)
superfisial, yang berkembang pada stratum corneum, rambut, kuku, (2) subkutaneus, yang
berkembang pada dermis dan/atau jaringan subkutan, dan (3) deep/systemic, yang dapat
menyebar melalui hematogen serta menyebabkan infeksi oportunistik pada host
immunocompromised. Mikosis superfisial juga dibagi menjadi dua, yaitu dermatofitosis dan
non dermatofitosis. Dermatofitosis merupakan infeksi jamur dermatofita (microsporum,
trichophyton, dan epidermophyton) yang menyerang epidermis bagian superfisial (stratum
korneum), kuku dan rambut. Dermatofitosis terdiri dari tinea capitis, tinea barbae, tinea
cruris, tinea pedis et manum, tinea unguium dan tinea corporis. Sedangkan non
dermatofitosis terdiri dari pitiriasis versikolor, piedra hitam, piedra putih, tinea nigra
palmaris, otomikosis dan keratomikosis.

Panduan Praktik Klinis – RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang 1


Metode Penyusunan

Panduan praktik klinis (PPK) ini disusun berdasarkan acuan pada Pedoman nasional pelayanan
kedokteran (PNPK) yang terbaru dan telah disahkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Apabila PNPK tidak tersedia, maka PPK dapat dibuat berdasarkan Clinical Practice Guidelines
(CPG) terbaru dari negara/institusi kesehatan tertentu atau organisasi profesi Perhimpunan
Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (PERDOSKI) dan kolegium Dermatologi dan Venereologi,
serta diadaptasi mengikuti kaidah evidence-based CPG. Apabila PNPK/CPG tidak tersedia, maka
PPK dapat didasarkan pada summaries of review yang berbasis Evidence-based Medicine (EBM)
seperti yang terdapat pada Dynamed®.

Jika semua acuan di atas tidak tersedia, maka penyusunan PPK dapat didasarkan pada dokumen
berikut, dengan mencantumkan sumber sitasi pada pernyataan yang terkait:
1. Systematic Review (lampirkan strategi pencarian dan telaah kritis)
2. Primary studies (lampirkan strategi pencarian dan telaah kritis)
3. Konsensus, pedoman, atau panduan yang dikeluarkan resmi oleh organisasi profesi

Penyusunan PPK ini dilakukan dengan mempertimbangkan sumber daya yang tersedia di
RSMH meliputi:
1. Alat medis (diagnostik dan terapeutik) dan kompetensi yang tersedia di RSMH
2. Ketersediaan dan restriksi obat di Formularium RSMH dan Formularium Nasional
3. Pagu pembiayaan BPJS untuk RSMH

PPK ini akan ditinjau kembali dan diperbaharui (jika diperlukan) sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun sejak disahkan, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran.

Panduan Praktik Klinis – RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang 2


Isi

1. Definisi

Merupakan penyakit infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur kelompok
dermatofita (Trichophyton sp., Epidermophyton sp. dan Microsporum sp).1 Terminologi
“tinea” atau ringworm secara tepat menggambarkan dermatomikosis, dan dibedakan
berdasarkan lokasi anatomi infeksi.
Klasifikasi menurut lokasi:
- Tinea kapitis (ICD 10: B35.0)
- Tinea korporis (ICD 10: B35.4)
- Tinea kruris (ICD 10: B35.6)
- Tinea pedis (ICD 10: B35.3)
- Tinea manum (ICD 10: B35.2)
- Tinea unguium (ICD 10: B35.1)
- Tinea imbrikata (ICD 10: B35.5)

2. Kriteria diagnostik

Klinis
1. Tinea kapitis
Terdapat tanda kardinal untuk menegakkan diagnosis tinea kapitis2:
- Populasi risiko tinggi
- Terdapat kerion atau gejala klinis yang khas berupa skuama tipikal, alopesia dan
pembesaran kelenjar getah bening.
Tanda kardinal tersebut merupakan faktor prediksi kuat untuk tinea kapitis.2 (B,2)
Anamnesis : gatal, kulit kepala berisisik, alopesia.3
Pemeriksaan fisik : bergantung pada etiologinya.
- Noninflammatory, human, atau epidemic type (“grey patch”)
Inflamasi minimal, rambut pada daerah terkena berubah warna menjadi abu-abu
dan tidak berkilat, rambut mudah patah di atas permukaan skalp. Lesi tampak
berskuama, hiperkeratosis, dan berbatas tegas karena rambut yang patah.
Berfluoresensi hijau dengan lampu Wood.1
- Inflammatory type, kerion
Biasa disebabkan oleh patogen zoofilik atau geofilik. Spektrum klinis mulai dari
folikulitis pustular hingga furunkel atau kerion. Sering terjadi alopesia sikatrisial.1
Lesi biasanya gatal, dapat disertai nyeri dan limfadenopati servikalis posterior.
Fluoresensi lampu Wood dapat positif pada spesies tertentu.1

