Anda di halaman 1dari 82

PERTUKARAN GAS

Oleh:
Tiara Awidia Damayanti
dr. Cynthia Dewi Sinardja, Sp.An, MARS
\

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
2017

i
PERTUKARAN GAS

Esensi dari anestesi adalah: fisiologi terapan, farmakologi, dan pengawasan klinis
dengan sedikit obat dalam. John Sandison, 1980.
Fisiologi pernapasan adalah hal yang sulit (rumit); jika jawabannya sederhana maka
Anda tidak memahami pertanyaannya. Peter Slinger, 2013.

Selama operasi, ahli anestesiologi, sebagiannya, menjadi ahli fisiologi


pernapasan terapan dan sebuah pemahaman fisiologi dan farmakologi yang berkaitan
dengan sistem pernapasan adalah penting dalam pengelolaan anestetik. Memahami
pertukaran gas adalah hal yang menantang karena fisiologi pernapasan bukanlah ilmu
pasti. Ahli anestesiologi utamanya bekerja dengan konsep yang memungkinkan mereka
menangani dan memprediksi perubahan dalam pernapasan yang berkaitan dengan
anestesi dan beberapa penyakit. Meskipun demikian, konsep-konsep ini semuanya
spesifik pada konteks pertukaran gas pasien dalam waktu tertentu dan dalam situasi
tertentu pula serta seringkali tidak bisa diekstrapolasi secara tepat ke dalam sebuah
kondisi fisiologi yang berubah. Sebagaimana yang akan dibahas, bahkan fisiologi
pernapasan dasar yang fundamental seperti ruang mati dan kapasitas residual fungsional
tidak pernah memiliki nilai pasti melainkan bersifat dinamis dan selalu berubah.

ANATOMI FUNGSIONAL
Anatomi Saluran Pernapasan Atas dan Aliran Gas
Orofaring dan nasofaring
Saluran udara membentang dari nares dan bibir melalui nasofaring dan
orofaring, melewati laring ke tulang rawan krikoid membentuk saluran pernapasan atas
fungsional. Saluran pernapasan atas berperan sebagai fungsi induk; menghangatkan dan
melembabkan udara yang lewat, menyaring partikulat, dan mencegah aspirasi.1
Selama pernapasan biasa yang tenang, udara masuk melalui hidung, sebuah
ruangan yang terpisah pada garis tengah sepanjang hidung oleh sebuah tulang rawan
dan septum bertulang. Udara dibatasi secara lateral oleh turbinat-turbinat inferior,
tengah, dan superior yang melapisi ostium sinus dan secara inferior oleh langit-langit
keras dan lunak dan bergabung dengan nasofaring secara posterior. Mukosa yang
menutupi struktur-struktur ini sangat vaskular dan terawat dengan baik, fakta-fakta yang
harus diapresiasi ketika melakukan intubasi nasofaring dengan tabung-tabung
endotrakea, sumpit nasogastrik atau tabung pemberi makan, atau bronkoskop fiberoptik;
jaringan ini bersifat sensitif bahkan terhadap stimulasi yang paling sederhana sekalipun
dan mudah robek, yang menyebabkan pendarahan hebat. Saluran hidung menunjukkan
sebuah resistansi yang signifikan terhadap saluran udara, biasanya dua kali lipat yang
ditemukan pada pernapasan mulut. Maka dari itu, subyek atau para pasien normal akan
kembali ke pernapasan mulut selama berolahraga atau gagal bernapas.

Gambar 24-1 MRI Sagittal dari saluran udara atas pada pasien yang bagun (terjaga). A-B adalah
persimpangan nasofaring dengan velofaring, C-D adalah faring retroglossal, E-F adalah diameter
saluran udara atas anterior-posterior paling minim pada pucuk epiglotis. Larigofaring meluas ke
bawah dari E-F hingga tulang rawan krikoid. (Dari Shorten GD, Opie NJ, Graziotti P, dkk. Penilaian
saluran udara atas pada pasien yang terjaga, dibius dan dianestesi menggunakan pencitraan resonansi
magnetis. Anaesth Intensive Care. 1994;22:165-169, dengan izin.)

Faring memiliki panjang 12 hingga 15 cm dan terbagi menjadi nasofaring,


orofaring, dan laringofaring (terletak secara posterior terhadap laring). Orofaring lebih
lanjut dibagi menjadi velofaring (posterior terhadap langit-langit lunak) dan retroglossal
faring (posterior terhadap dasar lidah)2 (Gambar 24-1). Posisi terlentang, tidur, dan
anestesi umum mungkin menyebabkan obstruksi orofaring oleh lidah, langit-langit
lunak, dan otot-otot faring karena tonemereka menurun.3 Fleksi tulang belakang servikal
secara umum meningkatkan resistansi saluran pernapasan atas. Selama inspirasi, pasien
yang bernapas spontan secara tidak sengaja melebarkan faring orofaring dengan
melakukan kontraksi otot genioglossus dan megangkat lidah dari dinding faring dalam
sebuah refleks terkoordinasi. Pelebaran (dilatasi) inspirasi yang tidak disadari ini
menentang kecenderungan saluran pernapasan atas mengalami kolaps yang disebabkan
tekanan saluran pernapasan negatif yang dihasilkan oleh diafragma selama inspirasi.
Sayangnya, aktivitas genioglossus ini mudah dihilangkan dengan hampir semua anestesi
dosis rendah, dengan pengecualian pada ketamine.4

Laring
Laring merupakan sebuah struktur kompleks yang terletak secara anterior
terhadap tulang belakang servikal ke-4 hingga ke-6 dan terdiri dari beberapa otot,
ligamen, dan struktur-struktur tulang rawan (Gambar 24-2). Inlet dari laring dibatasi
oleh epiglotis, lipatan ariepiglotis, dan aritenoid. Laring itu sendiri menonjol ke dalam
faring secara posterior yang menciptakan sebuah resesi faring yang dalam secara
anterolateral pada kedua sisinya, pyriform fossae. Pyrifform fossae, yang terletak di
masing-masing sisi garis tengah, secara klinis relevan karena kecenderungannya untuk
memerangkap makanan atau benda asing pada faring dan merupakan sisi yang
berpotensi untuk pengaplikasian anestesi topikal untuk menyumbat cabang internal dari
saraf laring superior. Laring berperan sebagai organ fonasi (pembunyian), yang
memainkan peranan penting saat batuk, dan dalam melindungi saluran pernapasan dari
entrainment padatan dan cairan selama penelanan.5

Gambar 24-2 Diagram laring dari dasar lidah hingga bagian bawah tulang rawan tiroid dilihat dari
aspek posteriornya. Terlihat adanya hubungan antara saraf-saraf laring superior, laring inferior, dan
laring berulang dan aspek posterior laring, tiroid, dan trakea. Operasi trakea dan tiroid membuat saraf-
saraf ini menjadi berisiko. (Dari Jaeger JM, Blank RS. Essential anatomy and phsiology of the
respiratory system and pulmonary circulation. Dalam: Slinger P, ed. Principles and Practice of
Anesthesia for Thoracic Surgery. New York, NY: Springer; 2011:51-69, dengan izin.)
Struktur pendukung utama dari laring adalah tulang rawan tiroid yang membentuk titik
artikulasi dari tulang rawan aritenoid berpasangan dengan ligamen-ligamen vokal dan
otot-otot pengontrolnya. Struktur-struktur penting lainnya meliputi tulang hyoid dan
pengikatnya, epiglotis, tulang rawan krikoid, dan tulang rawan kornikulat. Tulang hyoid
adalah sebuah tulang berbentuk U yang diikatkan secara langsung ke ligamen dan otot
stylohyoid, ke mandibula, dan lidah oleh otot-otot hyoglossus, mylohyoid, geniohyoid,
dan digastrik, dan ke faring oleh otot konstriktor faring tengah. Di bawah tulang hyoid
adalah sisa dari laring yang digantungkan oleh pengikatnya, membran dan otot
thyrohyoid. Meskipun fungsinya selain sebagai jangkar fleksibel masih belum
diketahui, adalah mungkin untuk membagi dua ikatan mandibulanya (“pelepasan
suprahyoid”) dan memobilisasi laring dalam rangka memudahkan pemindahan
kaudalnya pada prosedur reseksi trakea. Epiglotis adalah tulang rawan elastis pada garis
tengah yang ditemukan lebih rendah dari dasar lidah. Epiglotis bersandar secara anterior
ke tulang hyoid dan secara inferior ke dalam bagian anterior tulang rawan tiroid segera
di atas pita suara. Lipatan bilateral dari epiglotis melengkung secara posterior untuk
membentuk sebuah punggung mukosa yang berikatan ke tulang rawan aritenoid yang
duduk di atas lamina krikoid posterior, lipatan ariepiglotis. Epiglotis, lipatan-lipatan
ariepiglotis, dan tuberkel-tuberkel kornikulat membentuk inlet menjadi glotis di bawah
ini. Tulang rawan tiroid terdiri dari laring dengan lamina berpasangannya yang menyatu
secara anterior pada tonjolan laring dan memanjang secara posterior yang kemudian
berhenti pada tanduk atau kornu superior dan inferior. Tulang rawan tiroid berperan
sebagai sebuah titik stabil dari ikatan untuk sebagian besar otot dan ligamen yang
memanipulasi pita suara. Tulang rawan tiroid juga memiliki sebuah ikatan membran
yang bergerak terhadap cincin krikoid.
Pita suara berpasangan terikat secara posterior kepada proses vokal dari setiap
aritenoid dan secara anterior bertemu pada persimpangan ligamen tiroepiglotis dari
bagian anterior tulang rawan tiroid. Pembukaan triangular yang dibentuk oleh ligamen-
ligamen vokal adalah glotis dengan puncaknya secara anterior (Gambar 24-3). Rata-rata
panjang glotis terbuka yang berelaksasi adalah sekitar 23 mm pada pria dan 17 mm pada
wanita. Glotis pada titik terlebarnya (posterior) adalah sebesar 6 hingga 9 mm tetapi
bisa “direnggangkan” hingga 12 mm.6 Harus diingat bahwa pita suara ditutupi oleh
sebuah mukosa tipis, yang menghasilkan sebuah penampakan mutiara putih. Ketiadaan
submukosa menunjukkan bahwa pita suara tidak mungin “membengkak” secara
signifikan karena terdapat ruang yang minim untuk mengakumulasi cairan edema.
Meskipun demikian, lipatan-lipatan mukosa dan jaringan fibrosa yang terletak paralel
terhadap pita suara yang benar secara superior berada pada glotis, lipatan-lipatan
vestibular atau “pita suara yang keliru,” bisa menjari edematosa. Otot-otot laring
intrinsik berfungsi untuk membuka glotis selama inspirasi; menutup glotis dan
menyempitkan struktur superior selama menelan; dan mengontrol abduksi, adduksi, dan
ketegangan pita suara yang benar selama fonasi.

Gambar 24-3 Diagram dari glotis yang terlihat dari atas dengan menggunakan larngoskopi atau
bronkoskopi fiberoptis. Terlihat introitus glotis berbentuk triangular dengan aspek yang paling sempit
pada komisura anterior. Bagian dari bronkoskopi, tabung endotrakea, dan terutama, tabung lumen
ganda harus diarahkan secara posterior dimana pita suara akan menyebar dengan ukuran paling luas.
Tercatat bahwa proses vokal dari sendi-sendi tulang rawan aritenoid pada titik kecil dan bisa menjadi
traumatis dan digantikan dengan penanganan kasar. (Dari Jaeger JM, Blank RS. Essential anatomy
and phsyologi of respiratory system and pulmonary circulation. Dalam: Slinger P, ed. Principles and
Practice of Anesthesia for Thoracic Surgery. New York, NY: Springer; 2011:51-69, dengan izin.)

Inervasi faring
Inervasi faring disuplai melalui cabang-cabang motorik dan sensorik saraf
glossofaring (CN IX) dan saraf vagus (CN X) (cabang-cabang internal dan eksternal
dari saraf-saraf laring superior, saraf laring berulang). Inervasi sensorik dari nasofaring
berasal dari bagian maksilaris saraf trigeminal (CN V), sedangkan orofaring secara
membaur diinervasi oleh cabang-cabang sensorik dari saraf glossofaring (CN IX).
Cabang internal dari saraf laring superior menembus aspek lateral dari membran
thyrohyoid bersama dengan arteri dan vena laring superior untuk memberikan sensasi
bagi dasar lidah, vallecula, epiglotis, lipatan-lipatan ariepiglotis, pyriform recess, dan
aspek superior dari pita suara yang benar. Cabang eksternal dari saraf laring superior
memberikan motorik pada otot krikotiroid, sebuah tensor dari pita suara yang
sebenarnya. Saraf laring berulang mensuplai sensasi kepada pita suara dan pohon
trakeobronkial serta motorik kepada semua otot-otot intrinsik yang tersisa dari laring.
Saraf laring berulang yang benar melewati inferior ke arteri subklavia kanan tetapi arteri
subklavia kiri bermula pada tingkatan lengkung aorta dan loop di sekitar ligamentum
arteriosum kemudian kedua saraf menaiki cephalad sepanjang alur trakeoesofagus.
Anatomi ini harus diapresiasi selama operasi esofagus dan tiroid dan selama
mediastinoskopi servikal dan anterior, karena struktur-struktur ini bisa berisiko. Laring
mendapatkan suplai darahnya dari cabang-cabang arteri laring superior dan inferior,
secara berturut-turut. Arteri-arteri ini mengikuti jalannya saraf laring superior dan
berulang.
Fungsi utama dari saluran udara atas adalah untuk menyediakan sebuah saluran
untuk inhalasi awal kemudian ekshalasi gas ke dan dari paru-paru sembari berkontribusi
dalam beberapa fungsi lainnya (seperti makan, minum, berbicara, dll). Berkenaan
dengan inhalasi, nasofaring dan faring posterior menghangatkan dan melembabkan gas
yang diinspirasi. Hal ini membantu menjaga suhu inti dan melindungi epitel yang lebih
halus yang melapisi saluran udara bawah dari pengeringan. Epitel saluran udara
mensekresi lendir, yang melapisi permukaan saluran udara dan menjaga hidrasi jaringan
serta juga berperan untuk memerangkap partikulat, bakteri, dan virus. Lendir juga
mengandung sejumlah enzim dengan sifat-sifat antioksidan, antiprotease, dan
antibakteri.7
Peran penting lainnya dari saluran udara dan lapisan lendirnya adalah
penyaringan partikulat yang terinhalasi oleh sebuah sistem pertahanan yang rumit yang
memanfaatkan karakteristik-karakteristik aliran udara dari saluran udara atas dan bawah
dan epitelnya. Terdapat tiga mekanisme yang bekerja untuk menghasilkan penyaringan
mekanis dari gas yang terinspirasi.1 Pertama, impaksi inersia. Yang mampu
memerangkap partikulat yang berukuran lebih besar dari 10 mikron dengan
memanfaatkan aliran turbulen yang melintasi lendir yang melapisi saluran udara.
Impaksi inersia menyelesaikan tugas ini dalam hitungan menit dengan lendir dan air liur
pada akhirnya akan tertelan. Aliran gas melambat dalam bifurkasi dan pencabangan
pohon trakeobronkial hingga aliran gas tersebut menjadi lebih laminar. Partikulat
mempengaruhi dinding saluran udara sesuai dengan ukuran partikel (sedimentasi). Pada
umumnya, partikel, termasuk bakteri dan partikel-partikel dengan ukuran yang serupa,
terperangkap di dalam lendir pada tingkatan salura udara yang lebih proksimal ini dan
ditransportasikan cephalad oleh gerakan konstan dari silia, sebuah ciri apikal dari epitel
pernapasan, dengan kecepatan sekitar 2,5 mm per menit pada bronkus tetapi lebih dari 5
mm per menit pada trakea. Lendir saluran udara bawah biasanya dibersihkan dalam
waktu sekitar 24 jam meskipun hal ini bisa secara drastis terhambat pada tahapan
penyakit seperti fibrosis kistik atau bronkitis kronis atau kondisi-kondisi yang
mengubah fungsi siliaris atau pertumbuhan, seperti merokok tembakau.8 Proses-proses
penyaringan tampak efektif hingga partikel yang berukuran diameter sekitar 0,01
mikron.

