Periode pascapartum adalah masa enam Minggu sejak bayi lahir sampai organ-organ
reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum hamil. Periode ini terkadang disebut puerperium
atau trimester keempat kehamilan. Perubahan fisiologis yang terjadi sangat jelas, walaupun di
anggap normal, proses-proses yang terjadi berbanding terbalik dengan kondisi pada saat hamil.
Berikut perubahan anatomi dan fisiologi yang terjadi pada wanita setelah melahirkan:
1. Uterus
a. Involusi uterus
Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah melahirkan disebut
involusi. Proses ini dimulai segera setelah plasenta keluar akibat kontraksi otot-otot
polos uterus. Sesaat setelah kelahiran, berat uterus sekitar 900 gram dan berukuran
sebesar jeruk bali. Uterus dapat diraba setinggi atau sedikit dibawah umbilikus. Dalam
waktu 12 jam, tinggi fundus mencapai kurang lebih 1 cm di atas umbilikus. Dalam
beberapa hari kemudian, perubahan involusi berlangsung dengan cepat. Fundus turun
kira-kira 1 sampai 2 cm setiap 24 jam. Saat proses involusi selesai, berat uterus hanya
50 gram dan letaknya rendah, di dekat pusat rongga panggul. Selama periode
postpartum, posisi uterus seharusnya di garis tengah dan terasa keras saat diraba. Tinggi
fundus mengindikasikan kemajuan involusi.
b. Kontraksi
Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah bayi lahir,
diduga terjadi sebagai respons terhadap penurunan volume intrauterin yang sangat
besar. Hemostasis pascapartum dicapai terutama akibat kompresi pembuluh darah
intramiometrium, bukan oleh agregasi trombosit dan pembentukan bekuan. Hormon
oksitosin yang dilepas dari kelenjar hipofisis memperkuat dan mengatur kontraksi
uterus, mengompresi pembuluh darah, dan membantu hemostasis. Selama 1 sampai 2
jam pertama pascapartum intensitas kontraksi uterus bisa berkurang dan menjadi tidak
teratur. Karena penting sekali untuk mempertahankan kontraksi uterus selama masa ini,
biasanya suntikan oksitosin (Pitosin) secara intravena atau intramuskular diberikan
segera setelah plasenta lahir. ibu yang merencanakan menyusui bayinya, dianjurkan
membiarkan bayinya di payudara segera setelah lahir karena isapan bayi pada payudara
merangsang pelepasan oksitosin.
c. Afterpains
Pada primipara, tonus uterus meningkat sehingga fundus pada umumnya tetap
kencang. Relaksasi dan kontraksi yang periodik sering dialami multipara dan bisa
menimbulkan nyeri yang bertahan sepanjang masa awal puerperium. Rasa nyeri setelah
melahirkan ini lebih nyata terasa setelah ibu melahirkan, di tempat uterus terlalu
teregang (misalnya, pada bayi besar, kembar). Menyusui dan oksitosin tambahan
biasanya meningkatkan nyeri ini karena keduanya merangsang kontraksi uterus.
d. Tempat plasenta
Segera setelah plasenta dan ketuban dikeluarkan, konstriksi vaskular dan
trombosis menurunkan tempat plasenta ke suatu area yang meninggi dan bemodul tidak
teratur. Pertumbuhan endometrium ke atas menyebabkan pelepasan jaringan nekrotik
dan mencegah pembentukan jaringan parut yang menjadi karakteristik penyembuhan
luka. Proses penyembuhan yang unik ini memampukan endometrium menjalankan
siklusnya seperti biasa dan memungkinkan implantasi dan plasentasi untuk kehamilan di
masa yang akan datang. Regenerasi endometrium selesai pada akhir minggu ketiga
masa pascapartum, kecuali pada bekas tempat plasenta. Regenerasi pada tempat ini
biasanya tidak selesai sampai enam minggu setelah melahirkan.
