Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR


VERTEBRAE DI RUANG 17 RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

OLEH:
Ana Septianadi Fahulpa, S. Kep
NIM 192311101037

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur


Vertebrae di Ruang 17 SUD Dr. Syaiful Anwar Malang telah disetujui dan
disahkan pada :
Hari, Tanggal :
Tempat: Ruang 17 RSUD Dr. Syaiful Anwar Malang

Malang, Desember 2019

Mahasiswa

Ana Septianadi Fahulpa, S.Kep.


NIM 192311101037

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Fakultas Keperawatan Ruang 17
Universitas Jember RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Ns. Mulia Hakam, M.Kep., Sp.Kep.MB Septian Editiya, S.Kep.Ners


NIP. 19810319 201404 1 001 NIP. 302-050091991-102016-8483
KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS (PSP2N)
T.A 2019/2020

BERITA ACARA

Pada hari ini, tanggal jam s/d WIB bertempat di Ruang 17 RSUD
Dr. Saiful Anwar Malang Propinsi Jawa Timur telah dilaksanakan Kegiatan
Pendidikan Kesehatan tentang Range Off Motion oleh Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Profesi Ners Universitas Jember. Kegiatan ini diikuti oleh orang
(daftar hadir terlampir).

NO. NAMA ALAMAT TANDA TANGAN


1. 1.
2. 2.
3. 3.
4. 4.
5. 5.

Malang, Desember 2019

Mahasiswa

Penyuluh
Ana Septianadi Fahulpa, S.Kep.
NIM 192311101037
Pembimbing Klinik Ruang 12 HCU
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Septian Editiya, S.Kep.Ners


NIP. 302-050091991-102016-8483
Mengetahui
Pembimbing Akademik
Fakultas Keperawatan Universitas Jember

Ns. Mulia Hakam, M.Kep., Sp.Kep.MB


NIP. 19810319 201404 1 001
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Teori tentang Penyakit


1. Review Anatomi dan Fisiologi
a. Sistem Saraf
Sistem saraf adalah sistem koordinasi berupa penghantaran impuls saraf ke
susunan saraf pusat, pemrosesan impuls saraf dan pemberi tanggapan
rangsangan. Sistem atau susunan saraf merupakan salah satu bagian terkecil
dari organ dalam tubuh, tetapi merupakan bagian yang paling kompleks
(Bahrudin, 2013).
Susunan saraf pusat (SSP) yaitu otak (ensefalon) dan medula spinalis, yang
merupakan pusat integrasi dan kontrol seluruh aktifitas tubuh (Bahrudin,
2013). Otak besar merupakan pusat pengendali kegiatan tubuh yang disadari.
Otak besar ini dibagi menjadi dua belahan, yaitu belahan kanan dan kiri. Tiap
belahan tersebut terbagi menjadi 4 lobus yaitu frontal, parietal, okspital, dan
temporal. Sedangkan disenfalon adalah bagian dari otak besar yang terdiri
dari talamus, hipotalamus, dan epitalamus (Khafinuddin, 2012). Otak
belakang/ kecil terbagi menjadi dua subdivisi yaitu metensefalon dan
mielensefalon. Metensefalon berubah menjadi batang otak (pons) dan
cereblum. Sedangkan mielensefalon akan menjadi medulla oblongata. Otak
tengah/ sistem limbic terdiri dari hipokampus, hipotalamus, dan amigdala
(Khafinuddin, 2012).
Sumsum tulang belakang terletak memanjang di dalam rongga tulang
belakang, mulai dari ruas-ruas tulang leher sampai ruas-ruas tulang pinggang
yang kedua. Sumsum tulang belakang terbagi menjadi dua lapis yaitu lapisan
luar berwarna putih (white area) dan lapisan dalam berwarna kelabu (grey
area). Lapisan luar mengandung serabut saraf dan lapisan dalam mengandung
badan saraf. Saraf di sumsum tulang belakang fungsinya adalah sebagai
penghantar impuls dari otak dan ke otak serta sebagai pusat pengatur gerak
refleks (Khafinuddin, 2012).

Gambar 1. Bagian- Bagian Otak


Susunan saraf tepi (SST) yaitu saraf kranial dan saraf spinalis yang merupakan
garis komunikasi antara SSP dan tubuh . SST tersusun dari semua saraf yang
membawa pesan dari dan ke SSP (Bahrudin, 2013). 12 pasang saraf kranial
muncul dari berbagai bagian batang otak. Beberapa dari saraf tersebut hanya
tersusun dari serabut sensorik, tetapi sebagian besar tersusun dari serabut sensorik
dan motorik. Ada 31 pasang saraf spinal berawal dari korda melalui radiks dorsal
(posterior) dan ventral (anterior). Saraf spinal adalah saraf gabungan motorik dan
sensorik, membawa informasi ke korda melalui neuron aferen dan meninggalkan
melalui eferen.

