OLEH:
Ana Septianadi Fahulpa, S. Kep
NIM 192311101037
Mahasiswa
BERITA ACARA
Pada hari ini, tanggal jam s/d WIB bertempat di Ruang 17 RSUD
Dr. Saiful Anwar Malang Propinsi Jawa Timur telah dilaksanakan Kegiatan
Pendidikan Kesehatan tentang Range Off Motion oleh Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Profesi Ners Universitas Jember. Kegiatan ini diikuti oleh orang
(daftar hadir terlampir).
Mahasiswa
Penyuluh
Ana Septianadi Fahulpa, S.Kep.
NIM 192311101037
Pembimbing Klinik Ruang 12 HCU
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
a. Tulang Belakang
Tulang belakang atau vertebrae merupakan satu kesatuan yang kuat diikat
oleh ligamen di depan dan di belakang serta dilengkapi diskus intervertebralis
yang mempunyai daya absorbsi tinggi terhadap tekanan atau trauma yang
memberikan sifat fleksibel dan elastis. Vertebra dimulai dari cranium sampai
pada apex coccigeus, membentuk skeleton dari leher, punggung dan bagian
utama dari skeleton (tulang cranium, costa dan sternum). Fungsi vertebra yaitu
melindungi medulla spinalis dan serabut syaraf, menyokong berat badan dan
berperan dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra pada orang dewasa terdiri
dari 33 vertebra dengan pembagian 5 regio yaitu 7 cervical, 12 thoracal, 5
lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal (Moore, 2002).
Gambar 5. Anatomi vertebrae dilihat dari anterior, left lateral, dan posterior (Pearce, 2009)
2. Definisi
Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang dan
jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi
itu lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson, 2006). Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis luasnya (Brunner &
Suddart, 2008). Sehingga dapat disimpulkan bahwa fraktur adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang, yang dapat disertai dengan luka sekitar jaringan
lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka
organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya jika
tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya.
Menentukan stabil atau tidaknya fraktur membutuhkan pemeriksaan
radiograf. Pemeriksaan radiografi minimal ada 4 posisi yaitu anteroposterior,
lateral, oblik kanan dan kiri. Dalam menilai stabilitas vertebra, ada tiga unsur
yamg harus dipertimbangkan yaitu kompleks posterior (kolumna posterior),
kompleks media dan kompleks anterior (kolumna anterior). Pembagian bagian
kolumna vertebralis adalah sebagai berikut :
1. kolumna anterior yang terbentuk dari ligament longitudinal dan duapertiga
bagian anterior dari corpus vertebra, diskus dan annulus vertebralis
2. kolumna media yang terbentuk dari satupertiga bagian posterior dari
corpus vertebralis, diskus dan annulus vertebralis
3. kolumna posterior yang terbentuk dari pedikulus, sendi-sendi permukaan,
arkus tulang posterior, ligamen interspinosa dan supraspinosa
3. Epidemiologi
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis yang diakibatkan oleh trauma, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu
lintas, atau kecelakakan olahraga yang dapat menyebabkan fraktur atau
pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit
neurologi (Sjamsuhidayat, 1997). Semua trauma tulang belakang harus
dianggap suatu trauma hebat sehingga sejak awal pertolongan pertama dan
transpotasi ke rumah sakit harus diperlakukan dengan hati-hati. Trauma tulang
dapt mengenai jaringan lunak berupa ligament, discus dan faset, tulang
belakang dan medulla spinalis. Penyebab trauma tulang belakang adalah
kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan olah raga (22%), terjatuh dari
ketinggian (24%), kecelakaan kerja.
4. Etiologi
a. Trauma langsung yang menyebabkan terjadinya fraktur pada titik terjadinya
trauma tersebut. Misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil maka tulang
akan patah tepat di tempat benturan.
b. Trauma tidak langsung yang meyebabkan fraktur di tempat yang jatuh dari
tempat terjadinya trauma.
c. Trauma akibat tarikan otot.
d. Trauma akibat faktor patologis, misalnya adanya metastase kanker tulang
yang dapat melunakkan struktur tulang dan menyebabkan fraktur, ataupun
adanya penyakit osteoporosis.
5. Klasifikasi
Fraktur atau cidera vertebrae menurut kestabilannya terbagi menjadi
cedera stabil dan cedera tidak stabil. Cedera dianggap stabil jika bagian yang
terkena tekanan hanya bagian medulla spinalis anterior, komponen vertebral
tidak bergeser dengan pergerakan normal, ligamen posterior tidak rusak
sehingga medulla spinalis tidak terganggu, fraktur kompresi dan burst fraktur
adalah contoh cedera stabil. Cedera tidak stabil artinya cedera yang dapat
bergeser dengan gerakan normal karena ligamen posteriornya rusak atau robek,
Fraktur medulla spinalis disebut tidak stabil jika kehilangan integritas dari
ligamen posterior.
1. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).
2. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
6. Patofisiologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil,
jatuh dari ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis,
Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan
pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu
terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung
bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut
“whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan
anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah
maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang
berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari
jarak tinggi, menyelam yang dapat mengakibatkan paraplegia. Trauma tidak
langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan
vertical (terutama pada T.12 sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami
medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.akibat trauma terhadap
tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara
(komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari.
Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan
infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang
menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang
belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat
mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi).lesi
transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen
transversa, hemitransversa, kuadran transversa).hematomielia adalah
perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat
disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi
dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur
dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis
dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra
meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah
yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat
sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses
didalam kanalis vertebralis. Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan
whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis.pada
trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala
yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran
tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang
reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala
defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya
arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit
sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan
sindroma sistem anastomosis anterial anterior spinal.
7. Manifestasi Klinis
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi. kerusakan meningitis, lintang memberikan gambaran berupa hilangnya
fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock
spinal. Shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang
karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya
berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama.tandanya adalah
kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi
rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi.setelah shock
spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda
gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan
hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan
defekasi.
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot
lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada
kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu. Cedera sumsum
belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat
cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga
sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang
terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat
diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak
sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper
ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese parsial.gangguan pada ekstremitas
atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak
terganggu.
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan
anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya
refleks anal dan refleks bulbokafernosa.
8. Komplikasi
1. Dini
a. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedi infeksi di mulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka,
tapi juga bisa karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plate.
b. Syok
Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok, yang bisa berakibat
fatal dalam beberapa jam setelah cidera. Syok terjadi karena
kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler
yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi, biasanya terjadi
pada fraktur (Padila, 2012).
c. Tromboemboli (emboli paru), yang dapat menyebabkan kematian
beberapa minggu setelah cedera, emboli lemak yang dapat terjadi
dalam 48 jam atau lebih, dan koagulopati intravaskuler diseminata
(KID).
2. Lanjut
a. Malunion
Biasanya terjadi pada saat tulang sembuh, namun terjadi kelainan
pada bentuk tulang. Umumnya terjadi jika penatalaksanaan dibawa
pada sangkal putung.
b. Delayed union
Suatu keadaan dimana patah tulang tidak sembuh setelah selang
waktu 3-5 bulan. Penyebabnya adalah tidak segera mendapat
pengobatan, begitu terkena patah tulang.
c. Non union
Non union adalah suatu keadaan dimana patah tulang tidak sembuh
setelah 6-8 bulan dan tidak didapatkan kosolidasi, sehingga terjadi
pseudoarthrosis atau sendi palsu. Pseudoarthrosis bisa terjadi tanpa
atau dengan infeksi. Pasien mungkin tidak merasakan nyeri, namun
terjadi gerakan abnormal dari patah tulang yang membentuk sendi
palsu. Biasanya dokter akan melakukan tindakan koservatif atau
operatif yang resikonya lebih besar daripada merawat patah tulang
sejak awal.
10. Penatalaksanaan
Pertolongan pertama dan penanganan darurat trauma spinal terdiri atas:
penilaian kesadaran, jalan nafas, sirkulasi, pernafasan, kemungkinan adanya
perdarahan dan segera mengirim penderita ke unit trauma spinal ( jika ada).
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan klinik secara teliti meliputi pemeriksaan
neurology fungsi motorik, sensorik dan reflek untuk mengetahui kemungkinan
adanya fraktur pada vertebra.
Terapi pada fraktur vertebra diawali dengan mengatasi nyeri dan stabilisasi
untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi. semuanya tergantung dengan
tipe fraktur :
1. Braces & Orthotics ada tiga hal yang dilakukan yakni:
a. mempertahankan kesegarisan vertebra (aligment)
b. imobilisasi vertebra dalam masa penyembuhan
c. mengatsi rasa nyeri yang dirasakan dengan membatasi pergerakan.
Fraktur yang sifatnya stabil membutuhkan stabilisasi, sebagai contoh;
brace rigid collar (Miami J) untuk fraktur cervical, cervical-thoracic
brace (Minerva) untuk fraktur pada punggung bagian atas,
thoracolumbar-sacral orthosis (TLSO) untuk fraktur punggung bagian
bawah, dalam waktu 8 sampai 12 minggu brace akan terputus, umumnya
fraktur pada leher yang sifatnya tidak stabil ataupun mengalami dislokas
memerlukan traksi, halo ring dan vest brace untuk mengembalikan
kesegarisan
2. Pemasanagan alat dan prosoes penyatuan (fusion). Teknik ini adalah teknik
pembedahan yang dipakai untuk fraktur tidak stabil. Fusion adalah proses
penggabungan dua vertebra dengan adanya bone graft dibantu dengan alat-
alat seperti plat, rods, hooks dan pedicle screws. Hasil dari bone graft adalah
penyatuan vertebra dibagian atas dan bawah dari bagian yang disambung.
