Anda di halaman 1dari 25

MORFOLOGI DAN SITOLOGI MIKROBA, KAPANG DAN KHAMIR

SERTA KONSEP PEWARNAAN MIKROBA

MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Mikrobiologi
Yang dibina oleh Agung Witjoro, S.Pd, M.Kes

Disusun oleh:

Kelompok 3 Offering H 2017

1. Dianvita Nur Fadhilah (170342615575)


2. Ida Mawadah (170342615526)
3. Raden Roro Ranty Kusumaningayu (170342615590)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
JANUARI 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayat-Nya, tim
penulis dapat menyelasaikan makalah Mikrobiologi dengan judul Morfologi dan
Sitologi Mikroba, Kapang dan Khamir serta Konsep Pewarnaan Mikroba tepat
pada waktunya. Makalah ini ditulis dengan tujuan agar mahasiswa dapat
memahami ciri-ciri morfologi dan sitologi mikroba, kapang dan khamir serta
konsep pewarnaan mikroba. Tim penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu tim penulis dalam menyusun makalah
Mikrobiologi ini khususnya kepada Bapak Agung Witjoro, S.Pd, M.Kes selaku
dosen pembimbing mata kuliah Mikrobiologi di Universitas Negeri Malang.
Tim penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karenanya tim penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun, untuk kesempurnaan makalah ini. Tim penulis juga berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Malang, 25 Januari 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mikrobiologi merupakan cabang ilmu biologi yang mempelajari
mikroorganisme atau organisme kecil, mulai dari struktur, fungsi, serta peran
positif dan negatifnya terhadap kehidupan. Mikroorganisme ini hanya bisa
dilihat melalui mikroskop karena memiliki ukuran sangat kecil, kurang dari 1
mikro mm (jarak pandang mata manusia). Beberapa objek kajiannya yaitu
bakteri, linchen, fungi, dan virus yang dapat dietmukan diberbagai tempat.
Seperti di air, udara, tubuh manusia, tumbuhan, dan tanah.
Dewasa ini, perkembangan di bidang mikrobiologi semakin pesat. Kajian
ilmu ini telah memberikan kontribusi besar diberbagai aspek tak hanya di
bidang kesehatan tetapi juga di bidang forensik. Bahkan melahirkan temuan-
temuan baru yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari manusia. Sehingga
pada kajian ilmu biologi, disiplin ilmu mikrobiologi tidak berdiri sendiri
melainkan mencakup ilmulain. Seperti morfologi, virologi, mikologi, juga
ekologi. Oleh karenanya dalam makalah ini akan berisi tentang morfologi
serta mikologi mikroba.
Pada proses identifikasi mikroba, diperlukan teknis khusus untuk
mengetahui morfologi, sifat, struktur, juga sitologi dari mikroba. Salah satu
cara yang sering dan mudah digunakan yaitu dengan teknik pewarnaan.
Memberikan senyawa warna kepada mikroba dapat menjadikan mikroba
tampak jelas dan lebih detail dalam mengamati. Sehingga pada makalah ini
juga akan dijelaskan secara ringkas teknik pewarnaan pada mikroba.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana ciri-ciri morfologi dan sitologi mikroba, kapang, dan khamir?
2. Bagaimana teknik pewarnaan dalam pemeriksaan mikroba?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui ciri-ciri morfologi dan sitologi mikroba, kapang dan khamir
2. Mengetahui teknik pewarnaan dalam pemeriksaan mikroba
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 MORFOLOGI DAN SITOLOGI MIKROBA, KAPANG, DAN KHAMIR


2.1.1 Bentuk koloni mikroba
Bakteri tumbuh sangat cepat ketika disuplai dengan nutrisi yang
berlimpah. Bakteri dapat diperoleh dari berbagai tempat, misalnya di udara, di
antara helaian rambut, di sela-sela gigi, di dalam tanah dan lain sebagainya
(Hastuti, 2015). Karakteristik suatu koloni yang meliputi bentuk, ukuran, dan lain
sebagainya disebut dengan morfologi koloni. Morfologi koloni adalah metode
yang digunakan para ilmuwan untuk menggambarkan karakteristik suatu koloni
bakteri yang tumbuh pada agar dalam cawan Petri. Morfologi koloni dapat
digunakan untuk membantu mengidentifikasi mereka (Reynolds, 2018). Koloni
sel bakteri adalah sekelompok masa sel yang dapat diamati secara langsung
dengan mata telanjang. Sel-sel yang berada dalam suatu koloni merupakan sel
yang sama dan selnya merupakan keturunan dari satu mikroorganisme serta dapat
mewakili sebagai perkembangbiakan murni (Kusnadi, dkk., 2003). Sebuah koloni
didefinisikan sebagai massa mikroorganisme yang terlihat yang semuanya berasal
dari sel induk tunggal, oleh karena itu sebuah koloni merupakan klon bakteri yang
semuanya sama secara genetik (Deacon, 2003)