Gambar 2. Distribusi Saraf Kranial

Gambar 3. Distribusi Saraf Spinal


Sel-sel pada Sistem Saraf Sistem saraf pada manusia terdiri dari dua komponen yaitu
sel saraf dan sel glial. Sel saraf berfungsi sebagai alat untuk menghantarkan impuls dari
panca indera menuju otak yang selanjutnya oleh otak akan dikirim ke otot. Sedangkan
sel glial berfungsi sebagai pemberi nutrisi pada neuron (Feriyawati, 2006). Pada SSP,
neuron menerima informasi dari neuron dan primer di dendritic spines, yang mana
ditunjukkan dalam 80-90% dari total neuron area permukaan. Badan sel dihubungkan
dengan sel yang lain melalui akson yang ujung satu dengan yang lain membentuk sinaps.
Pada masing-masing sinap terjadi komunikasi neuron dengan sel yang lain (Bahrudin,
2013).

Gambar 4. Struktur Neuron

a. Tulang Belakang
Tulang belakang atau vertebrae merupakan satu kesatuan yang kuat diikat
oleh ligamen di depan dan di belakang serta dilengkapi diskus intervertebralis
yang mempunyai daya absorbsi tinggi terhadap tekanan atau trauma yang
memberikan sifat fleksibel dan elastis. Vertebra dimulai dari cranium sampai
pada apex coccigeus, membentuk skeleton dari leher, punggung dan bagian
utama dari skeleton (tulang cranium, costa dan sternum). Fungsi vertebra yaitu
melindungi medulla spinalis dan serabut syaraf, menyokong berat badan dan
berperan dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra pada orang dewasa terdiri
dari 33 vertebra dengan pembagian 5 regio yaitu 7 cervical, 12 thoracal, 5
lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal (Moore, 2002).
Gambar 5. Anatomi vertebrae dilihat dari anterior, left lateral, dan posterior (Pearce, 2009)

2. Definisi
Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang dan
jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi
itu lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson, 2006). Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis luasnya (Brunner &
Suddart, 2008). Sehingga dapat disimpulkan bahwa fraktur adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang, yang dapat disertai dengan luka sekitar jaringan
lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka
organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya jika
tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya.
Menentukan stabil atau tidaknya fraktur membutuhkan pemeriksaan
radiograf. Pemeriksaan radiografi minimal ada 4 posisi yaitu anteroposterior,
lateral, oblik kanan dan kiri. Dalam menilai stabilitas vertebra, ada tiga unsur
yamg harus dipertimbangkan yaitu kompleks posterior (kolumna posterior),
kompleks media dan kompleks anterior (kolumna anterior). Pembagian bagian
kolumna vertebralis adalah sebagai berikut :
1. kolumna anterior yang terbentuk dari ligament longitudinal dan duapertiga
bagian anterior dari corpus vertebra, diskus dan annulus vertebralis
2. kolumna media yang terbentuk dari satupertiga bagian posterior dari
corpus vertebralis, diskus dan annulus vertebralis
3. kolumna posterior yang terbentuk dari pedikulus, sendi-sendi permukaan,
arkus tulang posterior, ligamen interspinosa dan supraspinosa
3. Epidemiologi
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis yang diakibatkan oleh trauma, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu
lintas, atau kecelakakan olahraga yang dapat menyebabkan fraktur atau
pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit
neurologi (Sjamsuhidayat, 1997). Semua trauma tulang belakang harus
dianggap suatu trauma hebat sehingga sejak awal pertolongan pertama dan
transpotasi ke rumah sakit harus diperlakukan dengan hati-hati. Trauma tulang
dapt mengenai jaringan lunak berupa ligament, discus dan faset, tulang
belakang dan medulla spinalis. Penyebab trauma tulang belakang adalah
kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan olah raga (22%), terjatuh dari
ketinggian (24%), kecelakaan kerja.

4. Etiologi
a. Trauma langsung yang menyebabkan terjadinya fraktur pada titik terjadinya
trauma tersebut. Misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil maka tulang
akan patah tepat di tempat benturan.
b. Trauma tidak langsung yang meyebabkan fraktur di tempat yang jatuh dari
tempat terjadinya trauma.
c. Trauma akibat tarikan otot.
d. Trauma akibat faktor patologis, misalnya adanya metastase kanker tulang
yang dapat melunakkan struktur tulang dan menyebabkan fraktur, ataupun
adanya penyakit osteoporosis.

5. Klasifikasi
Fraktur atau cidera vertebrae menurut kestabilannya terbagi menjadi
cedera stabil dan cedera tidak stabil. Cedera dianggap stabil jika bagian yang
terkena tekanan hanya bagian medulla spinalis anterior, komponen vertebral
tidak bergeser dengan pergerakan normal, ligamen posterior tidak rusak
sehingga medulla spinalis tidak terganggu, fraktur kompresi dan burst fraktur
adalah contoh cedera stabil. Cedera tidak stabil artinya cedera yang dapat
bergeser dengan gerakan normal karena ligamen posteriornya rusak atau robek,
Fraktur medulla spinalis disebut tidak stabil jika kehilangan integritas dari
ligamen posterior.
1. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).
2. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.

3. Berdasarkan posisi fragmen :


a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen

4. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).


a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan
lunak sekitarnya.
2. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
1. Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
2. Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
ekstensif.
3. Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan
lunak ekstensif.
Tipe IIIa : Fraktur segmental atau sangat kominutif penutupan tulang
dengan jaringan lunak cukup adekuat.
Tipe IIIb : trauma sangat berat atau kehilangan jaringan lunak yang
cukup luas , terkelupasnya daerah periosteum dan tulang tampak
terbuka , serta adanya kontaminasi yang cukup berat.
Tipe IIIc : Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan pembuluh
darah tanpa memperhatikan derajat kerusakan jaringan lunak

5. Berdasarkan bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma :


a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.