e. Lokhea
Rabas uterus yang keluar setelah bayi lahir seringkali disebut lokhea, mula-mula
berwarna merah, kemudian berubah menjadi merah tua atau merah coklat. Rabas ini
dapat mengandung bekuan darah kecil. Selama dua jam pertama setelah lahir, jumlah
cairan yang keluar dari uterus tidak boleh lebih dari jumlah maksirnal yang keluar
selama menstruasi. Setelah waktu tersebut, aliran lokhea yang keluar harus semakin
berkurang. Aliran lokhea berlanjut selama 3 sampai 4 minggu dengan perubahan yang
terjadi secara bertahap yaitu:
1) Lokhea rubra terlihat selama 2 hari pertama, lokhea rubra berwarna merah terang
dan mengandung darah. Lokhea rubra berbau amis (sedikit berbau logam), jika bau
busuk maka mengindikasikan adanya infeksi.
2) Lokhea seriosa mulai muncul setelah perdarahan berkurang. Warna lokhea serosa
berubah menjadi merah muda atau kecoklatan hingga sekitar 7 hari berikutnya.
Lokhea serosa sedikit berbau tanah.
3) Lokhea ala yang berwarna kuning atau putih, mulai muncul pada sekitar hari ke 10.
Pada masa ini, jumlah lokhea berkurang banyak. Lokhea alba juga berbau tanah.
2. Serviks
Serviks menjadi lunak segera setelah ibu melahirkan. Delapan belas (18) jam
pascapartum, serviks memendek dan konsistensinya menjadi lebih padat dan kembali ke
bentuk semula. Serviks setinggi segmen bawah uterus tetap edematosa, tipis, dan rapuh
selama beberapa hari setelah ibu melahirkan. Ektoserviks ftagian serviks yang menonjol ke
vagina) terlihat memar dan ada sedikit laserasi kecil-kondisi yang optimal untuk
perkembangan infeksi. Muara serviks, yang berdilatasi 10 cm sewaktu melahirkan, menutup
secara bertahap. Dua jari mungkin masih dapat dimasukkan ke dalam muara serviks pada
hari ke-4 sampai ke-6 pascapartum, tetapi hanya tangkai kuret terkecil yang dapat
dimasukkan pada akhir minggu ke-2. Muara serviks eksterna tidak akan berbentuk lingkaran
seperti sebelum melahirkan, tetapi terlihat memanjang seperti suatu celah, sering disebut
seperti mulut ikan. Laktasi menunda produksi estrogen yang mempengaruhi mukus dan
mukosa.
3. Vagina dan Perineum
Estrogen pascapartum yang menurun berperan dalam penipisan mukosa vagina dan
hilangnya rugae. Vagina yang semula sangat teregang akan kembali secara bertahap ke
ukuran sebelum hamil, enam sampai 8 minggu setelah bayi lahir. Rugae akan kembali
terlihat pada sekitar minggu keempat, walaupun tidak akan semenonjol pada wanita
nulipara. Pada umumnya rugae akan memipih secara permanen. Mukosa tetap atrofik pada
wanita yang menyusui sekurang-kurangnya sampai menstruasi dimulai kembali. Penebalan
mukosa vagina terjadi seiring pemulihan fungsi ovarium. Kekurangan estrogen
menyebabkan penurunan jumlah pelumas vagina dan penipisan mukosa vagina. Kekeringan
lokal dan rasa tidak nyaman saat koitus (dispareunia) menetap sampai fungsi ovarium
kembali normal dan menstruasi dimulai lagi. Biasanya wanita dianjurkan menggunakan
pelumas larut air saat melakukan hubungan seksual untuk mengurangi nyeri.