Aliran Gas Saluran Udara Atas


Aliran udara secara berbanding lurus dengan gradien tekanan (∆P) dan
berbanding terbalik dengan resistansi. Ketika sebuah gas (atau cairan) mengalir melalui
tabung lurus yang tidak bercabang, aliran akan selalu laminar dan resistansi berbanding
lurus dengan viskositas gas dan berbanding terbalik dengan pangkat empat radius.
Resistansi = 8 X panjang X (viskositas/ℼ) X (radius)4
Meskipun demikian, pada kecepatan aliran yang sangat tinggi atau ketika aliran
gas melalui sebuah tabung iregular atau berlubang, aliran akan cenderung menjadi
turbulen dan resistansi menjadi sebanding dengan densitas gas dan berbanding tebalik
dengan pangkat lima radius (yaitu perubahan pada kaliber saluran udara mempengaruhi
resistensi terhadap aliran turbulen lebih banyak dibandingkan dengan aliran laminar).
Bilangan Reynolds adalah bilangan yang tidak berdimensi yang memungkinkan
estimasi apakah sebuah aliran adalah aliran turbulen atau laminar.9
Bilangan Reynolds = kecepatan X diameter X densitas/viskositas

Gambar 24-4 Luas penampang saluran udara


atas dalam beragam tingkatan dari gigi hingga
tulang rawan krikoid (atas) dan bilangan
Reynolds pada masing-masing tingkatan
(bawah) untuk udara selam inspirasi yang
tenang (aliran = 0,5I sec-1). Aliran akan
menjadi laminar pada bilangan Reynolds
<2.000 dan menjadi turbulen [ada bilangan
>4.000. (Dari Burwell DR, Jones JG. The
airways and anaesthesia. Anaesthesia.
1996;51:849-857, dengan izin)

Pada saluran udara, bilangan Reynolds untuk udara selama pernapasan tenang
adalah <2.000 di hampir seluruh saluran udara atas dan bawah (Gambar 24-4). Bilangan
Reynolds >4.000 berkaitan dengan aliran turbulen dan 2.000 hingga 4.000 adalah
campuran dari aliran laminar dan turbulen. Helium adalah suatu gas dengan densitas
yang rendah dibandingkan dengan udara atau oksigen; meskipun demikian, viskositas
dari ketiganya hampir sama. Sebuah campuran dari 80% helium/20% oksigen memiliki
densitas sekitar 0,33 pada udara dan 0,30 pada oksigen.Pada kondisi-kondisi kenaikan
aliran turbulen dalam saluran udara yang luas akibat massa atau edema, menghirup
campuran helium dan oksigen akan menurunkan dispnea bagi beberapa pasien (hal ini
juga menjadi alasan mengapa menghirup helium akan mengubah fonasi sehingga
seseorang bisa menirukan suara Donald Duck). Hal ini hanya berlaku untuk aliran
turbulen pada saluran udara yang luas. Helium tidak meredakan dispnea yang
disebabkan oleh kenaikan resistansi aliran udara laminar distal seperti pada asma atau
penyakit paru obstruktif kronis (COPD).
Struktur Trakea dan Bronkus
Trakea bermula dari tulang rawan krikoid (pada tingkatan tulang belakang C6)
dan meluas sekitar 10 hingga 12 cm (wanita) dan 12 hingga 14 cm (pria) kemudian
berhenti di dalam bifurkasi (carina) pada tingkatan tulang belakang T4/5 (ruang
interkostal kedua, sudut Louis) (Gambar 24-5). Trakea berdiameter 22 ± ,5 mm (pria)
hingga 19 ± 1,5 mm (wanita) dan terdiri dari 16 hingga 20 cincin tulangrawan
berbentuk U yang tertutup secara posterior oleh jaringan fibrosa dan pita otot halus
longitudinal, otot trakealis.

Gambar 24-5 Rata-rata panjang dari gigi seri hingga pita


suara sekitar 15 cm, dan jarak dari pita suara ke carina
trakea adalah 12 cm. Rata-rata jarak dari carina trakea ke
permulaan bronkus kanan atas adalah 2,0 cm pada pria dan
1,5 cm pada wanita. Jarak dari carina trakea ke permulaan
lobus kiri atas dan kiri bawah adalah sekita 5 cm pada pria
dan 4,5 cm pada wanita. Jarak-jarak anatomi ini berlaku
bagi individu dengan tinggi 170 cm. (Dari Campos J. Lung
isolation in patients with difficult airways. Dalam: Slinger
P, ed. Principles and Practice of Anesthesia for Thoracic
Surgery. New York, NY: Springer; 2011:247–258, dengan
izin.)

Bronkus utama sebelah kanan lebih besar (16 vs. 13 mm), lebih pendek (1,5
hingga 2,5 vs. 4,5 hingga 5,0 cm) dan lebih vertikal dibandingkan dengan bronkus kiri.
Bronkus utama sebelah kanan melepaskan bronkus lobus atas kemudian berlanjut
sebagai bronkus inermedius yang melepaskan bronkus lobus kanan tengah dan bronkus
lobus kanan bawah pada bagian hilum paru di T5 (Gambar 24-6). Bronkus utama
sebelah kiri melewati bagian bawah lengkung aorta secara inferior dan lateral, anterior
terhadap esofagus dan menuruni aorta toraks untuk mencapai bagian hilum dari paru
sebelah kiri di T6. Dimensi-simensi ini bisa sangat bervariasi antar individu dan
patologi dada dapat secara srastis mengubah anatominya.
Gambar 24-6 Diagram trakea, lobus, dan bronkus segmental yang menunjukkan panjang median dan
diameter untuk pasien dengan tinggi bdan 170 cm. Panjang dan diameter bronkus cukup beragam
antar individu.
Bronkus lobus (kanan atas, kanan tengah, kanan bawah, dan kiri atas, kiri
bawah) meluas ke dalam bronkus segmental yang dapat divisualisasikan selama
bronkoskopi fleksibel. Bronkus lobus kanan atas melepaskan 3 bronkus segmental
(apikal, anterior, posterior) (Gambar 24-7), bronkus lobus kanan tengah terbagi menjadi
2 bronkus segmental (lateral, medial), dan bronkus lobus kanan bawah terbagi menjadi
segmen superior (diarahkan secara posterior) dan bronkus segmental basilar yang
terbagi ke dalam 4 segmen (basal medial, basal anterior, basal lateral, basal posterior)
untuk total 10 cabang-cabang segmental pada sisi kanan. Bronkus lobus kiri atas terbagi
menjadi bagian superior dengan “3” segmen (sebuah “gabungan” dari apikal-posterior
dan anterior) dan bagian inferior atau lingual dengan 2 segmen (superior dan inferior).
Cabang-cabang bronkus lobus kiri bawah terbagi menjadi 4 cabang segmental bawah
(superior, sebuah “gabungan” basal anteromedial, basal lateral, dan basal posterior)
untuk total “10” segmen pada sisi kiri. Sebuah simulator bronkoskopi interaktif online
tersedia untuk mendemonstrasikan anatomi ini (Gambar 24-8).

Gambar 24-7 Anatomi bronkus terlihat


dengan sebuah bronkoskopi fiberoptik
melalui sebuah tabung lumen ganda
tepat diposisi kiri. (A) Gambar carina
trakea yang menunjukkan lubang
bronkus batang utama kanan dan lumen
bronkus dari tabung lumen ganda pada
bronkus utama kiri. (B) Bronkus kanan
atas yang menunjukkan tiga semben
(trifurkasi ini bersifat unik pada pohon
bronkus dan merupakan tanda yang
bermanfaat). (C) Gambar bronkus
batang utama kiri yang menunjukkan
bronkus lobus kiri atas dan bawah. (Dari
Campos J. Lung isolation in patients
with difficult airways. Dalam: Slinger P,
ed. Principles and Practice of
Anesthesia for Thoracic Surgery. New
York, NY: Springer; 2011:227–246,
dengan izin.)

Saluran Udara Pernapasan dan Alveoli


Saluran pernapasan terus terbagi ke dalam saluran berdiameter lebih kecil
hingga salah satunya tiba di bronkiolus dengan diameter kurang dari 0,8 mm. Pada
tingkatan ini, saluran udara kehilangan semua sisa tulang rawan dan memulai
transformasi dari saluran udara murni menjadi bronkiolus pernapasan. Bronkiolus
pernapasan selanjutnya dibagi menjadi empat generasi akhir kantung alveolus, yang
kemudian utamanya terdiri dari pembukaan ke kantung terminal alveolus. Pada model
deskriptif dari Weibel10 (Gambar 24-9A), cabang-cabang trakea terbagi menjadi 23
generasi saluran udara. 15 generasi pertama berperan sebagai saluran udara dan 8
generasi berikutnya menjadi cukup tipis dindingnya sehingga memungkinkan beberapa
derajat gas bertukar dan disebut saluran udara acinar. Salah satu aspek klinis dari
perkembangan geometris saluran udara yang semakin menyempit (dan pembuluh darah)
oleh divergensi dan multiplikasi adalah keseluruhan luas penampang sehingga resistansi
terhadap aliran gas (atau aliran darah) menjadi kurang nyata dibandingkan dengan
resistansi saluran udara proksimal (atau pembuluh darah) (Gambar 24-9B). Hal ini
memiliki dampak yang penting terhadap distribusi gas dan aliran darah, kecepatan
aliran, dan waktu transit melalui area kunci dari pertukaran gas.

Gambar 24-8 Simulator bronkoskopi online gratis di www.thoracicanesthesia.com. Pengguna bisa


menavigasi pohon trakeobronkial menggunakan video real-time dengan mengklik panah penunjuk
bercahaya di bawah “Bronchoscopic view” (kanan). Mengklik pada label “Bronchoscopic view”
memberikan rincian anatomi yang terlihat. Prosesnya dibantu oleh “Bronchial Tree Navigational
Map View” (kiri), yang menunjukkan lokasi simultan dari bronkoskopi dalam bentuk garis oranye
pada saluran udara.

Bagian dalam trakea dilapisi dengan epitel kolumnar bersilia, sel-sel goblet
(bertanggungjawab untuk produksi lendir) (Gambar 24-10), dan dengan diselingi
senyawa kimia khusus dan neuroreseptor taktis. Laisan dari transisi dari saluran udara
epitel kolumnar pseudostratifikasi pada bronkus yang lebih besar ke jenis kuboid
bersilia yang lebih tipis di bronkus kecil. Epitel saluran pernapasan dan submukosa juga
mengandung limfosit, sel-sel mast, dan beragam jenis sel neuroendokrin. Lapisan
selanjutnya terdiri dari pita-pita melingkar pada sel-sel otot halus dan sebuah lapisan
jaringan ikat yang mengandung kelenjar submukosa dan pelat tulang rawan
(menggantikan cincin-cincin tulang rawan padat di saluran udara yang sangat luas)
(Gambar 24-11). Lapisan terluar merupakan sebuah cangkang adventisia longgar
dengan pembuluh limfatik, saraf-saraf simpatetik dan parasimpatetik, dan pembuluh
darah bernutrisi.

Gambar 24-9 A: model pencabangan simetris dari pohon trakeobronkial. B: Perubahan


pada luas penampang (kotak terbuka) dan kecepatan gas (lingkaran tertutup) terlihat
dengan pernapasan normal yang tenang. Pergerakan massa gas mendominasi hingga
generasi ke-14/15 dari bronkus dimana difusi menjadi metode pertukaran gas utama.
Ruang mati saluran udara adalah volume saluran udara dimana pergerakan massa
mendominasi. (Dari Burwell DR, Jones JG. The airways and anaesthesia. Anaesthesia.
1996:51:849–857, with permission.)

Bronkiolus pernapasan berakhir di asinus paru, yang memiliki kenampakan


seperti sekelompok anggur pada sebuah jaringan batang. Masing-masing asinus
mungkin mengandung beberapa saluran alveolus yang terhubung dengan 2.000 alveoli
yang disusun di dalam jaringan sarang lebah yang berbentuk seperti cincin. Alveolus
dianggap sebagai titik utama dari pertukaran gas antara darah dan gas di paru-paru.
Septa alveolus memiliki ketebalan sekitar 5 hingga 8 mikron dan berhadapan dengan
permukaan alveolus pada kasua sisi dengan dasaran kapiler alveolus terjepit di
dalamnya. Dinding-dinding alveoli sangat tipis, yaitu antara 0,1 dan 0,2 mikron, suatu
ciri yang menyebabkan ekuilibrasi gas yang cepat melalui difusi dengan darah kapiler
paru. Selain itu, gas bisa bertukar antar alveoli melalui pori-pori Kohn. Terdapat sekitar
300 juta alveoli pada paru-paru manusia, yang menyediakan area permukaan yang
sangat luas untuk pertukaran gas (yaitu 70 m2).

Gambar 24-10 Epitel pernapasan normal (kiri bawah) memiliki sel-sel bersilia hingga sel-
sel goblet yang dominan. Hiperplasia sel goblet (kanan bawah) terjadi karena respon
terhadap stimulus inflamasi kronis (kiri atas), yang mengatur produksi lendir dan/atau
menginduksi hiperplasia sel goblet dengan kenaikan ekspresi reseptor faktor pertumbuhan
epidermal (EGFR), calciumactivated chlorida channels (CLCA) dan faktor antiapoptotik
Bcl-2. (Dimodifikasi dari Yeazell L, Littlewood K. Nonrespiratory functions of the lung.
In: Slinger P, ed. Principles and Practice of Anesthesia for Thoracic Surgery. New York,
NY: Springer; 2011:103–119, dengan izin.)