6. Berdasarkan kedudukan tulangnya :


a. Tidak adanya dislokasi.
b. Adanya dislokasi
1. At axim : membentuk sudut.
2. At lotus : fragmen tulang berjauhan.
3. At longitudinal : berjauhan memanjang.
4. At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek
7. Berdasarkan posisi fraktur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
8. Fraktur Kelelahan
Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
9. Fraktur Patologis
Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Gambar 6. Klasifikasi Fraktur berdasarkan Patahannya

6. Patofisiologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil,
jatuh dari ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis,
Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan
pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu
terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung
bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut
“whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan
anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah
maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang
berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari
jarak tinggi, menyelam yang dapat mengakibatkan paraplegia. Trauma tidak
langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan
vertical (terutama pada T.12 sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami
medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.akibat trauma terhadap
tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara
(komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari.
Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan
infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang
menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang
belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat
mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi).lesi
transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen
transversa, hemitransversa, kuadran transversa).hematomielia adalah
perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat
disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi
dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur
dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis
dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra
meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah
yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat
sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses
didalam kanalis vertebralis. Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan
whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis.pada
trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala
yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran
tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang
reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala
defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya
arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit
sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan
sindroma sistem anastomosis anterial anterior spinal.

7. Manifestasi Klinis
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi. kerusakan meningitis, lintang memberikan gambaran berupa hilangnya
fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock
spinal. Shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang
karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya
berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama.tandanya adalah
kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi
rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi.setelah shock
spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda
gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan
hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan
defekasi.
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot
lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada
kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu. Cedera sumsum
belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat
cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga
sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang
terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat
diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak
sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper
ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese parsial.gangguan pada ekstremitas
atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak
terganggu.
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan
anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya
refleks anal dan refleks bulbokafernosa.

8. Komplikasi
1. Dini
a. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedi infeksi di mulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka,
tapi juga bisa karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plate.
b. Syok
Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok, yang bisa berakibat
fatal dalam beberapa jam setelah cidera. Syok terjadi karena
kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler
yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi, biasanya terjadi
pada fraktur (Padila, 2012).
c. Tromboemboli (emboli paru), yang dapat menyebabkan kematian
beberapa minggu setelah cedera, emboli lemak yang dapat terjadi
dalam 48 jam atau lebih, dan koagulopati intravaskuler diseminata
(KID).
2. Lanjut
a. Malunion
Biasanya terjadi pada saat tulang sembuh, namun terjadi kelainan
pada bentuk tulang. Umumnya terjadi jika penatalaksanaan dibawa
pada sangkal putung.
b. Delayed union
Suatu keadaan dimana patah tulang tidak sembuh setelah selang
waktu 3-5 bulan. Penyebabnya adalah tidak segera mendapat
pengobatan, begitu terkena patah tulang.
c. Non union
Non union adalah suatu keadaan dimana patah tulang tidak sembuh
setelah 6-8 bulan dan tidak didapatkan kosolidasi, sehingga terjadi
pseudoarthrosis atau sendi palsu. Pseudoarthrosis bisa terjadi tanpa
atau dengan infeksi. Pasien mungkin tidak merasakan nyeri, namun
terjadi gerakan abnormal dari patah tulang yang membentuk sendi
palsu. Biasanya dokter akan melakukan tindakan koservatif atau
operatif yang resikonya lebih besar daripada merawat patah tulang
sejak awal.

9. Pemeriksaan Khusus dan Penunjang


a. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik utama yang biasanya dilakukan adalah primary
survey. primary survey dilakukan dengan mengidentifikasi keadaan yang
membahayakan klien dan segera ditanggulangi.
1) A = “Airway”
Menjamin kelancaran jalan nafas dan kontrol vertebrae servikalis. Jalan
nafas dipertahankan dengan melakukan “chin lift” atau “jaw thrust”
dapat juga dengan memasang “guedel” pada klien dengan multiple
trauma dan trauma tumpul di atas klavikula kita harus mengagap dan
memperlakukan seakan ada fraktur dari vertebra servikalis dengan
memasang “neck collar” sampai dibuktikan negatif. Hasil pemeriksaan
neurologi yang negatif tidak menyingkirkan ada cedera servikal. Karena
itu sebaiknya dibuat X-ray crosstable lateral cervical spino atau
swimmer view dan menilai ketujuh vetebra servikal.
2) B = Breathing dan Ventilasi
Sebaiknya thoraks harus dapat dilihat semuanya untuk melihat
ventilasi. Jalan nafas yang bebas tidak menjamin ventilasi yang cukup,
pertukaran udara yang cukup diperlukan untuk oksigenisasi yang
cukup. Bila ada gangguan instabilitas kardiovaskuler, respirasi atau
kelainan neurologis. Maka kita harus melakukan ventilasi dengan alat
“bag valve” yang disambungkan pada masker atau pipa endrokeal.
Oksigenisasi atau ventilasi yang cukup pada klien trauma termasuk
memberikan volume dan konsentrasi oksigen (12 liter per menit) yang
cukup. Pernafasaan yang melebihi 20 kali / menit menandakan
gangguan respirasi.
3) C = Circulation
Salah satu penyebab kematian di rumah sakit adalah pendarahan
yang segera tidak diatasi, ditandai dengan hipotensi yaitu:
1. kesadaran menurun
2. warna kulit pucat,kelabu menandakan kehilangan darah lebih dari
30%
3. nadi cepat dan lemah,ireguler merupakan pertanda hipovolume
4. Pendarahan bagian luar diatasi dengan balit tekan, jangan peke
torniket karena akan mengakibatkan metabolisme
anaerobe.sedangkan pada pendarahan tungkai atau abdomend
diatasi dengan memakai MAST.
4) D = Disability
Pada akhir primary survey dilakukan pemeriksaan neurologis untuk
menentukan:
1) Kesadaran, kesadaran ditentukan dengan metode AVPU:
A-“Alert”
V-“bereaksi pada vokal stimuli”
P-“bereaksi pada pain stimuli”
U-“unresponsive”
2) Pupil
3) Reaksi reflek
Glascow Coma Scale (GCS) dilakukan pada “primary survey” atau
“seconder survey”. Perubahan pada neurologis atau kesadaran klien
menunjukkan kelainan intrakranial, dengan demikian kita harus
menilai ulang :
a) Oksigenisasi
b) Ventilasi
c) Perfusi
5) E = Eksposure
Klien harus ditelanjangi untuk pemeriksaan lebih lengkap dan harus
diselimuti untuk menghindari hipotermi.
Pemeriksaan selanjutnya adalah secondary survey. Secondary survey
tidak dimulai bila primery survey belum selesai. Resusitasi sudah
dilakukan dari evaluasi ABC direvaluasi. Secondary survey adalah
anamnese yang lengkap termasuk biomekanik kecelakaan dan
pemeriksaan fisik dari kepala sampai ke ujung kaki.
Pengkajian secondary survey meliputi :
a. Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal
b. Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat
c. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut,
peristaltik hilang
d. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas,
gelisah dan menarik diri
e. Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
f. Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
g. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid,
hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi
pupil, ptosi
h. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma,
dan mengalami deformitas pada daerah trauma
i. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
j. Keamanan : suhu yang naik turun
b. Pemerikasaan Penunjang
1. Foto Rontgen
a. Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
b. Mengetahui tempat atau tipe fraktur. Biasanya diambil sebelum dan
sesudah serta selama proses penyembuhan secara periodik
2. Artelogram bila ada kerusakan vaskuler
3. Hitung darah lengkap HT mungkin terjadi (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada organ
multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah kompensasi normal setelah
fraktur.
4. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi
multiple atau trauma hati.
5. Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Hal yang harus dibaca pada x-ray:
a. Bayangan jaringan lunak
b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik
atau juga rotasi
c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction
d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi
6. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan
struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada
struktur lain juga mengalaminya.
7. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
8. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
9. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.

10. Penatalaksanaan
Pertolongan pertama dan penanganan darurat trauma spinal terdiri atas:
penilaian kesadaran, jalan nafas, sirkulasi, pernafasan, kemungkinan adanya
perdarahan dan segera mengirim penderita ke unit trauma spinal ( jika ada).
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan klinik secara teliti meliputi pemeriksaan
neurology fungsi motorik, sensorik dan reflek untuk mengetahui kemungkinan
adanya fraktur pada vertebra.
Terapi pada fraktur vertebra diawali dengan mengatasi nyeri dan stabilisasi
untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi. semuanya tergantung dengan
tipe fraktur :
1. Braces & Orthotics ada tiga hal yang dilakukan yakni:
a. mempertahankan kesegarisan vertebra (aligment)
b. imobilisasi vertebra dalam masa penyembuhan
c. mengatsi rasa nyeri yang dirasakan dengan membatasi pergerakan.
Fraktur yang sifatnya stabil membutuhkan stabilisasi, sebagai contoh;
brace rigid collar (Miami J) untuk fraktur cervical, cervical-thoracic
brace (Minerva) untuk fraktur pada punggung bagian atas,
thoracolumbar-sacral orthosis (TLSO) untuk fraktur punggung bagian
bawah, dalam waktu 8 sampai 12 minggu brace akan terputus, umumnya
fraktur pada leher yang sifatnya tidak stabil ataupun mengalami dislokas
memerlukan traksi, halo ring dan vest brace untuk mengembalikan
kesegarisan
2. Pemasanagan alat dan prosoes penyatuan (fusion). Teknik ini adalah teknik
pembedahan yang dipakai untuk fraktur tidak stabil. Fusion adalah proses
penggabungan dua vertebra dengan adanya bone graft dibantu dengan alat-
alat seperti plat, rods, hooks dan pedicle screws. Hasil dari bone graft adalah
penyatuan vertebra dibagian atas dan bawah dari bagian yang disambung.
Penyatuan ini memerlukan waktu beberapa bulan atau lebih lama lagi untuk
menghasilkan penyatuan yang solid.
3. Vertebroplasty & Kyphoplasty, tindakan ini adalah prosedur invasi yang
minimal. Pada prinsipnya teknik ini digunakan pada fraktur kompresi yag
disebabkan osteoporosis dan tumor vertebra. Pada vertebroplasti bone
cement diinjeksikan melalui lubang jarung menuju corpus vertebra
sedangkan pada kypoplasti, sebuah balon dimasukkanan dikembungkan
untuk melebarkan vertebra yang terkompresi sebelum celah tersebut diisi
dengan bone cement .
Pengelolaan penderita dengan paralisis meliputi
1. Pengelolaan kandung kemih dengan pemberian cairan yang cukup,
kateterisasi dan evakuasi kandung kemih dalam 2 minggu
2. Pengelolaan saluran pencernaan dengan pemberian laksansia setiap dua hari
3. Cegah dekubitus

Menurut Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada


waktu menangani fraktur yaitu :
a. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur
tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang
nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
b. Reduksi (Manipulasi/ Reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak
asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan
reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan
sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada
kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera
sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002). Dalam
penatalaksanaan fraktur dengan reduksi dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragment
tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup,
traksi, dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu
yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang
mendasarinya tetap sama.Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur,
pasien harus disiapkan untuk menjalani prosedur dan harus diperoleh
izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai
ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anesthesia. Ekstremitas yang
akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut. Reduksi tertutup pada banyak kasus, reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragment tulang ke
posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi
dan traksi manual.
2) Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
Pada Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau
yang biasa dikenal dengan OREF, biasanya dilakukan pada fraktur
yang terjadi pada tulang panjang dan fraktur fragmented. Eksternal
dengan fiksasi, pin dimasukkan melalui kulit ke dalam tulang dan
dihubungkan dengan fiksasi yang ada dibagian luar. Indikasi yang
biasa dilakukan penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi adalah
fraktur terbuka pada tulang kering yang memerlukan perawatan
untuk dressings. Tetapi dapat juga dilakukan pada fraktur tertutup
radius ulna. Eksternal fiksasi yang paling sering berhasil adalah pada
tulang dangkal tulang misalnya tibial batang.
c. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips,
atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi
intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk
menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga
pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan
distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain
dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau
kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat
dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).
Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang
diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau zona
trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk
menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary
treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive
treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang
dan jaringan lunak (Muttaqin, 2008). Alat traksi diberikan dengan
kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk meluruskan bentuk
tulang. Ada 2 macam yaitu:
a) Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan
menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan
bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang
cedera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
b) Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera
pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan
memasukkan pins / kawat ke dalam tulang.
d. Rehabilitasi
Rehabilitasi dilakukan untuk aktifitas fungsional semaksimal mungkin
dalam menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan
mmeungkinkan, harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer,
2000). Salah satu tindakan rehabilitasi dengan penggunaan alat bantu
berjalan.
Ada beberapa faktor yang dipertimbangkan untuk menentukan pola
berjalan dengan menggunakan alat bantu jalan, antara lain kemampuan
pasien untuk melangkah dengaan satu atau kedua tungkai, kemampuan
weight bearing (tumpuan berat) dan keseimbangan pasien dengan satu
kaki atau kedua tungkai, dan kemampuan kedua AGA (Anggota Gerak
Atas) untuk mempertahankan weight bearing dan AMP (Austin Moore
Prosthesis), keseimbangan, serta kemampuan mempertahankan tubuh
dalam posisi berdiri.
1. Walker
Walker adalah suatu alat yang sangat ringan, mudah
dipindahkan, setinggi pinggang, terbuat dari pipa logam. Walker
mempunyai empat penyangga dan kaki yang kokoh. Klien
memegang pemegang tangan pada bagian atas, melangkah,
memindahkan walker lebih lanjut, dan melangkah lagi. Walker
memperbaiki keseimbangan dengan meningkatkan area dasar
penunjang berat badan dan meningkatkan keseimbangan lateral.
Walker mempunyai beberapa kelemahan yaitu sulit digunakan bila
melewati pintu dan tempat yang sempit, mengurangi ayunan lengan
dan terjadi abnormal fleksi punggung ketika berjalan. Secara umum,
walker tidak dapat digunakan di tangga. Macam-macam Walker,
yaitu :
Standard walker
Memiliki empat kaki dengan sumbat karet di setiap kakinya.
Tingginya dapat disesuaikan dan digunakan untuk orang dewasa
dalam kisaran berat badan normal. Standard walker adalah alat
bantu jalan paling aman.

Gambar 7. Standard Walker, Front


Wheeled Walker dan Wheel Walker
Cara Penggunaan (Cara Kerja)
1. Atur tinggi keempat kaki walker agar nyaman dipakai oleh klien.
2. Pegang walker pada bagian atas yang ada bantalan karetnya.
3. Mulailah berjalan menggunakan walker dengan cara mengangkat dan
memindahkan walker ke depan sedikit demi sedikit.
4. Usahakan tubuh klien tidak keluar dari batas kotak walker. Agar
keselamatan klien terjaga.

