Anda di halaman 1dari 8

AGRITECH, Vol. 34, No.

3, Agustus 2014

PENGARUH SUHU DAN LAMA PEMANASAN SUSPENSI PATI SERTA


KONSENTRASI BUTANOL TERHADAP KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA
PATI TINGGI AMILOSA DARI TAPIOKA
Effect of Temperature and Time of Heating of Starch and Butanol Concentration on the Physicochemical
Properties of High-Amylose Tapioca Starch

Pepita Haryanti, Retno Setyawati, Rumpoko Wicaksono

Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman


Jl. Dr. Soeparno, Karangwangkal, Purwokerto 53123
Email: pita_thpunsoed@yahoo.com

ABSTRAK

Modifikasi pati dilakukan untuk memperbaiki sifat pati ketika diaplikasikan dalam pengolahan pangan. Salah satu
produk pati termodifikasi adalah pati tinggi amilosa yang dibuat dengan metode fraksinasi. Kondisi fraksinasi meliputi
suhu dan lama pemanasan suspensi pati serta konsentrasi butanol akan mempengaruhi karakteristik pati yang dihasilkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama pemanasan suspensi pati tapioka serta konsentrasi
butanol terhadap karakteristik pati tinggi amilosa. Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi suhu pemanasan
suspensi pati, mengakibatkan penurunan kadar amilosa dan kejernihan pasta pati namun meningkatkan kelarutan dan
swelling power. Semakin lama waktu pemanasan suspensi pati dan semakin tinggi konsentrasi butanol menunjukkan
kadar amilosa pada pati semakin menurun. Proses fraksinasi pati tapioka pada kombinasi perlakuan suhu pemanasan
suspensi pati 70ºC, lama pemanasan suspensi pati 40 menit, dan konsentrasi butanol 10% menghasilkan pati dengan
kadar amilosa tertinggi. Kadar amilosa meningkat sebesar 37,33%.

Kata kunci: Pati tapioka tinggi amilosa, swelling power, fraksinasi pati, kelarutan pati, kejernihan pasta

ABSTRACT

In food processing, starch was modified in order to improve its properties. One of the modified starches is high-
amylose starch. This kind of starch is made by fractionation method in which its conditions, such as temperature and
time of suspensions heating as well as butanol concentration, would affect the starch properties. This study was aimed
to determine the effect of those conditions on the properties of high-amylose tapioca starch. The results showed that
higher starch suspension temperature was associated with lower levels of amylose and starch paste clarity. In addition,
it was also associated with higher solubility and swelling power. Furthermore, the experiments showed that the longer
the heating time and the higher the concentration of butanol, leading to the lower the amylose content of starch. The
highest amylose content of the starch was produced from the treatment combination of suspensions heating temperature
and time of 70ºC and 40 minutes, respectively, with 10% of butanol concentrations. Amylose content yielded from this
treatment increased by 37.33 %.

Keywords: High-amylose tapioca starch, swelling power, starch fractionation, starch solubility, starch paste clarity

308
AGRITECH, Vol. 34, No. 3, Agustus 2014

PENDAHULUAN Pembuatan Pati Tinggi Amilosa


Pati tinggi amilosa dibuat melalui fraksinasi pati
Tapioka merupakan pati alami dari ubi kayu yang
(modifikasi metode Mizukami dkk., 1999). Tahap pertama
dikeringkan dan dihaluskan (Suprapti, 2005). Kusnandar
yaitu pembuatan suspensi pati dengan cara perendaman tapioka
(2010) menyatakan bahwa secara umum pati alami atau
dalam air suling selama 20 menit, kemudian pemanasan pada
pati tak termodifikasi memiliki kekurangan yang sering
variasi suhu (60, 65 dan 70°C) dan variasi lama pemanasan
menghambat aplikasinya dalam proses pengolahan pangan.
(40, 60 dan 80 menit). Tahap kedua yaitu pemisahan fraksi
Karakteristik atau sifat-sifat pati dapat ditingkatkan dengan
yang larut dalam air panas (hot-water soluble/HWS) dengan
melakukan berbagai modifikasi. Salah satu bentuk modifikasi
sentrifugasi pada 5.000 rpm selama 10 menit, kemudian
pati adalah pati tinggi amilosa yang diperoleh melalui proses
ditambah 1-butanol dengan variasi konsentrasi (8, 10 dan 12%)
fraksinasi. Fraksinasi pati bertujuan untuk memisahkan
dan diinkubasikan pada suhu ruang selama 24 jam. Tahap
komponen amilosa dan amilopektin dalam pati. Salah satu
ketiga yaitu pemisahan fraksi amilosa dengan sentrifugasi
alternatif proses fraksinasi adalah dengan menggunakan
pada 5.000 rpm selama 10 menit yang berupa fraksi tak larut.
pelarut air panas (hot-water soluble/HWS) dan senyawa
Tahap keempat yaitu pemurnian fraksi tak larut (amilosa)
pengompleks butanol (Banks dan Greenwood, 1975 dalam
dengan pencucian menggunakan etanol 95% dan petroleum
Mizukami dkk., 1999).
eter. Tahap kelima adalah pengeringan fraksi amilosa dengan
Modifikasi pati dengan cara fraksinasi untuk
absorben CaCl2 dalam desikator.
meningkatkan fraksi amilosanya akan mengakibatkan
perubahan pada sifat-sifat pati. Penelitian fraksinasi pati sagu Analisis dan Pengujian Pati
yang telah dilakukan oleh Yuliasih dkk. (2007) menunjukkan
Variabel yang diamati meliputi kadar amilosa (Juliano,
bahwa sifat fungsional pati tinggi amilosa hasil fraksinasi
1971 yang dimodifikasi), kelarutan dan swelling power (Li
pati sagu, seperti swelling power, tingkat kelarutan, freeze-
dan Yeh, 2001 yang dimodifikasi), kejernihan pasta dan
thaw stability dan kejernihan pasta menunjukkan perubahan.
freeze-thaw stability (sineresis) (Perez dkk., 1999).
Peningkatan suhu pemanasan suspensi pati dari 90°C
menjadi 95°C dapat meningkatkan sifat kelarutan fraksi Rancangan Percobaan dan Analisis Data
amilosa yang dihasilkan dari 23,37% menjadi 47,77%.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian
Peningkatan konsentrasi butanol dari 10% menjadi 12% dapat
ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor yang
meningkatkan sifat kelarutan dari 23,37% menjadi 27,49%.
dicoba meliputi suhu pemanasan suspensi pati (S) yaitu 60°C
Karakteristik pati tinggi amilosa yang dihasilkan dengan
(S1); 65°C (S2) dan 70°C (S3); lama pemanasan suspensi
cara fraksinasi dapat dijadikan sebagai acuan untuk berbagai
pati (W) yaitu 40 menit (W1); 60 menit (W2) dan 80 menit
aplikasi dalam bidang pangan, seperti digunakan sebagai
(W3); konsentrasi butanol (B) yaitu 8% (B1); 10% (B2) dan
penyalut (edible coating) pada kentang goreng (french fries),
12% (B3). Perlakuan tersebut disusun dalam bentuk faktorial,
daging dan ikan beku, serta sayuran (Richardson dkk., 2000).
sehingga diperoleh 27 kombinasi perlakuan. Masing-masing
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu
perlakuan diulang sebanyak dua kali, sehingga diperoleh 54
dan lama pemanasan suspensi pati serta konsentrasi butanol
unit percobaan.
terhadap sifat fisikokimia pati tinggi amilosa dari tapioka.
Data hasil pengukuran dianalisis menggunakan analisis
ragam (Uji F) pada taraf kepercayaan 95% (α = 5%) dan
METODE PENELITIAN 99% (α = 1%). Apabila perlakuan menunjukkan pengaruh
yang nyata terhadap variabel yang diamati, maka dilanjutkan
Alat dan Bahan Penelitian dengan uji Duncan atau Duncan Multiple Range Test (DMRT)
Peralatan yang digunakan yaitu timbangan analitik pada taraf 5%.
(Explorer), timbangan digital (Adventurer Pro), centrifuge
(Hettich Zentrifugen-EBA 20), hot plate stirrer (79-1 HASIL DAN PEMBAHASAN
Magnetic Stirrer with Heater), magnetic stirrer, kompor
listrik, oven (Memmert), waterbath (Memmert P Selecta Pengaruh Suhu Pemanasan Suspensi Pati
Precisterm), spektrofotometer (UV-Vis Shimadzu UV Berdasarkan hasil analisis ragam, suhu pemanasan
Mini1240), desikator, vortex dan peralatan gelas. Bahan- suspensi pati tidak berpengaruh nyata terhadap sineresis,
bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tapioka, dan berpengaruh nyata terhadap kadar amilosa dan swelling
1-butanol (Merck), aquades, etanol 96%, petroleum eter, dan power, serta berpengaruh sangat nyata terhadap kejernihan
CaCl2 absorben. pasta dan kelarutan pati tinggi amilosa. Hasil uji DMRT (α

309
AGRITECH, Vol. 34, No. 3, Agustus 2014

= 5%) karakteristik pati tapioka tinggi amilosa pada varisasi Pengaruh Lama Pemanasan Suspensi Pati
suhu pemanasan suspensi pati disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan analisis ragam, lama waktu pemanasan
90,00 suspensi pati tidak berpengaruh nyata terhadap sineresis,
a a a
80,00
a
kejernihan pasta dan swelling power dan berpengaruh sangat
Sifat Pengungsian (%)

70,00 Sineresis (%)


60,00
nyata terhadap kadar amilosa serta kelarutan pati. Hasil uji
ab Amilosa (%)
b
50,00 c DMRT (α = 5%) karakteristik pati tinggi amilosa pada variasi
a Kejernihan pasta (%T)
40,00 b lama waktu pemanasan suspensi pati terhadap karakteristik
a Kelarutan (%)
30,00 b
20,00 b Swelling power (%) pati tinggi amilosa disajikan pada Gambar 2.
b a
10,00 b
0,00
60 65 70 90,00 a a
a
80,00
Suhu pemanasan (°C)
70,00 Sineresis (%)

Sifat Pengungsian (%)


a a a
60,00 Amilosa (%)
Gambar 1. Karakteristik pati tapioka tinggi amilosa pada variasi suhu a
50,00 c
pemanasan pati 40,00 Kejernihan pasta (%T)
b
30,00 b b a Kelarutan (%)
20,00 Swelling power (%)
Gambar 1 menunjukkan bahwa peningkatan suhu 10,00 a a a

pemanasan pati mengakibatkan penurunan kadar amilosa 0,00


40 60 80
dan kejernihan pasta pati namun meningkatkan kelarutan dan
Lama pemanasan (menit)
swelling power. Kadar amilosa menurun disebabkan oleh
peningkatan suhu yang diduga mengakibatkan komponen
Gambar 2. Karakteristik pati tapioka tinggi amilosa pada variasi lama
amilosa penyusun pati merupakan amilosa dengan bobot pemanasan pati
molekul rendah. Amilosa yang sudah terbentuk mengalami
depolimerisasi pada pemanasan suhu tinggi sehingga amilosa Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin lama pemasakan
memiliki bobot molekul rendah. Menurut Yuliasih dkk. menunjukkan kadar amilosa pada pati semakin menurun.
(2007) amilosa pada fraksi 2 (bobot molekul rendah) nilai % Semakin lama pemanasan suspensi pati mengakibatkan proses
sineresisnya semakin tinggi. gelatinisasi berjalan terlalu lama, sehingga amilosa yang
Kelarutan pati yang semakin meningkat akibat meluruh memiliki berat molekul rendah. Menurut Yuliasih
pemanasan suspensi pati yang semakin tinggi disebabkan dkk. (2007), butanol tidak mampu membentuk kompleks
amilosa telah mengalami depolimerisasi. Suhu tinggi dengan fraksi amilosa yang memiliki bobot molekul rendah.
menyebabkan terjadinya depolimerisasi molekul pati (Yuliasih Amilosa dengan bobot molekul yang rendah cenderung
dkk., 2007). Hal tersebut menyebabkan molekul amilosa memiliki rantai lurus yang pendek. Hal tersebut menyebabkan
yang dihasilkan lebih sederhana, yaitu terdapat rantai lurus rendahnya kadar amilosa yang dihasilkan.
yang pendek sehingga sangat mudah larut dalam air. Amilosa Semakin lama pemanasan, kelarutan pati meningkat.
merupakan komponen pati yang mempunyai rantai lurus dan Peningkatan lama pemanasan suspensi pati menghasilkan pati
larut dalam air (Ben dkk., 2007). tinggi amilosa dengan berat molekul yang rendah. Menurut
Peningkatan swelling power akibat pemanasan suspensi Southgate (1991), amilosa memiliki bobot molekul 103
pati pada suhu yang semakin tinggi disebabkan kadar amilosa sampai 5×105 Dalton. Amilosa dengan bobot molekul rendah
yang semakin rendah atau amilopektin dalam pati lebih memiliki rantai lurus yang pendek sehingga cenderung lebih
tinggi. Amilopektin berada pada daerah amorf granula pati. mudah larut dalam air (Fleche (1985) dalam Suriani (2008).
Rahman (2007) menyatakan bahwa daerah amorf merupakan
daerah yang renggang dan kurang padat, sehingga mudah Pengaruh Konsentrasi Butanol
dimasuki air. Bagian amorf merupakan bagian yang lebih
Berdasarkan hasil analisis ragam, konsentrasi butanol
mudah menyerap air (Hood, 1982 dalam Haryadi, 2006).
tidak berpengaruh nyata terhadap sineresis, kejernihan pasta,
Semakin banyak amilopektin pada pati, maka daerah amorf
kelarutan dan swelling power serta berpengaruh nyata terhadap
akan semakin luas, sehingga penyerapan air akan semakin
kadar amilosa. Hasil uji DMRT (α = 5%) karakteristik pati
besar. Menurut Jading dkk. (2011), swelling power pada pati
tapioka tinggi amilosa pada variasi konsentrasi butanol
dipengaruhi oleh daya serap air. Semakin besar daya serap air
disajikan pada Gambar 3.
menyebabkan swelling power meningkat.

310
AGRITECH, Vol. 34, No. 3, Agustus 2014

90,00 a a Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa pati tinggi


a
80,00 amilosa yang dihasilkan dari perlakuan suhu pemanasan
70,00 a Sineresis (%)
Sifat Pengungsian (%)