4. Payudara
Perubahan pada payudara setelah kelahiran berfungsi untuk Persiapan zat gizi untuk bayi
baru lahir. selama paruh akhir kehamilan dan beberapa hari pertama postpartum, payudara
memproduksi kolostrum yaitu sekresi kekuningan yang memberi vitamin dan zat imun yang
melindungi bayi baru lahir terhadap infeksi. Pada sekitar hari kedua atau ketiga postpartum,
payudara mulai menyekresi ASI. Laktasi, produksi ASI terjadi karena pelepasan dua hormon
yaitu prolaktin dan oksitosin. Pembesaran payudara pada periode ini merupakan hal yang
normal sebagai akibat dari peningkatan volume ASI dan perubahan hormon secara
mendadak. Payudara mengalami nyeri tekan, bengkak, panas dan keras. Pembengkakan
dapat menyebar hingga aksila.
5. Fungsi Seksual
Menurut Hillary dan Janelle (2017), wanita yang baru saja melahirkan dapat mengalami
perubahan pada fungsi seksual mereka. Meskipun hal ini di anggap biasa, namun tetap saja
jika diabaikan maka akan menyebabkan disfungsional fungsi seksual. Ada berbagai faktor
biologis dan fisiologis yang dapat mempengaruhi fungsi seksual pada pasca persalinan,
meliputi metode persalinan, pola menyusui, perubahan hormon yang terjadi pada wanita dan
perubahan pola tidur setelah melahirkan. Selain itu, faktor-faktor psikososial juga
mempengaruhi fungsi seksual seperti kesehatan mental, transisi identitas terutama pada
nulipara karena mengalami proses penyesuaian diri menjadi orangtua, Citra tubuh, dukungan
sosial dan juga konteks budaya. Fungsi seksual selama masa nifas adalah proses
biopsikososial yang menantang bagi sebagian besar pasangan.
1. Hormon Plasenta
Selama periode pascapartum, terjadi perubahan hormon yang besar. Pengeluaran
plasenta menyebabkan penurunan signifikan hormon-hormon yang diproduksi oleh organ
tersebut. Penurunan hormone human placental lactogen (hPL), estrogen, dan kortisol,
seftaplacental enzyme insulinase membalik efek diabetogenik kehamilan, sehingga kadar
gula darah menurun secara yangbermakna pada masa puerperium. Ibu diabetik biasanya
membutuhkan insulin dalam jumlah yang jauh lebih kecil selama beberapa hari. Karena
perubahan hormon normal ini membuat masa puerperium menjadi suatu periode transisi
untuk metabolisme karbohidrat, interpretasi tes toleransi glukosa lebih sulit pada saat ini.
2. Hormon Hipofisis
Waktu dimulainya ovulasi dan menstruasi pada wanita menyusui dan tidak
menyusui berbeda. Kadar prolaktin serum yang tinggi pada wanita menyusui tampaknya
berperan dalam menekan ovulasi. Karena kadar follicle-stimulating hormone (FSH)
terbukti sama pada wanita menyusui dan tidak menyusui, disimpulkan ovarium tidak
berespons terhadap stimulasi FSH ketika kadar prolaktin meningkat. Kadar prolaktin
meningkat secara progresif sepanjang masa hamil. Pada wanita menyusui, kadar prolaktin
tetap meningkat sampai minggu keenam setelah melahirkan. Kadar prolaktin serum
dipengaruhi oleh kekerapan menyusui, lama setiap kali menyusui, dan banyak makanan
tambahan yang diberikan. Perbedaan individual dalam kekuatan mengisap kemungkinan
juga mempengaruhi kadar prolaktin. Hal ini memperjelas bukti bahwa menyusui
bukanlah bentuk KB (Keluarga Berencana) yang baik. Setelah melahirkan, wanita tidak
menyusui mengalami penurunan kadar prolaktin, mencapai rentang sebelum hamil dalam
dua minggu.