Panduan Praktik Klinis – RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang 3


- “Black dot”
Disebabkan oleh organisme endotriks antropofilik. Rambut mudah patah pada
permukaan skalp, meninggalkan kumpulan titik hitam pada daerah alopesia (black
dot). Kadang masih terdapat sisa rambut normal di antara alopesia. Skuama difus
juga umum ditemui.1
- Favus
Bentuk yang berat dan kronis berupa plak eritematosa perifolikular dengan
skuama. Awalnya berbentuk papul kuning kemerahan yang kemudian
membentuk krusta tebal berwarna kekuningan (skutula). Skutula dapat
berkonfluens membentuk plak besar dengan mousy odor. Plak dapat meluas dan
meninggalkan area sentral yang atrofi dan alopesia.3

2. Tinea korporis
Anamnesis : ruam yang gatal di badan, ekstremitas atau wajah.4
Pemeriksaan fisik :imengenai kulit berambut halus, keluhan gatal terutama bila
berkeringat, dan secara klinis tampak lesi berbatas tegas, polisiklik, tepi aktif karena tanda
radang lebih jelas, dan polimorfi yang terdiri atas eritema, skuama, dan kadang papul dan
vesikel di tepi, normal di tengah (central healing).1,4

3. Tinea kruris
Anamnesis :Iruam kemerahan yang gatal di paha bagian atas dan inguinal.
Pemeriksaan fisik :ilesi serupa tinea korporis berupa plak anular berbatas tegas
dengan tepi meninggi yang dapat pula disertai papul dan vesikel. Terletak di daerah
inguinal, dapat meluas ke suprapubis, perineum, perianal dan bokong. Area genital dan
skrotum dapat terkena pada pasien tertentu. Sering disertai gatal dengan maserasi atau
infeksi sekunder.1

4. Tinea pedis
Anamnesis : gatal di kaki terutama sela-sela jari. Kulit kaki bersisik, basah dan
Iimengelupas.5
Pemeriksaan fisik :
- Tipe interdigital (chronic intertriginous type)
Bentuk klinis yang paling banyak dijumpai. Terdapat skuama, maserasi dan
eritema pada daerah interdigital dan subdigital kaki, terutama pada tiga jari
lateral. Pada kondisi tertentu, infeksi dapat menyebar ke telapak kaki yang
berdekatan dan bagian dorsum pedis. Oklusi dan ko-infeksi dengan bakteri dapat

Panduan Praktik Klinis – RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang 4


menyebabkan maserasi, pruritus, dan malodor (dermatofitosis kompleks atau
athlete’s foot).1,5
- Tipe hiperkeratotik kronik
Klinis tampak skuama difus atau setempat, bilateral, pada kulit yang tebal (telapak
kaki, lateral dan medial kaki), dikenal sebagai “moccasin-type.” Dapat timbul
sedikit vesikel, meninggalkan skuama kolaret dengan diameter kurang dari 2 mm.
Tinea manum unilateral umumnya berhubungan dengan tinea pedis
hiperkeratotik sehingga terjadi “two feet-one hand syndrome”.1,5
- Tipe vesikobulosa
Klinis tampak vesikel tegang dengan diameter lebih dari 3 mm, vesikopustul, atau
bula pada kulit tipis telapak kaki dan periplantar. Jarang dilaporkan pada anak-
anak.1,5
- Tipe ulseratif akut
Terjadi ko-infeksi dengan bakteri gram negatif menyebabkan vesikopustul dan
daerah luas dengan ulserasi purulen pada permukaan plantar. Sering diikuti
selulitis, limfangitis, limfadenopati, dan demam.1,5

