Dosen Pengampu :
Oleh :
SURABAYA
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWt atas limpahan rahmat , Taufiq dan Hidayahnya sehinga
saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya Sholawat serta salam tetap
tercurahkan Kepada Junjungan kita Nabi agung Muhammad SAW, yang telah mengantarkan
kita dari jalan kegelapan menuju Jalan Terang benderang yakni adinul Islam wal iman. Saya
menyampaikan terimakasih Kepada Dosen Matakuliah yang telah membimbing kami dalam
penulisan Makalah ini dan tentunya kepada Teman-teman yang banyak membantu hingga
makalah ini dapat terselesaikan .dalam penyusunan makalah ini PASTI MASIH banyak
kekurangan , saya berharap para pembaca dapat memakluminya. Karna kesempurnaan itu
hanya milik ALLAH SWT.
Penulis
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Periode masa modern adalah masa kebangkitan Islam. Dimana pada periode
pertengahan umat Islam telah mengalami kemunduran entah dari bidang pendidikan,
pengetahuan, sosial, budaya, politik, teknologi dan lain-lain. Periode ini biasa dikenal dengan
zaman pembaharuan yang identik dengan modernisasi yang lahir di dunia barat.1
Hukum Islam pada masa Modern ini pada dasarnya ialah sebagai suatu gerakan dalam
melawan taklid atau peniruan buta terhadap masa lampau yang menghendaki ijtihad.2 Kaum
modernitas mengungkapkan bahwa Ijtihad adalah suatu tafsiran rasional terhadap al-Qur‟an
sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat pada masa modern.
Dengan demikian, pada makalah ini akan dibahas mengenai Hukum Islam pada masa
Modern lebih mendalam mulai dari pengertian, metode-metode ijtihad pada masa modern
hingga ijtihad yang ideal pada masa modern sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1 Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam ((Jakarta: Amzah, 2009), 45.
2 Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana,
1997), 65.
PEMBAHASAN
Segala pemikiran dan gerakan modernisasi ini telah muncul di dunia Islam pada abad
ke-19 hingga awal abad ke-20 sebagai akibat dari berlangsungnya kontak umat islam dengan
non muslim (peradaban barat). Kontak India dengan Inggris, Mesir dengan Perancis, Turki
dengan Eropa-eropa Barat sehingga membuat tokoh-tokoh pemikir setempat sadar akan
keterbelakangan masyarakatnya yang disebabkan oleh ketertinggalan mereka dalam
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga secara tidak langsung umat islam
terdorong untuk mengembangkan segala potensi-potensinya.3
Maka dengan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa modernisme dalam Fiqh
Islam adalah rangkaian pikiran dan aliran dalam ijtihad fiqh Islam untuk mengubah paham-
paham, adat istiadat, institusi- institusi lama disesuaikan dengan suasana yang baru yang
timbul akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Yusuf Qardhawi telah menyimpulkan bahwa kajian ijtihad dalam hukum Islam yang
ditempuh oleh para ulama tersebut memiliki perbedaan dalam pendekatannya, sehingga
menimbulkan beberapa aliran-aliran baru yaitu Literalianisme, Thufiisme, Sekterianisme,
Tabrir dan Moderat.4
1. Aliran Literalianisme
Aliran ini adalah aliran Neo-Dzahiri yang mengikuti pola-pola kajian hukum Daud al-
Asfahani dan Ibnu Hazm al-Andalusi. Mereka melakukan kajian ijtihad dengan hanya
melihat makna dzahir nash tanpa mengunakan kaidah-kaidah ushul dan kurang
memperhatikan produk-produk pemikiran fiqh yang telah ada sehingga mengabaikan aspek
maslahah sebagai maksud penetapan hukum pada umat manusia.
3 Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 173
4 Ibid., 175
2. Aliran Thufisme
Aliran ini dipelopori oleh Najamuddin al-Thufi (w. 716 H) yang sangat
memperhatikan maslahah, bahkan hasil kajian maslahah harus diutamakan terhadap nash,
sehingga kalau terjadi perbedaan antara hasil kajian maslahah dengan nash, nash tersebut
boleh ditinggalkan untuk menerapkan hukum sesuai dengan kepentingan maslahah tersebut.
Pada umumnya, pemikiran-pemikiran aliran ini dikembangkan oleh para filsuf, ahli
sejarah dan kalangan praktis. Dan kembali muncul pada zaman modern dengan memberikan
legalitas terhadap keabsahan metode ini dengan merujuk pada kajian hukum Umar bin
Khattab beserta fatwa-fatwanya.
3. Aliran Sekterianisme
Metode ijtihad aliran ini yaitu mengkaji persoalan furu‟ yang mereka hadapi dengan
melihat fatwa-fatwa ulama panutan. Apabila ternyata mereka telah melahirkan fatwa-fatwa
hukum tentang masalah tersebut, maka fatwa itulah yang digunakan dalam penerapan ke
dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, apabila para ulama belum mengeluarkan fatwa
tentang hukum apapun, maka secara langsung mereka memfatwakan bahwa itu hukumnya
haram.