Pada Abdomen :
Apabila wanita berdiri di hari pertama setelah melahirkan, abdomennya akan menonjol
dan membuat wanita tersebut tampak seperti masih hamil. Dalam dua minggu setelah
melahirkan, dinding abdomen wanita itu akan rileks. Diperlukan sekitar enam minggu untuk
dinding abdomen kembali ke keadaan sebelum hamil. Kulit memperoleh kembali elastisitasnya,
tetapi sejumlah kecil stria menetap.
1. Komponen Urine
Glikosuria ginjal yang diinduksi oleh kehamilan menghilang. Laktosuria positif pada ibu
menyusui mertrpakan hal yang normal. BUN (blood uren nitrogen) yang meningkat selama
masa pascapartum, merupakan akibat otolisis uterus yang berinvolusi. Pemecahan kelebihan
protein di dalam sel otot uterus juga menyebabkan proteinuria ringan (+1) selama satu
sampai dua hari setelah wanita melahirkan. Hal ini terjadi pada sekitar 50!" wanita.
Asetonuria bisa terjadi pada wanita yang tidak mengalami komplikasi persalinan atau
setelah suatu persalinan yang lama dan disertai dehidrasi.
2. Diuresis Pascapartum
Dalam 12 jam setelah melahirkan, ibu mulai membuang kelebihan cairan yang tertimbun
di jaringan selama ia hamil. Salah satu mekanisme untuk mengurangi cairan yang teretensi
selama masa hamil ialah diaforesis luas, terutama pada malam hari, selama dua sampai tiga
hari pertama setelah melahirkan. Diuresis pascapartum, yang disebabkan oleh penurunan
kadar estrogen, hilangnya peningkatan tekanan vena pada tungkai bawah, dan hilangnya
peningkatan volume darah akibat kehamilan, merupakan mekanisme lain tubuh untuk
mengatasi kelebihan cairan. Kehilangan cairan melalui keringat dan peningkatan jumlah
urine menyebabkan penurunan berat badan sekitar 2,5kg selama masa pascapartum.
3. Uretra dan Kandung Kemih
Trauma bisa terjadi pada uretra dan kandung kemih selama proses melahirkan, yakni
sewaktu bayi melewati jalan lahir. Dinding kandung kemih dapat mengalami hiperemis dan
edema, seringkali disertai daerah-daerah kecil hemoragi. Pengambilan urine dengan cara
bersih atau melalui kateter sering menunjukkan adanya trauma pada kandung kemih. Uretra
dan meatus urinarius bisa juga mengalami edema. Kombinasi trauma akibat kelahiran,
peningkatan kapasitas kandung kemih setelah bayi lahir, dan efek konduksi anestesi
menyebabkan keinginan untuk berkemih menurun. Selain itu, rasa nyeri pada panggul yang
timbul akibat dorongan saat melahirkan, laserasi vagina, atau episiotomi menurunkan atau
mengubah refleks berkemih.
1. Volume Darah
Perubahan volume darah tergantung pada beberapa faktor, misalnya kehilangan darah
selama melahirkan dan mobilisasi serta pengeluaran cairan ekstravaskuler (edema
fisiologis). Kehilangan darah merupakan akibat penurunan volume darah total yang cepat,
tetapi terbatas. Setelah itu terjadi perpindahan normal cairan tubuh yang menyebabkan
volume darah menurun dengan lambat. Pada minggu ketiga dan keempat setelah bayi lahir,
volume darah biasanya menurun sampai mencapai volume sebelum hamil.
2. Curah Jantung
Denyut jantung, volume sekuncup, dan curah jantung meningkat sepanjang masa hamil.
Segera setelah wanita melahirkan, keadaan ini akan meningkat bahkan iebih tinggi selama
30 sampai 60 menit karena darah yang biasanya melintasi sirkuit uteroplasenta tiba-tiba
kembali ke sirkulasi umum. Nilai ini meningkat pada semua jenis kelahiran atau semua
pemakaian konduksi anestesia. Data mengenai kembalinya hemodinamika jantung secara
pasti ke kadar normal tidak tersedia, tetapi nilai curah jantung normai ditemukan, bila
pemeriksaan dilakukan 8 sampai 10 minggu setelah wanita melahirkan
3. Tanda-Tanda Vital
Beberapa perubahan tanda-tanda vital bisa terlihat, jika wanita dalam keadaan normal.