Gambar 2.1 Penampakan koloni dilihat dari bentuk keseluruhannya


(Sumber: Hadioetomo, 1985)
Gambar 2.2 Penampakan koloni dilihat dari tepian dan elevasi
(Sumber: Hadioetomo, 1985)
Berbagai jenis bakteri akan menghasilkan koloni yang tampak berbeda,
beberapa koloni memiliki warna, beberapa koloni berbentuk lingkaran, dan
yang lain tidak teratur. Penampakan koloni bakteri pada media agar
menunjukkan kekhasan bentuk dan ukuran. Kekhasan ini dapat dilihat dari
bentuk permukaan keseluruhan koloni, tepi koloni, dan permukaan koloni.
Pada medium agar miring, penampakan koloni bakteri ada yang mirip dengan
benang (filament), menyebar, mirip dengan akar, dan lain sebagainya. Ciri-ciri
koloni dapat membantu menentukan identitas bakteri. Spesies bakteri yang
berbeda dapat menghasilkan koloni yang sangat berbeda (Kusnadi, dkk.,
2003).

Gambar 2.3Bentuk koloni bakteri pada medium agar miring


(Sumber: Ferdiaz, 1989)
Keterangan:
A. Bentuk serupa pedang,
B. Bentuk berduri
C. Bentuk berupa tasbih
D. Bentuk titik-titik
E. Bentuk serupa batang,
F. Bentuk serupa akar.

2.1.2 Bentuk Sel Bakteri, Kapang, dan Khamir


a. Bentuk Sel Bakteri
Sel Bakteri merupakan tipe sel prokariotik yang dalam Bahasa Yunani pro
artinya kuno dan karyote artinya inti. Tipe sel prokariot memiliki ukuran yang
lebih kecil dibandingkan sel eukariot. Beberapa sel bakteri Pseudomonas hanya
berukuran 0,4-0,7 mikrometer diameternya dan panjangnya 2-3 mikrometer. Sel
ini tidak mempunyai organel seperti mitokondria, khloroplas, dan apparatus golgi.
Inti sel proariotik tidak mempunyai membrane. Bahan genetis berada di dalam
sitoplasma berupa untaian ganda (double helix) DNA berbentuk lingkaran yang
tertutup. Dinding sel bakteri adalah struktur yang kompleks dan agak kaku.
Dinding tersebut menentukan bentuk bentuk sel. Meskipun tidak mengandung
enzim dan tidak bersifat semipermeabel, namun dinding sel diperlukan agar sel
bakteri dapat berfungsi secara normal. Dinding sel yang kaku memungkinkan
bakteri dapat mengatasi konsentrasi osmosis yang berbeda-beda dan sitoplasma
tidak mengembang melampaui batas dinding yang kaku itu. Sejauh ini diketahui
bahwa ketebalan dinding sel bakteri berkisar 10-35 nm (Irianto, 2007).
Adapun penggolongan bakteri menjadi Gram positif dan Gram
negatif adalah berdasarkan perbedaan komposisi dinding sel. Bakteri Gram positif
dindingselnya terutama terdiri dari PG sehingga terbentuk dinding sel yang kaku.
Pada bagian luar petidoglikan terdapat senyawa yang disebut asam teikhoat.
Bakteri Gram negatif mengandung peptidoglikan dalam jumlah yang jauh lebih
sedikit,akan tetapi di bagian luar peptidoglikan terdapat membran luar yang
tersusun atas lipoprotein danfosfolipid. Selain itu bakteri jenis ini mengandung
lipopolisakarida. Oleh karena perbedaan komposisi dinding sel ini, bakteri Gram
positif dan negatif memiliki ketahanan yang berbeda. Bakteri Gram positif lebih
rentan terhadap antibiotika penisilin karena antibiotika ini dapat merusak
peptidoglikan. Sebaliknya karena jumlah peptioglikan yang lebih banyak, bakteri
Gram positif biasanya lebih tahan terhadap kerusakan mekanis (Irianto, 2017)