5. Tinea manum
Biasanya unilateral, terdapat 2 bentuk:
- Dishidrotik: lesi segmental atau anular berupa vesikel dengan skuama di tepi pada
telapak tangan,jari tangan, dan tepi lateral tangan.1
- Hiperkeratotik: vesikel mengering dan membentuk lesi sirkular atau iregular,
eritematosa, dengan skuama difus. Garis garis tangan menjadi semakin jelas. Lesi
kronik dapat mengenai seluruh telapak tangan dan jari disertai fisur.1

6. Tinea unguium
Onikomikosis merujuk pada semua infeksi pada kuku yang disebabkan oleh jamur
dermatofita, jamur nondermatofita, atau ragi (yeasts).1 Dapat mengenai kuku tangan
maupun kuku kaki, dengan bentuk klinis:1
- Onikomikosis subungual proksimal (OSPr)
- Onikomikosis subungual distal lateral (OSDL)
- Onikomikosis superfisial putih (OSP)
- Onikomikosis endoniks (OE)
- Onikomikosis distrofik totalis (ODT)
Klinis dapat ditemui distrofi, hiperkeratosis, onikolisis, debris subungual, perubahan
warna kuku, dengan lokasi sesuai bentuk klinis.1

Panduan Praktik Klinis – RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang 5


7. Tinea imbrikata
Penyakit ditandai dengan lapisan stratum korneum terlepas dengan bagian bebasnya
menghadap sentrum lesi. Terbentuk lingkaran konsentris tersusun seperti susunan
genting. Bila kronis, peradangan sangat ringan dan asimtomatik.Tidak pernah
mengenai rambut.

3. Pemeriksaan penunjang2,4

a) Pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit atau kuku menggunakan mikroskop dan
KOH 20%: tampak hifa panjang dan atau artrospora.6,7 (A,1) Pengambilan spesimen
pada tinea kapitis dapat dilakukan dengan mencabut rambut, menggunakan skalpel
untuk mengambil rambut dan skuama, menggunakan swab (untuk kerion) atau
menggunakan cytobrush.1,8,9 (B,2) Pengambilan sampel terbaik di bagian tepi lesi.
b) Kultur terbaik dengan agar Sabouraud plus (Mycosel, Mycobiotic): pada suhu 280C
selama 1-4 minggu (bila dihubungkan dengan pengobatan, kultur tidak harus selalu
dikerjakan kecuali pada tinea unguium).6,7 (A,1)
c) Lampu Wood hanya berfluoresensi pada tinea kapitis yang disebabkan oleh
Microsposrum spp. (kecuali M.gypsium).2 (D,5*)

4. Penatalaksanaan

Nonmedikamentosa
1. Menghindari dan mengeliminasi agen penyebab
2. Mencegah penularan

Medikamentosa
Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut.
Tinea kapitis
1. Topikal
Tidak disarankan bila hanya terapi topikal saja.2 (B,2)
Rambut dicuci dengan sampo antimikotik: selenium sulfida 1% dan 2,5% 2-4
kali/minggu10 (B,2) atau sampo ketokonazol 2% 2 hari sekali selama 2-4 minggu8 (B,2)
2. Sistemik
Spesies Microsporum
Obat pilihan:
- Griseofulvin fine particle/microsize 20-25 mg/kgBB/hari dan ultramicrosize 10-15
mg/kgBB/hari selama 8 minggu.10-11 (A,1)
Alternatif:
- Itrakonazol 50-100 mg/hari atau 5 mg/kgBB/hari selama 6 minggu.9,11 (A,1)

Panduan Praktik Klinis – RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang 6