4. Aliran Tabrir
Aliran Tabrir ini bisa disebut juga Legitimatianisme adalah aliran ijtihad yang
memberikan fatwa sesuai kehendak dan tuntutan kelompok-kelompok yang menginginkan
fatwa, yang kira-kira datang dari kalangan masyarakat tertentu maupun para penguasa.
Namun, fatwa-fatwa fiqh dari aliran ini terkadang harus dikeluarkan dengan kajian
yang tidak mencerminkan konsistensi kajian hukum bahkan harus melakukan suatu
pendekatan yang mendalam, karena pengeluaran fatwa-fatwa hukumnya harus sesuai dengan
kemauan suatu kelompok tertentu yang menginginkan suatu fakta tersebut.
Sehingga dapat diketahui bahwa aliran ini tergolong ulama yang lebih mementingkan
urusan pribadi daripada kemaslahatan umat dan telah mengabaikan hukum-hukum syar‟i.
5. Aliran Moderat
a. Ijtihad Selektif
Kajian hukum ijtihad ini telah mulai berkembang tidak lama sesudah periode mujtahid
mustaqil. Pada proses ijtihad selektif ini, para ulama melakukan kajian terhadap fatwa-fatwa
para ulama salaf dan menelaah argumen-argumennya untuk dilihat pendapat mana yang lebih
mendekati kebenaran dengan menggunakan ketentuan-ketentuan dari nash dan
memperhatikan kepentingan maslahah. Argumen yang mendekati kebenaran dan relevan
dengan tuntutan dinamika sosial akan mereka ambil dan digunakan dalam kehidupan
masyarakat. Proses kajian hukum ini biasa disebut Tarjih.
Proses kajian hukum seperti ini banyak dilakukan para ulama pada abad modern ini karena
lebih mempermudah proses ijtihad disamping itu sikap seperti ini juga merupakan sikap
mulia sebagai suatu penghargaan terhadap warisan sejarah karya pendahulu. Sejauh
seleksinya dilakukan dengan penuh integritas, tanpa terpengaruh oleh suatu kepentingan-
kepentingan pihak tertentu, hasil-hasil hukumnya dapat dipertanggung-jawabkan dan tidak
tergolong talfiq yang tidak dibenarkan.
b. Ijtihad Kreatif
Ijtihad kreatif merupakan suatu tradisi para ulama Islam pada periode salaf sejak zaman
sahabat hingga para mujtahid abad ke-2 dan ke-3 hijriah. Pada proses ijtihad ini para ulama
melakukan kajian hukum dengan menelaah karakter persoalan-persoalan yang dihadapi,
melihat posisinya dalam kehidupan sosial, dalil-dalil yang dapat dijadikan sebuah rujukan
dalam penetapan hukum dan mempertimbangkan akibat-akibat yang akan ditimbulkan
dengan penetapan hukum yang telah digunakannya itu.
Setelah mengalami kemunduran beberapa abad, pemikiran Islam kembali bangkit. Hal
ini terjadi pada abad ke 19 M/13 Hijriah sebagai reaksi terhadap sikap taqlid pada abad ke-4
sampai runtuhnya kota Baghdad yang telah membawa kemunduran hukum Islam. Sehingga
muncullah gerakan-gerakan baru dan diantaranya menyarankan bahwa hukum islam harus
kembali kepada al-Qur‟an dan Sunnah.
Ijtihad pada zaman modern ini merupakan hal yang sangat dibutuhkan, bahkan suatu
keharusan bagi umat Islam. Meskipun terdapat suatu pertanyaan, bolehkah kita berijtihad
pada zaman ini? pertanyaan seperti ini sangat wajar sebab tersebar luasnya pemahaman
bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Namun, pernyataan tersebut jelas tidak dibenarkan sama
sekali oleh dalil naqli dan aqli atau sejarah dan realitas. Ijtihad pada masa modern tidak hanya
sekedar diperbolehkan bahkan ia merupakan fardhu kifayah bagi umat Islam5. Hal ini lebih
tertuju kepada pemerintahan (penguasa), sebab mereka yang akan bertanggung jawab untuk
menyiapkan orang yang bersedia melakukan hukum fardhu kifayah bagi seluruh umat Islam.
Perlu untuk kita ketahui bahwa tertutupnya pintu Ijtihad ini telah menimpa fiqh Islam
sejak pertengahan abad ke-4 Hijriah sebab dimana kesucian ilmu telah ternodai, orang-orang
berani berfatwa, menggali sebuah hukum sedangkan mereka sangat jauh dari pemahaman
terhadap kaidah-kaidah dan dalil-dalil fiqh sehingga mereka berbicara tentang agama tanpa
dasar ilmu6. Dengan adanya keadaan seperti inilah para penguasa dan ulama menutup pintu
ijtihad dengan tujuan yang mengklaim diri sebagai seorang mujtahid tidak dapat bertindak
leluasa dan menyelamatkan masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan.