2. Tongkat atau cane atau stick


Tongkat atau cane adalah alat yang ringan, mudah dipindahkan, setinggi
pinggang, terbuat dari kayu atau logam. Tinggi tongkat ini bisa diatur sesuai
kebutuhan. Tongkat ini harus dipakai di sisi tubuh yang terkuat. Cane
memperluas area untuk menunjang berat badan sehingga dapat meningkatkan
keseimbangan tubuh. Cane tradisional yang hanya digunakan untuk
keseimbangan tidak dapat menunjang berat badan. Cane sekarang dapat
digunakan untuk menunjang berat badan dan biasanya digunakan bila
memerlukan salah satu ekstremitas atas untuk mencapai keseimbangan dan
menunjang berat badan. Tongkat berkaki panjang lurus (stick atau single
straight-legged) lebih umum digunakan untuk sokongan dan keseimbangan
klien yang kekuatan kakinya menurun. Di kakinya terdapat sumbat untuk
mengurangi resiko terpeleset pada klien.

Gambar 8. Multiple legged Can, Offset Cane, dan Standart Alumunium Cane

Gambar 9. Standard Wooden Canes dan Walk Canes

Cara Penggunaan (Cara Kerja)


1. Aturlah tinggi tongkat sesuai dengan kebutuhan klien.
2. Klien mulai berjalan menggunakan tongkat sebagai pembantu menyokong
tubuh.
3. Tongkat ini harus dipakai di sisi tubuh yang terkuat. Cane memperluas
area untuk menunjang berat badan sehingga dapat meningkatkan
keseimbangan tubuh.

3. Crutch atau kruk


Kruk sering digunakan untuk meningkatkan mobilisasi. Penggunaannya
dapat temporer, seperti pada setelah kerusakan ligamen di lutut. Kruk dapat
digunakan permanen (mis. Klien paralisis ekstremitas bawah). Kruk terbuat dari
kayu atau logam. Ada dua tipe kruk, yaitu :
a. Kruk Lofstrand dengan pengatur ganda atau kruk lengan
Kruk lengan bawah memiliki sebuah pegangan tangan dan pembalut logam
yang pas mengelilingi lengan bawah. Kedua-duanya, yaitu pembalut logam dan
pegangan tangan diatur agar sesuai dengan tinggi klien. Jenis kruk ini dapat
mentransfer 40-50% berat badan.
Gambar 10. Lofstrand

b. Kruk aksila
Mempunyai garis permukaan yang seperti bantalan pada bagian atas, dimana
berada tepat di bawah aksila. Pegangan tangan berbentuk batang yang dipegang
setinggi telapak tangan untuk menyokong tubuh. Panjang pendeknya kruk bisa
disesuaikan dengan aksila pasien. Kruk harus diukur panjang yang sesuai dan
klien harus diajarkan menggunakan kruk mereka dengan aman, untuk mencapai
kestabilan gaya berjalan, naik dan turun tangga serta bangkit dari duduk. Kruk
memperluas area dasar, dengan demikian juga meningkatkan keseimbangan.
Berbeda dengan cane, crutch dapat menunjang seluruh berat badan. Jenis kruk ini
dapat mentransfer sampai 80% berat badan.
Gambar 11. Kruk Aksila
Cara Penggunaan (Cara Kerja)
1. Melakukan pengukuran kruk yang meliputi
area tinggi klien, jarak antarabantalan kruk
dengan aksila, dan sudut fleksi siku.
Pengukuran dilakukandengan satu dari dua
metode berikut, dengan klien berada pada
posisi supine atau berdiri. Pada posisi
telentang-ujung kruk berada 15cm di
samping tumit klien.
2. Tempatkan ujung pita pungukur dengan
lebar tiga sampai empat jari(4-5cm) dari
aksila dan ukur sampai tumit klien.
3. Pada posisi berdiri-posisi kruk dan ujung
kruk berada 14-15 cm di samping dan 14-15
cm di depan kaki klien. Dengan motede lain,
siku harus direfleksikan 15 sampai 30
derajat. Fleksi siku harus diperiksa
dengangoniometer. Lebar bantalan kruk
harus 3-4 lebar jari di bawah aksila. Tempat
berjalan, seperti lorong rumah sakit atau
taman yang dilengkapi dengan tempat
latihan untuk berjalan.

Tahap penyembuhan tulang dibagi menjadi 5 proses yaitu sebagai berikut:


Gambar 12. Proses Penyembuhan tulang (Pearce, 2009)
a. Tahap pembentukan hematoma
Dalam 24 jam pertama mulai terbentuk bekuan darah dan fibrin yang
masuk ke area fraktur. Suplai darah meningkat dan terbentuk hematom
yang berkembang menjadi jaringan granulasi sampai hari kelima.
b. Tahap proliferasi
Dalam waktu sekitar 5 hari, hematom akan mengalami organisasi.
Terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan dara, membentuk
jaringan untuk revaskularisasi dan invasi fibroblast dan osteoblast yang
akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen
pada patahan tulang, lalu akan terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang
rawan.
c. Tahap pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh
mencapai sisi lain sampai celah terhubung. Fragmen patahan tulang
digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan tulang serat
imatur. Butuh 3-4 minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang
rawan atau jaringan fibrus.
d. Osifikasi
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2-3 minggu
patah tulan melalui proses penulangan ndokondrial. Mineral terus
menerus ditimbun sampai tulang benar-benar bersatu. Proses ini
memerlukan waktu 3-4 bulan.
e. Konsolidasi (6-8 bulan) dan Remodelling (6-12 bulan)
Tahap akhir dari perbaikan patah tulang adalah dengan aktifitas
osteoblas dan osteoclas. Kalus mengalami pembentukan tulang sesuai
aslinya.
Clinical Pathway

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fraktur tulang belakang

kelumpuhan Pelepasan mediator kimia Gangguan fumgsi ekstermitas

Keterbatasan dalam pemenuhan


Nyeri akut ADL
Hambatan Mobilitas Fisik

Defisit perawatan diri

Risiko Dekubitus

Gangguan pada saraf cranial


(Saraf Vagus)

Laserasi kulit
Pola nafas tidak
efektif
Resiko infeksi

Putusnya
vena/arteri Kerusakan integritas
jaringan

Perdarahan

Kehilangan volume cairan

Resiko syok
(hipovolemik)
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian:
a. (Pengkajian primer)
1) Airway: Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya
penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuK
2) Breathing: Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas,
timbulnya pernapasan yang sulit dan/atau tak teratur, suara nafas
terdengar ronchi /aspirasi
3) Circulation: TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada
tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia,
kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
b. (Pengkajian sekunder)
1) Aktivitas/istirahat: kehilangan fungsi pada bagian yang terkena,
Keterbatasan mobilitas
2) Sirkulasi: hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas),
hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah), takikardi, penurunan
nadi pada bagian distal yang cidera, Capilary refill time melambat,
pucat pada bagian yang terkena, masa hematoma pada sisi cedera
3) Neurosensori: kesemutan, deformitas, krepitasi, pemendekan,
kelemahan, kerusakan fungsi saraf
4) Kenyamanan: nyeri tiba-tiba saat cidera, spasme/ kram otot
5) Keamanan: laserasi kulit, perdarahan, perubahan warna, pembengkakan
lokal

2. Diagnosa Keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif
b. Nyeri akut
c. Hambatan mobilitas fisik
d. Kerusakan integritas jaringan
e. Resiko infeksi
5. Rencana Tindakan Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil NIC
1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam Manajemen jalan nafas
pasien menunjukkan hasil: 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
No. Indikator Awal Tujuan 2. Monitor status pernafasan dan oksigensi
1 2 3 4 5 3. Motivasi pasien untuk bernafas pelan
1. Frekuensi nafas 2 √
4. Pemantauan respirasi
2. Irama pernafasan 2 √
3. Sianosis 2 √ 5. Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan kesulitan
4. Pernafasan bernafas
2 √
dengan bibir 6. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, dan penggunaan
5. Retraksi dinding
2 √ otot bantu nafas
dada 7. Monitor suara nafas
Keterangan: 8. Monitor pola nafas (bradipneu, takipneu, hiperventilasi,
1. Sangat terganggu kusmaul)
2. Banyak terganggu 9. Monitor saturasi oksigen
3. Cukup terganggu 10. Monitor tanda-tanda vital
4. Sedikit terganggu 11. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status
5. Tidak terganggu pernafasan dengan tepat

2. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 Manajemen Nyeri (1400)
dengan agen cidera fisik jam pasien menunjukkan hasil: 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif yang
meliputi lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
akibat pergeseran Kepuasan Klien: Menejemen Nyeri (3016) kualitas, intensitas beratnya nyeri dan faktor pencetus;
fragmen tulang No. Indikator Awal
Tujuan 2. Observasi adanya petunjuk nonverbalmengalami
1 2 3 4 5 ketidaknyamanan terutama pada mereka yang tidak
1. Nyeri terkontrol 3 √
dapat berkomunikasi secara edektif
2. Tingkat nyeri 3 √
Mengambil tindakkan untuk
3. Gunakan strategi komunikasi terapuetik untuk
3. 3 √ mengetahui pengalaman nyeri dan sampaikan
: mengurangi nyeri
4.
Mengambil tindakkan untuk
1 √ penerimaan pasien terhadap nyeri
: memberi kenyamanan 4. Gali pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai
.
nyeri
Pendekatan preventif 3 √
menejemen nyeri 5. Ajarkan prinsip-prinsip menejemen nyeri
Manejemen nyeri sesuai 6. Kolaborasi pemberian analgesik guna pengurangi nyeri
6. 2 √
budaya budaya
Keterangan: Terapi relaksasi (6040)
1. Keluhan ekstrime a. Gambarkan rasionalisasi dan manfaat relaksasi serta
2. Keluhan berat jenis relaksasi yang tersedia
3. Keluhan sedang b. Pertimbangkan keinginan pasien untuk berpartisipasi,
4. Keluhan ringan kemampuan berpartisipasi, pilihan, pengalaman masa
5. Tidak ada keluhan lalu dan kontraindikasi sebelum memilih strategi
tertentu
c. Dorong klien untuk mengambil posisi yang nyaman
dengan pakaian longgar dan mata tertutup
d. Minta klien untuk rileks dan merasakan sensasi yang
terjadi
e. Dorong klien untuk mengulangi [praktik teknis
relaksasi, jikamemungkinkan
f. Evaluasi dan dokumentasi respon terhadap terapi
relaksasi

3. Hambatan mobilitas NOC: Peningkatan Mekanika Tubuh (0140)


fisik berhubungan Koordinasi Pergerakan (0212) 1. Bantu pasien latihan fleksi untuk memfasilitasi mobilisasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 sesuai indikasi
dengan gangguan fungsi jam pasien menunjukkan kriteria hasil: 2. Berikan informasi tentang kemungkinan posisi penyebab
ekstremitas nyeri otot atau sendi
No Indikator Awal Tujuan 3. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam mengembangkan
1 2 3 4 5 peningkatan mekanika tubuh sesuai indiksi
Kontraksi kekuatan otot
1. √ 4.
(021201)
Terapi Latihan : Mobilitas Sendi (0224)
2. Kecepatan gerakan (021203) √
3. Kehalusan gerakan (021204) √ 1. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya terhadap
4. Kontrol gerakan (021205) √ fungsi sendi
Kemantapan gerakan 2. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam
5. √
(021206) mengembangkan dan menerapan sebuah program
Keseimbangan gerakan latihan
6. √
(021207) 3. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang teraktur
7. Tegangan otot (021208) √
dan terencana
Keterangan:
4. Instruksikan pasien atau keluarga cara melakukan
1. Sangat terganggu
latihan ROM pasif, dan aktif
2. Banyak terganggu
5. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM
3. Cukup terganggu
6. Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan latihan
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu

4. Kerusakan integritas NOC: Perawatan luka (3660)


jaringan berhubungan Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam, 1. Monitor karakteristik luka, warna, ukuran, dan bau
diharapkan penyembuhan luka: sekunder dan integritas 2. Bersihkan luka dengan cairan normal saline dan cairan anti
dengan fraktur terbuka, jaringan kulit meningkat dengan kriteria hasil: bakteri
pembedahan Penyembuhan luka: sekunder (1403) 3. Berikan perawatan luka pada kulit yang diperlukan
No. Indikator Awal Tujuan 4. Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan luka
1 2 3 4 5 5. Berikan balutan yang sesuai dengan jenis luka
1. Pembentukan 6. Amati setiap perubahan pada balutan, bandingkan dan catat
2 √
bekas luka
setiap adanya perubahan pada luka
2. Kondisi luka dan
2 √ 7. Berikan posisi yang nyaman agar terhindar dari tekanan
kulit
3. Eritema disekitar 2 √ 8. Ajarkan pasien atau keluaga prosedur perawatan luka
kulit
4. Lebam disekitar
2 √
kulit
Keterangan
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu

5 Resiko infeksi sekunder Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 Kontrol Infeksi (6540)
berhubungan dengan jam pasien menunjukkan hasil: 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah digunkan
untuk setiap pasien
luka terbuka No. Indikator Awal Tujuan 2. Ganti peralatan perawatan per pasien sesuai protocol
1 2 3 4 5 institusi
1. Tekanan darah 3. Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan pada saat
2 √
sistolik
2. Tekanan darah memasuki dan meninggalkan px
2 √ 4. Batasi jumlah pengunjung
diastolic
3. Stabilitas 5. Pastikan teknik perawatan luka yang tepat
2 √
hemodinamik
4. Suhu tubuh 2 √ Kontrol infeksi; Intraoperatif (6545)
5. Laju nadi radialis 2 √ 1. Bersihkan debu dan permukaan mendatar dengan
6. Irama nadi
radialis
2 √ pencahayaan di ruang operasi
7. Laju pernafasan 3 √ 2. Monitor dan jaga aliran udara yang berlapis
8. Kedalaman 3. Batasi dan lalu lalang pengunjung
2 √
inspirasi 4. Monitor teknik isolasi yang sesuai
11. Kesadaran 2 √ 5. Verifikasi keutuhan kemasan steril

Keterangan:
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Secara konsisten menunjukkan
Daftar Pustaka

Bahrudin. 2013. Neuroanatomi dan Aplikasi Klinis Diagnosis Topis. Cetakan


Pertama. Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.

Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J. M., & Wagner, C.M. 2013.
Nursing Intervention Classification (NIC). Indonesia: Elsevier.
Brunner & Suddarth. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Vol 3.
Jakarta; EGC.

Heater, Herdman. 2014. Nursing Diagnoses 2015-17;definition and Clasification


(Nanda International). Philladelphia: Wiley Blackwell.
Herdman,T. Heather. 2012. Nanda International Nursing Diagnosis: Definitions
& Classification 2012-2014. Oxford: Wiley-Blackwell.

Hudak dan Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistic. Jakarta: EGC

Khafinudin, Ahmad. 2012. Organ Pada Sistem Saraf.


http://khafinudin.files.wordpress.com/2012/03/sistem-saraf.pdf

Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius FK UI

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., & Swanson, E. 2013. Nursing Outcomes
Classification (NOC). Indonesia: Elsevier.
Moore, Keith. 2002. Essential Clinical Anatomy; Second Edition, lippincot
Williams and Wilkins: Baltimore. Nanda International. 2011. Diagnosis
Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta : EGC

Nurarif & Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis & NANDA and NIC-NOC. Jakarta: Mediaction Publishing.

Pearce, E.C. 2009. Anatomi dan Fisiologis untuk Paramedis. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.

Price, S.A. & Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidajat. R. 1997. Buku ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Smeltzer & Bare, 2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8.Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai