Memaknai Pengorbanan

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 15

MEMAKNAI PENGORBANAN

KHUTBAH PERTAMA

Jamaah Jumat rahimakumullah…

Mari kita tingkatkan ketakwaan kepada Allah


ta’ala dengan ketakwaan yang sebenar-
benarnya; yaitu mengamalkan apa yang
diperintahkan oleh-Nya dan Rasul-Nya
shallallahu ’alaihi wa sallam, serta menjauhi
apa yang dilarang oleh-Nya dan Rasul-Nya
shallallahu ’alaihi wa sallam.

1
Jamaah Jumat yang semoga dimuliakan
Allah…

Beberapa pekan lagi kita akan merayakan


Idhul Adha. Banyak di antara kaum muslimin
yang mampu berlomba-lomba untuk
berkurban. Di sisi lain orang-orang miskin
bersukacita karena akan menyantap daging
yang mungkin hanya sekali dalam setahun hal
itu mereka alami.

Fenomena tumbuh suburnya kesadaran dalam


diri kaum muslimin untuk berkurban tentunya
merupakan suatu hal yang membahagiakan
kita semua. Namun akan lebih
menggembirakan lagi apabila jiwa
pengorbanan tersebut dimaknai dengan benar
dan ditumbuhkembangkan di setiap lini
kehidupan.

Sebab, “pengorbanan di masa sekarang


dipraktikkan dengan amat memilukan. Setiap
lima tahunan, dalam suasana hajat politik
bernama pemilu, hampir niscaya kita disuguhi
drama berdarah berupa pertikaian fisik
2
antarpendukung partai. Di luar itu juga ada
tradisi perang antarsuporter sepakbola, masih
lestarinya tawuran antarsiswa atau antargeng
dan lain-lain. Masih segar pula dalam ingatan
kita, pernah ada pasukan berani mati yang
dibentuk untuk membela tokoh tertentu. Juga
ada cap jempol darah hanya sekadar demi
unjuk kesetiaan terhadap tokoh politik. Mereka
yang tersebut di atas benar-benar siap
mengorbankan apa saja termasuk menyabung
nyawa demi membela harga diri partai, klub
sepakbola, sekolah dan figur tertentu”.

Pertanyaan sederhana yang perlu dilontarkan,


benarkah itu makna pengorbanan yang
dinginkan Islam? Apakah itu tidak
menyimpang dari rel pengorbanan yang telah
digariskan Alquran dan Sunnah. Kemudian,
menempati urutan nomor ke berapakah
pengorbanan untuk agama?

Kaum muslimin dan muslimat yang kami


hormati

3
Tidak ada salahnya kita membuka lembaran
sejarah untuk melihat bagaimana para sahabat
Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam memaknai
pengorbanan dan mengejawantahkan hal itu
dalam kehidupan riil mereka.

Pada suatu siang di awal bulan Syawal tahun 3


Hijriyah di sekitar Gunung Uhud, manakala
pasukan kaum muslimin terdesak dan
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
terperosok ke dalam lubang perangkap yang
digali musuh, kaum musyrikin berbondong-
bondong menyerbu beliau shallallahu ’alaihi
wa sallam. Para sahabat yang bersama beliau,
yang jumlah mereka saat itu amat sedikit,
sadar betul bahaya besar yang sedang
mengancam nyawa Rasul shallallahu ’alaihi
wa sallam. Mereka pun segera menjadikan
tubuh benteng hidup untuk melindungi jiwa
sang kekasih shallallahu ’alaihi wa sallam
dari serbuan ganas kaum musyrikin. Tujuan
utama satu-satunya adalah bagaimana cara
menyelamatkan kehidupan sang Rasul
shallallahu ’alaihi wa sallam yang saat itu
amat terancam. Dan tidak ada di dalam
4
lembaran sejarah peperangan beliau
shallallahu ’alaihi wa sallam manapun kondisi
sebahaya saat itu.

Pasukan berkuda dan tentara kaum musyrikin


dengan beringasnya dan dengan penuh nafsu
berusaha merangsek maju ke depan untuk
menghabisi nyawa musuh terbesar mereka
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.