Peningkatan kecil sementara, baik peningkatan tekanan darah sistol maupun diastol dapat
timbul dan berlangsung selama sekitar empat hari setelah wanita melahirkan. Fungsi
pernapasan kembali ke fungsi saat wanita tidak hamil pada bulan keenam setelah wanita
melahirkan. Setelah rahim kosong, diafragma menurun, aksis jantung kembali normal, dan
EKG kembali normal.
4. Komponen Darah
a. Hematokrit dan hemoglobin
Berbeda dengan saat hamil, volume plasma meningkat secara progresif.
Peningkatan ini terjadi pada usia kehamilan 34 minggu dan sebanding dengan berat
lahir bayi pada umumnya. Karena terjadi peningkatan volume plasma lebih besar
daripada peningkatan massa sel darah merah, maka terjadi penurunan konsentrasi
hemoglobin, hematokrit dan jumlah sel darah merah. Hal ini jelas berbeda dengan
fisiologis yang terjadi pada masa postpartum dimana selama 72 jam pertama setelah
bayi lahir, volume plasma yang hilang lebih besar daripada sel darah yang hilang.
Penurunan volume plasma dan peningkatan sel darah merah dikaitkan dengan
peningkatan hematokrit pada hari ketiga sampai hari ketujuh pascapartum. Tidak ada
SDM yang rusak selama masa pascapartum, tetapi semua kelebihan SDM akan menurun
secara bertahap sesuai dengan usia SDM tersebut.
b. Hitung Sel Darah Putih
Leukositosis normal pada kehamilan rata-rata sekitar 12.000/mm3. Selama 10
sampai 12 hari pertama setelah bayi lahir, nilai leukosit antara 20.000 dan 25.000/mm3
merupakan hal yang umum. Neutrofil 'merupakan sel darah putih yang paling banyak,
Keberadaan leukositosis disertai peningkatan normal laju endap darah merah dapat
membingungkan dalam menegakkan diagnosis infeksi akut selama waktu ini.
5. Varises
Varises di tungkai dan di sekitar anus (hemoroid) sering dijumpai pada wanita hamil.
Varises, bahkan varises vulva yang jarang dijumpai, akan mengecil dengan cepat setelah
bayi lahir. Operasi varises tidak dipertimbangkan selama masa hamil. Regresi total atau
mendekati total diharapkan terjadi setelah melahirkan.
Adaptasi pada sistem ini mencakup hal-hal yang membantu relaksasi dan hipermobilitas
sendi dan perubahan pusat berat ibu akibat pembesaran rahim. Stabilisasi sendi lengkap pada
minggu keenam sampai ke-8 setelah wanita melahirkan. Akan tetapi, walaupun semua sendi lain
kembali ke keadaan normal sebelum hamil, kaki wanita tidak mengalami perubahan setelah
melahirkan. Wanita yang baru menjadi ibu akan memerlukan sepatu yang ukurannya lebih besar.
Perubahan fisiologi pada uterus yaitu terjadi proses involusi uteri yaitu kembalinya uterus
pada keadaan sebelum hamil baik ukuran, tonus dan posisinya. Proses involusi dapat jelaskan
sebagai proses pengecilan ukuran uterus untuk kembali ke rongga pelvis, sebagai tahapan
berikutnya dari proses recovery pada masa nifas (Bobak, 2012)
Adapun adaptasi psikologis menurut Bobak, 2012 adaah :
1. Psikologis Normal
Adaptasi psikologis secara normal dapat dialami oleh ibu jika memiliki pengalaman yang
baik terhadap persalinan, adanya tanggung jawab sebagai ibu, adanya anggota keluarga baru
(bayi), dan peran baru sebagai ibu bagi bayinya. Ibu yang baru melahirkan membutuhkan
mekanisme penanggulangan (coping) untuk mengatasi perubahan fisik karena proses kehamilan,
persalinan dan nifas, bagaimana mengembalikan postur tubuhnya seperti sebelum hamil, serta
perubahan yang terjadai dalam keluarga.
