Mekanisme PPOK
Mekanisme PPOK
LANDASAN TEORI
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat dicegah dan
diobati, ditandai hambatan aliran udara persisten, progresif, dan berhubungan dengan
peningkatan respons inflamasi kronik saluran napas dan paru terhadap berbagai partikel atau
gas beracun. Eksaserbasi dan komorbid berpengaruh terhadap keparahan penyakit (Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2016; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2011). Mayoritas kasus PPOK di negara berpendapatan tinggi dihubungkan dengan merokok,
sedangkan kejadian PPOK di negara berpendapatan rendah dikaitkan dengan pajanan polusi
udara (Barnes, 2014).
Merokok merupakan faktor risiko utama PPOK di dunia, namun sekitar 15-20%
berkembang menjadi PPOK, hal ini menunjukkan ada keterlibatan faktor risiko lain yaitu
genetik, pajanan polutan berbahaya baik di dalam dan luar lingkungan, usia tua, dan beban
sosial ekonomi rendah yang menjadi modifikasi faktor risiko individu menjadi PPOK
(Brashier and Kodgule, 2012). Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian diisap
asapnya, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Asap rokok mengandung
lebih dari 4000 substansi yang teridentifikasi termasuk bahan yang secara farmakologik
bersifat antigenik, sitotoksik, mutagenik, dan karsinogenik (Brashier and Kodgule, 2012;
Rennard et al, 2008).
1. Patogenesis PPOK
Patogenesis PPOK dikaitkan dengan proses perubahan yang kompleks pada struktur
jaringan di saluran napas baik besar, kecil, parenkim, dan pembuluh darah paru. Pajanan asap
rokok menyebabkan sejumlah mekanisme terlibat dalam patogenesis PPOK. Inflamasi
diyakini berperan penting dalam patogenesis PPOK (Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease, 2016; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011; Alexandre and
Penque, 2013). Hipotesa inflamasi berasal dari inhalasi asap rokok menyebabkan penarikkan
sel imun ke dalam saluran napas dan paru. Produk yang diakibatkan oleh asap rokok dan sel
imun menimbulkan respons imflamasi berkepanjangan yang berdampak pada kerusakan
epitel saluran napas dan jaringan paru, menurunnya mekanisme pertahanan paru, serta
menggangu meperbaikan jaringan paru (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease, 2016; Senior and Atkinson, 2008; Sarker, 2014).
Mekanisme kedua ketidakseimbangan antaraoksidan dan antioksidan. Radikal bebas
adalah oksidan yang tidak mempunyai elektron tidak berpasangan sehingga cendrung untuk
menarik elektron lain.Sumber oksidan (ROS/RNS) pada PPOK dapat berasal dari luar
lingkungan seperti asap rokok dan polusi udara, sedangkansumber oksidan endogen berasal
dari metabolisme aerob selular berupa respirasi mitokondria dan nicotinamine adenine
dinucleotide phosphate (NADPH). Peningkatan beban ROS/RNS eksogen dan endogen yang
tidak diimbangi dengan pertahanan antioksidan endogen menyebabkan terjadinya fenomena
disebut stres oksidatif (Alexandre and Penque, 2013; Senior and Atkinson, 2008; Sarker,
2014). Stres oksidatif berperan mengatur beberapa proses penting antara lain meningkatkan
respons inflamasi, menurunkan pertahanan antioksidan endogen, aktivasi protease dan
inaktivasi antiprotease, serta proses apoptosis. Stres oksidatif juga menurunkan efek
kortikosteroid akibat menurunnya kadar enzim HDAC. Proses tersebut dikaitkan dengan
aktivasi jalur signal intraselular meliputi aktivasi faktor transkripsi utama NFκB (Senior and
Atkinson, 2008; Sarker, 2014; Durackova, 2010).
Mekanisme ketiga, suatu hipotesa menyatakan emfisema paru pada PPOK disebabkan
oleh ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease. Peningkatan aktivitas protease
menyebabkan kerusakan matriks ekstraselular, tanpa matriks sel epitel dan kompartemen unit
alveolar rusak berdampak pada terjadainya emfisema paru. Peningkatan aktivitas protease
merupakan konsekuensi inflamasi abnormal dengan melepaskan pelepasan enzim proteolitik
oleh sel inflamasi seperti makrofag dan netrofil, serta diperkuat oleh oleh faktor genetik
defisiensi α1AT. Mekanisme apoptosis sel epitel dan endotel alveolar pada PPOK disebabkan
oleh hambatan reseptor atau menurunnya ekspresi regulasi produksi genvascular endothelial
growth factor (VEGF). Ketidakseimbangan apoptosisdan pertumbuhan sel epitel dan
endotelalveolar berkontribusi pada kerusakan jaringan parenkim paru (Senior and Atkinson,
2008; Sarker, 2014). Mekanisme patobiologi pada PPOKdijelaskan pada Gambar 1 (Sarker,
2014).
Gambar 1. Mekanisme patobiologi PPOK.
Dikutip dari (Sarker, 2014)
a. Inflamasi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) ditandai dengan respons inflamasi abnormal
dengan melibatkan sejumlah sel imun dalam saluran napas besar, kecil, dan paru. Hipotesa
inflamasi pada PPOK berasal dari pajanan asap rokok dan zat iritan lain menginduksi sel
imun masuk kedalam saluran napas dan paru, dimana produk sel imun menyebabkan
kerusakan jaringan dan mengganggu mekanisme perbaikan paru (Senior and Atkinson, 2008).
Inflamasi dan respons imun berperan pada perkembangan dan progresifitas PPOK. Inflamasi
PPOK terjadi saat stabil dan eksaserbasi. Amplifying inflamasi kronik terjadi saat eksaserbasi
akut PPOK. Ampliflying inflamasi pada eksaserbasi akut PPOK utamanya disebabkan oleh
infeksi (bakteri dan virus) dan lingkungan. Ampliflying inflamasi pada eksaserbasi akut
PPOK meningkatkan produksi berbagai mediator inflamasi (Sarker, 2014). Mekanisme
pertahanan sistem respirasi terdiri dari alami dan didapat. Sistem imun alami dan didapat
memiliki kemampuan yang berbeda namun fungsi sel dan molekul saling bekerjasama untuk
melindungi struktur dan fungsi saluran napas dan parenkim paru (Senior and Atkinson, 2008;
Sarker, 2014).
Mekanisme pertahanan sistem imun alami/bawaan/nonspesifik
Mekanisme pertahanan alami sistem respirasi memberikan perlindungan utama
terhadap pajanan gas atau partikel berbahaya atau mikroorganisme patogen. Sistem imun
alami memberikan respons cepat, tidak spesifik, dan secara lambat dapat merangsang sistem
imun didapat. Mekanisme pertahanan sistem imun alami respirasi terdiri dari pertahanan
fisik, biokimia, dan selular (Baratawidjaja and Rengganis, 2014). Pertahanan fisik sistem
respirasi terdiri dari struktur penunjang, silia, lapisan sel didalam saluran napas dan alveoli
paru. Pertahanan biokimia merupakan protein terlarut yang melindungi permukaan saluran
napas dan paru. Sel epitel dan endotel diketahui dapat menghasilkan sejumlah sistem
pembersihan pada saluran napas dan alveoli paru yaitu peptida antimikroba dan antiprotease.
Peptida antimikroba meliputi defensin, lizosom, laktoferin, imunoglobulin, komplemen, dan
surfaktan. Antiprotease meliputi alpha1antitripsin (a1AT), antimacroglobulin, secretory
leukoproteinase inhibitor (SLI), dan tissue inhibitor of metalloproteinase (TIMP).Pertahanan
selular sistem imun alami meliputi sel epitel, makrofag, netrofil, dan dendritik.
(Baratawidjaja and Rengganis, 2014; Nicod, 2005).
Aktivasi respons sel imun alami terhadap iritasi seperti asap rokok atau partikel
berbahaya belum jelas namun ‘hipotesis danger’ yang dikemukan olehMatzinger dapat
diterima. Matzinger mengemukakan bahwa aktivasi responssel imun alami pada PPOK bukan
hanya berasal dari pajanan asap rokok dan mikroorganisme namun juga berasal dari stres
seluler atau akibat kerusakan sel dan jaringan paru (Cosio et al, 2009). Sel imun alami dapat
mengenali suatu molekul mikroba atau zat iritan yang disebut pathogen associated molecular
patterns (PAMPs) oleh pattern recognition receptors (PRRs). Pattern recognition receptors
(PRRs) terdiri dari toll-like receptor (TLR), nod-like receptor (NLR) sitosol, dan rig-i-like
receptor (RLR). Pattern recognition receptors (PRRs) diekspresikan padasel epitel,
makrofag alveolar, dan sel dendritik. Pattern recognition receptors (PRRs) juga dapat
teraktivasi melalui molekul endogen spesifik umumnya berasal dari sel epitel yang rusak
disebut damage-associated molecular patterns (DAMPs). Pengenalan PAMPs dan DAMPs
oleh PRRs merupakan tahapan penting pada respons inflamasi (Rovina et al, 2013; Brusselle
et al, 2011).
Sel epitel dan makrofag alveolar merupakan pertahanan utama pertama sel imun
alami saluran napas dan paru (Rovina et al, 2013; Brusselle et al, 2011). Aktivasi sel epitel
dan makrofag alveolar oleh PAMPs dan DAMPs akan mengeluarkan sejumlah mediator
inflamasi antara lain TNFα, IL1β, IL6, IL8, IFNɤ, TGFβ, GM-CSF, G-CSF, dan M-CSF,
serta enzim protease (NE dan MMPs). Granulosit monosit colony stimulating factor (GM-
CSF), G-CSF, dan M-CSF merupakan sitokin yang menstimulasi sel progenitor granulosit
dan monosit dari sumsum tulang ke darah menjadi sel makrofag dan netrofil di dalam
jaringan paru yang rusak. Sel inflamasi yang menumpuk di saluran napas dan paru akan
memulai suatu kaskade inflamasi. Sel inflamasi menyebabkan hipersekresi mukus, fibrosis
saluran napas kecil, dan kerusakan dinding alveoli paru. Respons inflamasi abnormal atau
tidak terkontrol akan terus berlangsung meskipun telah berhenti merokok (Senior and
Atkinson, 2008; Sarker, 2014; Barnes, 2008). Peran sel inflamasi pada PPOK dijelaskan pada
Gambar 2 (Barnes, 2008).
Makrofag
Makrofag alveolar merupakan fagosit mononuklear yang memberikan pertahanan
selularpertama terhadap mikroorganisme atau partikel yang mencapai saluran napas bawah.
Fungsi utama makrofagyaitu fagositosis namun juga dapat berperan sebagai antigen
presenting cell (APC). Kemampuan makrofag berikatan dengan patogen diperantarai oleh
reseptor pada permukaan makrofagsehingga dapat mengikat ligan spesifik seperti
lipopolisakarida (LPS), polisakarida, dan toksin. Aktivasi makrofag mencetuskan berbagai
pengeluaran mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin, sehingga dapat menarik dan
mempengaruhi sel imun seperti sel netrofil, limfosit T dan B, serta mengeluarkan metabolit
aktif yang menyebabkan kerusakan jaringan paru (Baratawidjaja and Rengganis, 2014;
Nicod, 2005).
Makrofag alveolar berperan dalam patofisiologi pada PPOK. Peningkatan jumlah
makrofag alveolar di dalam saluran napas berkorelasi signifikan dengan progresifitas
hambatan aliran udara PPOK. Studi penelitian menunjukkan bahwa makrofag alveolar
banyak ditemukan dalam paru perokok dibandingkan bukan perokok (Barnes, 2008). Pajanan
asap rokok menginduksi makrofag alveolar untuk mensekresi sejumlah kemoaktraktan yang
berperan dalam jalur orkestra inflamasi PPOK antara lain sekresi selektif kemoaktraktran
monosit yaitu CXCL1 (dikenal growth related oncogen-α (GRO-α)) dan CCL2 (dikenal
monocyte chemotactic peptide-1(MCP1)) bekerja melalui CCR2 untuk menarik monosit
darah dan selanjutnya berdiferensiasi menjadi makrofag alveolar di parenkim paru. Makrofag
juga mensekresi TNFα, leukotrien B4 (LTB4), CXCL8, dan CXCL1 bekerja melalui CXCR2
untuk menarik sel netrofil darah masuk ke dalam paru, dan menstimulasi IFNγ untuk
melepaskan kemokin ligand CXCL9 (dikenal dengan monokine induce IFNγ (MIG)),
CXCL10 (IFNγ induce protein (IP10), CXCL11 (I-TAC) sehingga Th1 dan sel T CTL
teraktivasi masuk kedalam paru melalui CXCR-3 (Barnes, 2008; Larsson, 2007).