Di saat itulah panglima besar kaum muslimin


Muhammad bin Abdullah shallallahu ’alaihi
wa sallam menunjukkan kekuatan dan
kehebatannya. Dengan penuh keberanian
bagaikan singa beliau shallallahu ’alaihi wa
sallam menghadang serbuan buas kaum
musyrikin. Beliau dibantu beberapa orang
sahabatnya yang melindungi beliau bagaikan
tegarnya karang yang amat keras dan kokoh di
tengah benturan badai ombak lautan.

Mereka sudah tidak memperdulikan lagi


keselamatan jiwa sendiri. Yang ada di benak
adalah: bagaimana caranya agar tangan-tangan
kotor musuh-musuh Allah tidak lagi
5
menyentuh tubuh Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam.

Saat itu para sahabat habis-habisan


menunjukkan pembelaan dan pengorbanan
mereka, yang hal itu tidak pernah terjadi di
dalam sejarah peperangan manapun di dunia
ini.

Mereka semakin rapat membuat benteng hidup


dengan tubuh, setiap ada celah di benteng itu
karena gugurnya salah seorang dari mereka,
yang dihujani sabetan pedang atau tikaman
tombak orang kafir, saat itu juga celah tersebut
segera ditutup oleh sahabat yang lain.
Demikian kejadian tersebut berulang kali,
dengan penuh ketegaran, mereka menjadikan
tubuh sebagai pagar hidup yang melindungi
sang kekasih; Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam. Hingga saat itu tidak ada
seorangpun di antara kaum musyrikin yang
bisa menyentuh jasad Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam sedikitpun!.

6
Abu Dujanah radhiyallahu ’anhu salah
satu benteng hidup tadi, menjadikan
punggungnya sebagai tameng yang
melindungi Rasul shallallahu ’alaihi
wa sallam dari sabetan pedang, hujan
anak panah dan tombak. Meskipun
puluhan anak panah menancap di
tubuhnya, namun beliau tidak
bergeming sedikitpun dan tidak
menghiraukan sakitnya hujaman
puluhan anak panah yang telah
menancap di tubuhnya. Yang ada di
hatinya saat itu adalah, bagaimana
saya bisa menghindarkan kekasihku
shallallahu ’alaihi wa sallam dari
kejahatan musuh-musuh Allah!

Sebuah potret pengorbanan yang luar


biasa telah ditorehkan oleh para
sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam. Ya, mereka telah memaknai
pengorbanan dengan benar dan
7
bentuknya yang paling tinggi, yakni
pengorbanan dalam membela agama
Allah…

Jamaah Jumat yang dirahmati Allah…

Mungkin ada di antara kita yang bertanya dan


berujar, “Para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam mengorbankan diri mereka untuk
melindungi nyawa Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam. Bagaimana dengan kita
yang hidup sekian belas abad sesudah
wafatnya Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam,
dengan apakah kita mengapresiasikan
pengorbanan untuk agama?”

Allah ta’ala berfirman,

Artinya: “Di antara manusia ada orang yang


mengorbankan dirinya karena mencari

8
keridhaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun
kepada hamba-hamba-Nya”. QS. Al-Baqarah:
207.

Pengorbanan yang hakiki adalah pengorbanan


yang tulus untuk mencari ridha Allah. Dan itu
tentunya amat beragam, salah satu bentuk
terbesarnya: berkorban untuk membela
akidah dan sunnah yang diwariskan
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.

Adalah Imam Ahmad bin Hambal


rahimahullah, seorang ulama besar Islam di
abad ketiga hijriah, mencontohkan pada kita
ketegaran pengorbanan dalam membela akidah
Islam.

Dikisahkan bahwa semasa hidupnya, selama


kurang lebih 34 tahun, beliau mengalami masa
muncul dan tersebarnya doktrin Alquran
adalah makhluk; sebuah ideologi kufur yang
diusung oleh sekte Mu’tazilah dan diamini
secara berturut-turut oleh tiga penguasa saat
itu; al-Ma’mûn, al-Mu’tashim dan al-Wâtsiq.