Penyatuan ini memerlukan waktu beberapa bulan atau lebih lama lagi untuk
menghasilkan penyatuan yang solid.
3. Vertebroplasty & Kyphoplasty, tindakan ini adalah prosedur invasi yang
minimal. Pada prinsipnya teknik ini digunakan pada fraktur kompresi yag
disebabkan osteoporosis dan tumor vertebra. Pada vertebroplasti bone
cement diinjeksikan melalui lubang jarung menuju corpus vertebra
sedangkan pada kypoplasti, sebuah balon dimasukkanan dikembungkan
untuk melebarkan vertebra yang terkompresi sebelum celah tersebut diisi
dengan bone cement .
Pengelolaan penderita dengan paralisis meliputi
1. Pengelolaan kandung kemih dengan pemberian cairan yang cukup,
kateterisasi dan evakuasi kandung kemih dalam 2 minggu
2. Pengelolaan saluran pencernaan dengan pemberian laksansia setiap dua hari
3. Cegah dekubitus
Gambar 8. Multiple legged Can, Offset Cane, dan Standart Alumunium Cane
b. Kruk aksila
Mempunyai garis permukaan yang seperti bantalan pada bagian atas, dimana
berada tepat di bawah aksila. Pegangan tangan berbentuk batang yang dipegang
setinggi telapak tangan untuk menyokong tubuh. Panjang pendeknya kruk bisa
disesuaikan dengan aksila pasien. Kruk harus diukur panjang yang sesuai dan
klien harus diajarkan menggunakan kruk mereka dengan aman, untuk mencapai
kestabilan gaya berjalan, naik dan turun tangga serta bangkit dari duduk. Kruk
memperluas area dasar, dengan demikian juga meningkatkan keseimbangan.
Berbeda dengan cane, crutch dapat menunjang seluruh berat badan. Jenis kruk ini
dapat mentransfer sampai 80% berat badan.
Gambar 11. Kruk Aksila
Cara Penggunaan (Cara Kerja)
1. Melakukan pengukuran kruk yang meliputi
area tinggi klien, jarak antarabantalan kruk
dengan aksila, dan sudut fleksi siku.
Pengukuran dilakukandengan satu dari dua
metode berikut, dengan klien berada pada
posisi supine atau berdiri. Pada posisi
telentang-ujung kruk berada 15cm di
samping tumit klien.
2. Tempatkan ujung pita pungukur dengan
lebar tiga sampai empat jari(4-5cm) dari
aksila dan ukur sampai tumit klien.
3. Pada posisi berdiri-posisi kruk dan ujung
kruk berada 14-15 cm di samping dan 14-15
cm di depan kaki klien. Dengan motede lain,
siku harus direfleksikan 15 sampai 30
derajat. Fleksi siku harus diperiksa
dengangoniometer. Lebar bantalan kruk
harus 3-4 lebar jari di bawah aksila. Tempat
berjalan, seperti lorong rumah sakit atau
taman yang dilengkapi dengan tempat
latihan untuk berjalan.
Risiko Dekubitus
Laserasi kulit
Pola nafas tidak
efektif
Resiko infeksi
Putusnya
vena/arteri Kerusakan integritas
jaringan
Perdarahan
Resiko syok
(hipovolemik)
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian:
a. (Pengkajian primer)
1) Airway: Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya
penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuK
2) Breathing: Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas,
timbulnya pernapasan yang sulit dan/atau tak teratur, suara nafas
terdengar ronchi /aspirasi
3) Circulation: TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada
tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia,
kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
b. (Pengkajian sekunder)
1) Aktivitas/istirahat: kehilangan fungsi pada bagian yang terkena,
Keterbatasan mobilitas
2) Sirkulasi: hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas),
hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah), takikardi, penurunan
nadi pada bagian distal yang cidera, Capilary refill time melambat,
pucat pada bagian yang terkena, masa hematoma pada sisi cedera
3) Neurosensori: kesemutan, deformitas, krepitasi, pemendekan,
kelemahan, kerusakan fungsi saraf
4) Kenyamanan: nyeri tiba-tiba saat cidera, spasme/ kram otot
5) Keamanan: laserasi kulit, perdarahan, perubahan warna, pembengkakan
lokal
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif
b. Nyeri akut
c. Hambatan mobilitas fisik
d. Kerusakan integritas jaringan
e. Resiko infeksi
5. Rencana Tindakan Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil NIC
1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam Manajemen jalan nafas
pasien menunjukkan hasil: 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
No. Indikator Awal Tujuan 2. Monitor status pernafasan dan oksigensi
1 2 3 4 5 3. Motivasi pasien untuk bernafas pelan
1. Frekuensi nafas 2 √
4. Pemantauan respirasi
2. Irama pernafasan 2 √