Gambar 2.4 Perbedaan dinding sel bakteri Gram Positif dan Gram Negatif
(Sumber: Irianto,2007)
b. Bentuk Kapang
Kapang (mould/filamentous fungi) merupakan mikroba anggota Kingdom
Fungi yang membentuk hifa. Tubuh atau talus suatu kapang pada dasarnya terdiri
dari 2 bagian miselium dan spora (sel resisten, istirahat atau dorman). Miselium
merupakan kumpulan beberapa filamen yang dinamakan hifa. Setiap hifa lebarnya
5-10 μm, dibandingkan dengan sel bakteri yang biasanya berdiameter 1 μm
(Coyne, 1999). Kapang melakukan penyebaran menggunakan spora. Spora
kapang terdiri dari dua jenis, yaitu spora seksual dan spora aseksual. Spora
aseksual dihasilkan lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan
spora seksual (Pelczar, 1999).
Habitat kapang sangat beragam, namun pada umumnya kapang dapat
tumbuh pada substrat yang mengandung sumber karbon organik. Umumnya jamur
hidup secara saprofit, artinya hidup dari penguraian sampah sampah-sampah
organik seperti bangkai, sisa tumbuhan, makanan dan kayu lapuk. Ada pula jamur
yang hidup secara parasit artinya jamur mendapatkan bahan organik dari inangnya
misalnya dari manusia, binatang dan tumbuhan. Adapula yang hidup secara
simbiosis mutualisme, yakni hidup bersama dengan orgaisme lain agar saling
mendapatkan untung, misalnya bersimbiosis dengan ganggang membentuk lumut
kerak (Pelczar, 1999).
Gambar 2.5.Kapang, misellium, dan spora jamur
(Sumber: Pelczar, 1999)
Kapang yang telah membentuk misellium dan spora jamur uniseluler
misalnya ragi dapat mencerna tepung hingga terurai menjadi gula, dan gula
dicerna menjadi alkohol, sedangkan jamur multiseluler misalnya jamur tempe
dapat mengaraikan protein kedelai menjadi protein sederhana dan asam amino.
Makanan tersebut dicerna diluar sehingga disebut pencernaan ekstraseluler, sama
seperti pada bakteri(Pelczar, 1999).
c. Bentuk Khamir
Khamir merupakan jenis jamur uniseluler, bentuk sel tunggal dan
berkembang biak secara pertunasan. Ukuran sel khamir beragam, lebarnya
berkisar antara 1-5 μm dan panjangnya berkisar dari 5-30 μm atau lebih. Biasanya
sel khamir berbentuk telur, tetapi beberapa ada yang memanjang atau berbentuk
bola. Setiap spesies mempunyai bentuk yang khas, namun sekalipun dalam biakan
murni terdapat variasi yang luas dalam hal ukuran dan bentuk. Sel-sel individu,
tergantung kepada umur dan lingkungannya. Khamir tak dilengkapi flagellum
atau organ-organ penggerak lainnya (Dwijoseputro, 2005).
Gambar 2.6. Khamir Saccharomyces sp
(Sumber: Pelczar,1999)
d. Bentuk Linchenes
Lichenes (lumut kerak) merupakan gabungan antara fungi dan alga
sehingga secara morfologi dan fisiologi merupakan satu kesatuan. Lumut ini
hidup secara epifit pada pohon-pohonan, di atas tanah terutama di daerah sekitar
kutub utara, di atas batu cadas, di tepi pantai atau gunung-gunung yang tinggi.
Tumbuhan ini tergolong tumbuhan perintis yang ikut berperan dalam
pembentukan tanah. Tumbuhan ini bersifat endolitik karena dapat masuk pada
bagian pinggir batu. Dalam hidupnya lichene tidak memerlukan syarat hidup yang
tinggi dan tahan terhadap kekurangan air dalam jangka waktu yang lama.
Lichenes yang hidup pada batuan dapat menjadi kering karena teriknya matahari,
tetapi tumbuhan ini tidak mati, dan jika turun hujan bisa hidup kembali
(Yurnaliza, 2002).
Menurut Yurnaliza (2002), berdasarkan bentuknya lichenes dibedakan atas
empat bentuk :
I. Crustose. Lichenes yang memiliki thallus yang berukuran kecil, datar,
tipis dan selalu melekat ke permukaan batu, kulit pohon atau di tanah.
Jenis ini susah untuk mencabutnya tanpa merusak substratnya.Contohnya
yaitu Graphis scipta, Haematomma puniceum, Acarospora atau
Pleopsidium.
Gambar 2.7.Haematommaaccolens dan Acarospora
(Sumber: Yurnaliza, 2002).
Lichen Crustose yang tumbuh terbenam di dalam batu hanya bagian
tubuh buahnya yang berada di permukaan disebut endolitik, dan yang
tumbuh terbenam pada jaringan tumbuhan disebut endoploidik atau
endoploidal. Lichen yang longgar dan bertepung yang tidak memiliki
struktur berlapisdisebut leprose.

Gambar 2.8.Caloplacaluteominae subspecies bolanderi (linchenendolitik)


(Sumber: Yurnaliza, 2002).
II. Foliose. Lichen foliose memiliki struktur seperti daun yang tersusun oleh
lobuslobus. Lichen ini relatif lebih longgar melekat pada substratnya.
Thallusnya datar, lebar, banyak lekukan seperti daun yang mengkerut
berputar. Bagian permukaan atas dan bawah berbeda. Lichenes ini
melekat pada batu, ranting dengan rhizines. Rhizines ini juga berfungsi
sebagai alat untuk mengabsorbsi makanan. Contohnya yaitu Xantoria,
Physcia, Peltigera, Parmelia dll
Gambar 2.9.Xantoria elegans Gambar 2.10.Physciaaipolia
(Sumber: Yurnaliza, 2002). (Sumber: Yurnaliza, 2002).

Gambar 2.11Peltigera malacea Gambar 2.12Palmelia sulcata


(Sumber: Yurnaliza, 2002). (Sumber: Yurnaliza, 2002).

III. Fruticos. Thallusnya berupa semak dan memiliki banyak cabang dengan
bentuk seperti pita. Thallus tumbuh tegak atau menggantung pada batu,
daun-daunan atau cabang pohon. Tidak terdapat perbedaan antara
permukaan atas dan bawah. Contohnya yaitu Usnea, Ramalina dan
Cladonia.

Gambar 2.13.Usnealongissima Gambar 2.14.Ramalinastenospora


(Sumber: Yurnaliza, 2002). (Sumber: Yurnaliza, 2002).
Gambar 2.15.Cladoniaperforate
(Sumber: Yurnaliza, 2002).
IV. Squamulose. Lichen ini memiliki lobus-lobus seperti sisik, lobus ini
disebut squamulus yang biasanya berukuran kecil dan saling bertindih dan
sering memiliki struktur tubuh buah yang disebut podetia.

Gambar 2.16.Psorapseudorusselli Gambar 2.17.Cladoniacarneola


(Sumber: Yurnaliza, 2002). (Sumber: Yurnaliza, 2002).

2.1.3 Struktur Sel Bakteri


a. Membran sel
Membran sel merupakan struktur yang tipis yang meliputi sel. Struktur ini
terdiri dari fosfolipida (20-30%) dan protein (60-70)%. Fosfolipida merupakan
struktur dasar dari membran ini, dan merupakan lapisan ganda dengan protein
integral yang tersebar di dalamnya. Protein ini sangat erat ikatannya sehingga
hanya terlepas bila diberi perlakuan atau dirusakkan. Protein lainnya (protein
periferal) dapat dibebaskan dengan perlakuan seperti tekanan osmotik.
Kemantapan dari struktur membran disebabkan oleh adanya ikatan hidrogen,
ikatan hidrofobik, kation Mg dan Ca yang berikatan dengan muatan negatif pada
lapisan fosfolipida. Matrik pada lapisan fosfolipida bersifat cair, sifat cair ini
sangat penting untuk berfungsinya membran, sifat ini juga ditentukan oleh suhu
dan perbandingan asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh dalam
fosfolipida. Membran sel merupakan pembatas antara sitoplasma dan lingkungan
luar. Bila terjadi kerusakan pada struktur ini, maka akan terjadi gangguan pada
keutuhan sel sehingga akan mengakibatkan kematian sel (Lay & Hastowo, 1992).

Gambar 2.18. Membran sel bakteri


b. Dinding sel
Dinding sel memberikan bentuk dan kekuatan pada sel. Bakteri Gram-
positif dan Gram-negatif mempunyai perbedaan dalam struktur dinding selnya.
Dinding sel bakteri Gram-negatif merupakan struktur berlapis sedangkan bakteri
Gram-positif hanya mempunyai satu lapis yang tebal. Meskipun strukturnya
berbeda, susunan kimia dari dinding sel kedua kelompok bakteri ini tidaklah
menunjukkan perbedaan yang mencolok. Bagian dinding sel yang memberikan
sifat kaku ini disebut peptidoglikan (Lay & Hastowo, 1992).
Ikatan glikosida dan ikatan dan ikatan peptida pada peptidoglikan
menyebabkan suatu bentuk anyaman seperti jala yang kuat dari dinding sel,
sehingga dapat menahan tekanan dari luar. Dinding sel bakteri Gram-positif
memiliki kandungan peptidoglikan yang lebih tinggi dibandingkan bakteri Gram-
negatif. Pada bakteri Gram-positif polimer ini dapat mencapai 50%, sedangkan
bakteri Gram-negatif mempunyai sekitar 10 %. Dinding sel bakteri Gram-positif
memiliki asam teikoat, asam teikoat merupakan polisakarida yang bersifat asam
dan mengandung ulangan rantai gliserol atau ribitol. Asam teikoat mengikat ion
magnesium, ion ini berperan dalam membran sitoplasma sehingga memberikan
ketahanan terhadap suhu tinggi. Asam teikoat ini bermuatan negatif, sehingga
menyebabkan muatan negatif pada permukaan sel bakteri Gram-positif. Fungsi
lain dari asam teikoat adalah sebagai pengatur dinding sel sewaktu pertumbuhan
atau pembelahan sel. Ketika terjadi pertumbuhan sel, enzim otolisin akan merusak
dinding sel yang lama kemudian akan digantikan dengan dinding sel baru. Daya
kerja dari enzim otolisin ini harus diatur, karena kerusakan dapat saja terjadi pada
dinding sel yang baru tumbuh, sehingga akan meyebabkan lisis. Asam teikoat ini
berfingsi untuk mengatur otolisin sehingga enzim ini bekerja bersama-sama
dengan sintesis dinding sel (Lay & Hastowo, 1992).

Gambar 2.19. Diagram perbandingan dinding sel bakteri Gram positif dan bakteri
Gram negatif secara detail (Sumber: Salton & Kwang-Shin, 2001).
Dinding sel bakteri Gram-negatif lebih kompleks dibandingkan bakteri
Gram-positif. Perbedaan utama ialah adanya lapisan membran luar, yang meliputi
peptidoglikan, kehadiran membran ini menyebabkan dinding sel bakteri Gram-
negatif kaya akan lipid (11-22%). Pada bakteri Gram-negatif, lapisan membran
luar disebut “outer wall layer” yang mempunyai struktur sebagai unit membran.
Perbedaannya yaitu lapisan ini tidak hanya terdiri dari fosfolipida saja seperti pada
membral sel tetapi mengandung lipid lainnya, polisakarida dan protein. Lipid dan
polisakarida ini berhubungan erat dan membentuk struktur khas yang disebut
lipopolisakarida atau LPS (Lay & Hastowo, 1992).
c. Flagel

Gambar 2.20. Struktur flahel bakteri


(Sumber: Fardiaz, 1992)
Flagela merupakan alat gerak dari bakteri yang bersifat motil. Alat gerak
ini sangat halus (20 nm) sehingga tidak dapat terlihat langsung melalui mikroskop
medan terang. Untuk dapat melihat flagela diperlakukan teknik pewarnaan
khusus. Flagela terdiri dari protein yang disebut flagelin. Susunan asam amino
dari flagela sedikit berbeda bila dibandingkan dengan bagian sel lainnya. Asam
amino yang seringkali ditemukan adalahpertama asam amino aromatik dan yang
mengandung sulfur, kedua jenis asam amino ini terdapat dalam jumlah sedikit.
Kedua asam aspartat dan glutamat, kedua jenis asam amino ini terdapat dalam
jumlah yang banyak.
Bentuk dan panjangnya flagel tergantung pada susunan protein flagelin,
bila terdapat perubahan pada susunan ini maka akan terjadi juga perubahan bentuk
dan panjang flagela (Lay & Hastowo, 1992). Pergerakan flagela bakteri yaitu
denagan memutar flagela berbentuk heliks. Cara pergerakannya digambarkan
sebagai gerakan renang yang diikuti oleh gerakan bolak balik, sehingga arah
gerakan berbeda diikuti kembali oleh gerakan renang. Letak flagel mempengaruhi
pergerakan bakteri. Pada bakteri yang memiliki bentuk polar atau lopotrikos
pergerakannya hanyalah satu arah. Sedangkan yang memiliki flagel peritrikos
akan berputar-putar menuju kesegala arah, seakan terlihat seperti melompat-
lompat dari satu tempat ke tempat yang lain. Kemampuan bakteri yang motil
untuk mendekati atau menjauh senyawa kimia disebut kemotaksis. Kemampuan
ini disebabkan adanya kemoreseptor yang terletak pada ruang periplasma (Lay &
Hastowo, 1992).
d. Fimbrie

Gambar 2.21. Pili atau fimbrie bakteri.


Fimbria, disebut juga pili dapat diamati dengan mikroskop elektron pada
permukaan beberapa jenis sel bakteri. Fimbria merupakan mikrofibril serupa
rambut berukuran 0,004 – 0,008 µm. Fimbria lebih lurus, lebih tipis dan lebih
pendek dibandingkan dengan flagela. Fungsi fimbria dianggap membantu bakteri
untuk bertahan hidup dan berinteraksi dengan inang. Pada bakteri patogen yang
menyebabkan infeksi, fimbria dan komponen permukaan lainnya dapat berperan
sebagai faktor pelekat spesifik, yang disebut adhesin. Spesifisitas perlekatan
fimbria dapat menyebabkan bakteri menempel dan berkoloni pada jaringan inang
spesifik (Milton & Kwang-Shin, 2001).
Beberapa bakteri menghasilkan pili khusus yang disebut konjugasi atau
pili seks yang mampu berkonjugasi. Konjugasi merupakan transfer DNA dari
donor atau bakteri jantan dengan pili seks ke resipien atau bakteri betina agar
dapat terjadi rekombinan genetik (Subandi, 2014).Mikrofibril bakteri Gram-
negatif, sering disebut pili umum (fimbria) atau sebagai pili seks. Mikrofibril
terdapat secara bebas atau secara simultan pada sel yang sama. Pada permukaan
sel tersebar sekitar 100 – 200 fimbria, hanya 1- 4 pili seks ditemukan pada daerah
tertentu. Pili seks berfungsi untuk mendeteksi adanya antigen spesifik atau diduga
untuk meng-inaktifkan bakteriofaga tertentu, yang menempel secara spesifik pada
pili seks. Faga RNA spesifik menempel sepanjang filamen pili seks, sedangkan
faga DNA berbentuk filamen menempel pada ujung pili. Struktur mikrofibril juga
dapat dilibatkan dalam meluncur dan gerak kedutan lambat pada bakteri yang
tidak berflagel (translokasi permukaan) (Milton & Kwang-Shin, 2001).
e. Kapsul