Terdapat tiga jenis sel utama yang ditemukan pada alveolus: sel-sel alveolus tipe
I, sel-sel alveolus tipe II, dan makrofag alveolus. Meskipun demikian, terdapat jenis sel
lainnya yang ditemukan dalam kondisi tertentu dalam paru-paru (seperti inflamasi). Sel-
sel alveolus tipe I adalah sel-sel epitel skuamosa yang menutupi hampir semua
permukaan alveolus. Sel-sel bernukleasi ini memiliki beberapa organel sitoplasmik dan
sebuah sitoplasma tipis yang terentang dalam lembaran di atas permukaan alveolus yang
membentuk sebuah pembatas tipis antara ruang udara dengan endotelium kapiler paru.
Sel-sel alveolus tipe II lebih sedikit jumahnya, agak bulat, dan dilapisis pada permukaan
apikalnya dengan mikrovili. Berkebalikan dengan sel-sel tipe I, sel-sel alveolus tipe II
memiliki banyak organel termasuk struktur-struktur granular berlapis-lapis yang disebut
badan lamelar (Gambar 24-12). Badan-badan lamelar ini merupakan sumber surfaktan
paru, sebuah lipoprotein yang melapisi permukaan interior alveolus dan mampu
mengurangi tegangan permukaan alveolus secara signifikan. Pengurangan tegangan
permukaan dianggap sebagai sebuah mekanisme fisik yang penting untuk mengurangi
kecenderungan kolapsnya alveolus pada volume paru yang sangat rendah.
Gambar 24-11 Mikrofotografi dari bagian histologis dinding bronkus intrapulmonari. Mukosa,
seperti pada trakea dan bronkus ekstrapulmonari, terdiri dari epitel (kolumnar bersilia
terpseudostratifikasi dengan sel-sel goblet), sebuah ruang bawah membran, dan sebuah lamina
propria. Lamina propria kaya akan serat elastis dari mekanisme rekoil. Tidak seperti saluran
udara proksimal lainnya, muskularis muncul dan terletak hanya pada eksternal lamina propria.
Muskularis terdiri dari dua rangkaian serat otot halus (SM), yang meluas ke bawah pohon
bronkus pada spiral kanan dan kiri. Submukosa adalah sebuah lapisan dari jaringan ikat yang
longgar, yang terletak di luar muskularis. Kelenjar bronkus muncul dalam lapisan ini dan juga
meluas ke dalam interval antar tulang rawan. Lapisan serat tulang rawan terletak di luar
submukosa. Lapisan ini mengandung pelat-pelat tulang rawan hialin yang terputus dan jaringan
ikat fibrosa. (Dari Junquiera LC, Carniero J. Basic Histology Text and Atlas. 10th ed.New York,
NY: McGraw-Hill; 2003, dengan izin)

Pertahanan imun paru sangatlah penting karena adanya paparan langsung


lingkungan eksternal terhadap organ ini melalui saluran udara. Terdapat beberapa
tinjauan yang sempurna mengenai fungsi imun paru namun penting untuk disadari
bahwa terdapat pula banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai bagaimana
paru-paru merespon invasi dan inflamasi. Akan tetapi dari sudut pandang klinis, respon
inflamasi paru akan sangat mempengaruhi penanganan pasien bedah perioperatif.
Beberapa jenis sel pertahanan utama yang berada di ruang alveolus dan interstitium
layak untuk disebutkan. Makrofag alveolus berasal dari sel-sel prekursor monoblast
sumsum tulang dan bermigrasi ke parenkima paru (Gambar 24-13).11 Makrofag alveolus
bebas untuk bergerak pada permukaan alveolus dan benda asing fagositosis yang
memasuki alveolus termasuk bakteri dan partikulat. Makrofag dibersihkan melalui

Gambar 24-12 Diagram menunjukkan sebuah skema pembatas udara-darah alveolus, yang
terdiri dari sel-sel endotel, sel-sel epitel (pneumosit tipe I), dan membran basal umumnya. Sel
kuboid besar (kanan bwah) adalah pneumosit tipe II yang memproduksi surfaktan, yang
terkandung di dalam sitoplasmanya sebagai badan lamelar (struktur seperti bawang), yang
diekskresi ke dalam lumen alveolus, kemudian berubah menjadi mielin tubular dan terakhir
membentuk
Gambar surfaktan
24-13 Diagram(satu
darilapisan
acinuslipida)
normalyang menutupiyang
paru-paru permukaan dari pneumosit
menunjukkan tipe I.
kapiler paru.
Bagian sisi kiri atas inset menunjukkan detail dari membran kapiler alveolus tipis, bagian sisi
Dalam pembesaran
kanan inset (kanan
menunjukkan atas)skema
sebuah makrofag berpindah
satu lapis secara
surfaktan. bebas kedalam
(Dimodifikasi dan keluar
dari Wasowicz M.
dari alveolis; meskipun demikian, limfosit biasanya tetap berada di dalam kapiler
Anesthesia for combined cardiac and thoracic procedures. Dalam: Slinger P, ed. Principles paru.
and Practice
(Dari DugganofM, Anesthesia
KavanaghforB.Thoracic
PulmonarySurgery. New York,
atelectasis. NY: Springer;2005;102:838–
Anesthesiology. 2011:453–464,
dengan izin.)
854, dengan izin.)
limfatik atau dibawa dan dikeluarkan melalui saluran udara. Limfosit, sebagian besar
limfosit T, secara luas didistribusikan dalam paru-paru normal di dalam kelenjar getah
bening paratrakea dan hilar, pada interstitium pohon bronkus sebagai nodul atau sel-sel
individual dan pada dinding alveolus. Mereka memiliki peran penting dalam respon
imun utama paru-paru terhadap antigen yang terinhalasi. Dalam beberapa kondisi
patologis paru-paru, menjadi jelas bahwa respon inflamasi yang berlebihan dan aktivitas
dari sel-sel ini dan hal lainnya mungkin berbahaya bagi paru-paru; acute respiratory
distress syndrome (ARDS) dan emfisema adalah contohnya.
Sirkulasi Paru
Meskipun aliran darah melalui sirkulasi pulmonal biasanya sama dengan aliran
darah melalui sirkulasi sistemik (pengecualian utama pada gangguan intracardiac bila
melebihi sirkulasi sistemik), tekanan pada sirkulasi paru normalnya lebih rendah
daripada sirkulasi sistemik karena resistensi vaskular pulmonal (Pulmonary Vascular
Resistence/ PVR) lebih rendah dari pada resistensi sistemik (kira-kira seperenam
ketahanan sistemik). Hal ini karena dinding pembuluh paru mengandung jaringan yang
kurang elastis dan berotot dibandingkan dengan pembuluh sistemik pada kaliber yang
sesuai. Arteriola paru berkontraksi dengan cepat sebagai respons terhadap hipoksemia
pada alveolus dan pada hipoksemia yang lebih rendah dalam darah vena campuran.
Vasokonstriksi hipoksia paru ( Hipoxic pulmonary vasocontriction /HPV) khas untuk
sirkulasi paru (arteriol sistemik melebar sebagai respons terhadap hipoksia) dan
memungkinkan pencocokan regional perfusi terhadap ventilasi.
Seperti semua endotelium, dinding luminal vaskular kapiler paru dilapisi oleh
glikococcus, lapisan mikroilial yang bertindak sebagai saringan molekuler. Lapisan 0,1
mikron ini mencegah adhesi trombosit dan leukosit dan diperkirakan dapat menjebak
molekul yang lebih besar yang mendekati membran endothelial dan secara lokal
meningkatkan tekanan onkotik. Glikosfer mencakup pori-pori antara sel endotel dan
bertindak sebagai saringan molekuler untuk mengendalikan fluks cairan. Glikocalyx
yang sehat penting untuk mencegah pembentukan edema di paru-paru. Namun,
glycocalyx rusak oleh karena peradangan dan iskemia-reperfusi dan hal ini dapat
menyebabkan peningkatan fluks cairan ke dalam matriks ekstraselular paru.
Saluran udara menerima suplai darah dari arteri bronkial sistemik sampai ke
tingkat pernafasan bronkial. Hanya sepertiga dari sirkulasi bronkial yang kembali ke
sistem vena sistemik, sisanya mengalir ke pembuluh darah paru dan ini merupakan
bagian terbesar dari normal extrapulmonary venoarterial shunt. Shunt bronkial ini
kurang dari 1% dari curah jantung pada individu sehat namun bisa meningkat menjadi
10% pada bronkiektasis, emfisema, dan beberapa kondisi jantung kongenital.

Toraks dan Otot Respirasi


Paru-paru terkandung di dalam toraks. Tulang torak terdiri dari 12 tulang
rusuk, sternum anterior dan kolom vertebra torakalis posterior. Caudal dari toraks
dibentuk oleh diafragma dan cranial dari toraks adalah saluran masuk toraks, di dalam
cincin yang dibentuk oleh tulang rusuk pertama, berisi trakea, esofagus, dan suplai
neurovaskular ke kepala dan lengan. Gerakan massa udara masuk dan keluar dari paru-
paru terjadi sebagai akibat perubahan tekanan intratoraks yang disebabkan oleh
perubahan irama pada volume toraks. Perluasan rongga dada terjadi saat tiga kelompok
otot pernapasan bekerja bersama sama. Diafragma, otot interkostal, dan otot aksesori
(sternocleidomastoids, skalenes) dikendalikan oleh pusat pernapasan otak untuk
berkontraksi dalam pola irama yang dirancang agar sesuai dengan kebutuhan pertukaran
ventilasi terhadap gas. Otot perut (rektus abdominis, oblique eksternal, oblique internal,
dan transversus abdominis) dapat direkrut saat lebih banyak gaya diperlukan untuk
pernafasan, walaupun nada otot perut dapat menstabilkan tulang rusuk selama inspirasi
juga.

Inspirasi
Diafragma itu khas karena serat ototnya menyebar dari struktur tendinus
sentral untuk masuk secara perifer pada aspek ventrolateral dari tiga vertebra lumbal
pertama, ligamen arkuat aponeurotik, proses xiphoid dan margin atas dari enam rusuk
bawah. Pelepasan motoriknya semata-mata berasal dari saraf frenik kanan dan kiri, yang
berasal dari saraf spinalis ke-3, ke-4, dan ke-5. Dalam keadaan rileks, membentuk
"kubah” yang sangat bertentangan dinding dada beberapa saat sebelum melengkung.
Kontraksi diafragma menyebabkan perpindahan kaudal besar dari tendon sentral yang
mengakibatkan perluasan rongga dada yang membujur. Secara bersamaan, sisipan pada
margin kosta menyebabkan rusuk bawah naik dan dada melebar. Gerakan diafragma ini
bertanggung jawab atas mayoritas respirasi yang tenang. Saat kubah itu turun, ia
memindahkan isi perutnya secara kaudal. Penurunan tekanan pleura dan perluasan paru
yang menyertainya menghasilkan peningkatan tekanan abdomen dan pergerakan luar
dinding perut. Posisi telentang dan Trendelenburg atau retraktor bedah dapat secara
signifikan mengganggu gerakan perut terutama pada orang dengan obesitas yang tidak
sehat, yang memerlukan ventilasi terkontrol dengan anestesi.
Otot interkostal adalah otot mirip lembaran tipis dengan asal mula dan insersi
di antara tulang rusuk. Otot interkostal internal memiliki serat yang menghadap secara
oblique, kaudal, dorsal, dan ventral, dari tulang rusuk atas sampai tulang rusuk bawah.
Otot interkostal eksternal memiliki serat yang berorientasi miring, kaudal, dan ventrally,
dari tulang rusuk di atas ke tulang rusuk di bawahnya. Semua interkostal diinervasi oleh
saraf interkostal yang berjalan di bundel neurovaskular di bawah bibir inferior masing-
masing tulang rusuk. Kontraksi otot interkostal eksternal menghasilkan tindakan inspirsi
dengan mengangkat rusuk atas untuk meningkatkan dimensi anteroposterior dada dalam
gerakan "bucket-handle". Tulang bawah juga ditinggikan berdasarkan gaya yang
diterapkan dan titik rotasi mereka untuk meningkatkan diameter melintang toraks.
Interkostalis internal menerapkan kekuatan mereka sedemikian arah untuk memutar
tulang rusuk ke bawah, mengurangi dimensi anteroposterior toraks untuk membantu
ekspirasi aktif (bila diperlukan) dan batuk. Secara umum, otot-otot interkostal tidak
memainkan peran utama dalam respirasi yang tenang namun dilakukan dalam latihan
atau kondisi lain yang memerlukan tingkat ventilasi tinggi
Otot pernapasan tambahan utama adalah otot sternokleidomastoid dan skalene.
Otot-otot skalene berasal dari prosesus transversal ke-4 melalui vertebra servikal ke-8
dan kemiringan secara kaudal untuk insersi pada dua tulang rusuk pertama. Kontraksi
mereka selama periode permintaan ventilasi tinggi, mengangkat dan memperbaiki
tulang rusuk cephalad selama inspirasi. Demikian pula, otot sternokleidomastoid
meningkatkan sternum dan meningkatkan dimensi longitudinal toraks.

Ekspirasi
Ekspirasi adalah proses pasif dalam bernapas tenang dan sebagian besar
merupakan respons terhadap relaksasi otot inspirasi dan keseimbangan gaya yang
dihasilkan oleh elatic recoil paru-paru dan dinding dada. Ketika tingkat ventilasi tinggi
diperlukan seperti pada olahraga atau jika resistensi saluran nafas meningkat (seperti
pada eksaserbasi asma atau COPD), fase ekspirasi menjadi proses aktif dengan
kontraksi kuat rektus abdominis, abdomin transversal, dan oblik internal dan eksternal.
Kontraksi otot-otot perut menarik kembali dinding perut dan menarik tulang rusuk
bawah ke bawah, yang meningkatkan tekanan intraabdomen dan mempercepat
perpindahan diafragma sefalad selama pernafasan. Otot interkostal internal menekan
tulang rusuk dan memberikan sedikit kontribusi terhadap ekpirasi paksa. inervasi otot
perut berasal dari saraf toraks 7 sampai 12 dan nervus lumbar pertama.
Seperti kebanyakan otot rangka, otot diafragma dan interkostal mengandung
campuran heterogen dari fibertype. Diafragma memiliki antara 49% dan 55% serat tipe
I (slow-oxidative), pengingat dari "aktivitas dengan tingkat lebih tinggi cepat"
campuran jenis serat IIA dan IIB. Jenis serat otot rangka didistribusikan secara merata
ke seluruh diafragma. Catatan, otot pernafasan mempertahankan kemampuan
beradaptasi terhadap stres dan latihan. Termasuk respons terhadap patologi paru yang
mungkin tampak maladaptif. Emfisema adalah contoh yang tepat. Diafragma
mengalami perubahan pada tingkat sarkomer, secara fisik "kehilangan" unit kontraktil
karena hiperinflasi paru-paru menyebabkan peningkatan dimensi toraks dan "perataan"
diafragma. Kehilangan sarkomer secara seri dengan tendon sentral dapat membantu
mengembalikan keuntungan mekanis. dari hubungan panjang ketegangan yang optimal
untuk otot.