Makrofag alveolar juga dapat mensekresi beberapa enzim elastolitik antara
lainMMP2, MMP9, MMP12, captesin K, L, S, dan netrofil elastase (berasal dari netrofil).
Enzim elastolitik bersama dengan sel Tc1 dan Th1 berkontribusi pada terjadinya emfisema.
Makrofag alveolar juga mensekresi TGFβ dan FGF untuk menghasilkan fibroblast sehingga
saluran napas kecil fibrosis. Pembentukan ROS endogen yang dihasilkan dari metabolisme
makrofag berkontribusi pada resistensi kortikosteroid. Penurunan aktivitas fagositosit
makrofag alveolar meningkatkan kolonisasi bakteri (Barnes, 2008; Larsson, 2007; Barnes,
2014). Peran makrofag pada PPOK dijelaskan Gambar 4 (Barnes, 2014).
Gambar 4. Peran utama makrofag pada PPOK.
Keterangan: TGFβ: transforming growth factor β; CCR: chemokine recepor;
CXCR: chemokine receptor; CXCL: chemokine; ROS: radical
oxygen species; LTB4: leukotrien B4; MMP: matrix
metalloproteinase; Th1: T-helper 1; Tc1: T citolitic.
Dikutip dari (Barnes, 2014)
Netrofil
Netrofil merupakan sel granulosit yang berasal dari sel induk sumsum tulang dan
terdapat di sirkulasi/darah. Netrofil mengandung granul azurofilik primer dan sekunder.
Granul azurofilik primer dan sekunder mengandung enzim antimikroba, protease, dan asam
hidrolase. Netrofil berperan sebagai respons pertahanan pertama sistem imun alami terhadap
infeksi dan inflamasi. Asap rokok menginduksi makrofag dan sel epitel untuk melepaskan
faktor kemotaktik netrofil sehingga sel netrofil yang terdapat di darah migrasi ke dalam
saluran napas yang mengalami kerusakan atau terinfeksi (Baratawidjaja and Rengganis,
2014; Nicod, 2005).
Pajanan asap rokok menyebabkan infiltrasi sel netrofil meningkat dalam sputum dan
BAL padapenderita PPOK. Faktor kemotaktik sel netrofil meliputi IL8 atau CXCL8, IL1β,
CXCL1, LTB4, dan TNFα. Sel netrofil migrasi dari pembuluh darah paru ke rongga alveoli
dengan melekat di dinding sel endotel alveoli. Perlekatan sel netrofil darah melibatkan
molekul adhesi yaitu VCAM-1, ICAM-1 dan e-selectin pada sel endotel saluran napas
penderita PPOK. Kelangsungan hidup sel netrofil dalam saluran napas dan paru mungkin
diperkuat oleh sitokin GM-CSF dan G-CSF dari sumsum tulang yang dilepaskan oleh
makrofag alveolar sehingga sel netrofil menetap lebih lama dalam saluran napas dan paru. Sel
netrofil diperkirakan berperan penting dalam patogenesis bronkitis kronis dan emfisema paru
pada PPOK (Barnes, 2014; Barnes, 2008; Larsson, 2007). Sel netrofil dapat mensekresi
keluarga serin protease dan MMPs. Keluarga serin protease meliputi netrofil elastase (NE),
cathepsinG (CatG), proteinase3 (Pr3) terdapat di dalam granul netrofil. Keluarga MMPs
yang disekresi oleh sel netrofil terutama MMP 8 dan 9. Keluarga serin protease merupakan
stimulan poten sekresi mukus, dan bersama dengan MMP8 dan MMP9 berkontribusi
terhadap kerusakan dinding alveolar paru pada penderita PPOK (Sarker, 2014; Barnes, 2008;
Larsson, 2007). Perekrutan dan peran sel netrofil pada patogenesis PPOK dijelaskan pada
Gambar 5 (Larsson, 2007).
Limfosit
Sel limfosit merupakan sel yang berperan dalam sistem imun didapat atau spesifik.
Limfosit Sel limfosit T berperan dalam imunitas selular sedangkan sel B imunitas humoral.
Respons imun didapat dimulai ketika reseptor pada limfosit mengenali antigen. Sel B dan T
yang matur dapat mengekspresikan reseptor (BCR dan TCR) pada permukaanya. Sel B
menggunakan antibodi sebagai reseptor di permukaan membran untuk mengenali antigen
(Baratawidjajaand Rengganis, 2014). Sel T hanya mengenali antigen yang terikat molekul
MHC yang dipresentasikan oleh SD.Sel dendritik matur migrasi kedalam kelenjar getah
bening lokal dengan mengekspresikan MHC pada kostimulator CD80 dan CD86 untuk
mempresentasikan antigen ke sel T. Sel T berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
efektor limfosit T CD4+ dan CD8+. Keterlibatan sel T CD8+ dan CD4+ meningkat signifikan
di dalam saluran napas besar, kecil, dan parenkim paru pada perokok penderita PPOK.
Beberapa studi penelitian menunjukkan bahwa sel T CD8+ lebih berperan dibandingkan CD4+
pada perokok penderita PPOK. Peningkatan jumlah sel T CD8+ dikaitkan dengan kerusakan
alveoli dan derajat obstruksi saluran napas (Cosio et al., 2009; Barnes and and Cosio, 2006).
Sel T di dalam pembuluh darah tidak dapat masuk ke dalam parenkim paru namun
sekali teraktivasi sel T dapat ditarik masuk ke paru melalui tissue-specific chemokine
receptors. Sel epitel dan makrofag yang teraktivasi oleh asap rokok akan menstimulasi IFNγ
melepaskan kemokin ligand CXCL9 (dikenal dengan monokine induce IFNγ (MIG),
CXCL10 (dikenal dengan IFNγ induce protein (IP10), CXCL11 (I-TAC) untuk menarik sel
efektor Th1 CD4+ dan sel T sitolitik CD8+ masuk ke dalam paru melalui CXCR3.
Peningkatan sekresi IFNγ oleh Tc1 dan Th1 berikatan dengan CXCR3 dapat menyebabkan
proses inflamasi menetap. Sel T CD8+ saat teraktivasi akan berdiferensiasi menjadi sel T
sitotoksik (CTL/Tc) yang mampu membunuh sel terinfeksi dan dapat mensekresi protein
seperti porfirin atau granzim A dan B mengakibatkan sel apoptosis. Sel T CD8+ mengenal
antigen yang dipresentasikan oleh APC melalui MHC1 (Barnes, 2014; Brusselle et al, 2011;
Barnes and Cosio, 2006).
Sel T CD4+ berdiferensiasi menjadi beberapa sel efektor berdasarkan sitokin yang
diproduksinya. Antigen ditangkap, diproses, dan dipresentasikan oleh SD melalui MHC2
menjadi T CD4+naif. Sel T CD4+naifyang teraktivasikan berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi subset sel efektor diantaranya Th1,Th2, Th17, dan Treg. Sel efektor T CD4+berperan
mengaktifkan fungsi makrofag dan limfosit B. Subset selefektor T CD4+ Th1 dan Th17
sering ditemukan pada penderita PPOK stabil. Sel Th1 memproduksiIFNγ yang berperan
penting dalam meningkatkan fungsi fagositosis makrofag untuk membunuh patogen.
Interferon gama (IFNγ) juga memstimulasi sel B untuk memproduksi IgG yang bekerja
sebagai opsonin dalam fagositosis. Interferon gama (IFNγ) menstimulasi ekspresi MHC1 dan
MHC2 dan ko-stimulator pada APC sehingga memperkuat respons sel T. Peran CD4+ pada
penderita PPOK stadium lanjut belum jelas. Peningkatan jumlah sel T CD4+dan CD8+di
dalam paru dikaitkan dengan beratnya derajat PPOK (Barnes, 2014; Brusselle et al, 2011;
Barnes and Cosio, 2006).
Sel Th17 merupakan T CD4+ yang mempunyai peranan dalam repons inflamasi dan
penyakit autoimun (Brusselle et al., 2011). Interleukin 17 berperan dalam pengerahan,
aktivasi, dan migrasi sel imun terutama sel netrofil pada saluran napas. Interleukin 17
diperkirakan berperan meningkatkan respons inflamasi terutama penyakit inflamasi kronik.
Peran SelTh17 perokok dan penderita PPOK belum jelas namun Th17 dapat menginduksi
kerusakan jaringan paru yang bersifat autoimun (Brusselle et al., 2011; Barnes, 2008). Sel T
CD4+ dan CD8+ pada patogenesis PPOK dijelaskan pada Gambar 7 (Barnes, 2008).
Gambar 7. Peran sel T CD8+ dan CD4+ pada PPOK.
Keterangan: IFNγ: interferon gamma; CXCL:kemokin ligan;Th1:
Thelper1;Tc1: T cell sitolitik.
Dikutip dari (Barnes, 2008)
Peroksidasi Lemak
Membran sel terdiri dari dua lapisan yaitu protein dan lemak yang kaya akan asam
lemak tidak jenuh ganda/polyunsaturated fatty acid (PUFA). Reactive oxygen species (ROS)
saat berikatan dengan lemak tak jenuh ganda penyusun fosfolipid membran selmudah
membentuk hidroperoksida (Calvacante and Bruin, 2009; Rahman and Adcock, 2006). Target
utama ROS adalah DNA, protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein. Peroksidasi lemak
menyebabkan struktur membran terganggu, perubahan integritas, fluiditas, permeabilitas dan
gangguan fungsional, serta memodifikasi low density lipoprotein (LDL). Peroksidasi lemak
terlibat dalam patogenesis kerusakan jaringan paru pada penderita PPOK. Produk hasil
peroksidasi lemak berupa reaktif aldehid seperti malondialdehide (MDA), isoprostane (8-IP),
acrolein, dan4-hydroxy-2-nonenal (4-HNE). Produk reaktif aldehid secara in vivo relatif stabil
sehingga dapat digunakan sebagai penanda sebagai penanda stres oksidatif di paru.
Peningkatan kadar MDA, 4-HNE, dan 8-IP menyebabkan mutasi gen dan peningkatan risiko
kanker paru. Peroksidasi lemak membran sel dijelaskan pada Gambar 11 (Rahman and
Adcock, 2006).
Gambar 13. Pengaruh stres oksidatif terhadap regulasi kromatin dan ekspresi gen
proinflamasi.
Dikutip dari (Rahman, 2006)
2. Interleukin (IL)-8
Interleukin (IL)-8, kemokin CXC adalah kemoaktraktan poten netrofil yang memiliki
peranan penting dalam amplifikasi respons inflamasi pada PPOK eksaserbasi. Kadar IL-8
meningkat di sputum dan BAL pada PPOK terutama kondisi eksaserbasi (Barnes, 2008;
Lambrecht and Brusselle, 2009). Peningkatan kadar IL-8 dikaitkan dengan peningkatan
jumlah netrofil di dalam sputum. Interleukin(IL)-8 disintesis oleh beberapa sel yaitu epitel,
netrofil, makrofag sebagai respons terhadap stimulus (asap rokok, TNFα, lipopolisakarida,
produk bakteri, dan virus) (Mukaida, 2003; Lambrecht and Brusselle, 2009). Sel netrofil juga
dapat melepaskan IL-8 sehingga menarik netrofil lebih banyak yang berdampak pada
peningkatan respons inflamasi. Aktivasi faktor transkripsi utama NFκB dapat meningkatkan
pelepasan gen mediator inflamasiIL-8. Peningkatan kadar IL-8 dalam sputum dan plasma
dikaitkan dengan perburukkan gejala klinis, peningkatan rawat inap rumah sakit, penurunan
fungsi paru dan kualitas hidup, serta peningkatan mortalitas (Wedzicha et al, 2013).
5. Patofisiologi PPOK
Perubahan patofisiologi PPOK karena perubahan patologis pada saluran napas
proksimal, perifer, parenkim paru, dan pembuluh darah paru. Perubahan karakteristik PPOK
berhubungan dengan perubahan abnormalitas fisiologis dan gejala yang khas. Inflamasi dan
penyempitan saluran napas perifer menyebabkan penurunan VEP1.Emfisema paru yang
diakibatkan oleh kerusakan parenkim pada PPOK berkontribusi terhadap hambatan aliran
udara dan gangguan pertukaran gas (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease,
2016; Senior and Atkinson, 2008). Perubahan fisiologis PPOK meliputi:
1. Hipersekresi mukus dan disfungsi silia
Hipersekresi mukus mengakibatkan batuk kronik produktif yang merupakan
gambaran klinis bronkitis kronik. Hipersekresi mukus pada PPOK terjadi karena
peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar sub mukosa sebagai respons
inflamasi saluran napas kronik terhadap asap rokok dan zat berbahaya lainnya. Beberapa
mediator dan protease yang berperan menstimulasi sekresi mukus antara lain proteinase
(netrofil elastase dan MMP9) dan (EGFR) (Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease, 2016; Senior and Atkinson, 2008; ATS dan ERS, 2004).
2. Hambatan aliran udara dan air trapping
Hambatan aliran udara saat ekspirasi sebagian besar ireversibel merupakan
tanda fisiologis utama PPOK. Hambatan aliran udara terutama pada salurannapas
konduksi kecil dengan diameter < 2 mm akibat adanya airway remodeling yaitu fibrosis
dan penyempitan. Perluasan inflamasi, fibrosis,dan eksudat di lumen saluran napas kecil
berhubungan dengan penurunanVEP1, rasio VEP1/KVP, dan percepatan penurunan nilai
VEP1 sebagai tandakhas pada PPOK (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease, 2016; ATS dan ERS, 2004). Penderita PPOK mengalami penurunan nilai VEP1
sebesar 50-60 mL/tahun. Penurunan rasio VEP1/KVP berdasarkan spirometri dengan
menilai cut off rasio VEP1/KVP postbronkodilator <70% (Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease, 2016; ATS dan ERS, 2004).
3. Ketidakseimbangan asam-basa
Penderita PPOK yang mengalami eksaserbasi menyebabkan gangguan pertukaran gas
berdampak terjadinya hipoksemia dan hiperkapnia. Pertukaran gas antara oksigen (O2) dan
karbondioksida (CO2) semakin bertambah berat dengan beratnya derajat progesifitas
PPOK. Penurunan ventilasi menyebabkan sensitivitas kemoreseptorpusat menurun akibat
retensi karbondioksida (CO2). Pemberian oksigen (O2) berlebih pada pasien PPOK
terutama pada saat ekasarsebasi akan menurunkan sensitivitas pusat pernapasan (Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2016; Brashier, 2012).
4. Hipertensi pulmonal
Hipertensi pulmonal, gagal jantung kanan, dan tromboemboli merupakan kejadian
yang sering terjadi pada PPOK stadium lanjut. Hipertensi pulmonal disebabkan oleh
vasokontriksi pembuluh darah kapiler paru yang diinduksi oleh keadaan hipoksia, dan
akhirnya menyebabkan disfungsi endotel, remodelling pembuluh darah kapiler paru akibat
hiperplasia dan hipertrofi sel otot polos, destruksi capillary bed pulmonal. Progresifitas
hipertensi pulmonal menyebabkan hipertrofi, dilatasi, dan disfungsi ventrikel kanan yang
bermanifestasi sebagai gagal jantung kanan kronik (Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease, 2016; Mac Nee, 2011).
5. Eksaserbasi
Eksaserbasi adalah perburukan gejala (batuk, sesak, perubahan dahak) dari kondisi
biasa sehari-hari. Eksaserbasi pada PPOK sekitar 70% disebabkan oleh infeksi baik
bakteri maupun virus selebihnya polutan lingkungan dan komorbid (Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease, 2016; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).
Eksaserbasi berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi dan perburukan gejala.
Kondisi eksaserbasi akut PPOK merupakan suatu kondisi penting karena memiliki efek
negatif terhadap kualitas hidup penderita. Eksaserbasi akut PPOK memperberat derajat
PPOK. Perbaikan gejala dan perbaikan fungsi paru akibat eksaserbasi membutuhkan
waktu lebih lama. Eksaserbasi juga menyebabkan meningkatnya perawatan di rumah sakit
(RS), meningkatnya beban sosio ekonomi, meningkatnya angka mortalitas, dan
memperburuk prognosis (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2016;
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011; MacNae, 2011).
6. Diagnosis PPOK
mMRC tingkat 0. Saya hanya mendapat sesak apabila latihan yang berat
mMRC tingkat 1. Saya mendapat sesak apabila tergesa-gesa menaiki tangga atau berjalan
menaiki bukit.
mMRC tingkat 2. Saya berjalan lebih lambat daripada orang lain seusia saya karena rasa
sesak, atau saya harus berhenti untuk bernapas ketika berjalan pada
tingkat kecepatan saya sendiri
mMRC tingkat 3. Saya berhenti bernapas setelah berjalan 100 meter atau setelah beberapa
menit dengan tingkatannya
mMRC tingkat 4. Saya terlalu mudah sesak untuk bepergian meninggalkan rumah atau
saya merasakan sesak ketika memakai pakaian atau melepaskan pakaian
Dikutip dari (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease,2016)
Skor COPD Assessment Test (CAT) merupakan kuesioner yang tervalidasi dan mudah
diterapkan terdiri dari delapan item pernyataan untuk mengetahui status kesehatan pada
PPOK (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2016; Jones, 2009). COPD
Assessment Test bisa digunakan untuk semua pasien yang terdiagnosis PPOK pada semua
derajat keparahan baik PPOK stabil maupun eksaserbasi. COPD assessment test (CAT)
bukan merupakan alat diagnostik pengganti spirometri dan tidak menggantikan terapi PPOK,
tetapi CAT dan spirometri merupakan komponen pengukuran untuk menilai klinis,
membantu monitoring efek PPOK seperti program rehabilitasi atau perbaikan eksaserbasi
sehingga terapi yang diberikan dapat optimal. Nilai skor CAT meningkat saat eksaserbasi
akut dan menggambarkan beratnya eksaserbasi berkaitan dengan fungsi paru dan lama
perawatan (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2016, Jones et al, 2009).
Kuesioner CAT dijelaskan oleh Gambar 16 (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease, 2016; Jones et al, 2009).
8. Derajat Eksaserbasi
Eksaserbasi rata-rata terjadi tiap tahun dan menjadi penting karena berhubungan
dengan pemberian terapi. Derajat eksaserbasi akut tanpa gagal napas diklasifikasikan
berdasarkan beberapa sistem penderajatan. Salah satu klasifikasi berdasar kriteria Winnipeg.
Winnipeg membagi derajat eksaserbasi berdasar tiga gejala kardinal yaitu peningkatan
jumlah dahak, perubahan warna (purulensi) dahak, dan penambahan sesak napas. Kriteria
Winnipeg dapat dilihat pada Tabel 3 (MacIntyre and Huang, 2008).
Tabel 3.Derajat eksaserbasi akut PPOK berdasar kriteria Winnipeg.
Derajat eksaserbasi Gejala klinis
Tipe 1 Tiga gejala meliputi peningkatan jumlah sputum, purulensi
sputum, dan sesak napas bertambah
Tipe 3 Satu dari tiga gejala ditambah paling tidak satu kriteria
yaituinfeksi saluran napas, demam, mengi, batuk bertambah,
atau peningkatan denyut jantung >20% dari nilai dasar.
(Dikutip dari MacIntyre and Huang, 2008)
Global Initiative of Chronic Obstructive Lung Diseases tahun 2016 membagi PPOK
menjadi grup A, B, C, dan D berdasarkan penilaian keempat faktor diatas. Penderita derajat A
adalah penderita dengan risiko rendah dan sedikit gejala, ditandai derajat obstruksi saluran
napas GOLD 1-2, risiko eksaserbasi ≤1x/ tahun atau tidak membutuhkan perawatan RS, dan
nilai mMRC 0-1 atau CAT <10. Penderita derajat B adalah penderita risiko rendah dan gejala
lebih, ditandai derajat obstruksi saluran napas GOLD 1-2, risiko eksaserbasi ≤1x/ tahun atau
tidak mmbutuhkan perawatan RS, dan nilai mMRC ≥2 atau CAT ≥10. Penderita derajat C
adalah penderita risiko tinggi dan sedikit gejala, ditandai derajat obstruksi saluran napas
GOLD 3-4, risiko eksaserbasi ≥2x/ tahun atau ≥1x membutuhkan perawatan RS, dan nilai
mMRC 0-1 atau CAT <10. Penderita derajat D adalah penderita risiko tinggi dan gejala lebih,
ditandai derajat obstruksi saluran napas GOLD 3-4, risiko eksaserbasi ≥2x/ tahun atau ≥1x
membutuhkan perawatan RS, dan nilai mMRC >2 atau CAT ≥10 (Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease, 2016). Penilaian derajat berat penyakit PPOK menurut
GOLD dapat dilihat pada Gambar 17 (Global Initiative of Chronic Obstructive Lung Disease,
2016).
9. Penatalaksanaan PPOK
Tujuan penatalaksanaan PPOK antara lain mengurangi gejala, mencegah progresivitas
penyakit, meningkatkan toleransi latihan, meningkatkan kualitas hidup penderita, mencegah
dan menangani komplikasi, mencegah dan menangani eksaserbasi, serta menurunkan risiko
kematian (Global Initiative of Chronic Obstructive Lung Disease, 2016; Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2011).Tatalaksana PPOK terdiri atas non-farmakologik dan farmakologik.
Terapi non-farmakologik antara lain berhenti merokok, rehabilitasi dengan fisioterapi dada
serta latihan pernapasan untuk memperkuat otot napas dan membuang kelebihan CO yang
terkumpul di alveoli paru. Terapi farmakologis diberikan saat penderita dalam kondisi stabil
dan eksaserbasi.Pemilihan terapi PPOK saat stabil disesuaikan dengan derajat klasifikasi
PPOK sesuai pedoman GOLD 2016 dijelaskan pada Tabel 4 (Global Initiative of Chronic
Obstructive Lung Disease, 2016).
Tabel 4.Terapi farmakologisPPOK saat stabil
Pasien Rekomendasi pilihan Pilihan alternative Terapi lain
pertama
A SAMA bila perlu atau LAMA atau LABA Teophyline
SABA bila perlu atau SAMA dan
SABA
B LAMA atau LABA LAMA dan LABA SABA dan atau SAMA
Theophyline
C ICS + LABA atau LAMA dan LABA SABA dan atau SAMA
LAMA atau LAMA dan Theophyline
PDE4-inh
D ICS + LABA dan atau ICS + LAMA dan Carbosistein
LAMA LABA atau ICS + SABA dan atau SAMA
LABA dan PDE4-inh Theophyline
atau LAMA dan
LABA atau LAMA
dan PDE4-inh
Keterangan: SAMA: short acting muscarinic agent; SABA:short acting
beta agonis; LAMA: long acting muscarinic agent; LABA: long acting
beta agonis; PDE4-inh: phosphodiesterase inhibitor.
Dikutip dari (Global Initiative of Chronic Obstructive Lung Disease, 2016)
B. Resveratrol
Interaksi antara obat dan sistem biologis terbagi dua yaitu farmakokinetik dan
farmakodinamik. Farmakokinetik resveratrol meliputi absorbsi, metabolisme, distribusi, dan
eliminasi. Bioavailabilitas resveratrol tergantung dari absorbsi, distribusi, metabolisme ikatan
resveratrol dengan berbagai molekul, dan eksresi pada tiap individu (Walle, 2011; Smoliga
and Blanchrad, 2014).
a. Absorbsi resveratrol
Resveratrol oral diabsorbsi dengan baik sekitar 70-80%dan relatif cepat dalam saluran
gastrointestinal. Resveratrolyang telah tercerna diabsobsisebagian besar secara difusi pasif
oleh epitel usus halusdan transport aktif oleh ATP-dependent binding cassette (ABC)
sehingga memudahkan translokasi bahan terlarut masuk kedalam sel. Struktur kimia RES
menyebabkan kelarutan dalam air rendah. Peningkatan kelarutan RES dalam air rendah
diperlukan pelarut organik antara lain dilarutkan dalam etanol (white wine) atau bersamaan
dengan makanan. Trans-resveratrol oral memiliki berat molekul kecil dan bersifat larut
lemaksehingga absorbsi lebih baik ke dalam sel (Walle, 2011; Smoliga and Blanchrad, 2014).
b. Metabolisme resveratrol
Resveratrol mengalami konjugasi glukoronida dan sulfat di hepar dan usus
halussetelah diabsorbsi sehingga mencapai sirkulasi sekitar 30-60 menit. Proses konjugasi
glukuronida dan sulfat dapat meningkatkan kelarutan resveratrol dalam air sehingga mudah
diekresikan oleh ginjal melalui urin. Resveratrol dalam hati manusia diubah menjadi trans-
resveratrol-3-O-4’-disulfat (S1), trans-resveratrol-4’-O-sulfat (S2), dan trans-resveratrol-3-
O-sulfat (S3) oleh enzim sulfatransferase (SULT). Resveratrol dalam usus halus ditemukan
dalam bentuk trans-resveratrol-4’-O-glucuronide (G1) dan trans-resveratrol-3-O-
glucuronide (G2). Perubahan bentuk metabolit resveratrol dalam usus karena mengalami
glukoronidase oleh uridine 5’-diphospho-glucoronosyltransferases (UGTs).Kemampuan usus
halus mengabsorbsi dan memetabolisme resveratrol tergantung fungsi hepar dan aktivitas
metabolik mikroflora lokal usus pada manusia (Smoliga and Blanchrad, 2014; Neves et al,
2012). Jalur metabolisme resveratrol dalam hati oleh enzim SULT dapat dilihat pada Gambar
20 (Neves et al, 2012).
Gambar 20. Jalur metabolisme resveratrol dalam hati oleh enzim SULT. trans-
resveratrol-3-O-4’-Odisulfate (S1), trans-resveratrol-4’-O-sulfate (S2), dan
trans-resveratrol-3-O-sulfate (S3).
Dikutip dari (Neveset al, 2012).
c. Distribusi
Suatu senyawa terapeutik bersifat efisien bila memiliki afinitas berikatan dengan
protein pengangkut. Resveratrol memiliki sifat kelarutan air rendah oleh karena itu
resveratrol harus berikatan dengan protein plasma untuk memastikan terdistribusi ke seluruh
tubuh dan bioavailabilitas adekuat. Resveratrol dalam proses transportasi berikatan dengan
protein serum seperti albumin, asam lemak, dan lipoprotein sehingga ikatan kompleks
tersebut dapat memfasilitasi penyerapan obat ke seluruh organ tubuh. Studi penelitian in vitro
menunjukkan trans-resveratrol lebih dari 90% mudah berikatan dengan plasma lipoprotein
manusia (Smoliga et al, 2014; Neves et al, 2012).
d. Eksresi
Seluruh metabolit resveratrol dieksresikan melalui urin dan feses setelah 24 jam pada
pemberian tunggal. Metabolit utama yang ditemukan dalam urin mencit yaitu mono-
glukuronida dan dihidro-resveratrol, sadangkan metabolit yang ditemukan dalam urin
manusia berupa konjugasi glucuronida dan sulfat dari resveratrol dan dihydro-resveratrol.
Total ekskresi konjugasi glucuronida dan sulfat dalam urine dan feses manusia sekitar 80-
98% setelah pemberian oral dan 59-91% setelah intravena (iv) (Neves et al, 2012).
e. Bioavabilitas resveratrol
Bioavailabilitas resveratrol tergantung dari efektivitas absorpsi usus halus dan
ekskresi ginjal. Data farmakokinetik dari beberapa penelitian menunjukkan trans-resveratrol
diabsorbsi, dimetabolisme, dan diekskresikan dengan cepat pada manusia dan hewan namun
resveratrol memiliki bioavailabilitas rendah sehingga mengurangi manfaat biologis dan
farmakologis dalam tubuh. Studi penelitian pada manusia menunjukkan pemberian
resveratrol oral 25 mg/kgbb/hari diserap sekitar 75% dan dimetabolisme dengan cepat sekitar
30 menit dengan kadar puncak di dalam plasma sebesar 2μM (Smoliga et al., 2014; Neves et
al., 2012). Resveratrol dengan dosis besar dapat digunakan untuk memaksimalkan hasil
resveratrol namun dosis besar juga dihubungkan denganefek samping yang buruk. Salah satu
pendekatan yang sederhana untuk meningkatkan bioavailabilitas resveratrol yaitu bersamaan
dengan makanan. Piperin adalah polifenol yang ditemukan pada merica hitam, dilaporkan
dapat meningkatkan kadar maksimal plasma (Cmax) dan under area curve (AUC) resveratrol
dalam serum tikus secara bermakna. Johnson dkk. tahun 2008 menunjukkan pemberian
piperin 10mg dengan resveratrol 100mg meningkatkan kadar resveratrol dalam plasma
sekitar 100% dan menghambat salah satu metabolisme glukuronida resveratrol (Neves et al,
2012). Sejumlah penelitian baru menunjukkan pemberian nanocapsul resveratrol
memperbaiki stabilitas dan bioavailabilitas, serta meningkatkan pemberian intraselular
(Smoliga et al, 2014; Neveset al, 2012).
f. Toksisitas
Beberapa studi penelitian telah mempublikasikan berbagai efek samping pemberian
trans-resveratrol oral pada hewan dan manusia. Penelitian Juan et al. 2002 melakukan
penelitian pemberian trans-resveratrol intravena 80 mg/kg/hari pada tikus selama 5 hari tidak
menunjukkan efek samping. Penelitan tersebut dilanjutkan dengan pemberian trans-
resveratrol oral 250 mg/kg/hari selama 5 hari namun juga tidak menunjukkan adanya efek
samping pada tikus. Studi penelitian menunjukkan bahwa efek toksik akut pemberian trans-
resveratrol terjadi pada dosis letal (DL50) yaitu dosis letal rata-rata lebih dari 3 g/hari.
Kebanyakan efek samping yang terjadi pada dosis tinggi berupa penurunan fungsi ginjal
(Neves et al, 2012).
Pemberian trans-resveratrol jangka panjang pada tikus juga tidak menimbulkan efek
samping. Penelitian Crowell dkk. tahun 2004 menunjukkan bahwa pemberian trans-
resveratrol oral dengan dosis terbagi masing-masing 300, 1000, dan 3000 mg/kg/hari selama
28 hari pada tikus (Neves et al, 2012). Efek samping terbanyak didapatkan pada dosis 3000
mg/kg/hari. Efek samping tersebut meliputi penurunan nafsu makan dan berat badan, serta
peningkatan tanda klinis toksik berupa peningkatan enzim hati (ALT), plasma BUN dan
kreatinin. Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan perubahan patologi berat pada ginjal.
Banyak peneliti menunjukkan pemberian trans-resveratrol oral dosis 300 sampai 1000
mg/hari tidak menimbulkan efek samping pada tikus. Produk suplemen diet trans-resveratrol
rata-rata sekitar 50 sampai 500 mg. Penelitian klinis pada manusia menunjukkan bahwa
pemberian trans-resveratrol 50-1000 mg/hari tidak menunjukkan efek samping. Food drug
administration (FDA) merekomendasikan pemberian trans-resveratrol oral dosis 300 mg/hari
telah memenuhi standar untuk tingkat keamanan suplemen (Smoliga et al, 2014; Neves et al,
2012).
Gambar 22. Efek stres oksidatif dan diit polifenol pada modifikasi struktur kromatin
dan ekspresi gen proinflamasi.
Keterangan : IκB : inhibitor kappa B; p65 dan p50 : subunit protein;
CBP/p300 :cAMP binding protein; HAT : histon
asetiltransferase; SIRT :silent information regulator.