9
Selama puluhan tahun beliau tetap tegar
mempertahankan akidah yang benar yang
menyatakan bahwa Alquran adalah
Kalamullah bukan makhluk. Selama itu pula
beliau diintimidasi, diancam, bahkan dipenjara
akibat membela akidah yang benar.

Puncaknya, setelah gagal memaksa beliau


untuk menganut doktrin sesat tersebut, dan
berkali-kali mereka dipermalukan akibat kalah
beradu argumentasi dengan beliau, akhirnya
mereka menempuh jalan kekerasan fisik.

Imam Ahmad diseret ke bawah teriknya sinar


matahari, lalu dihadirkan para algojo ahli
cambuk. Tatkala penguasa melihat cambuk-
cambuk yang akan digunakan sudah lama,
diapun memerintahkan untuk didatangkan
cambuk-cambuk yang masih baru.

Dimulailah deraan cambuk pertama, lisan


Imam Ahmad menimpalinya dengan
dzikrullah. Cambukan kedua, ketiga, keempat,
tetap beliau balas dengan lantunan Asma’-
asma’ Allah. Ketika sampai pada cambukan
10
yang kesembilan belas, al-Mu’tashim bangkit
dari tempat duduknya berjalan mendekati
Imam Ahmad dan berkata, “Wahai Ahmad,
apakah rasa sakit telah mematikan jwamu?
Harus dengan apa kamu ingin mengakhiri
hidupmu? Apakah engkau ingin mengalahkan
mereka semua?”

Sementara suara ahlul bid’ah sahut-menyahut


mengompori penguasa, “Wahai khalifah,
bunuh saja dia, bunuh saja dia!”

Al-Mu’tashim melanjutkan, “Kasihanilah


dirimu dan ikutlah denganku! Sesungguhnya
manakala kau mengikutiku, gelar imam akan
tetap kau sandang!?”

Imam Ahmad menjawab, “Wahai Amirul


Mukminin, berikanlah padaku dalil dari
Alquran dan hadits Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam yang membenarkan ideologi yang
paduka anut, saat itulah aku akan mengatakan
apa yang paduka katakan!”

11
Al-Mu’tashim pun kembali lagi ke
singgasananya dan memerintahkan untuk
memperkeras cambukan, sementara darah
turus mengucur deras dari tubuhnya, hingga
akhirnya Imam Ahmad tidak sadarkan diri.

Di saat pingsan, badan Imam Ahmad


dibaringkan di atas tikar milik
seseorang. Tatkala sadar, disodorkan
pada beliau bubur dan air minum.
Namun beliau menolaknya dan
berkata, “Tidak, aku sedang berpuasa
dan aku tidak mau membatalkan
puasaku!”. Lalu beliau menunaikan
shalat Dhuhur berjamaah dengan
muridnya.

12
KHUTBAH KEDUA

Jamaah Jumat rahimakumullah…

Itulah potret pengorbanan yang hakiki;


pengorbanan untuk membela akidah Islam dan
sunnah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam.

Jika di zaman ini, manakala akidah Islam


dinodai dengan doktrin-doktrin kekufuran
serta kesyirikan dan sunnah Rasul shallallahu
’alaihi wa sallam dikotori dengan bid’ah juga
khurafat, lalu masih banyak di antara kaum
muslimin yang adem ayem saja tanpa merasa
terusik sedikitpun, itu menunjukkan bahwa
13
jiwa pengorbanan mereka perlu dipertanyakan
dan ketajaman iman mereka masih perlu
diasah.

Wajib hukumnya bagi kita semua untuk


membela agama Allah sesuai dengan kapasitas
dan kemampuan masing-masing dengan cara
yang bijak, hikmah dan elegan, sesuai dengan
norma-norma yang digariskan Allah dan
Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam.

Semoga khutbah singkat ini bisa menginspirasi


kita semua dan kaum muslimin untuk
meluruskan pemahaman akan makna
pengorbanan, serta membumikannya dalam
kehidupan kita sehari-hari. Amin ya rabbal
‘alamin.

14
15

Anda mungkin juga menyukai