Fungsi Mekanik Pernapasan


Dasar-dasar fungsi mekanis dari sistem pernapasan adalah interaksi dua hal
yang berlawanan dinding dada, yang pada saat istirahat memcoba untuk mengembang,
dan paru-paru, yang pada saat istirahat mencoba untuk kontrak (Gambar 24-14) Dinding
dada dan paru bergerak bersama sebagai satu unit. Hal memungkinkan tertutup, udara
dalam rongga toraks dimana permukaan luar pada paru dan pleura viseralnya berada
berada di dekat pleura parietal yang menutupi permukaan bagian dalam dinding dada
dan struktur mediastinum. Perubahan volume intratoraks hanya memungkinkan karena
bagian dalam paru berada dalam kontinuitas dengan atmosfir sekitar di luar toraks
melalui trakea dan faring. Kontak langsung antara lapisan pleura dipertahankan oleh
tekanan intrapleural negatif yang ditimbulkan sebagian oleh kekuatan antarmolekul
cairan pleura tidak termasuk gas dari ruang ini. Cairan pelumas memungkinkan
kebebasan lapisan pleura meluncur di atas satu sama lain namun sangat menentang
pemisahan dari lapisan seperti dua panel kaca dengan lapisan tipis pada air di antara
keduanya. Normalnya, tekanan intrapleural adalah sekitar 25 cmH2O bila sistem
pernapasan berada pada ekuilibrium. Karena efek perubahan gravitasi pada parenkim
paru, terdapat gradien vertikal dari tekanan intrapelural. Gradien ini terbesar pada posisi
duduk atau tegak lurus (Gambar 24-15). Volume gas yang terkandung di paru-paru di
titik peristirahatan ini disebut fungsional residual capacity (FRC). Untuk pria dewasa
muda yang sehat, total kapasitas paru-paru (Total Lung Capacity/TLC) akan sekitar 6
sampai 6,5 L dan FRC akan menjadi 2,5 sampai 3 L. Oksigen yang terkandung dalam
FRC (500 sampai 600 mL) adalah satu-satunya cadangan oksigen dalam tubuh.

GAMBAR 24-14 Sistem pernapasan berada pada ekuilibrium elastis saat istirahat pada
kapasitas residu fungsional. Pada rekoil outward dinding dada diimbangi oleh rekoil
inward paru-paru. Kekuatan yang berlawanan menghasilkan tekanan intrathoracic
negatif (rata-rata kira-kira 25 cm H2O) dengan gradien superior-inferior karena efek
gravitasi pada parenkim paru

Kondisi patologis seperti pengenalan udara atau darah ke dalam ruang


intrapleural dapat dengan cepat mengganggu interaksi dinding paru-paru ini, yang
menyebabkan kompromi pada fungsi pernapasan namun juga mengganggu fungsi
kardiovaskular. Contoh gangguan ruang intrapleural adalah pneumotoraks, empiema,
efusi pleura, atau fistula bronkopleural.

Volum paru dan spiromeri


Dengan ketentuan tertentu, subdivisi statik dan dinamis gas yang terkandung
di dalam paru diberi nomenklatur volume dan kapasitas umum (Tabel 24-1 dan Gambar
24-16). Volume paling sering diukur dengan spirometri (Gambar 24-17 dan 24-18) dan
kapasitas kemudian dihitung sebagai jumlah volume tertentu. Spirometri sederhana
dapat memberikan semua volume dan kapasitas yang tercantum dalam Tabel 24-1
kecuali FRC, TLC, dan residual volume (RV), yang kesemuanya memerlukan
pengukuran RV yang terpisah. RV dapat diukur dengan perhitungan dilusi wash in atau
wash out dengan menggunakan gas yang relatif tidak larut seperti nitrogen atau helium
dan sirkuit nafas tertutup. Di laboratorium fungsi paru modern, teknik-teknik berat ini
sebagian besar telah digantikan oleh keseluruhan plethysmography, yang lebih
sederhana dan lebih akurat (Gambar 24-19), yang mengukur FRC dan ini dapat
digunakan untuk menghitung RV dengan mengurangi volume cadangan ekspirasi
(Expiratory Reserve Volume/ ERV) diukur dengan spirometri

GAMBAR 24-15 Hubungan statis antara tekanan transpulmonal (tekanan alveolar - tekanan
pleura) dan tekanan pada hasil pleuraspace yang merupakan kurva sigmoid dari penyesuaian
respirasi. Tekanan pleura biasanya relatif negatif terhadap tekanan atmosfir. Pada posisi
duduk atau tegak lurus, gradien kecil di dasar paru-paru (tekanan intrapleural [PPL] paling
jarang negatif) namun lebih besar pada puncak (PPL paling sering negatif) karena efek
perubahan dari gravitasi pada parenkim paru. Perbedaan ini menghasilkan alveoli yang lebih
besar pada apeks, tergantung alveoli pada dasarnya. Sebagai hasil dari hubungan sigmoid
ini, perubahan tekanan transpulmonary yang diberikan menghasilkan perubahan volume
yang terbesar (dan tekanan pleura) dimana alveoli berada pada bagian paling curam dari
kurva ini (mid-to lower alveoli). (Dari Jaeger JM. Blank RS . Essential anatomy and
physiology of the respiratory system and pulmonary circulatio. Di Slinger P, ed. Principles
and Practice of Anesthesia for Thoracic Surgery. New York, NY: Springer; 2011:51–69,
dengan izin.)
GAMBAR 24-16 Tes fungsi paru lengkap akan memberikan data volume dan kapasitas
paru untuk membedakan obstruktif dengan penyakit paru restriktif. IC, kapasitas inspirasi;
RV, volume sisa; SVC, kapasitas vital yang lambat; ERV, volume cadangan ekspirasi;
TV, volume tidal; IRV, volume cadangan inspirasi; TLC, total kapasitas paru-paru.
Kapasitas sisa fungsional (FRC) 5 ERV 1 RV. Mengukur volume penutup dan kapasitas
penutup memerlukan teknik washout gas yang tidak larut dan tidak termasuk dalam
pengujian fungsi paru rutin. Namun, apresiasi terhadap variabel hubungan antara kapasitas
penutup dan FRC dan efek anestesi pada FRC sangat penting bagi ahli anestesi untuk
memahami perubahan pertukaran gas yang terjadi selama anestesi. (Dari Slinger P,
Darling G. Penilaian Preanestetik untuk operasi toraks. In: Slinger P, ed Principles and
Practice of Anesthesia for Thoracic SurgeryNew York, NY: Springer; 2011: 11-34,
dengan izin.)

Pengukuran spirometri biasanya dilaporkan sebagai "observasi" (atau


pengukuran) dan "diprediksi" (Gambar 24-20). Prediksi didasarkan pada rata-rata
statistik populasi, yang memperhitungkan usia, jenis kelamin, dan tinggi badan.
Misalnya, volume ekspirasi paksa yang diamati dalam 1 detik (FEV1) 1,0 L untuk pria
berusia 85 tahun, tingginya 152 cm (tinggi 5 kaki) diprediksi 85% (dalam kisaran
normal 100% 6 20 %) tetapi dan FEV1 1,0 L untuk prediksi laki-laki berusia 18 tahun,
182 cm (6 kaki), yang akan konsisten dengan penyakit paru stadium akhir yang parah.
FEV1, kapasitas vital yang dipaksakan (FVC), dan rasionya (FEV1 / FVC) adalah
pengukuran spirometri yang paling berguna untuk ahli anestesi untuk menilai tingkat
keparahan penyakit paru pasien atau untuk mengevaluasi operasi pasien untuk operasi
reseksi paru-paru.

Tabel 24-1 Volume Paru dan Kapasitas


GAMBAR 24-17 Contoh spirometer genggam portabel yang dapat dengan
mudah digunakan
GAMBAR 24-18diSebuah
klinikspirogram
penilaiansederhana.
pra operasi atau ekpirasi
Volume di samping
diplottempat
terhadaptidur
waktu.
Volume total yang dikeluarkan selama masa paksa dari total
untuk mengukur sebagian besar volume dan kapasitas paru-paru yang pentingkapasitas paru adalah
kapasitas vital paksa (FVC). Fraksi FVC yang dihembuskan di detik pertama adalah
secara klinis. (Dari Slinger P, Darling G. Penilaian preekstetik untuk operasi
volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1). Nilai ini dibandingkan dengan data normal
toraks.
untukIn: Slinger
usia, jenis P, Principles
kelamin, and Practice
dan tinggi of Anesthesia
dan diberi for Thoracic
persentase pada Surgery
nilai perkiraan (mis.,
NewFEV1%).
York, NY:(DariSpringer;
Slinger P, Darling
2011: G. dengan
11-34, Penilaianizin.)
Preanestetik untuk operasi toraks. In:
Slinger P, ed Principles and Practice of Anesthesia for Thoracic Surgery. New York, NY:
Springer; 2011: 11-34, dengan izin.)

Selain itu, pengujian fungsi paru lengkap di laboratorium biasanya akan


melaporkan pengukuran rasio volume, arus, ketahanan paru, kapasitas difusi paru untuk
karbon monoksida (Dlc o) dan pengukuran lainnya. Sebagian besar nilai lain ini,
walaupun berguna untuk membedakan antara jenis dan tingkat keparahan penyakit paru
pada obat dada klinis, umumnya tidak digunakan dalam anestesi. Pengecualiannya
adalah DLCO yang merupakan pengukuran fungsi parenkim paru (yaitu transfer gas
alveolo-kapiler).

GAMBAR 24-19 Pengukuran volume dan kapasitas paru secara lengkap biasanya
dilakukan di laboratorium fungsi paru padadengan plethysmography seluruh tubuh
dengan pasien duduk di kotak kedap udara. Volume paru-paru dapat dihitung dari
perubahan saluran udara dan tekanan kotak karena volume kotak diketahui. (Dari
Slinger P, Darling G. Penilaian Preanestetik untuk operasi toraks. In: Slinger P, ed
Principles and Practice of Anesthesia for Thoracic SurgeryNew York, NY:
Springer; 2011: 11-34, dengan izin.)
Kapasitas Penutup dan Volume Penutup

GAMBAR 24-19 Pengukuran volume dan kapasitas paru secara lengkap biasanya
dilakukan di laboratorium fungsi paru padadengan plethysmography seluruh tubuh
dengan pasien duduk di kotak kedap udara. Volume paru-paru dapat dihitung dari
perubahan saluran udara dan tekanan kotak karena volume kotak diketahui. (Dari
Slinger P, Darling G. Penilaian Preanestetik untuk operasi toraks. In: Slinger P, ed
Principles and Practice of Anesthesia for Thoracic SurgeryNew York, NY:
Springer; 2011: 11-34, dengan izin.)

Kunci untuk memahami perubahan kompleks yang berkembang pada sistem


pernapasan selama anestesi adalah untuk menghargai hubungan antara FRC dan
kapasitas penutupan (Closing Capacity/CC). CC adalah jumlah dari volume penutupan
(Closing Volume/CV) dan RV. CV adalah volume paru-paru di bawah saluran udara
kecil yang mulai ditutup (atau setidaknya berhenti mengeluarkan gas ekspirasi) saat
ekspirasi. Penutupan saluran udara kecil di bagian basal paru selama ekspirasi dalam
adalah fenomena normal karena kenaikan tekanan pleura yang bergantung pada
gravitasi pada basis dan karena kurangnya dukungan parenkim pada saluran udara
distal. CV dan CC tidak umum diukur di lab fungsi paru. Pengukuran dilakukan dengan
teknik wash in dengan bolus kecil dari gas pelacak yang tidak larut seperti 133Xe
dengan perlahan dihirup lalu dikeluarkan dari RV (Gambar 24-21) atau dengan teknik
wash out oleh nitrogen setelah mendapat inspirasi dari menghirup oksigen dari RV.
Nilai normal untuk CC pada orang dewasa sehat duduk adalah 15% sampai 20% dari
kapasitas vital (Volume Capacity/VC). CC meningkat seiring bertambahnya usia akibat
hilangnya jaringan pendukung parenkim struktural di paru-paru dan peningkatan RV.
FRC sedikit meningkat seiring bertambahnya usia namun kenaikannya lebih besar
untuk CC (Gambar 24-22). CC berubah sangat lambat seiring berjalannya waktu.
Namun, perubahan FRC pada basis menit-ke-menit sebagai keuntungan mekanis dari
dua mata air (dinding paru-paru dan dada) yang menentukannya berubah. CC melebihi
FRC pada posisi telentang pada usia 45 dan pada posisi tegak lurus pada usia 65 tahun.
Selama anestesi, penurunan elastis rekoil pada dinding dada karena efek relaksasi otot
hampir semua anestesi umum (dengan kemungkinan pengecualian ketamin) dan bloker
neuromuskular menyebabkan FRC menurun dan akan sering turun di bawah CC.
Demikian pula, peningkatan elastis rekoil paru karena retensi cairan pada parenkim
paru akan menurunkan FRC. Ketika unit alveolar turun di bawah CC-nya, bahkan untuk
periode singkat selama satu siklus pernafasan, konsentrasi oksigen (Pao 2) di unit
tersebut sedikit turun. Hal ini menyebabkan peningkatan campuran venoarterial
("shunt"; lihat teks berikut) dan penurunan tekanan oksigen arteri (Pao2) yang terlihat
pada orang tua dan selama anestesi umum. Ketika daerah paru-paru tetap di bawah CC-
nya, kehilangan volume akhirnya akan menyebabkan atelektasis (Gambar 24-23) karena
gas yang terperangkap di alveoli diserap. Sebagian besar pekerjaan anestesiologis pada
periode perioperatif memulihkan keseimbangan antara FRC dan CC. Karena CC tidak
bisa diubah, hal ini melibatkan perbaikan FRC dengan berbagai teknik untuk
meningkatkan keunggulan mekanik dinding dada. Teknik ini termasuk memastikan
pembalikan bloker neuromuskular yang memadai, penentuan posisi tegak, analgesia
regional dan kemungkinan penggunaan tekanan ekspirasi positif (Positive End-
Expiratory Pressure /PEEP) atau tekanan udara positif continus positif (Continuous
Positive Airway Pressure / CPAP). Perbedaan fisiologis antara PEEP dan CPAP tidak
begitu terlihat. Namun sering digunakan, bila tekanan positif diterapkan saat ekspirasi
ke jalan nafas pasien yang memiliki ventilasi tekanan positif, tekanan saluran napas
yang diterapkan ini disebut PEEP. Ketika pasien bernapas secara spontan, tekanan
saluran napas yang diterapkan disebut sebagai CPAP.
GAMBAR 24-21 Pengukuran kapasitas penutup (Closing Capacity/CC) dengan
menggunakan gas pelacak seperti 133Xe. Bolus gas pelacak dihirup dari volume residu dan
karena penutupan beberapa saluran udara kecil didistribusikan hanya pada alveoli yang
saluran udaranya masih terbuka (ditunjukkan sebagai daerah yang diarsir dalam diagram).
Selama ekspirasi, konsentrasi gas pelacak menjadi konstan setelah ruang mati dicuci. Saat
Platue (tahap III) memberi jalan pada meningkatnya konsentrasi gas pelacak (fase IV) bila
terjadi penutupan saluran udara yang mengarah ke alveoli yang tidak menerima gas
pelacak. Volume yang diukur dari onset fase IV sampai akhir ekspirasi (RV) adalah volume
penutupan (CV). CC dihitung sebagai jumlah CV dan RV (yang diukur secara terpisah,
lihat "Volume Paru dan Spirometri" dalam diskusi sebelumnya) (Dari Lumb AB, ed Nunn’s
Applied Respiratory Physiology. 7th ed. Edinburgh, Inggris: Churchill Livingston Elsevier ;
2010, dengan izin.)