- Taking In Phase (Perilaku dependen)
Fase ini merupakan periode ketergantungan, dan ibu mengharapkan pemenuhan kebutuhan
dirinya dapat dipenuhi oleh orang lain dalam hal ini suami, keluarga atau tenaga kesehatan
dalam seperti bidan yang menolongnya. Kondisi ini berlangsung selama 1-2 hari postpartum
- Taking Hold Phase(Perilaku dependen-independen)
Pada fase ini terdapat kebutuhan secara bergantian untuk mendapat perhatian dalam bentuk
perawatan serta penerimaan dari orang lain, dan melakukan segala sesuatu secara mandiri.
Fase ini berlangsung salaam 3-10 hari
- Letting Go Phase (Perilaku Interdependen)
Fase ini merupakan fase yang dapat menerima tanggung jawab sebagai ibu, biasanya dimulai
pada hari kesepuluh postpartum. Ibu sudah menyesuaikan diri terhadap ketergantungan
bayinya, adanya peningkatan keinginan untuk merawat bayi dan dirinya dengan baik, serta
terjadi penyesuaian hubungan keluarga dalam mengobservasi bayinya. Hubungan dengan
pasangan juga memerlukan penyesuaian dengan kehadiran bayi sebagai anggota keluarga
baru.
1) Psikologis yang memerlukan rujukan
- Postpartum Blues / Baby Blues / maternity blues Keadaan ini merupakan kemurungan di
masa nifas dan depresi ringan yang umum terjadi pada ibu nifas. Keadaan ini tidak menetap
dan akan pulih dalam waktu 2 minggu postpartum. Kondisi baby blues ini tidak memerlukan
penanganan khusus, tetapi perlu diobservasi. jika keadaan ini menetap, akan menjurus pada
psikosis postpartum.
Adapun menurut Olin, dkk, 2017 konsekuensi dari depsresi postpartum yang terjadi
adalah terganggunya hubungan bayi dan ibu. Oleh karena itu diperlukan pendekatan dan
konsultasi ibu dengan depresi postpartum sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan anak.
Perawatan postpartum yang efektif di masyarakat dapat mencegah masalah jangka pendek
mapun jangka panjang yang terjadi. Perawatan yang dilakukan harus berbasis lintas seltor untuk
memastikan tidak terjadinya masalah baik fisiologis ibu maupu psikologis yang mencakup
hubungan ibu, bayi dan keluarga (Haran, Mieke & Wendy, 2014).