Gambar 2.22. Struktur kapsul pada sel bakteri (Sumber : Kenneth, 2001).
Kapsul merupakan lapisan polimer yang terletak di luar dinding sel. Jika
lapisan ini berlekatan dengan dinding sel, maka lapisan ini disebut kapsul, bila
lapisan polisakarida ini tidak melekat pada dinding sel, maka lapisan ini disebut
lendir. Kapsul dapat diwarnai. Bila lapisan ini sangat banyak sehingga beberapa
sel bakteri terendam didalamnya, lapisan ini disebut lapisan lendir.Fungsi kapsul
yaitu mencegah terhadap kekeringan, menghambat pencantelan bakteriofag,
bersifat antifagosit sehingga kapsel memberikan sifat virulen bagi bakteri, dan
mencantelkan diri pada permukaan (Contoh: Streptococcus mutans).
f. Spora

Gambar 2.23. Struktur endospora (Sumber: Kenneth, 2001).


Gambar 2.24. Beberapa tipe spora atau endospora berdasarkan bentuk dan
lokasinya pada sel bakteri (a) tipe endospora di ujungg sel/terminal (b) di
tengah sel (sentralis) (c) tipe endospora bakteri streptobasil (Sumber: Kenneth,
2001).
Spora atau endospora bukan struktur reproduktif, tetapi sebagai bentuk
pertahanan hidup yang dorman dan resisten dari organisme. Endospora dapat
bertahan ribuan tahun sampai kondisi lingkungan mrangsang perkecambahan,
sehingga tumbuh menjadi bakteri vegetatif tunggal (Subandi, 2014). Spora bakteri
merupakan struktur bakteri yang tahan panas, sehingga seringkali selalu kesulitan
dalam proses sterilisasi. Selain tahan panas spora bakteri juga tahan terhadap
kekeringan, radiasi, asam, dan desinfektans. Resistensi panas dari endospora
disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut.
a. Kalsium diplikolinat, kalsium ini berlimpah di dalam endospora, akan
menstabilkan dan melindungi DNA endospora.
b. Protein pengikat DNA memenuhi DNA endospora, dan melindunginya
dari panas, pengeringan, zat kimia, dan radiasi.
c. Korteks secara osmosis mengeluarkan air dari dalam endospora dan
dehidrasi ini menjadi penting agar endospora resisten terhadap panas dan
radiasi.
d. Enzim memperbaiki DNA yang terkandung dalam endospora, dan dapat
memperbaiki DNA yang rusak selama perkecambahan (Subandi, 2014).
Pada kondisi yang merugikan terutama bila tidak ada sumber karbon dan
nitrogen, endospora tunggal dibentuk di dalam bakteri, prosesnya disebut
sporulasi (Subandi, 2014). Dengan mikroskop biasa, spora akan terlihat sebagai
struktur yang refraktil. Spora bersifat impermeabel terhadap zat warna, sehingga
diperlukan teknik perwarnaan khusus untuk mewarnai spora (Lay & Hastowo,
1992).
g. Volutin
Volutin bakteri (granul metakromatik) adalah bahan basofilik yang
refraktif. Volutin ini terdiri daripada polimetafosfat yang mempunyai berat
molekul tinggi dan dihubungkaitkan dengan bakteria genus corynebacterium. Jika
diwarnai dengan toluidina biru, kompenen ini akan kelihatan berwarna biru
kehitaman dan bukan biru. Keadaan ini disebabkan oleh fenomena metakromatik
yang melibatkan perubahan di dalam warna sesuatu bahan. Toluidina biru adalah
pewarna metakromatik, apabila pewarna ini masuk ke dalam kompleks granul
volutin yang besar, volutin ini mengubah spektrum serapan toluidina biru supaya
pada mata kasar pewarna ini talah berubah warnanya dari biru ke biru kehitaman.
Tetapi jika metilena biru digunakan, granul volutin akan kelihatan merah dan
bukan biru. Walau bagaimanapun, keadaan ini bukanlah merupakan fenomena
metakromasi sungguhpun dalam bidang bakteriologi ia dinyatakan demikian.
Dalam keadaan ini, pendedahan metilena biru kepada udara menyababkan
sebahagian kecil daripada pewarna ini dioksidasi menjadi metilena ungu pada pH
tinggi dan metilena ungu secara selektif mewarnakan volutin tersebut.
h. Sitoplasma
Pada sitoplasma dapat ditemukan asam nukleat (DNA dan RNA), enzim
dan asam amino, karbohidrat, lipid, ion anorganik dan berberapa senyawa berberat
molekul rendah. Sekitar 80% dari sitoplasma bakteri mengandung air. Komponen
cair dari sitoplasma disebut sitosol. Sitoplasma bakteri juga mengandung protein
seperti aktin yang berbentuk heliks disepanjang dinding sel, yang berkontribusi
terhadap bentuk sel. Beberapa kelompok bakteri menghasilkan badan dalam
sitoplasma yang melaksanakan fungsi seluler khas. Saat bakteri mensekretkan
ekoenzim untuk menghidrolisis makromolekul menjadi molekul yang lebih kecil
agar dapat ditranspor melintasi membran sitoplasma. Reaksi kimia yang terjadi di
dalam bakteri dikontrol endoenzim (Subandi, 2014).