60,00 a a suspensi pati 70°C, lama pemanasan 60 menit dan konsentrasi


50,00 Amilosa (%)
a
butanol 12% (S3W2B3) memiliki nilai persen sineresis
40,00 b Kejernihan pasta (%T)
a a ca tertinggi yaitu 90%. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan
30,00 Kelarutan (%)
20,00 a a a Swelling power (%) S3W2B3 menghasilkan pati tinggi amilosa yang kurang stabil
10,00
0,00 terhadap penyimpanan beku dibandingkan dengan perlakuan
8 10 12 lain. Sineresis merupakan perpisahan antara gel pati dan air
Konsentrasi butanol (%) (Kusnandar, 2010).
Terjadinya sineresis disebabkan amilosa mengalami
Gambar 3. Karakteristik pati tapioka tinggi amilosa pada variasi konsentrasi
butanol retrogradasi yaitu molekul-molekul amilosa berikatan
kembali satu sama lain (Winarno, 2004). Hasil penelitian
Gambar 3 menunjukkan semakin tinggi konsentrasi menunjukkan bahwa amilosa dengan bobot molekul rendah
butanol, kadar amilosa menurun. Pembentukan kompleks yang dominan yaitu amilosa yang memiliki rantai pendek
amilosa-butanol akan lebih efektif terjadi pada fraksi amilosa dominan, lebih mudah untuk berikatan kembali dan ikatannya
dengan bobot molekul tinggi. Sebaliknya, amilosa dengan sangat kuat, sehingga retrogradasi yang terjadi semakin besar.
berat molekul rendah ketika dilakukan penambahan butanol Adanya ikatan yang kuat antar amilosa selama retrogradasi
12% pembentukan kompleks amilosa-butanol yang terjadi menyebabkan semakin banyak air yang terpisah dari gel pati
tidak maksimal. Hal tersebut menyebabkan rendahnya kadar ketika gel pati diletakkan pada suhu ruang. Keluarnya air
amilosa yang dihasilkan. Menurut Yuliasih dkk. (2007), dalam jumlah besar selama proses retrogradasi menyebabkan
butanol tidak mampu membentuk kompleks dengan fraksi sineresis yang tinggi (Abo dkk., 2010).
amilosa yang memiliki bobot molekul rendah. Pati tinggi amilosa yang dihasilkan dari perlakuan
suhu pemanasan suspensi pati 60°C, lama pemanasan 40
Interaksi Perlakuan Suhu dan Lama Pemanasan Suspensi menit, dan konsentrasi butanol 10% (S1W1B2) memiliki
Pati serta Konsentrasi Butanol nilai persen sineresis terendah yaitu sebesar 67,5% dan
menunjukkan bahwa perlakuan S1W1B2 menghasilkan pati
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi
tinggi amilosa yang lebih stabil terhadap penyimpanan beku
perlakuan antara suhu dan lama pemanasan suspensi pati serta
dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini disebabkan
konsentrasi butanol berpengaruh nyata terhadap sineresis,
amilosa yang dihasilkan memiliki sebaran bobot molekul
kadar amilosa, kejernihan pasta dan tidak berpengaruh nyata
tinggi yang dominan. Menurut Yuliasih dkk. (2007), amilosa
terhadap kelarutan dan swelling power pati amilosa.
yang dominan memiliki sebaran bobot molekul tinggi
Sineresis menghasilkan persen sineresis yang rendah. Hal ini karena
selama proses retrogradasi, amilosa-amilosa yang kembali
Sineresis (%) menyatakan stabilitas beku cair (freeze
berikatan satu sama lain ikatannya tidak terlalu kuat, sehingga
thaw stability) pasta pati yaitu menunjukkan persentase
ketika gel pati diletakkan di suhu ruang, air yang terpisah dari
jumlah air yang terpisah setelah pasta pati diberi perlakuan
gel pati tidak terlalu banyak dan menyebabkan sineresis yang
penyimpanan beku. Hasil uji DMRT (α = 5%) nilai sineresis
rendah.
(%) pati tapioka tinggi amilosa disajikan pada Gambar 4.
Kadar Amilosa
85.0ab

86.0ab

85.0ab

90.0a
82.5ab

82.5ab

82.5ab
82.5ab

82.5ab

82.5ab
80.5ab
80.0ab

80.0ab

80.0ab
79.0ab
77.5ab
77.0ab
76.5ab

76.0ab
75.0ab

75.0ab

75.0ab
75.0ab

75.0ab

75.0ab

100,0
68.5b
67.5b

80,0
Hasil uji DMRT ( = 5%) kadar amilosa pati tinggi
Sineresis (%)

60,0 amilosa pada berbagai interaksi perlakuan ditunjukkan pada


40,0 Gambar 5.
20,0 Gambar 5 menunjukkan bahwa interaksi perlakuan
0,0
S1W1 S1W2 S1W3 S2W1 S2W2 S2W3 S3W1 S3W2 S3W3 suhu, lama pemanasan suspensi pati dan konsentrasi butanol
Kombinasi Perlakuan yang menghasilkan kadar amilosa tertinggi adalah perlakuan
B1 = 8% B2 = 10% B3 = 12%
suhu 70°C, lama pemanasan 40 menit dan konsentrasi butanol
Keterangan: S = Suhu pemanasan suspensi pati (S1 = 60, S2 = 65, S3 = 70ºC) 10% (S3W1B2) yaitu sebesar 76,86%bk. Hal ini disebabkan
W = Lama pemanasan suspensi pati (W1 = 40, W2 = 60, W3 = pada kenaikan suhu pemanasan suspensi pati hingga 70°C dan
80 menit) B = Konsentrasi butanol (B1 = 8, B2 = 10, B3 = 12%)
lama pemanasan 40 menit, proses gelatinisasi pati berjalan
Gambar 4. Persen sineresis pati tinggi amilosa pada interaksi perlakuan antara
suhu, lama pemanasan suspensi pati dan konsentrasi butanol dengan optimal yaitu fraksi amilosa meluruh keluar dari

311
AGRITECH, Vol. 34, No. 3, Agustus 2014

granula pati akibat pecahnya granula pati. Menurut Kusnandar konsentrasi butanol 10% (S3W2B2) dengan nilai 28,30%T.
(2010), proses pecahnya granula pati akibat kenaikan suhu Hal ini disebabkan, pati tinggi amilosa yang dihasilkan
menyebabkan molekul amilosa keluar dari granula. Semakin mengalami retrogradasi. Menurut Suriani (2008), kejernihan
tinggi suhu, maka semakin banyak molekul amilosa yang pasta terkait dengan retrogradasi. Retrogradasi merupakan
akan keluar dari granula pati. Amilosa dengan penambahan pembentukan kembali ikatan-ikatan hidrogen dari molekul-
butanol 10% mampu membentuk kompleks amilosa butanol molekul amilosa. Molekul-molekul amilosa saling berikatan
dengan baik. Menurut Yuliasih dkk. (2007), adanya butanol kembali dengan ikatan yang sangat kuat. Pembentukan
yang berlebih dapat mengkompleks amilosa dan melarutkan ikatan hidrogen yang semakin kuat antarmolekul amilosa
amilopektin, sehingga kompleks amilosa-butanol dapat mengakibatkan terjadinya sineresis, yaitu air terpisah dari
terpisah dengan amilopektin dalam bentuk endapan. stuktur gel pati (Kusnandar, 2010). Kemampuan retrogradasi
yang besar dapat mengakibatkan sineresis yang tinggi dan
69.05b

76.86a

90,00 menunjukkan semakin banyak air yang keluar dari gel pati.
64.52c
61.87d
60.27e

80,00
58.54f

56.36g
55.28h

Semakin banyak air yang keluar dari gel pati menyebabkan


53.75i
52.37j
49.91k

46.94m

70,00
48.83l
45.45n

45.07o
44.16p
42.44q

41.59r
41.38r
39.74s

60,00
37.78u

36.17w
amilosa (%)

kejernihan pasta pati yang rendah. Menurut Winarno (2004),


36.96v
36.96t
33.88x

50,00
24.78y
24.29z

40,00 adanya air memberikan efek jernih (sifat translusen). Suriani


30,00
(2008) menambahkan bahwa retrogradasi dapat menurunkan
20,00
10,00 kemampuan melewatkan cahaya. Semakin besar retrogradasi,
0,00
S1W1 S1W2 S1W3 S2W1 S2W2 S2W3 S3W1 S3W2 S3W3
maka kemampuan melewatkan cahaya akan semakin menurun
Kombinasi perlakuan
sehingga kejernihan pasta akan semakin rendah.
B1 = 8% B2 = 10% B3 = 12%

86.70ab
90.95a

92.85a

74.70abs
77.70abc

72.40abc
100,00

61.10abc

59.00abc
58.10abc
57.65abc

57.30abc
57.05abc
Keterangan: S = Suhu pemanasan suspensi pati (S1 = 60, S2 = 65, S3 = 70ºC)

54.70abc
53.25abc

51.65abc
51.60abc
51.45abc
51.25abc
80,00

50.35abc
Kejernihan pasta (%)

48.15abc

46.55abc
W = Lama pemanasan suspensi pati (W1 = 40, W2 = 60 menit,

40.10abc
39.80abc
39.60abc

35.65abc
W3 = 80 menit), B = Konsentrasi butanol (B1 = 8, B2 = 10, B3 60,00

28.30bc
= 12%) 40,00 21.80c
Gambar 5. Kadar amilosa pati tinggi amilosa pada berbagai interaksi antara
20,00
suhu, lama pemanasan suspensi pati dan konsentrasi butanol
0,00
S1W1 S1W2 S1W3 S2W1 S2W2 S2W3 S3W1 S3W2 S3W3
Kombinasi Perlakuan
Perlakuan suhu 65°C, lama pemanasan 60 menit dan B1 = 8% B2 = 10% B3 = 12%
konsentrasi butanol 12% (S2W2B3) menghasilkan kadar
Keterangan: S = Suhu pemanasan suspensi pati (S1 = 60, S2 = 65, S3 =
amilosa terendah, yaitu sebesar 24,29%bk. Hal ini disebabkan 70ºC), W = Lama pemanasan suspensi pati (W1 = 40, W2 = 60
pemanasan suspensi pati berjalan terlalu lama. Semakin lama menit, W3=80 menit) B = Konsentrasi butanol (B1 = 8, B2 =
pemanasan suspensi pati mengakibatkan proses gelatinisasi 10, B3 = 12%)
berjalan terlalu lama, sehingga amilosa yang meluruh memiliki Gambar 6. Kejernihan pasta pati tinggi amilosa pada berbagai interaksi antara
berat molekul rendah dan ketika dilakukan penambahan suhu, lama pemanasan suspensi pati dan konsentrasi butanol
butanol 12% pembentukan kompleks amilosa-butanol yang
terjadi tidak maksimal. Hal tersebut menyebabkan rendahnya Perlakuan suhu pemanasan suspensi pati 60ºC, lama
kadar amilosa yang dihasilkan. Menurut Yuliasih dkk. (2007), pemanasan 60 menit dan konsentrasi butanol 8% (S1W2B1)
butanol tidak mampu membentuk kompleks dengan fraksi menghasilkan pati tinggi amilosa dengan kejernihan pasta
amilosa yang memiliki bobot molekul rendah. Amilosa tertinggi, yaitu 92,85%T. Hal ini disebabkan pati tinggi
dengan bobot molekul yang rendah cenderung memiliki amilosa yang dihasilkan dari perlakuan S1W2B1 memiliki
rantai lurus yang pendek. kemampuan retrogradasi yang rendah. Retrogradasi yang
rendah menunjukkan bahwa ikatan-ikatan hidrogen yang
Kejernihan Pasta mengikat kembali molekul-molekul amilosa tidak cukup
Hasil uji DMRT ( = 5%) kejernihan pasta pati tinggi kuat, sehingga mengakibatkan sineresis yang rendah, yaitu
amilosa pada berbagai interaksi perlakuan ditunjukkan pada sedikitnya jumlah air yang keluar dari gel pati. Hal ini
Gambar 6. menunjukkan sebagian besar air masih tertahan dalam gel
pati. Semakin banyak air yang tertahan dalam gel pati, maka
Gambar 6 menunjukkan kejernihan pasta terendah kejernihan pasta pati semakin tinggi. Air memberikan efek
dihasilkan oleh pati tinggi amilosa perlakuan suhu jernih (sifat translusen) pada pasta pati (Winarno, 2004).
pemanasan suspensi pati 70ºC, lama pemanasan 60 menit dan

312
AGRITECH, Vol. 34, No. 3, Agustus 2014

Kelarutan semakin tinggi pula kemampuan pati mengembang dalam air


Kelarutan merupakan berat pati yang terlarut dan dapat (Suriani, 2008). Hasil uji DMRT swelling power pati tinggi
diukur dengan cara mengeringkan dan menimbang sejumlah amilosa pada berbagai interaksi perlakuan Gambar 8.
larutan supernatan (Balagopalan, 1988 dalam Suriani, 2008). 14,00

11.32a

11.56a

10.17a
9.79a
12,00
Hasil uji DMRT ( = 5%) kelarutan pati tinggi amilosa pada

8.66a
Swelling power (%)

8.13a
8.06a
7.54a

7.20a
10,00

7.04a

6.89a
6.67a
6.60a

6.28a
6.28a
6.24a
berbagai interaksi perlakuan disajikan pada Gambar 7.

5.89a
5.49a

5.40a
5.34a
5.21a
5.18a

5.10a
8,00

4.98a

4.95a
4.62a
3.56a
6,00
70,00 4,00

50.90a
65.63a
48.82a
2,00

45.89a
60,00
43.48a

37.57a
0,00

37.31a
50,00

32.02a
Kelarutan (%)

31.44a

30.40a
S1W1 S1W2 S1W3 S2W1 S2W2 S2W3 S3W1 S3W2 S3W3
30.28a
28.16a

40,00 Kombinasi Perlakuan


22.00a

21.39a
19.14a
18.12a

16.96a

B1 = 8% B2 = 10% B3 = 12%
16.00a
15.51a
14.08a

30,00
13.11a

11.83a
10.46a
10.13a
9.77a
9.96a

20,00
4.57a

Keterangan: S = Suhu pemanasan suspensi pati (S1 = 60, S2 = 65, S3 =


10,00
70ºC), W = Lama pemanasan suspensi pati (W1 = 40, W2 = 60
0,00
S1W1 S1W2 S1W3 S2W1 S2W2 S2W3 S3W1 S3W2 S3W3
menit, W3=80 menit) B = Konsentrasi butanol (B1 = 8, B2 =
10, B3 = 12%)
Kombinasi Perlakuan
B1 = 8% B2 = 10% B3 = 12% Gambar 8. Swelling power pati tinggi amilosa pada berbagai interaksi antara
suhu, lama pemanasan suspensi pati dan konsentrasi butanol
Keterangan: S = Suhu pemanasan suspensi pati (S1 = 60, S2 = 65, S3 =
70ºC), W = Lama pemanasan suspensi pati (W1 = 40, W2 = 60 Berdasarkan Gambar 8 nilai swelling power pati
menit, W3=80 menit) B = Konsentrasi butanol (B1 = 8, B2 =
tapioka tinggi amilosa pada berbagai kombinasi perlakuan
10, B3 = 12%)
tidak berbeda nyata. Nilai swelling power pati tinggi amilosa
Gambar 7. Kelarutan pati tinggi amilosa pada berbagai interaksi antara suhu,
lama pemanasan suspensi pati dan konsentrasi butanol
berkisar antara 3,56 sampai 11,56%. Peningkatan suhu, lama
waktu pemanasan pati menghasilkan pati tinggi amilosa
Berdasarkan Gambar 7, nilai kelarutan pati amilosa yang didominasi oleh fraksi amilosa dengan bobot molekul
pada berbagai kombinasi perlakuan tidak berbeda nyata. rendah. Hal ini mengakibatkan tidak terjadinya peningkatan
Nilai kelarutan pati berkisar antara 4,57 sampai dengan kemampuan pati untuk mengembang lebih besar. Kong dkk.
65,63%. Peningkatan suhu, lama waktu pemanasan pati dan (2009) menyatakan bahwa swelling power pati tergantung
konsentrasi butanol cenderung menghasilkan peningkatan pada komponen amilosanya. Hasil penelitian Yuliasih dkk.
kelarutan pati amilosa. Hal ini disebabkan peningkatan suhu (2007) juga menyatakan bahwa komponen pati mempengaruhi
dan lama pemanasan suspensi pati mengakibatkan terjadinya kemampuan penyerapan air dan daya pengembangan pati.
depolimerisasi pati sehingga dihasilkan fraksi amilosa dengan
Perbandingan Karakteristik Tapioka Tinggi Amilosa
bobot molekul rendah. Hasil penelitian tersebut selaras
dengan Pati Tapioka
dengan penelitian Yuliasih dkk. (2007) yang menyatakan
bahwa peningkatan suhu pemanasan pati sagu mengakibatkan Kombinasi perlakuan suhu pemanasan suspensi pati
depolimerisasi pati sagu tinggi amilosa berat molekul tinggi 70ºC, lama pemanasan suspensi pati 40 menit, dan konsentrasi
menjadi pati amilosa berat molekul rendah. Menurut Fleche butanol 10% (S3W1B2) menghasilkan kadar amilosa
(1985) dalam Suriani (2008), amilosa yang memiliki rantai tertinggi. Perbandingan karakteristik tapioka tinggi amilosa
pendek lebih mudah larut dalam air. dengan tapioka alami dapat dilihat pada Tabel 1.
Konsentrasi butanol yang semakin tinggi mengakibatkan
terjadinya peningkatan kelarutan pati amilosa namun tidak Tabel 1. Perbandingan karakteristik tapioka tinggi amilosa
nyata. Hal ini disebabkan komponen amilosa pada pati dengan tapioka alami
didominasi oleh fraksi amilosa dengan bobot molekul rendah. Karakteristik S3W1B2 Tapioka alami
Menurut Yuliasih dkk. (2007) fraksi amilosa dengan bobot Kadar amilosa (%bk) 76,86 39,53
molekul rendah tidak dapat membentuk kompleks amilosa- Kelarutan (%) 35,58 12,15
butanol sehingga konsentrasi butanol yang semakin tinggi Swelling power (%) 11,32 19,84
tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan pati. Kejernihan pasta (%T) 50,35 41,0
Freeze-thaw stability
Swelling Power 79,0 65,0
(%sineresis)
Swelling power menunjukkan kemampuan pati untuk Keterangan: S3W1B2 = suhu pemanasan suspensi pati 70ºC, lama pemanasan
mengembang dalam air. Swelling power yang tinggi berarti suspensi pati 40 menit, dan konsentrasi butanol 10%

313
AGRITECH, Vol. 34, No. 3, Agustus 2014

Kadar amilosa tapioka tinggi amilosa yang dihasilkan KESIMPULAN


memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tapioka alami. Tingginya kadar amilosa pada tapioka Peningkatan suhu pemanasan suspensi pati,
tinggi amilosa menunjukkan bahwa setelah dilakukan proses mengakibatkan penurunan kadar amilosa dan kejernihan
fraksinasi pada tapioka alami, kadar amilosa dalam tapioka pasta pati, namun meningkatkan kelarutan dan swelling power
meningkat. Peningkatan kadar amilosa pada pati disebabkan pati tapioka tinggi amilosa. Semakin lama waktu pemanasan
oleh pemisahan fraksi amilosa menggunakan senyawa suspensi pati dan semakin tinggi konsentrasi butanol
butanol. Pembentukan senyawa kompleks amilosa-butanol menunjukkan kadar amilosa pada pati tapioka tinggi amilosa
mengakibatkan terjadinya pemisahan fraksi amilosa (fraksi semakin menurun. Dibandingkan dengan tapioka alami,
tak larut) dengan fraksi amilopektin (butanol) (Mizukami proses fraksinasi pati tapioka pada kombinasi perlakuan suhu
dkk, 1999). pemanasan suspensi pati 70ºC, lama pemanasan suspensi
Nilai kelarutan tapioka tinggi amilosa lebih tinggi pati 40 menit, dan konsentrasi butanol 10% menghasilkan
dibandingkan dengan tapioka alami. Peningkatan kelarutan pati tinggi amilosa dengan kelarutan meningkat sebesar
ini menunjukkan bahwa tapioka tinggi amilosa mudah 23,43%, peningkatan kejernihan pasta sebesar 9,35 %T dan
larut dalam air. Hal tersebut disebabkan karena kandungan peningkatan persentase sineresis (34%) namun menurunkan
amilosa yang tinggi. Amilosa dalam pati bersifat lebih mudah swelling power sebesar 8,52%. Pati tapioka pada kondisi
larut dalam air dibandingkan amilopektin (Fatchuri dan fraksinasi tersebut menghasilkan kadar amilosa tertinggi.
Wijayatiningrum, 2009). Kadar amilosa meningkat sebesar 37,33%.
Pati tinggi amilosa memiliki nilai rata-rata swelling
power yang lebih rendah dibandingkan dengan tapioka alami. UCAPAN TERIMA KASIH
Rendahnya swelling power disebabkan karena tingginya
amilosa dalam pati. Menurut Fatchuri dan Wijayatiningrum Penulis mengucapkan terimakasih kepada Universitas
(2009) pati dengan amilosa yang tinggi akan menghalangi Jenderal Soedirman atas pendanaan DIPA melalui program
swelling, sehingga semakin tinggi amilosa maka swellingnya insentif penelitian pemula tahun 2011 dan Marhamatus
semakin rendah. Sa’adah sebagai asisten peneliti.
Nilai kejernihan pasta tapioka tinggi amilosa lebih tinggi
dibandingkan dengan tapioka alami. Kejernihan pasta yang
rendah pada tapioka alami disebabkan adanya penurunan DAFTAR PUSTAKA
viskositas. Sedangkan tapioka tinggi amilosa menghasilkan
Abo-El-Fetoh, S.M., Hanan, M.A.A. dan Nabih, N.M.N.
kejernihan pasta yang lebih tinggi, karena viskositas pasta
(2010). Physicochemical properties of starch extracted
yang dihasilkan lebih tinggi. Tapioka merupakan pati
from different sources and their application in pudding
yang memiliki kemampuan mengembang yang tinggi,
and white sauce. World Journal of Dairy and Food
yang ditunjukkan dengan tingginya viskositas maksimum
Sciences 5(2): 173-182.
serta terjadi penurunan viskositas selama pemanasan. Saat
pati mulai mengembang, terjadi peningkatan viskositas Ben, E.S., Zulianis dan Halim, A. (2007). Studi awal pemisahan
(Kusnandar, 2010) dan perubahan pasta pati dari keruh amilosa dan amilopektin pati singkong dengan fraksinasi
menjadi jernih (Winarno, 2004). butanol-air. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi 12(1):
Tapioka tinggi amilosa yang dihasilkan memiliki nilai 1-11.
rata-rata freeze-thaw stability (kestabilan terhadap perlakuan Fatchuri, A. dan Wijayatiningrum, F.N. (2009). Modifikasi
beku cair) yang lebih rendah dibandingkan dengan tapioka Cassava starch dengan proses oksidasi sodium
alami. Hal ini ditunjukkan dengan persen sineresis pati tinggi hypoclorite untuk industri kertas. Makalah disampaikan
amilosa yang lebih besar dari persen sineresis tapioka alami. dalam Seminar Penelitian Jurusan Teknik Kimia,
Proses sineresis terjadi didahului dengan proses retrogradasi. Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang.
Kusnandar (2010) menyatakan bahwa retrogradasi lebih
Haryadi (2006). Teknologi Pengolahan Beras. Gadjah Mada
mudah terjadi pada pati yang mengandung amilosa tinggi
University Press, Yogyakarta.
karena ikatan hidrogen lebih mudah terbentuk pada struktur
linier. Semakin mudah mengalami retrogradasi, maka pati Jading, A., Tethool, E., Payung, P. dan Gultom, S. (2011).
cenderung mudah untuk mengalami sineresis. Karakteristik fisikokimia pati sagu hasil pengeringan
secara fluidisasi menggunakan alat pengering cross flow
fluidized bed bertenaga surya dan biomassa. Reaktor
13(3): 155-164.

314
AGRITECH, Vol. 34, No. 3, Agustus 2014

Juliano, B.O. (1971). A simplified assay for milled rice Richardson, P.H., Jeffcoat, R. dan Shi, Y.C. (2000). High-
amylose measurement. Journal of Cereal Science Today amylose starches: from biosynthesis to their use as food
16: 334-336. ingredients. Materials Research Society 25(12): 20-24.
Kong, X., Bao, J. dan Corke H. (2009). Physical properties of Southgate, D.A.T. (1991). Determination of Food
Amaranthus starch. Food Chemistry 113: 371-376. Carbohydrates, 2nd edn. Elsevier Applied Science.
Kusnandar, F. (2010). Kimia Pangan Komponen Makro. Seri Crown House, London.
1. Dian Rakyat, Jakarta. Suprapti, M.L. (2005). Tepung Tapioka, Pembuatan dan
Li, J.Y. dan Yeh, A.I. (2001). Relationships between thermal, Pemanfaatannya. Kanisius, Yogyakarta.
rheological characteristics and swelling power for Suriani, A.I. (2008). Mempelajari Pengaruh Pemanasan dan
various starches. Journal of Food Engineering 50(3): Pendinginan Berulang terhadap Karakteristik Sifat Fisik
141-148. dan Fungsional Pati Garut (Marantha Arundinacea)
Mizukami, H., Takeda, Y. dan Hizukuri, S. (1999). The Termodifikasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian.
structure of the hot-water soluble components in Institut Pertanian Bogor, Bogor.
the starch granules of new Japanese rice cultivars. Winarno, F.G. (2004). Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia
Carbohydrate Polymers 38(4): 329-335. Pustaka Utama, Jakarta.
Perez, L.A.B., Acevedo, E.A., Hernandez, L.S. dan Lopez, Yuliasih, I., Irawadi, T.T., Sailah, I., Pranamuda, H., Setyowati
O.P. (1999). Isolation and partial characterization of K. dan Sunarti, T.C. (2007). Pengaruh proses fraksinasi
banana starches. Journal of Agricultural and Food pati sagu terhadap karakteristik fraksi amilosanya.
Chemistry 47(3): 854-857. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 17(1): 29-36.
Rahman, A.M. (2007). Mempelajari Karakteristik Kimia dan
Fisik Tepung Tapioka dan Mocal (Modified Cassava
Flour) sebagai Penyalut Kacang pada Produk Kacang
Salut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

315

Anda mungkin juga menyukai