3. Sianosis 2 √ 5. Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan kesulitan
4. Pernafasan bernafas
2 √
dengan bibir 6. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, dan penggunaan
5. Retraksi dinding
2 √ otot bantu nafas
dada 7. Monitor suara nafas
Keterangan: 8. Monitor pola nafas (bradipneu, takipneu, hiperventilasi,
1. Sangat terganggu kusmaul)
2. Banyak terganggu 9. Monitor saturasi oksigen
3. Cukup terganggu 10. Monitor tanda-tanda vital
4. Sedikit terganggu 11. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status
5. Tidak terganggu pernafasan dengan tepat
2. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 Manajemen Nyeri (1400)
dengan agen cidera fisik jam pasien menunjukkan hasil: 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif yang
meliputi lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
akibat pergeseran Kepuasan Klien: Menejemen Nyeri (3016) kualitas, intensitas beratnya nyeri dan faktor pencetus;
fragmen tulang No. Indikator Awal
Tujuan 2. Observasi adanya petunjuk nonverbalmengalami
1 2 3 4 5 ketidaknyamanan terutama pada mereka yang tidak
1. Nyeri terkontrol 3 √
dapat berkomunikasi secara edektif
2. Tingkat nyeri 3 √
Mengambil tindakkan untuk
3. Gunakan strategi komunikasi terapuetik untuk
3. 3 √ mengetahui pengalaman nyeri dan sampaikan
: mengurangi nyeri
4.
Mengambil tindakkan untuk
1 √ penerimaan pasien terhadap nyeri
: memberi kenyamanan 4. Gali pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai
.
nyeri
Pendekatan preventif 3 √
menejemen nyeri 5. Ajarkan prinsip-prinsip menejemen nyeri
Manejemen nyeri sesuai 6. Kolaborasi pemberian analgesik guna pengurangi nyeri
6. 2 √
budaya budaya
Keterangan: Terapi relaksasi (6040)
1. Keluhan ekstrime a. Gambarkan rasionalisasi dan manfaat relaksasi serta
2. Keluhan berat jenis relaksasi yang tersedia
3. Keluhan sedang b. Pertimbangkan keinginan pasien untuk berpartisipasi,
4. Keluhan ringan kemampuan berpartisipasi, pilihan, pengalaman masa
5. Tidak ada keluhan lalu dan kontraindikasi sebelum memilih strategi
tertentu
c. Dorong klien untuk mengambil posisi yang nyaman
dengan pakaian longgar dan mata tertutup
d. Minta klien untuk rileks dan merasakan sensasi yang
terjadi
e. Dorong klien untuk mengulangi [praktik teknis
relaksasi, jikamemungkinkan
f. Evaluasi dan dokumentasi respon terhadap terapi
relaksasi
5 Resiko infeksi sekunder Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 Kontrol Infeksi (6540)
berhubungan dengan jam pasien menunjukkan hasil: 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah digunkan
untuk setiap pasien
luka terbuka No. Indikator Awal Tujuan 2. Ganti peralatan perawatan per pasien sesuai protocol
1 2 3 4 5 institusi
1. Tekanan darah 3. Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan pada saat
2 √
sistolik
2. Tekanan darah memasuki dan meninggalkan px
2 √ 4. Batasi jumlah pengunjung
diastolic
3. Stabilitas 5. Pastikan teknik perawatan luka yang tepat
2 √
hemodinamik
4. Suhu tubuh 2 √ Kontrol infeksi; Intraoperatif (6545)
5. Laju nadi radialis 2 √ 1. Bersihkan debu dan permukaan mendatar dengan
6. Irama nadi
radialis
2 √ pencahayaan di ruang operasi
7. Laju pernafasan 3 √ 2. Monitor dan jaga aliran udara yang berlapis
8. Kedalaman 3. Batasi dan lalu lalang pengunjung
2 √
inspirasi 4. Monitor teknik isolasi yang sesuai
11. Kesadaran 2 √ 5. Verifikasi keutuhan kemasan steril
Keterangan:
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Secara konsisten menunjukkan
Daftar Pustaka
Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J. M., & Wagner, C.M. 2013.
Nursing Intervention Classification (NIC). Indonesia: Elsevier.
Brunner & Suddarth. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Vol 3.
Jakarta; EGC.
Hudak dan Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistic. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius FK UI
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., & Swanson, E. 2013. Nursing Outcomes
Classification (NOC). Indonesia: Elsevier.
Moore, Keith. 2002. Essential Clinical Anatomy; Second Edition, lippincot
Williams and Wilkins: Baltimore. Nanda International. 2011. Diagnosis
Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta : EGC
Price, S.A. & Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Smeltzer & Bare, 2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8.Jakarta:
EGC.