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Nyeri akut berhubungan dengan involusi uterus
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
RENCANA KEPERAWATAN
NO
NOC NIC
Diag
(TUJUAN DAN KRITERIA (INTERVENSI) RASIONAL
nosa
HASIL)
1 Tujuan : 1. Kaji tingkat nyeri, frekuensi, 1. Mengidentifikasika
Setelah dilakukan durasi, intensitas nyeri n faktor pencetus
perawatan selama 3 x 24 2. Observasi insyarat non atau pemicu dan
faktor yang
jam diharapkan verbal
mempengaruhinya
nyeri teratasi 3. Ajarkan pasien teknik 2. Untuk mengetahui
Kriteria hasil : manajemen nyeri non- tingkat keparahan
- Tanda-tanda vital farmakologi dengan napas nyeri pasien
dalam batas normal dalam dan berzikir 3. Terapi relaksasi
- Pasien tampak tenang 4. Berikan distraksi atau dapat menurunkan
dan rileks pengalihan perhatian dengan skala nyeri pasien
4. Teknik distrasi
- Pasien mengatakan membaca atau menonton
dapat mengalihkan
nyeri berkurang 5. Bantu ibu dengan massase nyeri yang
- Pasien tidak pada bagian yang nyeri dirasakan pasien
mengalami gangguan 6. Berikan lingkungan yang 5. Massage dapat
tidur nyaman dan tenang mengurangi nyeri
- Skala nyeri 1-2 7. Atur posisi pasien mika/miki 6. Lingkungan yang
8. Pantau TTV selama nyaman dapat
membantu pasien
epiosode nyeri
untuk beristirahat
dengan tenang
7. Untuk mencegah
terjadinya
kelemahan otot dan
resiko dekubitus
8. Untuk mengevaluasi
kemampuan koping
dan
mengidentifikasi
area masalah
tambahan
2 Tujuan : 1. Pantau tanda-tanda vital dan 1. Untuk mengetahui
Setelah dilakukan hasil lab leukosit keadaan umum
perawatan selama 3 x 24 2. Ajarkan pasien dan keluarga 2. Agar keluarga dan
tanda-tanda infeksi pasien mampu
jam diharapkan masalah
3. Observasi tanda infeksi mengetahui infeksi
infeksi teratasi 4. Lakukan vulva hygiene 3. Untuk mengetahui
Kriteria hasil : 5. Kolaborasi dalam pemberian munculnya tanda
- Tidak terdapat tanda obat infeksi
infeksi 4. Untuk mencegah
- Suhu tubuh normal infeksi
- Leukosit normal 5. Untuk pencegahan
infeksi melalui obat
DAFTAR PUSTAKA
Bobak, Lowdermilk,. Jense. (2012). Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC
Mitayani. (2013). Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta : Salemba Medika.
Solehati, T. & Kosasih, E. C. (2015). Konsep dan Aplikasi Relaksasi dalam Keperawatan
Maternitas. Bandung: PT. Refika Aditama.
Wilkinson, J. M. (2014). Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 11, Jakarta: EGC
Wiknjosastro, B. (2010). Keperawatan Maternitas. Jakara: Salemba Medika
Bobak, Lowdermik, Jense. (2010). Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC
Dewi, Vivian N. L., & Sunarsih, Tri. (2013). Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas. Jakarta :
Salemba Medika
Ilknur, G., & Sultan, A. (2018). The Effectiveness of Progressive Muscle Relaxation on the
Postpartum Quality of Life : A Randomized Controlled Trial. Asian Nursing Research 12.
86-90
Matilda, B., Uki, R., & Aris, S. (2018). Risk Factors Of Postpartum Depression at Dr. Moewardi
Hospital, Surakarta. Journal of Maternal and Child Health. 3(1). 81-90.
Olin, dkk(2017) Beyond screening : a stepped cre pathway for managing postpartum depression
in pediatric settings. Journal of womens 26(9)
Haran, Mieke & Wendy (2014) Clinical guidelines for postpartum women and infants in primary
care-a systematic review. Biomed central.
Bobak, 2012. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC
Hadjino, S. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka
Miller-Hoover, S. 2019. The Postpartum Period and The Healthy Newborn
Mutinta, M., Lonia, M., Patricia, K., Margaret, M. 2018. Postnatal Care within Six Hours
Following Delivery at Two Selected General Hospitals of Zambia Mothers’ Experiences
Bobak, I. M., Lowdermilk, D., & Jensen, M. (2012). Buku Ajar Keperawatan Maternitas.
Jakarta: EGC.
McBride, H., & Kwee, J. (2017). Sex after baby: women's sexual function in the postpartum
period. Integrating the psychososial.
Rosdahl, C. B., & Kowalski, M. T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Dasar. Jakarta: EGC.
Soma-Pillay, P., Nelson-Piercy, C., Tolppanen, H., & Mebazaa, A. (2016). Physiological
changes in Pregnancy. Cardiovascular Journal of Africa, 89-94.