2.2 PEWARNAAN DAN PEMERIKSAAN MIKROBA


2.2.1 Tujuan pewarnaan
Bakteri bersifat tembus cahaya, hal ini disebabkan karena banyak bakteri
yang tidak mempunyai zat warna (Waluyo, 2008). Oleh sebab itu diperlukan
teknik pewarnaan untuk pemeriksaan mikroba. Tujuan dari pewarnaan,
diantaranya untuk memudahkan melihat bakteri di bawah mikroskop,
memperjelas ukuran dan bentuk dari bakteri, melihat struktur struktur luar dan
dalam pada bakteri, menghasilkan sifat fisik dan kimia yang khas, serta
meningkatkan kontras mikroorganisme dengan sekitarnya (Waluyo, 2008).
Pemeriksaan preparat-preparat yang difiksasi dan diwarnai bertujuan untuk
mengetahui sifat-sifat morfologi bakteri. Keuntungan dari teknik pewarnaan ini,
yaitu (Tarigan, 1988):
a. Sel-sel kelihatan lebih jelas sesudah diwarnai
b. Perbedaan-perbedaan antara sel mikroba dari spesies yang sama dan
spesies yang berlainan dapat ditunjukkan dengan menggunakan cat
yang sesuai (diferensial atau selektif)

Gambar 4. Pewarnaan bakteri


(Sumber: Reynolds, 2018)
2.2.2 Teknik pewarnaan
Teknik pewarnaan sel bakteri merupakan salah satu cara yang paling
utama dalam penelitian-penelitian mikrobiologi (Dwijoseputro,2005). Teknik
pewarnaan warna pada bakteri dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu
pengecatan sederhana, pengecatan diferensial dan pengecatan struktural (Tarigan,
1988).
1. Pengecatan sederhana
Pengecatan sederhana berarti bahwa hanya satu macam cat yang
digunakan dan satu langkah urutan kerja untuk melakukan pewarnaan
pada sel-sel mikroorganisme yang akan diamati. Cat-cat sederhana yang
sering digunakan diantaranya methylen blue, carbolfuchsin, gentian violet
dan safranin (Tarigan, 1988).
2. Pengecatan diferensial
Pengecatan diferensial memudahkan pengamatan sehingga tampak jelas
perbedaan antara sel-sel bakteri atau bagian-bagian dari sel bakteri. Selain
itu, penegecatan ini bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat bakteri
terhadap cat dan untuk mengetahui bagian-bagian sel bakteri yang tidak
dapat diamati dengan pengecetan sederhana (Tarigan, 1988).
a. Pewarnaan Gram adalah salah satu teknik pewarnaan diferensial yang
paling penting dan paling luas digunakan untuk bakteri (Pelczar &
Chan, 2008). Cara ini digunakan untuk memisahkan anggota-anggota
domain Bakteria ke dalam dua kelompok berdasarkan dinding selnya.
Bakteri Gram positif memiliki dinding sel yang lebih sederhana,
dengan jumlah peptidoglikan yang relatif banyak. Dinding sel bakteri
gram-negatif memiliki peptidoglikan yang lebih sedikit dan secara
struktural lebih kompleks.Larutan yang digunakan dalam pewarnaan
Gram ini antara lain: kristal violet, iodine, alkohol, serta safranin.
Bakteri yang diwarnai dengan metode Gram ini dibagi menjadi dua
kelompok, salah satu diantaranya bakteri Gram positif dan bakteri
Gram negatif (Pelczar & Chan, 2008).
b. Pengecatan negatif
Pengecatan ini bertujuan untuk mewarnai latar belakang atau bidang
pandang di bawah mikroskop dan bukan untuk mewarnai sel-sel
mikroba yang akan diamati. Pengecatan negatif dapat digunakan
untuk melihat lapisan kapsul yang menyelubungi tubuh bakteri dengan
menggunakan satu macam cat saja.
c. Pewarnaan Ziehl-Neelson
Pewarnaan ini bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat dari bakteri yang
tahan terhadap asam (non acid-fast). Bakteri yang tahan terhadap asam
mengandung semacam lemak yang melapisi selnya sehingga cat-cat
biasa sukar menembusnya
3. Pengecatan struktural
Pada pengecatan structural hanya mewarnai satu bagian dari sel sehingga
dapat membedakan bagian-bagian dari sel. Macam-macam pengecatan
struktural, misalnya pengecatan endospora, flagella, dan pengecatan
kapsul (Waluyo, 2008).
a. Pengecatan flagella
Pengecatan ini dilakukan untuk mengamati flagella bekteri yang
sukar diamati di bawah mikroskop optik. Tahapan penegcatan
diawali dengan pembubuhan mordant pada preparat agar diameter
filamen bertambah sampai batas maksimum mikroskop optik.
b. Pengecatan endospora
Banyak mikroba yang dapat membentuk spora, akan tetapi
endospora yang dibentuk dapat bertahan terhadap berbagai macam
kondisi lingkungan. Metode yang digunakan untuk mewarnai
endospora memerlukan adanya pemanasan untuk memacu cat ke
dalam tubuh spora
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pewarnaan
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pewarnaan bakteri, yaitu fiksasi,
peluntur warna, subtrat, intensifikasi pewarnaan dan penggunaan zat warna
penutup. Ada beberapa preparat yang menggunakan asam encer untuk
menghapus zat warna. Namun, ada beberapa preparat yang tahan terhadap
asam encer. Bakteri dengan sifat tersebut merupakan ciri yang khas bagi
suatu spesies bakteri (Dwidjoseputro, 1994).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Sel bakteri tersusun atas dinding sel yang mempunyai struktur kompleks
dan kaku, dinding sel bakteri menentukan bentuk sel. Fungi terbagi menjadi:
uniseluler (Khamir) dan multiseluler (Kapang). Fungi termasuk sel
eukariotik dimana dinding selnya terdiri dari zat kitin dan unit sel dasar
jamur disebut dengan hifa. Hifa tersebut mengandung nukleus, vakuola,
mitokondria, ribosom, badan golgi, retikulum endoplasma, plasmalema dan
pori-pori.
2. Teknik pemeriksaan mikroba dapat dilakukan dengan pengecatan atau
pewarnaan pada mikroba, yang terbagi menjadi tiga macam pengecatan:
pengecatan sederhana, pengecatan diferensial, dan pengecatan struktural.
3.2 Saran
Perlu dilakukan pembelajaran teknik pengamatan untuk membedakan
koloni antara bakteri, kapang, khamir, dan lichen. Selain itu, teknik pewarnaan
sangat diperlukan untuk mendukung pengamatan mikroba yang memiliki ukuran
yang kecil dan tidak berwarna
DAFTAR RUJUKAN