5 Qardhawi, Yusuf. Ijtihad Kontemporer: kode etik dan berbagai penyimpangan Risalah Gusti, 1995), 23
(Surabaya:
6 Khalil, Rasyad Hasan. Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta: Amzah, 2011), 121
Perihal diperbolehkannya Ijtihad pada zaman modern ini adalah berkaitan dengan macam
Ijtihad yang diperlukan yakni terdapat dua macam Ijtihad yaitu Ijtihad Intiqa‟i dan Ijtihad
Insya‟i sebagai berikut7
1. Ijtihad Intiqa‟i
Ijtihad Intiqa‟i adalah memilih salah satu pendapat dari beberapa pendapat yang
paling kuat dan terdapat pada warisan fiqh Islam yang penuh dengan fatwa serta keputusan
hakim. Dalam artian ijtihad ini ialah mengadakan studi komparatif terhadap suatu pendapat
dan meneliti kembali dalil-dalil nash atau dalil-dalil ijtihad yang dijadikan pedoman tersebut.
Sehingga dapat terpilih pendapat yang paling kuat dari dalil maupun alasannya sesuai dengan
kaidah tarjih yakni hendaknya suatu pendapat mempunyai relevansi dengan kehidupan zaman
modern, mencerminkan kelemah-lembutan dan kasih sayang terhadap sesama, mendekati
kemudahan yang ditetapkan oleh hukum Islam, lebih memprioritaskan untuk merealisasikan
maksud-maksud syara‟ dan menolak marabahaya dari masyarakat.
Sebagai contoh dalam kasus pidana yakni pembunuhan yang dilakukan oleh orang
yang terpaksa. Seperti seseorang telah membunuh orang lain lantaran mendapat tekanan
(paksaan) dari orang yang menjamin melindungi hidupnya. Maka kepada siapakah hukuman
atas pembunuhan (qishash) itu dijatuhkan? Ada beberapa pendapat yakni pertama
mengatakan bahwa qishash dijatuhkan kepada orang yang secara langsung melakukan
pembunuhan (orang yang terpaksa membunuh). Pendapat kedua mengatakan bahwa qishash
dijatuhkan kepada orang yang memaksa (merencanakan dan menyuruh) untuk melakukan
pembunuhan. Dan pendapat ketiga yaitu qishash dijatuhkan kepada keduanya bahkan ada
pendapat lain bahwa qishash tidak dikenai kepada keduanya karena pidana masing-masing
dari keduanya belum memenuhi persyaratan.
2. Ijtihad Insya‟i
Ijtihad Insya‟i adalah pengambilan kesimpulan hukum dari suatu persoalan yang
belum pernah dikemukakan oleh para ulama terdahulu entah itu persoalan lama maupun baru.
Dengan maksud lain, Ijtihad Isnya‟i yaitu meliputi sebagian persoalan lama dengan cara
Sebagai contoh dari pendapat Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa hendaknya orang
yang menyewa tanah mengeluarkan zakat tanaman atau buah-buahan yang dihasilkan dari
tanah sewaan itu setelah mencapai satu nisab dengan tidak mengeluarkan zakat dari hasil
tanaman tadi seharga biaya sewa tanah yang akan diberikan kepada pemilik tanah. Sebab
ongkos tanah itu dianggap sebagai hutang bagi penyewa. Maka, penyewa hanya
mengeluarkan zakat dari produksi tanaman. Sedangkan bagi pemilik tanah, maka ia hanya
mengeluarkan zakat dari biaya sewa tanah dan apabila telah mencapai nisab akan dikurangi
dengan pajak tanah yang harus dibayar.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Modernisme dalam Fiqh Islam adalah rangkaian pikiran dan aliran dalam ijtihad fiqh
Islam untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi- institusi lama disesuaikan
dengan suasana yang baru yang timbul akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perihal diperbolehkannya Ijtihad pada zaman modern ini adalah berkaitan dengan macam
Ijtihad yang diperlukan yakni terdapat dua macam Ijtihad yaitu Ijtihad Intiqa‟i dan Ijtihad
Insya‟i.
Kajian ijtihad dalam hukum Islam yang ditempuh oleh para ulama tersebut memiliki
perbedaan dalam pendekatannya, sehingga menimbulkan beberapa aliran-aliran baru yaitu
Literalianisme, Thufiisme, Sekterianisme, dan Moderat.
Rosyada. Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1995.
Ibid. 175
Qardhawi. Yusuf.1995. Ijtihad Kontemporer: kode etik dan berbagai penyimpangan Risalah
Gusti.Surabaya:
Hasan Khalil Rasyad. 2011. Tarikh Tasyri‟: Sejarah Legislasi Hukum Islam. Jakarta: Amzah.