Dikutip dari (Rahman, 2003)
c. Resveratrol sebagai antioksidan
Resveratrol mempunyai aktivitas antioksidan karena mampu menetralisir radikal
bebas dan meningkatkan antioksidan enzimatik selular. Zini et al.1999 menunjukkan
resveratrol berperan sebagai antioksidan alami melalui tiga mekanisme yang berbeda yaitu
(a) mengikat (scavenger) radikal bebas, (b) mencegah peroksidasi lemak yang dihasilkan dari
reaksi fenton, (c) menstimulasi biosintesis antioksidan endogen enzimatik melalui modulasi
signal transduksi redoks antara lain nuclear erythroid-related factor (Nrf2) dan FOXO3
(Agarwal and Shisodia, 2006). Resveratrol sebagai antioksidan berperan mengikat
(scavenger) radikal bebas dengan menyumbangkan elektronnya (atom hidrogen) ke molekul
radikal bebas yang bersifat reaktif sehingga menjadi lebih stabil. Resveratrol baik secara in
vivo dan in vitro dapat mengaktifkan dan meningkatkan beberapa antioksidan endogen
enzimatik seperti MnSOD, CAT, glutation (GSH) reduktase, dan peroksidase. (Yang et al,
2007; Lastra et al, 2006). Penelitian menurut Yen dkk dilanjutkan oleh Pandey dan Rizvi
pada tahun 2010 menyatakan bahwa resveratrol mampu melindungi sel epitel saluran napas
dari kerusakan oksidatif dengan menginduksi sintesis GSH melalui faktor transkripsi nuclear
factor E2 related factor2 (Nrf2) (Pandey and Rizvi, 2011) .
C. Kerangka Teori
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) eksaserbasi adalah kondisi akut yang ditandai
dengan perburukan gejala respiratorik berupa sesak napas, batuk, dan produksi dahak diluar
variasi normal sehingga membutuhkan pengobatan lebih intensif. Faktor penyebab PPOK
eksaserbasi yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu infeksi saluran napas dan
eksternal yaitu pajanan polutan didalam rumah (keluarga perokok dan asap pembakaran
kayu) dan pajanan polutan diluar rumah (asap transportasi dan tempat kerja). Faktor umur,
status gizi, pekerjaan juga dapat menjadi perancu timbulnya eksaserbasi. Eksaserbasi
berkontribusi terhadap keparahan penyakit oleh karena dapat meningkatkan respons
inflamasi, stres oksidatif, dan kadar protease.
Peningkatan (amplifikasi) respons inflamasi mengakibatkan pengerahan sel inflamasi
(neutrofil, makrofag, eosinofil, limfosit) dalam jumlah besar masuk ke saluran napas dan
paru. Peningkatan sel inflamasi menyebabkan faktor transkripsi NFκβ teraktivasi. Nuclear
factor kaffa β (NFκβ) dalam keadaan tidak teraktivasi berikatan dengan protein keluarga
inhibitor κappa β (Iκβ α, Iκβ β, dan Iκβ ε) di sitoplasma. Inhibitor κappa β (Iκβ) merupakan
penghalang translokasi faktor transkripsi NFκβ kedalam inti sel. Fosforilasi dan degradasi
Iβ oleh radikal bebas menyebabkan NFκβ lepas dari Iβ melalui enzim IK selanjutnya
translokasi kedalam inti sel. Aktivitas NFκβ di dalam inti sel menghasilkan berbagai mediator
inflamasi antara lain, sitokin (TNF-α, IL-8, IL-6,dan IL-1β), kemokin (chemokine ligand
CXCL8), dan proteinase (netrofil elastase, dan MMP-9). Kondisi eksaserbasi juga dapat
meningkatkan inflamasi sistemik yang disebabkan oleh spillover mediator inflamasi paru ke
sirkulasi. Inflamasi kronik PPOK meningkatkan resistensi glukokortikosteroid.
Sel inflamasi neutrofil dan makrofag merupakan sumber utama ROS/RNS endogen.
Paru memiliki mekanisme pertahanan untuk mempertahankan kondisi homeostasis dengan
menghasilkan antioksidan endogen. Kondisi eksaserbasi akan mengerahkan sel inflamasi
kedalam saluran napas sehingga menghasilkan pelepasan ROS berlebih. Ketidakseimbangan
antara oksidan dan antioksidan yang mengakibatkan timbulnya stres oksidatif. Stres oksidatif
baik secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan perubahan struktur dan fungsi
saluran napas dan parenkim paru. Stres oksidatif secara langsung menyebabkan oksidasi
DNA, lemak, dan protein membran sel saluran napas dan paru. Stres oksidatif tidak langsung
mengaktivasi faktor transkripsi NFκβ yang berdampak pada regulasi sejumlah mediator
inflamasi.
Amplifikasi inflamasi, peningkatan stres oksidatif, dan peningkatan produksi dan
aktivitas protease menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan fungsi saluran napas yang
bersifat kronik, progresif, dan ireversibel. Perubahan patofisiologis berupa hipersekresi
mukus dan disfungsi silia, edema saluran napas, dan fibrosis saluran napas kecil, serta
emfisema paru. Perburukan gejala klinis PPOK saat eksaserbasi dapat dinilai dengan
kuesioner CAT. Kerangka teori secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 23.
PPOK
Amplifikasi inflamasi
Emfisema
MDA
↑ Inflamasi saluran napas, hipersekresi mukus, edema saluran napas, fibrosis saluran napas kecil,
dan emfisema paru
Amplifikasi inflamasi
↓ Aktivasi faktor
Resveratrol transkripsi
(NF-kβ)
(NFkβ)
↓Release mediator
↓Releaseinflamasi
mediator inflamasi
↓interleukine
↓interleukine
(IL)-8
(IL)-8
plasma,
plasma,
MMP-9
MMP-9
plasma
plasma
↓ Inflamasi saluran napas, hipersekresi mukus, edema saluran napas, fibrosis saluran napas kecil,
dan emfisema paru
Gambar 24. Kerangka konsep penelitian tentang pengaruh resveratrol terhadap kadar
IL-8 dan MMP-9 plasma, penderita PPOK eksaserbasi akut.
Variabel penelitian:
variabel terikat ,variabel bebas , Area penelitian:-------
E. Hipotesis Penelitian
1. Ada penurunan kadar IL-8 plasma penderita PPOK eksaserbasi akut setelah pemberian
resveratrol.
2. Ada penurunan kadar MMP-9 plasma penderita PPOK eksaserbasi akut setelah pemberian
resveratrol.