Coyne, Mark S. 1999. Soil Microbiology: An Exploratory Approach. Delmar


Publisher, USA.
Deacon, J. 2003. The Microbial World, (Online), (http://archive.bio.ed.ac.uk/
jdeacon/microbes/shape.htm), diakses 24 Januari 2019.
Dwidjoseputro, D. 1994. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.
Dwidjoseputro, D. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ferdiaz, S. 1989. Penuntun Praktik Mikrobiologi Pangan. Bogor: ITB
Hadioetomo, R.S. 1985. Mikrobiologi Dasar dan Praktik. Jakarta: PT Gramedia.
Hastuti, U. S. 2015. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi. Malang: UMM Press.
Irianto, Koes. 2007.Dasar-dasar Mikrobiologi Jilid 1.Bandung. Yrama Widya.
Jones & Bartlett. (Tidak dicantumkan tahun). Cell Strcture and Function in the
Bacteria and Archaea, (online), (http://Microbiology.jbpub.com/), diakses
23 Januari 2019.
Kusnadi, Peristiwati, Syulasmi, A., Purwianingsih, W., & Rochintaniawati, D.
2003. Common Text Book Mikrobiologi. Bandung: JICA-IMSTEP, DGHE,
dan FPMIPA UPI.
Lay, Bibiana W. & Hastowo, S. 1992. Mikrobiologi. Bogor: CV Rajawali
Milton R.J. Salton & Kwang-Shin Kim, 2001. Structur of Bacteria. Departement
of Baceriology University of WisconsinMadison. USA.
(www.bact.wisc.edu).
Pelczar, Michael J. 1999. Microbiology. McGRAW-HILL INTERNATIONAL
EDITIONS, USA.
Pelczar, M. J. & Chan, E. C. S. 2008. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: UI
Press.
Reynolds, J. 2018. Bacterial Colony Morphology, (Online),
(https://bio.libretexts.org/Ancillary_Materials/Experiments/Microbiology_L
abs_I/08%3A_Bacterial_Colony_Morphology), diakses 24 Januari 2019.
Subandi, H.M. 2014. Mikrobiologi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tarigan, J. 1988. Pengantar Mikrobiologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Todar, Kenneth, 2001. Biological identity of Procaryotes. Departement of
Baceriology University of Wisconsin-Madison. USA. (www.bact.wisc.edu).
Waluyo. 2008. Mikrobiologi Umum. Malang: UMM Press.
Yurnaliza. 2002. Lichenes (Karakteristik, Klasifikasi Dan Kegunaan). FMIPA.
Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai