Anda di halaman 1dari 5

Ulil Abshar Abdalla

Ulil Abshar Abdalla, lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren. Pria kelahiran Pati Jawa
Tengah,11 Januari 1967 itu sejak kecil sudah mengenyam pendidikan pondok pesantren
setelah lulus Madrasah di Desa kelahirannya. Ayahya, Kyai Abdullah Rifa'i pengasuh pondok
pesantren Mansajul Ulum Pati, tempat Ulil menimba ilmu. Setelah itu, Pendidikan
menengahnya diselesaikan di Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang
diasuh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz (Ro'is Am PBNU 1999–2004 dan 2004–2009). Pernah
kuliah di Fakultas Syari’at Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), Jakarta dan
sempat mengenyam pendidikan di STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara, Jakarta.
Dia aktif di beberapa lembaga, Ketua Lakpesdam (Lembaga dan Kajian dan
Pengembangan Sumber Daya manusia) Nahdlatul Ulama, Jakarta, Direktur Progam
Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Penasehat Ahli harian Duta
Masyarakat, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Direktur Freedom Institut, Jakarta.
Sebagai pendiri dan koordinator Jaringan Islam Liberal yang sering menyuarakan
Liberalisasi tafsir Islam, Ulil menuai banyak kritik. Atas kiprahnya dalam mengusung
gagasan pemikiran Islam liberal itu, Ulil disebut sebagai pewaris pembaharu pemikiran
Islam, Gus Dur dan Nurcholish Madjid.
Pada awalnya, Ulil dikenal sebagai intelektual muda NU. Pernah menjabat ketua
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Nahdlatul Ulama, Jakarta;
kemudian ia aktif di Institut Studi Informasi (ISAI), Jakarta. Namanya jadi pembicaraan
banyak orang ketika ia mendirikan Jaringan Islam Liberal (JIL) kelompok ini lantang
menyuarakan Pluralisme dan bertujuan menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya,
yakni Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik
yang melindas.
Dalam memimpin JIL Ulil sering dianggap melecehkan Islam, dinilai mengajarkan
kesesatan terhadap masyarakat. Paham Liberalisme yang dianutnya dianggap sebagai produk
Barat. Terlebih karena organisasi yang dipimpinnya dibiayai oleh lembaga-lembaga dari luar
negeri. Pihak JIL tidak keberatan dan mengakui bahwa JIL dibiayai The Asia Fondation dan
sumber-sumber domestik Eropa dan Amerika. Tak Cuma kritik artikelnya dalam sebuah surat
kabar berjudul "Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam" yang dimuat di Harian Kompas 18
Nopember 2002 dipandang oleh Forum Ulama Umat Islam (FUUI) mendiskreditkan Islam.
Gara-gara artikel itu, Ulil divonis mati oleh FUUI.
Vonis mati itu tak membuat Ulil goyah pada pemikiran dan gagasan-gagasannya. Soal
pernika-han beda agama, misalnya ia tidak menentangnya. Bahkan ketika ia ditantang apakah
akan memper-bolehkan jika hal itu terjadi pada anaknya sendiri, ia mengatakan dengan berat
hati akan mengizin-kannya.
Saat ini, pada bulan Agustus 2009 direktur Freedom Institute Jakarta itu telah meraih
gelar S2 sekaligus S3 bidang perbandingan agama setelah empat tahun kuliah di Universitas
Boston, Amerika Serikat, dan mencalonkan diri sebagai kandindat ketua PBNU dalam
Muktamar NU ke-32 di Makassar Sulawesi Selatan. (sumber: PDAT)
Jika kita bicara Ulil Absar Abdalla, pikiran kita langsung tertuju dengan JIL (Jaringan
Islam Liberal). Meskipun pada saat ia tengah mengambil program doktor di Boston dan
melepaskan jabatan sebagai kordinaor JIL, namun nama itu masih melekat pada dirinya
karena memang ialah yang mendirikan dan membesarkan lembaga itu.
Berikut ini kutipan wawancara dengannya dalam situsnya perihal seluk-beluk JIL atau
biasa juga disebut Islib (Islam liberal).
Red: Apa itu Islam Liberal?
Ulil: Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan :
1. Membuka pintu ijtihad pada dimensi Islam. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau
penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Isam
terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau
secara keseluruhan, adalah ancaman Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan
mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam
semua segi, baik segi Muamalah (Interaksi sosial), Ubudiyyah (ritual) maupun Ilahiyah
(teologi).
2. Mengutamakan semangat religioetik bukan makna literal teks. Ijtihat yang
dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat
religioetik Al-Quran dan sunah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan
makna literal teks. Penafiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran
yang berdasarkan semangat religioetik, Islam akan hidup berkembang secara kreatif menjadi
bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
3. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Islam Liberal mendasarkan
diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang
relatif. Sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks
tertentu, terbuka. Karena setiap bentuk penafsiran mengandung kemungki-nan salah, selain
kemungkinan benar, plural, sebab penafsiran keagamaan dalam satu dan lain acara adalah
cermin dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
4. Memihak pada yang minoritas dan tertindas. Islam Liberal berpijak pada penafsiran
Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur
sosial-politik yang mengawetkan ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan
dengan semangat Islam. minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup
minoritas agama, etnik, ras, gender, budaya, politik dan ekonomi.
5. Meyakini kebebasan beragama. Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan
tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal
membenarkan penganiayaan (persekusi) atas suatu pendapat atau kepercayaan.
6. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrowi, otoritas keagamaan dan politik. Islam
Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal
menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat
bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang
tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijaksanaan publik,
tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama
berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselengga-rakan melalui proses konsesus.
Red: Mengapa disebut Islam Liberal?
Ulil: Nama "Islam Liberal" mengembangkan prinsip-prinsip yang kami anut, yaitu
Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang
menindas. ”Liberal" di sini bermakna dua; kebebasan dan pembebasan. Kami percaya bahwa
Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataanya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda
sesuai dengan kebutuhan penafsir-nya. Kami memilih jenis tafsir, dan dengan demikian satu
kata sifat terhadap Islam, yaitu "Liberal". Untuk mewujudkan Islam Liberal, kami bentuk
Jaringan Islam Liberal (JIL).
Red: Mengapa Jaringan Islam Liberal?
Ulil: Tujuan utama kami adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya
kepada masyarakat. Untuk itu kami memilih bentuk jaringan, bukan organisasi
kemasyarakatan, maupun partai politik. JIL adalah wadah yang longgar untuk siapa saja yang
memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal.
Red: Apa misi JIL?
Ulil: Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang Liberal sesuai dengan prinsip-
prinsip yang kami anut, serta menyebarkannya kepada khalayak seluas mungkin.
Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme.
Kami yakin, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang
sehat.
Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.
Red: Apa Kegiatan Pokok JIL?
Ulil: Di samping itu, dipublikasikan, juga beberapa kegiatan pokok Jaringan Islam
Liberal yang sudah dilakukan, di antaranya:
1. Sindikasi penulis Islam Liberal
Maksudnya adalah mengumpulkan tulisan sejumlah penulis yang selama ini dikenal
(atau belum dikenal) oleh publik luas sebagai pembela Pluralisme dan Inklusivisme.
Sindikasi ini akan menyediakan bahan-bahan tulisan yang baik. Dengan adanya "otonomi
daerah", maka peran media lokal makin penting, dan suara-suara keagamaan yang toleran
juga penting untuk disebarkan melalui media masa daerah ini. Setiap minggu, akan
disediakan artikel dan wawancara untuk koran-koran daerah.
2. Talk-show di Kantor berita Radio 68 H.
Talk-Show ini akan mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai
"pendekar Pluralisme dan Inklusivisme" untuk berbicara tentang isu sosial keagamaan di
tanah air. Acara ini akan diselenggarakan setiap minggu, dan disiarkan melalui siaran Radio
Namlapanha di 40 Radio, antara lain; Radio Namlapanha Jakarta, Radio Smart (Menado),
Radio DMS (Maluku), Radio UNISI (Yogyakarta), Radio PTPN (Solo), Radio MARA
(Bandung), Radio Prima FM (Aceh).
3. Penerbitan Buku.
JIL berupaya menerbitkan buku-buku yang bertemakan Pluralisme dan Inklusivisme
agama, baik berupa terjemahan, kumpulan tulisan, maupun penerbitan ulang buku-buku lama
yang masih relevan dengan tema-tema tersebut. Saat ini JIL sudah menerbitkan buku
kumpulan artikel, wawancara, dan diskusi yang diselenggarakan oleh JIL, berjudul wajah
Liberal Islam di Indonesia.
4. Penerbitan Buku Saku.
Untuk kebutuhan pembaca umum, JIL menerbitkan Buku Saku setebal 50-100 halaman
dengan bahasa renyah dan mudah dicerna. Buku Saku ini akan mengulas dan menanggapi
sejumlah isu yang menjadi bahan perdebatan dalam masyarakat. Tentu, tanggapan ini dari
perspektif Islam liberal. Tema-tema itu antara lain: jihad, penerapan syariat Islam, jilbab,
penerapan ajaran "memerintahkan yang baik, dan mencegah yang jahat" (amar ma'ruf nahi
mungkar), dll.
5. Website IslamLib.com.
program ini berawal dari dibukanya milis Islam Liberall (islamLiberal
@yahoogrups.com) yang mendapat respon positif. Ada beberapa anggota umtuk meluaskan
milis ini ke dalam bentuk website yang bisa diakses oleh semua kalangan. Sementara milis
akan tetap dipertahankan untuk kalangan terbatas saja. Semua produk JIL (sindikasi media,
talk show radio, dll) akan dimuat dalam website ini. Web ini juga akan memuat setiap
perkembangan berita, artikel, atau apapun yang berkaitan dengan misi JIL.
6. Iklan Layanan Masyarakat.
Untuk menyebar-kan visi Islam Liberal, JIL memproduksi sejumlah Iklan Layanan
Masyarakat (Publik Service Adver-tisement) dengan tema-tema seputar Pluralisme,
penghargaan atas perbedaan dan pencegahan konflik sosial. Salah satu iklan yang sudah
diproduksi adalah iklan berjudul "Islam Warna-Warni".
7. Diskusi Keislaman.
Melalui kerjasama dengan pihak luar (Universitas, LSM, kelompok mahasiswa,
pesantren dan pihak-pihak lain). JIL menyeleng-garakan sejumlah diskusi dan seminar
mengenai keislaman dan keagamaan secara umum. Termasuk dalam kegiatan ini adalah
diskusi keliling melalui kerjasama yang diadakan dengan kelompok-kelompok mahasiswa di
sejumlah Universitas Diponegoro Semarang, Institut Pertanian Bogor, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dll. Sumber: Tokoh Indonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia).
Beberapa komentar Ulil, baik di media massa, buku, maupun seminar-seminar sering
menghebohkan kalangan Islam, di antaranya:
"Menurut saya, tidak ada yang disebut hukum Tuhan dalam pengertian seperti dipahami
kebanyakan oarang Islam. misalnya hukum Tuhan tentang pencurian, jual-beli, pernikahan,
pemerintahan dan lain-lain" (Kompas, 18 November 2002)
"Rasul Muhammad adalah tokoh historis yamg harus dikaji dengan kritis (sehingga
tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai
manusia yang banyak kekurangannya)" (Kompas, 18 November 2002)
"Islam seperti yang dikemukakan Cak-Nur dan sejumlah pemikir lain adalah 'nilai
generis' yang bisa ada Kristen, Hindu, Budha, Khonghucu, Taoisme,......bisa jadi, kebenaran
"Islam" ada dalam filsafat Marxisme" (Kompas, 18 November 2002)
"Mengajukan syariat Islam menjadi solusi atas semua masalah adalah bentuk kemalasan
berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah, bentuk eskapisme
dengan memakai alasan hukum Tuhan." (Kompas, 18 November 2002)
"Tulisan saya sengaja provokatif, karena saya berhadapan dengan audiens yang juga
provokatif, dalam istilah balaghahnya musyakalah. Dari segi substansi, saya tidak menyesali
tulisan saya. Mungkin saya mengevaluasi cara saya yang kurang tepat." (Gatra, 21 Desember
2002)
"Semua agama sama. Semuanya menuju ke jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang
paling benar. Pemahaman serupa terjadi di Kristen selama berabad-abad. Tidak ada jalan
keselamatan di luar gereja. Baru pada 1965 masehi, Gereja Katholik di Vatikan merevisi
paham ini. Sedangkan Islam, yang berusia 1423 tahun dari hijrah Nabi, belum memiliki
kedewasaan sama dengan Katholik." (Gatra, 21 Desember 2002)
"Larangan nikah beda agama bersifat konteks-tual, pada zaman Nabi, umat Islam sudah
bersaing untuk memperbanyak umat. Nah, saat ini Islam sudah semilyar lebih, kenapa harus
kawin dengan yang di dalam Islam. Islam sendiri sebenarnya sudah mencapai kemajuan kala
itu, memperbolehkan laki-laki kawin dengan ahli kitab. Ahli kitab hingga saat ini masih ada.
Malah, agama-agama selain Nasrani dan Yahudi pun bisa disebut dengan ahli kitab. Kawin
beda agama hambatannya bukan teologi, melainkan sosial." (Gatra, 21 Desember 2002)
"Negara sekuler lebih unggul daripada negara Islam ala fundamentalis, sebab negara
sekuler bisa menampung energi keshalehan dan kemaksiatan sekaligus." (Tempo edisi 19-25
November 2002)
"Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan laki-laki
non-Islam, sudah tidak relevan lagi." (Kompas, 18 November 2002)
"Tapi, bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat" (Jawa
Pos, 11 Januari 2004)
"Agama tidak bisa "seenak udelnya" sendiri masuk ke dalam bidang-bidang itu
(kesenian dan kebebasan berekspresi) dan memaksakan sendiri standarnya kepada
masyarakat. Agama hendaknya tahu batas-batasnya." (pengantar Buku: Mengebor
Kemunafikan Inul, Seks dan kekuasaan).
Fatwa mati atas kelancangan mulut Ulil tidak membuatnya bertaubat. Tidak sadarkah Ulil,
bahwa dia akan mati, sedangkan seluruh perbuatannya akan dipertanggung jawabkan?
Pembela kebenaran hendaknya tidak terpikat kepada kebathilan yang terkadang terasa indah
dan menggiurkan. Apalagi mendukungnya. Kewajiban umat adalah mem-berantas
kemungkaran. Sedang kemungkaran terbesar adalah perusakan agama.
BIOGRAFI

Ulil Abshar Abdalla adalah seorang tokoh islam Liberal di Indonesia yang berafiliasi
dengan Jaringan Islam Liberal. Perseteruannya dengan organisasi Front Pembela Islam dan
pengakuannya atas dirinya adalah seorang muslim liberal banyak mengundang kontroversi.
Ulil Abshar lahir di Pati, Jawa Tengah pada tanggal 11 Januari 1967. Ayahnya, Abdullah
Rifa'i adalah pengelola pesantren Mansajul Ulum di Pati. Ia dibesarkan di lingkungan
keluarga Nahdatul Ulama.

Ulil menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen,


Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz. Dia mendapat gelar
Sarjananya di Fakultas Syari'ah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta,
dan pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan memperoleh
gelar Doktoral di Boston University, Massachussetts, AS.

Ia dikenal karena aktivitasnya sebagai Koordinator Jaringan Islam Liberal. Dalam


aktivitas di kelompok ini, Ulil menuai banyak simpati sekaligus kritik. Atas kiprahnya dalam
mengusung gagasan pemikiran Islam ini, Ulil disebut sebagai pewaris pembaharu pemikiran
Islam setelah Cak Nur. Selain itu Ulil pernah menjadi Ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian
dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Nahdlatul Ulama, Jakarta, sekaligus juga
menjadi staf peneliti di Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta, serta Direktur Program
Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).

Sebagai politikus, ia menjabat sebagai Ketua Divisi Pusat Pengembangan Strategi dan
Kebijakan Pengurus Pusat dari Partai Demokrat selama masa jabatan Ketua Umum Anas
Urbaningrum. Kehadiran gagasan liberalisasi Islam, yang kemudian dikenal dengan sebutan
"Islam Liberal," oleh Ulil telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan panjang. Ini karena
banyaknya ide dan gagasan yang ia usung sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah
dan syariat Islam.

Dalam artikelnya "Menjadi Muslim dengan perspektif liberal" telah menuai banyak
kontroversi. Gagasan-gagasan yang tertuang dalam artikelnya banyak dianggap menyimpang
dari akidah dan syariat Islam. Serta perseteruannya dengan Front Pembela Islam yang
berbuntut panjang membuat Ulil menjadi sosok yang sangat kontroversial. Setelah FPI
membeberkan dugaan adanya dana Rp. 62 Milyar yang mengalir untuk membubarkan FPI,
pengurus FPI kembali membuka keborokan Ulil yang berniat membubarkan FPI sejak 2006.
Pimpinan FPI mengatakan bahwa Ulil terlibat perselingkuhan dengan seorang perempuan
bernama Marchelinta Dhika.

Anda mungkin juga menyukai