- Terbinafin 62,5 mg/hari untuk BB 10-20 kg, 125 mg untuk BB 20-40 kg dan 250
mg/hari untuk BB >40 kg selama 4 minggu.10-11 (A,1)
Spesies Trichophyton:
Obat pilihan:
- Terbinafin 62,5 mg/hari untuk BB 10-20 kg, 125 mg untuk BB 20-40 kg dan 250
mg/hari untuk BB >40 kg selama 2-4 minggu10-11 (A,1)
Alternatif :
- Griseofulvin 8 minggu9-10 (A,1)
- Itrakonazol 2 minggu11-12 (A,1)
- Flukonazol 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu11-12 (B,1)
Tinea korporis dan kruris
1. Topikal:
Obat pilihan:
- Golongan alilamin (krim terbinafin, butenafin) sekali sehari selama 1-2 minggu.13
(A,1)
Alternatif
- Golongan azol: krim mikonazol, ketokonazol, klotrimazol 2 kali sehari selama 4-6
minggu.14-15 (A,1)
2. Sistemik:
Diberikan bila lesi kronik, luas, atau sesuai indikasi
Obat pilihan:
- Terbinafin oral 1x250 mg/hari (hingga klinis membaik dan hasil pemeriksaan
laboratorium negatif) selama 2 minggu.5,18 (A,1)
Alternatif:
- Itrakonazol 2x100 mg/hari selama 2 minggu15,18 (A,1)
- Griseofulvin oral 500 mg/hari atau 10-25 mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu15,18 (A,1)
- Ketokonazol 200 mg/hari15,18 (A,1)
Tinea imbrikata
- Terbinafin 62,5-250 mg/hari (tergantung berat badan) selama 4-6 minggu.15,19 (A,1)
- Griseofulvin microsize 10-20 mg/kgBB/hari selama 6-8 minggu.15,19 (A,1)
Tinea pedis
1. Topikal:
Obat pilihan:
- Golongan alilamin (krim terbinafin, butenafin**) sekali sehari selama 1-2
minggu.13 (A,1)
Alternatif:
- Golongan azol: misalnya, krim mikonazol, ketokonazol, klotrimazol 2 kali sehari

Panduan Praktik Klinis – RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang 7


selama 4-6 minggu.14-15 (A,1)
- Siklopiroksolamin (ciclopirox gel 0,77% atau krim 1%) 2 kali sehari selama 4
minggu untuk tinea pedis dan tinea interdigitalis16-18 (A,1)
2. Sistemik:
Obat pilihan:
- Terbinafin 250 mg/hari selama 2 minggu. Anak-anak 5 mg/kgBB/hari selama 2
minggu.16,19 (A,1)
Alternatif:
- Itrakonazol 2x100 mg/hari selama 3 minggu atau 100 mg/hari selama minggu.15,18,20
(A,1)
Tinea unguium
Obat pilihan:
- Terbinafin 1x250 mg/hari selama 6 minggu untuk kuku tangan dan 12-16 minggu
untuk kuku kaki.21-22 (A,1)
Alternatif:
- Itrakonazol dosis denyut (2x200 mg/hari selama 1 minggu, istirahat 3 minggu)
sebanyak 2 denyut untuk kuku tangan dan 3-4 denyut untuk kuku kaki atau 200
mg/hari selama 2 bulan untuk kuku tangan dan minimal 3 bulan untuk kuku kaki.
21-22 (A,1)

5. Diagnosis banding1,2,6

1. Tinea kapitis
Dermatitis seboroik, psoriasis, dermatitis atopik, liken simpleks kronik, alopesia areata,
trikotilomania, liken plano pilaris1
2. Tinea pedis dan manum
Dermatitis kontak, psoriasis, keratoderma, skabies, pompoliks (eksema dishidrotik)1
3. Tinea korporis
Psoriasis, pitiriasis rosea, Morbus Hansen tipe PB/ MB, eritema anulare centrifugum, tinea
imbrikata, dermatitis numularis1
4. Tinea kruris
Eritrasma, kandidosis, dermatitis intertriginosa, dermatitis seboroik, dermatitis kontak,
psoriasis, lichen simpleks kronis1
5. Tinea unguium
Kandidosis kuku, onikomikosis dengan penyebab lain, onikolisis, 20-nail dystrophy
(trachyonychia), brittle nail, dermatitis kronis, psoriasis, lichen planus1

Panduan Praktik Klinis – RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang 8


6. Edukasi

1. Menjaga kebersihan diri.4,5 (D,5)


2. Mematuhi pengobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi obat.4,5 (D,5)
3. Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat.4,5 (D,5)
4. Pastikan kulit dalam keadaan kering sebelum menutup area yang rentan terinfeksi
jamur.23 (D,5)
5. Gunakan sandal atau sepatu yang lebar dan keringkan jari kaki setelah mandi.5 (D,5)
6. Hindari penggunaan handuk atau pakaian bergantian dengan orang lain. Cuci handuk
yang kemungkinan terkontaminasi.4,5 (D,5)
7. Skrining keluarga2,24 (B,2)
8. Tatalaksana linen infeksius: pakaian, sprei, handuk dan linen lainnya direndam dengan
sodium hipoklorit 2% untuk membunuh jamur2 (C,4) atau menggunakan disinfektan
lain.2 (D,5).

7. Prognosis

- Quo ad vitam : bonam


- Quo ad functionam : bonam
- Quo ad sanationam : bonam

8. Kepustakaan

1. Craddock LN, Schieke SM. Superficial fungal infection. In: Kang S, Amagai M, Bruckner
AL, Enk AH, Margolis DJ, Mcmichael AJ, Orringer JS, editors. Fitzpatrick’s Dematology
in general medicine. Edisi ke-9. New York: Mc Graw-Hill; 2019.h. 909-933.
2. Fuller LC, Barton RC, Mustapa MFM, Proudfoot LE, Punjabi SP, Higgins EM. British
Association of Dermatologists’ guideline for the management of tinea capitis 2014. BJD.
2014;171:454-63.
3. Grigoryan KV, Tollefson MM, Olson MA, Newman CC. Pediatric tinea capitis caused by
Trichophyton violaceum and Trichophyton soudanense in Rochester, Minnesota, United
States. Int J Dermatol. 2019;58(8):912-915.
4. Alter SJ, McDonald MB, Schloemer J, Simon R, Trevino J. Common Child and Adolescent
Cutaneous Infestations and Fungal Infections. Curr Probl Pediatr Adolesc Health Care.
2018;48(1):3-25.
5. Ely JW, Rosenfeld S, Seabury Stone M. Diagnosis and management of tinea infections. Am
Fam Physician. 2014 Nov 15;90(10):702-10.
6. Gupta AK, Mays RR, Versteeg SG, Shear NH, Piguet V. Update on current approaches to
diagnosis and treatment of onychomycosis. Expert Rev Anti Infect Ther. 2018;16(12):929-

Panduan Praktik Klinis – RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang 9


938.
7. Velasquez-Agudelo V, Cardona-Arias JA. Meta-analysis of the utility of culture, biopsy,
and direct KOH examination for the diagnosis of onychomycosis. BMC Infectious Disease.
2017;17(166):1-11.
8. Ghosh SK, Ghosal L, Bhunia D, Ghosal AM. Trends in Tinea Capitis in an Irish Pediatric
Population and a Comparison of Scalp Brushings Versus Scalp Scrapings as Methods of
Investigation. Pediatric Dermatology. 2014;31(5):622.
9. de Hoog GS, Dukik K, Monod M, Packeu A, Stubbe D, Hendrickx M, et al. Toward a Novel
Multilocus Phylogenetic Taxonomy for the Dermatophytes. Mycopathologia. 2017;182(1-
2):5-31.
10. Gupta AK, Drummond-Main C. Meta-analysis of randomized controlled trials comparing
particular dose of griseofulvin and terbinafine for the treatment of tinea capitis. Pediatric
Dermatology. 2013;30(1):1-6
11. Chen X,Jiang X,Yang M,González U,Lin X,Hua X, et al. Systemic antifungal therapy for
tinea capitis in children. Cochrane Data of System Rev. 2016;p. 1-121
12. Hay RJ. Tinea Capitis: Current Status. Mycopathologia. 2017; 182(1): 87–93.
13. Rotta I, Ziegelmann PK, Otuki MF, Riveros BS, Bernardo NLMC, Correr CJ. Efficacy of
Topical Antifungals in The Treatment of Dermatophytosis: A Mixed-Treatment
Comparison Metaanalysis involving 14 Treatments. JAMA Dermatol. 2014;149(3):341-9.
14. Rajagopalan M, Inamadar A, Mittal A, Miskeen AK, Srinivas CR, Sardana K, et al. Expert
Consensus on The Management of Dermatophytosis in India (ECTODERM India). BMC
Dermatol. 2018;18(1):6.
15. Sahoo AK, Mahajan R. Management of tinea corporis, tinea cruris, and tinea pedis: A
comprehensive review. Indian Dermatol Online J. 2016; 7(2): 77–86.
16. Sahni K, Singh S, Dogra S. Newer Topical Treatments in Skin and Nail Dermatophyte
Infections. Indian Dermatol Online J. 2018; 9(3): 149–158.
17. Iorizzo M, Hartmane I, Derveniece A, Mikazans I. Ciclopirox 8% HPCH Nail Lacquer in
the Treatment of Mild-to-Moderate Onychomycosis: A Randomized, Double-Blind
Amorolfine Controlled Study Using a Blinded Evaluator. Skin Appendage Disord. 2016;
1(3): 134–140.
18. Margarido L C. Oral treatments for fungal infections of the skin of the foot. Sao Paulo Med
J. 2014;132(2):127.
19. Veraldi S, Giorgi R, Pontini P, Tadini G, Nazzaro G. Tinea Imbricata in an Italian Child
and Review of the Literature. Mycopathologia. 2015 Dec;180(5-6):353-7.
20. Dias MF, Quaresma-Santos MV, Bernardes-Filho F, Amorim AG, Schechtman RC, Azulay
DR. Update on therapy for superficial mycoses: Review article part I. Anais brasileiros de
dermatologia. 2014;88(5):764-74.

Panduan Praktik Klinis – RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang 10


21. Madan V, Mohd Mustapa MF, Richardson M. British Association of Dermatologists'
guidelines for the management of onychomycosis 2014. British Journal of Dermatology.
2014;171(5):937-58.
22. Zane LT, Chanda S, Coronado D, Del Rosso J.Antifungal agents for onychomycosis: new
treatment strategies to improve safety. Dermatol Online J. 2016;16;22(3):1-10
23. Farag AGA, Hammam MA, Ibrahem RA, Mahfouz RZ, Elnaidany NF, Qutubuddin M, et
al. Epidemiology of dermatophyte infections among school children in Menoufia
Governorate, Egypt. Mycoses. 2018;61(5):321-325.
24. Dessinioti C, Papadogeorgaki E, Athanasopoulou V, Antoniou C, Stratigos AJ. Screening
for asymptomatic scalp carriage in household contacts of patients with tinea capitis during
1997-2011: a retrospective hospital-based study. Mycoses. 2014;57(6):366-70.

Panduan Praktik Klinis – RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang 11


Lampiran 1.

Level of evidence
Derajat Jenis evidence

Ia Evidence merupakan hasil meta-analisis atau sistematik review dari berbagai uji

klinik acak dengan kontrol/kelola (randomized controlled trials)

Ib Evidence berasal dari minimal satu uji klinik acak dengan kontrol/kelola

(randomized controlled trials)

IIa Evidence berasal dari paling sedikit satu uji klinik dengan pembanding, tetapi

tanpa randomisasi

IIb Evidence berasal dari paling sedikit satu hasil penelitian dengan rancangan

quasi-experimental

III Evidence berasal dari penelitian deskriptif non eksperimental seperti misalnya

studi komparatif, studi korelasi, dan studi kasus

IV Evidence berasal dari laporan komite ahli atau opini ataupun pengalaman klinik

dari ahli yang diakui

Sumber: SIGN (Scottish Intercollegiate Guideline Network)

Kategori dari rekomendasi

(US. Preventive Service Task Force)

Level A Suatu penelitian yang memberikan manfaat klinik lebih baik dengan

risiko sedikit

Level B Suatu penelitian yang memberikan manfaat klinik sedikit lebih baik

dengan risiko sedikit

Level C Suatu penelitian yang memberikan manfaat klinik sedikit, dimana

perbandingan antara manfaat dan risiko sama

Level D Suatu penelitian yang tidak mempunyai bukti cukup, kualitas jelek atau

banyak pertentangan

Panduan Praktik Klinis – RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang 12


Level of Evidence dan Peringkat Rekomendasi

LEVEL LITERATUR REKOMENDASI

Ia. Meta-analisis Randomized Clinical Trial A

Ib. Minimal satu Randomized Clinical Trial

IIa. Minimal satu non-Randomized Clinical Trial B

IIb. Studi kohort dan atau kasus kontrol

IIIa. Studi cross – sectional C

IIIb. Seri kasus dan laporan kasus

IV Konsensus dan pendapat ahli

Panduan Praktik Klinis – RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang 13

Anda mungkin juga menyukai