Penyesuaian
Penyesuaian adalah perubahan volume paru-paru untuk memberikan
perubahan pada tekanan udara. Ini adalah kebalikan dari "elastance." Pemantauan
perubahan penyesuaian pernafasan sangat penting pada pasien berventilasi sebagai
peringatan dini adanya perubahan pada paru-paru atau dinding dada – dinding
abdominal yang kompleks yang dapat berdampak negatif terhadap pertukaran gas.
Penyesuaian terhadap sistem pernapasan (compliance of respiratory system/ CRS)
diukur sebagai perubahan volume paru-paru (ΔV) dibagi dengan perubahan tekanan
saluran napas (ΔP), ini menunjukkan perbedaan antara tekanan alveolar, pada volume
paru-paru tertentu, dan tekanan atmosfer.
CRS = ΔV/ΔP
Penyesuaian sistem pernapasan sangat bergantung pada interaksi penyesuaian
paru-paru itu sendiri (Compliance of Lung / CL) dan penyesuaian dinding dada
(Compliance of chest wall /Ccw). Kedua hal ini bertindak mirip dengan kapasitor seri
dalam sistem kelistrikan, yaitu menyimpan energi, dan kebalikan penyesuaian
pernafasan adalah jumlah dari kebalikan CL dan Ccw:
1/CRS = 1/CL + 1/Ccw
CL dihitung sebagai ΔV / ΔP, di mana ΔP = tekanan alveolar - tekanan
intrapleural ("transmural")
Ccw dihitung sebagai ΔV / ΔP, di mana ΔP = tekanan intrapleural - tekanan
ambien
Tekanan intrapleural tidak mudah diukur secara langsung pada setting klinis.
Tekanan esofagus, dari manometer balon, biasanya digunakan sebagai perkiraan
tekanan intrapleural dalam penelitian pernafasan. Saat sistem pernapasan mengembang,
paru-paru dan dada akan menghasilkan kurva penyesuaian unik mereka sendiri (Gambar
24-24).
GAMBAR 24-22 Efek penuaan dan posisi pada volume penutupan, volume residu, dan
kapasitas residu fungsional (FRC) sebagai persentase dari total kapasitas paru-paru. Dengan
bertambahnya usia, terjadi sedikit peningkatan pada FRC namun volume penutupan dan
volume residual meningkat pada tingkat yang lebih tinggi. (Dari Sprung J, Gajic O, Warner
DO, Age related lterations in respiratory function-anesthetic consideration. J Anaesth,
2006; 53: 1244-1257, dengan izin.)

Faktor-faktor yang mempengaruhi CL meliputi:


1. Volume paru-paru. penyesuaian paling banyak terjadi di FRC dan tetap pada
tingkat ini sampai paru-paru mengembang atau mengempiskan sekitar 15% TLC
di atas atau di bawah FRC, yaitu kemiringan CRS merupakan yang paling curam
dalam rentang ini, yang mencakup kisaran volume tidal normal yang bernafas.
Penyesuaian berhubungan dengan FRC normal untuk paru-paru tertentu dan
dapat dikoreksi untuk volume paru normal sebagai "kepatuhan spesifik"
(compliance / FRC), yang relatif konstan pada semua umur.
2. Tegangan permukaan alveoli. Ini mungkin merupakan faktor utama yang
menentukan rekoil paru-paru dan CL. Paru yang terisi air sebenarnya lebih
sesuai dari pada paru-paru normal karena interaksi tegangan permukaan cairan
udara hilang. Demikian pula, paru-paru yang kekurangan surfaktan kurang
sesuai dari biasanya. Tanpa surfaktan, alveoli diharapkan berperilaku seperti
mengkomunikasikan gelembung dan sesuai dengan persamaan Laplace:
P = 2T/R
Dimana P adalah tekanan gas dalam gelembung, T adalah tegangan
permukaan dinding, dan R adalah radius dari gelembung. Jika radius menurun
tanpa perubahan tegangan permukaan, tekanan akan meningkat dalam
gelembung dan gelembung kecil akan mengosongkan gelembung yang lebih
besar (dalam paru-paru, hal ini akan menyebabkan atelektasis). Namun, di paru-
paru, tegangan permukaan menurun saat radius alveoli menurun dan hal ini
berlawanan dengan collaps pada unit paru-paru yang lebih kecil. Mekanisme
yang tepat dimana surfaktan menyebabkan efek ini dalam perdebatan. Ini bisa
dikaitkan dengan kemasan molekul surfaktan yang lebih ketat saat radius
menurun atau terbentuknya lapisan multilayer surfaktan. Faktor lain yang
mempengaruhi CL meliputi volume darah paru dan edema interstisial
Faktor-faktor yang mempengaruhi Ccw meliputi postur tubuh, obesitas,
pengerasan kartilago kosta, dan jaringan parut pada kulit. Interaksi dari penyesuaian
kedua hal tersebut, menghasilkan pola karakteristik sigmoid dari kurva kepatuhan
sistem pernafasan (lihat Gambar 24-24, garis padat). Pada FRC, yang biasanya
merupakan volume relaksasi sistem pernafasan, tarikan kedua hal tersebut dengan arah
berlawanan menyeimbangkan satu sama lain. Pada individu sehat normal, karena sistem
pernapasan meningkat hingga 60% TLC, dinding dada membantu otot-otot pernapasan
untuk mengembangkan paru-paru. Namun, saat paru-paru membesar di atas volume ini,
otot inspirasi harus bekerja untuk menghalau paru-paru dan dinding dada
Penyesuaian dinamis adalah ΔV / ΔP dari sistem pernafasan yang diukur pada
aliran gas instan. Pada pasien berventilasi, ΔP ini akan = tekanan puncak jalan napas -
PEEP. Hal ini mencerminkan perilaku normal sistem pernafasan namun akan
mencakup efek resistensi saluran napas dan histeresis normal parenkim paru (histeresis
dalam konteks ini mengacu pada kecenderungan bahan elastis untuk menahan
perubahan bentuk baik selama peregangan dan kontraksi). penyesuaian dinamis akan
dipengaruhi oleh frekuensi respirasi dan kecepatan aliran gas.

GAMBAR 24-24 Kurva volume tekanan statis pada sistem pernapasan. Kurva penyesuaian
dinding dada yang terisolasi (Ccw) (garis titik-titik besar) melintasi titik tekanan nol atau
titik ekuilibrium pada kira-kira 60% dari total kapasitas paru-paru (TLC). penyesuaian paru
yang terisolasi (CL) (titik dash-dot kecil) mendekati titik ekuilibriumnya pada sekitar 20%
TLC atau volume residu (RV). Rangkuman aljabar dari timbal balik Ccw dan CL
menghasilkan kepatuhan sistem pernafasan total (Crs) (garis padat). Bagian luar dinding
dada dan goncangan dalam paru akan seimbang pada kapasitas residu fungsional (FRC).
Perhatikan bahwa dinding dada secara pasif akan berkontribusi terhadap inflasi paru-paru
hingga 60% KLT di atas dimana dinding dada akan melawan inflasi dan penyesuaian
(kemiringan garis padat) akan mulai berkurang. (Dari Jaeger JM RS Kos anatomi dan
Kelengkapan statis dan dinamis memberikan informasi yang berguna untuk
ahli anestesi. Penyesuaian statis mencerminkan lebih banyak tekanan distending aktual
pada alveoli pasien. Perbedaan antara keduanya mencerminkan efek resistensi saluran
napas. Selama ventilasi kontrol tekanan, dengan pola aliran udara inspirasi yang
menurun, tidak akan ada perbedaan yang nyata pada puncak tinggi atau plateu pada
tekanan saluran nafas sehingga sulit membedakan antara penyesuaian statis dan dinamis
secara klinis (Gambar 24-25). kekurangannya, yaitu kehilangan pemantauan, aspek
ventilasi kontrol tekanan sebagian besar dikompensasi oleh kemampuan ventilasi
kontrol tekanan untuk mendistribusikan aliran gas secara lebih seragam pada pasien
dengan COPD yang memiliki perbedaan besar dalam kepatuhan regional di dalam paru-
paru
Cabang inflasi dan deflasi pada kurva penyesuaian sistem pernafasan berbeda
(Gambar 24-26). Untuk penyesuaian dinamis, hal ini disebabkan oleh resistensi saluran
napas dan histeresis paru-paru. Kurva ini digabungkan untuk menghasilkan kurva
"pressure-volume loop" (atau "PV" atau "ΔV / ΔP" atau "compliance") yang diketahui
dari paru-paru yang ditampilkan oleh banyak mesin anestesi modern dan bentuknya
ditentukan terutama oleh penyesuaian dinamis dari sistem pernafasan.
Celah antara cabang ekspirasi dan inspirasi pada kurva gabungan akan
melebar seiring volume tidal dan laju pernafasan meningkat. Hal ini dimungkinkan
untuk menghasilkan kurva ΔV / ΔP dengan menggunakan penyesuaian statis jika paru-
paru perlahan meningkat secara bertahap. Kurva ini juga akan menunjukkan jarak antara
inspirasi dan ekspirasi terutama karena histeresis paru. Celah ini akan lebih kecil dari
pada kurva dinamis ΔV / ΔP. Perhitungan penyesuian nafas-demi-napas otomatis
ditampilkan oleh monitor ventilasi dari banyak mesin anestesi modern. Sulit bagi
pemantau klinis ini untuk mengukur pada titik yang tepat "tidak mengalir" titik pada
inspirasi akhir dan karena itu perubahan penyesuian yang terukur mungkin benar-benar
disebabkan oleh elastisitas jaringan yang meningkat (misalnya atelektasis atau edema
paru) namun mungkin juga dipengaruhi oleh perubahan dalam penyesuaian dinamis
(hambatan jalan napas), misalnya, bronkospasme atau sekresi.

Resistensi
Resistansi sistem pernapasan adalah topik yang kompleks dan penting. Hal ini
penting karena, pada periode perioperatif, komplikasi seperti bronkospasme atau sekresi
dalam tabung endotrakeal atau hambatan rangkaian parsial akan terjadi terutama sebagai
peningkatan resistensi. Hal ini rumit karena ada banyak jenis resistensi yang
berkontribusi terhadap ketahanan keseluruhan sistem pernafasan. Ketika ahli
anestesiologi memikirkan resistensi pernafasan, mereka terutama memikirkan resitensi
nonelastis terhadap aliran gas dan terutama memikirkan resistensi geseran aliran udara.
Resitensi nonelastik adalah komponen utama dari bernafas dan karena tidak dapat
disimpan, hilang dan hilang sebagai panas. Resistensi nonelastik juga mencakup
resistensi jaringan dinding paru dan dada terhadap deformitas dan kompresi gas
intratoraks. Resistensi elastik adalah rekoil paru dan dinding dada, dan karena sudah
pulih saat kekspirasi , hal itu tidak berkontribusi terhadap pernafasan.
Resistansi pernafasan (RRS) dihitung sebagai gradien tekanan dibagi dengan
aliran inspirasi. Selama situasi aliran konstan seperti ventilasi kontrol volume, hal ini
akan dihitung berdasarkan Gambar 24-25 :
RRS (cm H2O / L per detik) = PPeak - PPlateau (cm H2O) / aliran gas inspirasi (L per
detik)
Namun, ventilasi spontan normal dan ventilasi kontrol tekanan memiliki
tingkat aliran variabel dan perkiraan laju aliran gas rata-rata yang diperlukan untuk
menghitung resistensi pernapasan. Resistensi aliran udara pada individu sehat normal
yang bernapas secara spontan kira-kira 1 cm H2O / L per detik. Hal ini dapat meningkat
menjadi 5 sampai 10 cm H2O / L per detik pada COPD dan asma. Pernapasan melalui
tabung endotrakea berdiameter 8 mm internal pada aliran 1 L per detik menghasilkan
resistansi sekitar 5 cm H2O / L per detik dan meningkat menjadi 8 cm H2O / L per
detik untuk tabung endotrakea 7 mm
Gambar 24-26 Kurva tekanan versus volume (PV) paru-paru, sering disebut kurva
"penyesuaian". Dalam kasus ini, volume paru diplot terhadap tekanan transpulmonary.
Perhatikan bahwa untuk tekanan yang sama, paru-paru memiliki volume yang lebih besar
(yaitu lebih sesuai) selama deflasi daripada selama inflasi, seperti yang ditunjukkan oleh
jarak antara titik A dan C. Hal ini disebabkan histeresis jaringan paru-paru dan ada apakah
Kurva diukur secara dinamis (selama aliran kontinu) atau statis (selama aliran terputus).
Untuk kurva PV dinamis, jarak AC akan lebih besar daripada kurva statis karena efek aditif
dari resistensi aliran udara. Titik kemiringan maksimal dari kurva inspirasi (panah inflasi)
biasanya sesuai dengan FRC. Jika paru meningkat pada FRC, "titik balik yang lebih
rendah" dari kurva (titik A) tidak terlihat.
Secara kuantitatif mengukur resistensi pernafasan di ruang operasi tidak
sederhana karena hal ini sulit untuk memisahkan resistansi sistem pernafasan dari
tahanan aparatus. Pada fungsi aboratory pulmonary, hal ini dilakukan dengan
plethysmography dan berbagai teknik flow-interrupter. Untungnya, relatif mudah untuk
memantau perubahan resistensi pernapasan di ruang operasi dengan mengikuti
perubahan dalam penyesuaian dinamis.
Aliran gas selama respirasi adalah campuran turbulen dan aliran laminar dan
turbulen / laminar penghubung bergerak di kolom udara selama siklus pernafasan.
Aliran laminar terjadi di luar saluran napas generasi ke 11. Aliran turbulen pada saluran
napas yang lebih besar membantu membersihkan sekresi dengan batuk. Pada orang
sehat, resistansi aliran udara gesekan terutama disebabkan oleh saluran udara yang lebih
besar: mulut dan faring 40%, laring dan saluran udara besar 40%, saluran udara kecil
(berdiameter 3 mm) berkontribusi 20% . Namun, perubahan pada resistensi aliran udara
paling banyak terjadi. Biasanya karena perubahan kaliber saluran udara kecil. Kaliber
jalan napas kecil dapat dikurangi dengan kontraksi otot polos di dinding saluran napas
atau dengan kompresi (karena pembalikan gradien tekanan transluminal normal di jalan
napas distal yang dapat dilipat).
Resistensi saluran napas berbanding terbalik dengan volume paru-paru dan
meningkat secara eksponensial saat paru-paru menyusut di bawah FRC. Penerapan
PEEP atau CPAP kepada pasien yang memiliki FRC yang menurun akan
menguntungkan respirasi mereka tidak hanya dengan meningkatkan FRC mereka di atas
CC tetapi juga dengan mengurangi resistansi pernapasan mereka, dan dengan demikian
mereka bernapas pada volume paru-paru yang lebih tinggi.
Peningkatan daya tahan terhadap inspirasi terdeteksi oleh spindle otot di
diafragma dan menyebabkan peningkatan kekuatan kontraksi. Refleks spinal ini
dipertahankan selama anestesi. Pada pasien yang terjaga, refleks ini diperkuat oleh
respons kortikal sadar yang juga meningkatkan kekuatan inspirasi.23 Peningkatan
resistensi ekspirasi biasanya tidak memicu respons jika resistansi, 10 cm H2O. FRC
meningkat secara pasif dengan meningkatnya resistensi sampai peningkatan
keseimbangan elastis menyeimbangkan peningkatan ekspirasi. Namun, tekanan
intrathoraks yang meningkat dapat menurunkan venus return dan curah jantung. Pasien
mentolerir peningkatan resistensi saluran napas dengan meningkatkan kerja pernapasan
dan dalam jangka pendek biasanya akan mempertahankan normal arterial CO2 (Paco 2).
Akhirnya, peningkatan resistensi saluran napas yang besar dapat menyebabkan
kelelahan otot pernafasan dan Paco 2 akan mulai meningkat. Paco 2 meningkat pada
pasien dengan peningkatan resistensi pernapasan yang memiliki dasar normal Paco 2
mrrupakan tanda bahaya kegagalan pernapasan yang akan terjadi.

Titik Tekanan yang Sama


Resistansi pernapasan ekspirasi biasanya akan lebih rendah daripada resistansi
inspirasi karena paru-paru berada pada volume yang lebih besar pada semua tahap
ekspirasi daripada inspirasi (lihat Gambar 24-26). Akan tetapi, ada situasi ketika
resistansi ekspirasi melebihi resistansi inspirasi, termasuk yang sebagai berikut: selama
ekspirasi paksa (atau batuk) pada pasien normal, selama bernafas dengan tenang pada
beberapa pasien dengan emfisema berat (lihat teks berikut), dan selama ekspirasi paksa
pada beberapa pasien dengan tumor trakea intrathoracic atau kompresi trakeobronkial
dari massa mediastinum. Dalam kasus ini, di mana resistansi ekspirasi melebihi
resistansi inspirasi, penyebab utamanya adalah kompresi jalan nafas yang dinamis, yang
menyebabkan penyempitan batas arus yang bergerak di jalan napas yang disebut titik
tekanan yang sama (EPP). Pada Gambar 24-27 di FRC sebelum inspirasi, (a) tekanan
saluran udara di seluruh bagian adalah nol (situasi tidak ada arus) karena tekanan
intrapleural (transpulmonary) adalah -5 cm H2O ada tekanan bersih +5 cm H2O yang
membengkakkan saluran udara dan alveoli.
Saat inspirasi dimulai, (b) tekanan intrapleural dan alveolar turun sebesar 3 cm
H2O dan aliran dimulai. Karena tekanan turun di sepanjang jalan napas, tekanan akan
negatif di jalan napas tapi kurang dari tekanan alveolar. Hal ini meningkatkan tekanan
pembengkakan saluran udara dalam hal ini dari +5 ke +6 cm H2O. Pada akhir inspirasi,
(c) tekanan pembengkak dalam kondisi tidak ada arus adalah +8 cm H2O dan tekanan
melalui jalan napas kembali ke nol. Selama ekspirasi yang tenang, tekanan intrapleural
mundur kembali ke -5 cm H2O dan hal ini menciptakan tekanan bersih pada alveolus +3
cm H2O, yang berkurang secara proksimal saat udara mengalir keluar dari pohon
trakeobronkial. Tekanan pembengkakan hilir turun di sepanjang jalan napas
(ditunjukkan oleh +6 cm H2O pada Gambar 24-27D). Karena ini adalah proses yang
dinamis disebabkan oleh resistensi jaringan, kaliber jalan nafas biasanya akan lebih
besar pada titik tertentu untuk tekanan pembengkakan yang sama selama masa ekspirasi
daripada selama inspirasi. Dalam situasi tanpa arus, tekanan pembengkakan yang sama
akan menghasilkan diameter jalan napas yang setara. Selama ekspirasi paksa, (e)
tekanan saluran udara meningkat [dalam kasus ini sebesar 24 cm H2O, menghasilkan
tekanan intrapleura bersih +16 cm H2O untuk volume paru yang sama seperti (c)] dan
gradien dibuat di sepanjang kolom udara ekspirasi. Pada titik di mana tekanan
intrapleural sama dengan tekanan pembengkakan kolom udara (+16 cm H2O), EPP
dibuat. Jalan napas akan menyempitkan proksimal ke titik ini (+15) ke outlet toraks
(+14). Ini menjadi titik batas arus dan tidak ada peningkatan usaha yang dapat
meningkatkan aliran ekspirasi pada volume paru tertentu karena tekanan pendorong
ditetapkan oleh perbedaan antara tekanan alveolar dan intrapleural [8 cm H2O dalam
(e)]. EPP ini memungkinkan terciptanya titik percepatan aliran gas dan turbulensi di
kolom udara ekspirasi selama batuk normal yang memiliki efek Bernoulli (tekanan
lateral yang menurun di daerah dengan kecepatan aliran yang meningkat) untuk
melepaskan sekresi dari dinding trakeobronkial. Selama ekspirasi paksa, karena
penurunan volume paru-paru dan tekanan saluran udara berkurang, tekanan intrapleural
terjaga dan EPP akan bergerak secara distal di jalan napas.24

Selama usaha pernapasan maksimal, EPP menyebabkan perbedaan bentuk


ekspirasi versus anggota badan inspirasi. dari kurva volume arus (Gambar 24-28).
Bagian linier aliran ekspirasi, setelah arus puncak awal, disebabkan oleh EPP. Aliran
puncak bergantung pada usaha tetapi bagian linier dari aliran ekspirasi adalah
independen terhadap usaha (yaitu, tidak ada peningkatan usaha ekspirasi pada volume
paru-paru tertentu yang dapat meningkatkan laju alir maksimal pada volume tersebut).
Selama bernapas tenang, anggota badan inspirasi dan ekspirasi dari kurva volume arus
adalah bayangan cermin karena tidak adanya EPP. Dalam kisaran volume paru-paru
yang digunakan saat bernapas tenang, aliran inspirasi dan ekspirasi biasanya dapat
meningkat sekitar tiga kali lipat dengan usaha maksimal jika diperlukan.
Pekerjaan bernafas
Pekerjaan adalah hasil kali kekuatan x jarak atau tekanan x volume. Secara
teknis, pekerjaan dihitung untuk satu kejadian. Namun, istilah pekerjaan bernafas
biasanya digunakan untuk menunjukkan pengeluaran energi berkelanjutan yang
dibutuhkan oleh sistem pernapasan. Selama bernapas normal yang tenang, ekspirasi
bersifat pasif dan tidak memerlukan pekerjaan. Separuh dari pekerjaan inspirasi
tersimpan dalam deformasi otot-otot inspirasi dan jaringan paru-paru. Energi potensial
ini memberikan pekerjaan yang diperlukan untuk ekspirasi. Separuh bagian lain dari
pekerjaan inspirasi dihamburkan sebagai panas dalam mengatasi kekuatan gesek
gerakan jaringan dan gas. Kebutuhan oksigen untuk pekerjaan bernafas kurang dari 2%
konsumsi oksigen basal normal (3 sampai 4 mL/kg per menit). Pada individu sehat,
konsumsi oksigen otot respirasi tidak menjadi penting sampai tingkat respirasi
mendekati ventilasi menit maksimal (60 sampai 80 L per menit, yaitu, 15 x ventilasi
basal) tercapai. Namun, pada pasien dengan PPOK, karena inefisiensi mekanis sistem
pernafasan, meningkatkan ventilasi menit menjadi 20 L per menit dapat meningkatkan
konsumsi oksigen otot respirasi ke tingkat 200 mL per menit.25
Pekerjaan yang dilakukan melawan resistensi elastis pada dinding paru-paru
dan dada meningkat secara proporsional saat pernapasannya lambat dan dalam.
Sebaliknya, pekerjaan yang dilakukan terhadap resistansi aliran udara meningkat saat
pernapasannya cepat dan dangkal. Setiap individu akan memiliki tingkat optimal dan
volume tidal yang meminimalkan kerja pernapasan tergantung pada kepatuhan dan
ketahanan sistem pernapasan mereka. Saat istirahat, mereka biasanya akan bernapas
pada tingkat yang meminimalkan konsumsi oksigen yang diperlukan untuk pertukaran
gas. Untuk orang dewasa normal, hal ini biasanya sesuai dengan tingkat pernafasan
istirahat 15 sampai 16 napas per menit. Untuk pasien dengan penyakit obstruktif,
tingkat ini biasanya cenderung lebih rendah dan lebih tinggi untuk pasien dengan
penyakit paru-paru yang membatasi.26
Meskipun pekerjaan bernafas minimal bagi orang sehat, hal ini mungkin
merupakan tantangan yang signifikan bagi pasien dengan gagal napas atau jantung yang
memiliki cadangan berkurang. Hal ini selalu perlu dipertimbangkan saat menghentikan
pasien semacam itu dari ventilasi yang dibantu secara mekanis.

Kelelahan pernapasan
Kelelahan sistem pernapasan dapat terjadi pada setiap titik dari sistem saraf
pusat (SSP) ke otot-otot respirasi. Diafragma mungkin adalah otot kerangka yang paling
tahan terhadap kelelahan dan dapat mempertahankan beban resistif hingga 40%
maksimal tanpa batas waktu. Namun, kelelahan akan terjadi dengan beban melebihi
40%. Karena kebutuhan pasokan oksigen untuk diafragma tinggi sebanding dengan
massanya, diafragma juga rentan terhadap hipoksia karena penurunan kadar oksigen
darah arteri atau karena penurunan curah jantung.27 Diafragma dapat diistirahatkan
untuk waktu yang singkat dengan ventilasi mekanis namun bukti histologis atrofi serat
otot dapat dilihat setelah sedikitnya 18 jam ventilasi mekanis dan bukti klinis
kelemahan terlihat dalam beberapa hari.28 Disfungsi diafragma yang disebabkan
ventilator ditandai dengan atrofi dari serat tipe 1 dan 2, dengan ekspresi gen yang
berubah yang menyebabkan peningkatan proteolisis.29

Distribusi Ventilasi
Awalnya, distribusi ventilasi adalah konsep yang sulit untuk dipahami, akan
tetapi ventilasi lebih disukai didistribusikan ke alveoli yang lebih kecil di dekat bagian
tengah dan bawah paru-paru daripada alveoli yang lebih besar di daerah paru-paru yang
lebih superior. Hal ini karena alveoli yang lebih rendah berada pada bagian yang lebih
curam dari kurva kepatuhan mereka (lihat Gambar 24-15). Penjelasan paling umum
untuk ketidakseragaman ini adalah efek gravitasi pada parenkim paru. Dalam postur
tegak, tinggi vertikal terbesar dicapai oleh paru-paru. Kecenderungan paru-paru untuk
menarik diri dari dinding dada pada puncaknya menciptakan tekanan pleura yang lebih
negatif (subatmosfer) daripada tekanan pleura pada bagian yang dependen bagian
bawah pada paru di mana beratnya mengurangi besarnya tekanan pleura negatif.
Gradien tekanan pleura dari puncak paru-paru ke dasarnya diperkirakan 0,4 cm H2O per
sentimeter masing-masing tinggi vertikal. Jelas, seseorang mungkin mengharapkan
sedikit gradien tekanan transpulmoner dari nondependen ke bagian paru-paru yang
dependen saat terlentang atau rentan dibandingkan dengan posisi tegak. Pada individu
yang tegak, selama nafas spontan, gas yang terinspirasi akan cenderung memilih untuk
memasuki alveoli terbuka di dekat dasar paru-paru yang paling sesuai. Saat nafas
berlanjut, gas tersebut akan memasuki alveoli yang lebih apikal dan kurang sesuai dan
alveoli basilar sebelumnya yang elektatis saat mereka direkrut oleh daya tarik yang
diberikan oleh sisa paru yang meluas. Selain itu, tingkat inspirasi secara langsung
mempengaruhi homogenitas distribusi gas. Pada tingkat inspirasi tinggi, udara
didistribusikan lebih merata di seluruh paru-paru daripada pada tingkat yang sangat
lambat.30

Sirkulasi Paru
Sirkulasi paru terdiri dari dua sumber aliran darah: sirkulasi paru dari arteri
pulmonalis utama dan sirkulasi bronkus yang lebih kecil yang timbul dari aorta.
Sirkulasi paru mendominasi, berdasarkan volume, dan berfungsi untuk mengantarkan
darah vena campuran ke kapiler alveolar untuk memudahkan pertukaran gas dan
bertindak sebagai reservoir besar resistansi rendah untuk keseluruhan curah jantung dari
ventrikel kanan. Sirkulasi bronkial berfungsi untuk memberikan dukungan nutrisi ke
saluran pernafasan dan pembuluh darah paru yang terkait.31 Sirkulasi bronkial juga
menyediakan sumber panas dan kelembaban konstan untuk memanaskan dan
melembabkan udara yang terinspirasi.

Hemodinamik Paru
Meskipun menerima semua curah jantung dari ventrikel kanan, pembuluh
darah paru mempertahankan tekanan darah paru yang relatif rendah. Mean tekanan
arteri pulmonalis (PPA) orang dewasa normal adalah 9 sampai 16 mmHg dengan PPA
sistolik 18 sampai 25 mmHg. Beberapa fitur memungkinkan sirkulasi paru untuk
mempertahankan aliran tinggi ini pada tekanan rendah. Pertama, pembuluh darah paru
berdinding sangat tipis dengan otot polos vaskular arteri jauh lebih sedikit daripada
rekan sistemiknya. Hasilnya adalah reservoir yang sangat sesuai yang mampu
menampung rata-rata 3,2 L/min/m2 aliran darah saat istirahat atau enam sampai delapan
kali yang mengalir selama berolahraga. Kedua, total PVR cukup rendah, dengan orde
kurang dari 250 dynes∙sec∙cm-5. Hal ini meminimalkan kerja tekanan yang dihadapi oleh
ventrikel kanan yang kurang kuat sambil tetap memungkinkan ventrikel kanan agar
sesuai dengan keluaran ventrikel kiri. PVR dapat berubah akibat berbagai faktor,
misalnya hipoksia, asidosis, stenosis katup mitral atau regurgitasi, gagal ventrikel kiri,
hipertensi paru primer, atau emboli paru. PVR dapat dihitung dengan menggunakan data
dari kateter arteri paru seperti:
PVR = [(PPA - PAOP)/CO] x 79,9
Dimana PAOP adalah tekanan oklusi kateter arteri pulmonalis, yang
diasumsikan untuk merefleksikan tekanan atrium kiri, CO adalah curah jantung
(L/menit), dan faktornya, 79,9 mengkonversi dari mmHg/L per menit ke satuan
resistansi absolut (dynes∙sec∙cm-5).

Distribusi Perfusi
Ada gradien distribusi perfusi paru yang serupa namun tidak identik dengan
gradien distribusi ventilasi, dengan peningkatan perfusi daerah di daerah pusat dan
bawah dibanding daerah bagian atas. Gradien perfusi ini sebagian bergantung pada
arsitektur paru-paru dan resistensi pembuluh darah paru, yang bervariasi dengan volume
paru-paru dan paling rendah di daerah paru-paru yang paling dekat dengan FRC
(Gambar 24-29). Gravitasi, postur, dan tekanan alveolar juga akan berpengaruh pada
distribusi aliran darah paru.32

Gambar 24-29 Hubungan antara resistansi vaskular paru (PVR) dan volume paru-
Gambar 24-30 Distribusi aliran darah (perfusi) dan ventilasi alveolar dan rasio ventilasi-
ke-perfusi (VA/Q) sebagai fungsi jarak dari pangkal paru (ke kiri pada gambar) ke puncak
(ke kanan). Pada posisi tegak, baik ventilasi dan aliran darah lebih besar di pangkal paru-
paru daripada di puncak. Namun, gradien lebih curam untuk aliran darah daripada
ventilasi. Dengan demikian rasio VA/Q lebih tinggi pada puncak daripada di daerah paru-
paru tengah atau yang dependen
Pencocokan Ventilasi dan Perfusi
Dalam batas-batas tertentu, paru-paru berusaha untuk mencocokkan ventilasi
dengan perfusi. Namun, pencocokan tersebut tidak pernah ideal karena gradien ventilasi
dan perfusi tidak identik (Gambar 24-30). Pencocokan ini lebih dekat selama ventilasi
spontan daripada selama ventilasi tekanan positif. Dengan ventilasi tekanan positif, efek
tekanan alveolar meningkat dan distribusi aliran darah paru menjadi kurang homogen.
Hal ini menyebabkan konsep zona perfusi paru seperti yang dijelaskan oleh West 33
(Gambar 24-31A). Dalam konsep ini, zona 1 (apikal) adalah daerah dimana tekanan
alveolar (PA) melebihi tekanan arteriolar paru (PPA) dan tekanan vena paru (PPV); Oleh
karena itu, daerah paru yang berventilasi ini tidak memiliki perfusi. Pada zona 2
(peralihan), PPA melebihi PA, yang melebihi PPV dengan batasan parsial aliran darah
paru. Di zona 3 (basilar), PPA> PPV> PA, jadi ada aliran darah paru yang tak terbatas. Di
zona 4 (atelektatik), daerah kolaps paru, PPA> tekanan cairan interstisial paru (PISF) >
PPV> PA, jadi sekali lagi ada batasan aliran darah paru tergantung tekanan jaringan di
wilayah kolaps. Meskipun zona West telah menjadi konsep yang berguna untuk
menekankan efek tekanan jalan udara dan alveolar pada aliran darah paru, zona ini
merupakan penyederhanaan yang berlebihan. Pertama, karena tekanan alveolar tidak
tetap konstan namun bervariasi sepanjang siklus pernafasan, lebih dari itu selama
tekanan positif daripada ventilasi yang dikendalikan. Dengan demikian, batas antara
zona ini terus bergerak. Juga, telah ditunjukkan oleh pemindaian perfusi bahwa
distribusi aliran darah di paru-paru tidak benar-benar berlapis (seperti kue) tapi dalam
bola konsentris (seperti bawang merah) (Gambar 24-31B).

Ruang Mati
Seperti banyak konsep dalam fisiologi pernafasan, ruang mati sangat penting
dalam praktik klinis dan terlihat seolah sederhana di permukaan, namun sebenarnya
sangat kompleks. Bagian dari napas yang terinspirasi, yang tidak masuk ke dalam unit
paru bertukar gas, adalah ruang mati (VD). Ventilasi menit (VE) adalah jumlah ventilasi
alveolar (VA) dan ventilasi ruang mati (VD):
VE = VA + VD
Ruang mati dapat terbagi menjadi dua komponen utama: ruang mati fisiologis
dan ruang mati aparatus. Ruang mati aparatus hanya akan berlaku untuk pasien yang
menggunakan sirkuit pernafasan. Ruang mati fisiologis dibagi lagi ke dalam ruang mati
saluran napas dan ruang mati alveolar (Gambar 24-32). Ruang mati saluran napas
adalah bagian nafas yang menuju ke mulut, faring, dan pohon trakeobronkial, namun
tidak masuk ke dalam alveoli. Ruang mati jalan napas juga disebut ruang mati anatomik
oleh beberapa penulis namun istilah tersebut adalah istilah yang membingungkan.
Ruang mati alveolar adalah bagian nafas yang masuk ke alveoli yang berventilasi tapi
tidak terperfusi (yaitu, zona West 1).
Ruang mati jalan nafas relatif konstan. Namun, hal itu berbeda secara langsung
dengan volume paru-paru dan bronkodilasi meningkatkan ruang mati saluran udara.
Karena volume tidal (VT) menurun, porsi setiap nafas yang rasio ruang mati (VD/VT)
akan meningkat. Ruang mati saluran udara akan sedikit menurun, pada volume paru-
paru yang lebih rendah, namun tidak cukup untuk mengimbangi penurunan VT.

Gambar 24-31 Distribusi aliran darah paru dalam posisi tegak. A: Arus darah paru
yang terkena tekanan gravitasi dan alveolar. Deskripsi klasik ini berdasarkan karya
West33 membagi aliran darah paru menjadi empat zona. PA, tekanan alveolar; Ppa,
tekanan arteriolar paru; Ppv, tekanan vena paru, Pisf, tekanan interstisial paru. B:
Investigasi selanjutnya dengan pemindaian paru-paru telah menunjukkan bahwa aliran
darah sebenarnya lebih banyak didistribusikan pada pola sentral ke arah perifer.
Ruang mati jalan nafas mengalami penurunan dengan intubasi endotrakeal,
karena sebagian besar ruang mati mulut dan faring dilewati. Namun, efek bersih pada
total ruang mati akan bergantung pada ruang mati peralatan tambahan dari rangkaian
yang menempel pada pasien. Untuk aparatus anestetik modern yang berfungsi dengan
benar, peralatan ruang mati tidak penting secara klinis.
Orang yang sehat, bernafas secara spontan, tentu saja tidak memiliki ruang
mati alveolar. Pernapasan volume tidal biasanya menghasilkan rasio VD/VT sekitar 0,3,
seluruhnya karena ruang mati saluran napas. Akan tetapi, ruang mati alveolar menjadi
sangat penting selama ventilasi tekanan positif dan dalam kondisi hemodinamik yang
berubah. Penurunan curah jantung, emboli paru, dan perubahan postur semuanya akan
memiliki efek penting secara klinis pada ruang mati alveolar, biasanya dengan
meningkatkan zona 1. Ketiga komponen ini: aparatus, jalan napas, dan alveolar
membentuk total ruang mati.

Gambar 24-32 Model tiga kompartemen sederhana dari paru-paru dengan A


mewakili shunt; B, unit gas ideal; dan C, ruang mati alveolar (VDalv). Ruang mati
fisiologis (VDphys) diisi dengan udara yang tidak mengandung CO2, ditunjukkan
sebagai daerah putih. VDphys adalah jumlah ruang mati jalan nafas (VDaw) dan VDalv.
Antarmuka alveolar jalan nafas ditunjukkan oleh garis putus-putus
.

Pengukuran Ruang Mati


Pengukuran ruang mati awalnya digambarkan oleh Bohr.34 Campuran gas
ekspirasi dikumpulkan dan CO2 dianalisis untuk menghasilkan tegangan campuran CO2
(PEco2) dan sampel darah arterial (Paco2). Persamaan Bohr adalah:
VD/VT = (Paco2 - PECO2)/Paco2
Rasio VD/VT yang diturunkan dapat diterapkan pada ventilasi menit atau ke
satu nafas tunggal. Pada orang yang sehat bernafas secara spontan, karena ruang mati
alveolar sangat kecil, ketegangan CO2 tidal akhir (Petco2) dapat diganti dengan Paco2
dalam persamaan Bohr untuk mengukur ruang mati. Pada pasien yang berventilasi,
ruang mati alveolar seringkali secara klinis signifikan dan jumlah absolut yang dihitung
untuk ruang mati dengan perhitungan ini akan rendah dengan salah. Demikian pula, Pet
co2 dapat diganti dengan PECO2 untuk memberi perkiraan ruang mati alveolar untuk
pasien berventilasi. Perhitungan ini kasar sebagai pengukuran absolut; Namun, gradien
Paco2-Pet co2 secara klinis merupakan tren yang sangat berguna. Jarang terjadi
perubahan pada ruang mati saluran nafas selama anestesi, jadi kenaikan pada kombinasi
dua jenis Paco2-Pet co2 kemungkinan besar terjadi karena adanya peningkatan ruang
mati alveolar. Paco2 berbanding terbalik dengan ventilasi alveolar:
Paco2 = (VCO2/VA) x K
Dimana VCO2 adalah total produksi tubuh CO2 dan VA adalah ventilasi alveolar,
dan K adalah konstanta. Karena tingkat metabolisme pasien biasanya konstan selama
anestesi (jika suhu tubuh dipertahankan), VCO2 relatif konstan. Perubahan ventilasi
menit (tidal volume x tingkat pernapasan) biasanya akan menyebabkan perubahan
langsung dan invers pada Paco2. Namun, persamaan ini menggunakan ventilasi VA
(ventilasi alveolar) bukan ventilasi menit. Jika ruang mati meningkat (mis., penurunan
curah jantung) dan ventilasi menit tidak berubah, ventilasi alveolar akan menurun dan
Paco2 akan meningkat..
Ventilasi selama anestesi meliputi pemantauan CO2 yang diekspirasi. Hal ini
biasanya disajikan sebagai capnography berbasis waktu. Capnography berbasis volume
serupa namun memungkinkan pengukuran ruang mati dan produksi CO2 lebih akurat
(Gambar 24-33).35

Shunt
Shunt atau campuran vena adalah bagian darah vena yang kembali ke jantung
yang lolos ke sirkulasi arteri tanpa terkena unit paru yang berventilasi normal. Ada dua
subdivisi utama shunt: extrapulmoner dan pulmoner. Shunt ekstrapulmoner adalah
darah vena yang tidak melewati paru-paru. Ada dua sumber normal shunt ini: pembuluh
darah thebesian di jantung kiri dan sirkulasi bronkial. Sumber tersebut biasanya
mewakili < 1% dari total curah jantung. Jenis shunt ekstrapulmoner abnormal meliputi
defek jantung kongenital dengan komunikasi kanan-kiri.

Gambar 24-34 Garis berat menunjukkan semua kemungkinan nilai alveolar O2


(PAO2) dan CO2 (PaCO2) dengan rasio perfusi ventilasi (V/Q) mulai dari nol
(ke kiri, dasar paru) sampai tak terhingga (ke kanan, puncak paru-paru) untuk
Shunt pulmoner adalah darah vena yang melewati daerah paru-paru dengan
ventilasi alveolar yang menurun atau malah tidak ada. Gambar 24-32A adalah ilustrasi
dari konsep ini dimana shunt dan ruang mati tampaknya tidak terkait. Namun, seperti
banyak ada dalam fisiologi pernafasan, Gambar 24-32 merupakan penyederhanaan yang
berlebihan. Shunt dan ruang mati adalah pencocokan kontinum ventilasi dan perfusi
yang ekstrem (Gambar 24-34).

Gambar 24-35 Diagram disederhanakan tentang efek penurunan saturasi oksigen


vena campuran (v) pada oksigenasi arteri (a). Darah vena campuran melalui daerah
paru berventilasi (ALV), di mana darah dioksigenasi di kapiler paru (c’) atau
melalui daerah paru yang tidak berventilasi (shunt). Penurunan oksigen vena
campuran akibat penurunan curah jantung (Qt) atau peningkatan konsumsi oksigen
(VO2) akan melewati shunt paru dan mengakibatkan penurunan oksigenasi arteri.

Shunt memiliki efek yang besar pada Pao2 namun efeknya terbatas pada Paco2.
Shunt adalah penyebab tersering hipoksemia selama anestesi. Penyebab lainnya adalah
ketegangan oksigen alveolar rendah (mis., hipoventilasi atau konsentrasi O2 terinspirasi
yang rendah [Fio2]) atau penurunan kandungan oksigen vena (mis., curah jantung
rendah) (Gambar 24-35). Fraksi total curah jantung (QT) yaitu shunt (QS) dapat dihitung
dari arteri (CaO2), kapiler paru (Cc'O2) dan kandungan oksigen vena campuran
(pulmoner arterial) (CvO2). Perhitungan kandungan oksigen darah akan dibahas sebagai
berikut.
QS/QT = Cc 'O2 - CaO2/Cc'O2 - CvO2
Hal ini dapat diingat sebagai langkah kecil dalam oksigenasi pada Gambar 24-
35 (Cc 'O2 - CaO2) dibagi dengan langkah besar dalam oksigenasi (Cc'O2 - CvO2), jadi
biasanya fraksi shunt (QS/QT) akan sangat kecil (< .05).

Perbedaan Oksigen Alveolar-Arterial (A-aDO2)


Meskipun konsep shunt sangat penting dan berguna dalam anestesi, jarang
terjadi untuk benar-benar menghitung fraksi shunt pada pasien. Mirip dengan
perhitungan gradien Pa-ETCO2 sebagai monitor perubahan ruang mati, gradien alveolar
(Pao2) terhadap tekanan oksigen arteri (Pao2) (A-aD O2) dapat digunakan sebagai
monitor kasar dari shunt. Gradien A-aDO2 sebanding dengan shunt namun gradien
absolut meningkat saat FIO2 meningkat. Namun, jika FIO2 dan PvO2 (yaitu, curah
jantung dan suhu) tetap relatif konstan, tren A-aDO2 adalah monitor perubahan shunt
yang cukup andal. PAO2 dihitung dari persamaan gas alveolar teoritis "ideal":
PaO2 = PIO2 - Paco2/RQ
Karena volume CO2 yang dihasilkan biasanya kurang dari volume O2 yang
dikonsumsi, maka Paco2 tidak dapat disubstitusi secara langsung. ke dalam persamaan.
Untuk memperkirakan tegangan oksigen aktual pada alveolus ideal, PacO2 dibagi
dengan hasil pernafasan (RQ).
RQ (produksi CO2/konsumsi O2) adalah jumlah tak berdimensi yang bervariasi
sesuai dengan bahan yang dikonsumsi untuk bahan bakar oleh tubuh. Untuk karbohidrat,
perkiraan RQ = 1.0; untuk protein, 0,9 sampai 0,8; dan untuk lemak, 0,7. Nilai
campuran untuk RQ 0,8 biasanya digunakan dalam persamaan ini.
PO2 yang diinspirasi (PIO2) bergantung pada konsentrasi fraksional O2
terinspirasi (Fio2) dan tekanan barometrik (PB) dikurangi tekanan jenuh uap air dalam
alveolus (P H2O), yaitu 47 mmHg:
PIO2 = Fio2 x (PB - P H2O)
Jadi persamaan gas alveolar gabungan menjadi:
Pao2 = [Fio2 x (PB - P H2O)] - Paco2/RQ
Untuk seseorang yang menghirup udara (Fio2 = 0,21) pada permukaan laut
(sekitar PB = 760 mmHg) dengan Paco2 40 mmHg, perhitungan alveolar PO2 ideal
adalah
Pao2 = [0,21 x (760 - 47)] - (40/0.8) = 100 mm Hg
Perhitungan tersebut adalah versi penyederhanaan dari persamaan yang tidak
mengkompensasi perbedaan volume tidal terinspirasi dan ekspirasi namun secara klinis
berguna untuk perhitungan cepat A-aDO2.

Pencocokan Ventilasi dan Perfusi


Karena efek gabungan dari arsitektur parenkim paru dan vaskulatur dan
gravitasi, ada kecocokan ventilasi dan perfusi (VA/Q) di paru-paru. Nilai istirahat khas
pada orang dewasa adalah 4 dan 5 L per menit untuk ventilasi alveolar dan curah
jantung untuk rasio VA/Q sebesar 0,8. Seperti dapat dilihat dari Gambar 24-34,
pencocokan VA/Q ini optimal di daerah paru-paru pusat namun menjadi tidak merata
pada puncak dan dasar paru-paru. Ventilasi tekanan positif, penurunan curah jantung,
atelektasis, dan banyak keadaan penyakit akan semakin mengganggu pencocokan V A/Q
normal.

Gambar24-36 Hubungan antara vasokonstriksi paru hipoksia (HPV) (sumbu vertikal)


dan waktu dalam jam (h) (sumbu horisontal) pada manusia yang terpapar hipoksia
isocapnic (perkiraan terinspirasi PO2 60 mm Hg), dimulai pada 0h dengan kembalinya ke
normoxia pada 8h. Respons HPV diukur sebagai peningkatan tekanan sistolik ventrikel
kanan ekokardiografi. Perhatikan onset HPV dua fase, cepat dan lambat. Perhatikan juga
bahwa setelah HPV berkepanjangan, tekanan paru tidak kembali ke garis dasar selama
beberapa jam.
Vasokonstriksi Pulmonal Hipoksik
Paru memiliki refleks yang unik untuk mencoba dan meminimalkan gangguan
ini pada pencocokan VA/Q. Refleks ini adalah HPV. Arteriola pulmonalis unik karena
mereka akan merespons hipoksemia regional dengan cara menyempit.36 Arteriole pada
pada dasarnya semua jaringan lain di tubuh bervasodilat sebagai respons terhadap
hipoksemia. Refleks ini akan cenderung mengarahkan aliran darah dari daerah paru
yang kurang atau tidak berventilasi ke daerah yang berventilasi lebih baik. Stimulan
utama HPV adalah hipoksia alveolar. HPV dimulai dalam hitungan detik dan bifasik
dengan sebagian besar respon fase cepat yang selesai dalam 20 menit. Fase yang lebih
lambat dimulai setelah sekitar 40 menit dan terus meningkat selama beberapa jam
(Gambar 24-36).37 Perlu dicatat, setelah fase HPV yang lambat dimulai, resolusi HPV
juga akan tertunda. Hal ini memiliki implikasi penting untuk kasus bedah toraks
bilateral yang melibatkan periode berurutan dari ventilasi satu-paru bergantian.
Campuran rendah vena PO2 (PvO2), dan oleh karena itu arteri paru rendah PO2,
akan meningkatkan respons HPV terhadap Fio2 hipoksia namun PvO2 rendah saja tidak
berpengaruh.38 Karena ukuran segmen paru-paru hipoksia meningkat, kenaikan PVR,
ketegangan oksigen vena campuran mulai turun, dan kemampuan HPV untuk shunt
darah ke paru-paru dengan ventilasi yang yang tersisa menjadi terganggu. HPV tetap
utuh meski ada sympathectomy kimiawi, vagotomi bilateral, dan denervasi
kemoreseptor karotid dan aorta.39 Penerima transplantasi paru bilateral mempertahankan
respons vasokonstriksi paru hipoksia mereka.40 HPV ditambah dengan kondisi dan
bahan kimia yang meningkatkan PVR secara global seperti acidemia, hypercapnia,
histamin, serotonin, dan angiotensin II.
Sensor oksigen selular aktual untuk HPV belum ditentukan. Penelitian saat ini
berimplikasi pada mitokondria sel otot polos vaskular paru sebagai lokasi utama.
Sejumlah penelitian biokimia menunjukkan bahwa gangguan selektif kompleks rantai
transpor elektron mitokondria dapat merusak HPV. Tema pemersatu tampaknya
merupakan perubahan akibat hipoksia pada tingkat radikal bebas oksigen dan hidrogen
peroksida dalam sel otot polos. Perubahan ini mempengaruhi pelepasan kalsium dari
retikulum sarkoplasma dan konduktansi membran yang bergantung pada voltase ke
kalium yang mengakibatkan depolarisasi dan kontraksi otot polos, sehingga terjadi
vasokonstriksi.41 Responsnya mungkin melibatkan penurunan produksi oksida nitrat
oleh epitel dan endotel paru.42

Transport Oksigen
Oksigen berdifusi ke dalam plasma darah kapiler paru, didorong oleh gradien
konsentrasinya dari alveolus. Oksigen ini kemudian diambil oleh molekul hemoglobin
(Hb) yang sebagian terdesaturasi dalam sel darah merah dari darah vena campuran
untuk membentuk oksihemoglobin. Karena tingginya afinitas Hb untuk oksigen,
sebagian besar (biasanya > 0,98%) dari total oksigen dalam darah arteri dibawa ke
dalam sel darah merah sebagai oksihemoglobin. Kurang dari 2% disirkulasikan sebagai
oksigen terlarut. Namun, sebenarnya ketegangan oksigen terlarut dalam plasma (Pao2)
yang diukur dalam sampel darah arterial (atau vena [PvO2]). Ada kesetimbangan
dinamis antara oksigen yang terlarut dalam plasma dan yang terikat pada Hb di dalam
sel darah merah. Jumlah oksigen yang terlarut dalam darah berbanding lurus dengan
tekanan parsialnya. Untuk setiap mm Hg PO2, ada 0,003 mL oksigen terlarut per 100
mL darah. Jadi, untuk Pao2 100 mmHg, akan ada 0,3 mL O2 terlarut dalam 100 mL
darah. Ini sebanding dengan kira-kira 20 mL O2 yang terikat pada Hb dalam sel darah
merah dan biasanya tidak penting secara klinis. Namun, oksigen terlarut ini bisa
mendekati 1,5 mL dengan Fio2 dari 1.0 dan secara klinis dapat menjadi lebih penting di
lingkungan hiperbarik.
Hemoglobin dewasa normal (HbA) adalah molekul empat protein dengan dua
rantai α dan dua rantai β. Setiap rantai protein dilekatkan pada satu unit heme (Gambar
24-37). Heme adalah kompleks besi-porphyrin yang mampu mengikat secara reversibel
satu molekul oksigen pada atom besinya (Fe ++). Saat masing-masing dari empat unit
heme mengikat sebuah molekul oksigen, ini menyebabkan perubahan bentuk molekul
Hb yang, pada gilirannya, menyebabkan unit heme lainnya menjadi lebih terpapar.
Hasilnya adalah bahwa setiap molekul oksigen berturut-turut terikat lebih sedikit (atau
lebih banyak) secara ketat dan melepaskan lebih banyak (atau sedikit) dengan mudah.
Jadi pelepasan oksigen oleh Hb saat PO2 di plasma sekitarnya turun (dan sebaliknya,
serapan O2 oleh Hb saat PO2 meningkat) tidak dalam korelasi linier dengan PO2 namun
kurvilinier yang menghasilkan kurva saturasi oksihemoglobin (atau sebaliknya kurva
disosiasi) (Gambar 24-38).
Nilai PO2 dari 40, 50, dan 60 akan sesuai (kira-kira) sampai saturasi 70%, 80%,
dan 90%.
Kandungan oksigen darah dapat dihitung jika Pao2, konsentrasi Hb dalam
darah, dan saturasi persen Hb diketahui. HbO2 murni akan mengandung 1,39 mL/g.
Saturasi Hb dalam sampel darah diukur secara spektrofotometri dengan
membandingkan penyerapan dua panjang gelombang cahaya inframerah dekat yang
berbeda; satu panjang gelombang di mana oksihemoglobin (HbO2) dan
deoksihemoglobin memiliki absorbansi yang hampir sama (biasanya 940 nm) dan satu
di antaranya berbeda (biasanya 660 nm). Oksimetri detak menggunakan prinsip yang
sama namun memperbaiki fase arterial puncak aliran darah kapiler dengan mengurangi
penyerapan aliran vena garis dasar. Analiser gas darah cepat modern sering
memperkirakan saturasi O2 berdasarkan pengukuran PO2 dan kurva oksihemoglobin
standar yang dikoreksi untuk pH.
Kandungan oksigen dalam darah = O2 terlarut + O2 terikat sebagai HbO2
Untuk darah 100 mL = (PO2 x 0,003) + (Konsentrasi Hb x saturasi/100 x 1.39)
Untuk pasien dengan Hb 15 g/dL PO2 dari 100 dan saturasi 99% darah, konten
O2 adalah = (100 x 0,003) + (15 x 0,99 x 1,39) = 0,3 + 20,6 = 20,9 mL O2/100 mL darah.
Darah vena campuran biasanya memiliki saturasi sekitar 70%, sehingga kandungan O2
15 mL/100 mL.

Gambar 24-37 Molekul oksihemoglobin terdiri dari dua protein berpasangan,


untuk hemoglobin A, pasangan tersebut adalah dua rantai α dan dua rantai β.
Setiap rantai globin terikat pada kelompok heme yang mampu mengikat satu
Pergeseran Kurva Desaturasi Oksihemoglobin
Ada beberapa varian normal dan abnormal yang berbeda dari molekul Hb.
Masing-masing molekul Hb yang berbeda ini memiliki kurva desaturasi
oksihemoglobin yang berbeda (lihat Gambar 24-38). Dengan konvensi, untuk
membandingkan kurva ini, PO2 pada titik kejenuhan 50% (P50) digunakan sebagai
referensi. Untuk HbA, P50 adalah 26 mmHg. Hemoglobin janin (HbF) memiliki 2 rantai
α dan 2 rantai γ. Ini adalah bentuk utama Hb yang ada saat lahir dan digantikan oleh
HbA selama 6 bulan pertama kehidupan. HbF memiliki P50 dari 19 sehingga “bergeser
ke kiri” dari HbA. Karena afinitas untuk O2 lebih kuat daripada HbA, O2 lebih disukai
diambil dari darah ibu ke janin. Karboksihemoglobin (COHb) adalah Hb abnormal yang
terbentuk saat karbon monoksida berikatan dengan heme. Karbon monoksida
menggantikan O2 dari heme dan menggeser kurva oksihemoglobin ke ekstrem kiri
sehingga oksigen tidak dilepaskan ke jaringan dan hasil hipoksia seluler. Atom Fe++
dalam heme dapat dioksidasi menjadi Fe+++ oleh berbagai obat dan bahan kimia seperti
nitrat. Ini membentuk tipe Hb yang disebut methemoglobin dan tidak akan mengikat O2.

.
Kurva saturasi oksigen HbA normal bergeser ke kiri atau kanan sekunder
terhadap berbagai perubahan fisiologis. Peningkatan konsentrasi ion hidrogen (H+)
(yaitu penurunan pH serum), peningkatan suhu tubuh (T) dan peningkatan 2,3-
diphosphoglycerate (DPG) menggeser kurva ke kanan. 2,3-DPG adalah senyawa yang
biasanya ada pada sel darah merah yang cenderung menurunkan afinitas Hb untuk O2.
Hal ini meningkat dengan paparan lingkungan rendah O2 (mis., pada ketinggian) atau
anemia. Hal ini dapat diingat sebagai DPG, H+, dan T menggeser kurva saturasi
oksigen Hb ke kanan (riGHT). Dan kebalikannya (penurunan DPG, alkalosis,
hipotermia) menggeser kurva ke kiri. Dalam kebanyakan situasi tekanan fisiologis
(yaitu, hipercarbia, asidosis, dll.), ada baiknya kurva HbO2 bergeser ke kanan dan untuk
meningkatkan oksigen yang terbongkar ke jaringan.
Biasanya tidak ada kapasitas penyimpanan oksigen yang signifikan dalam
tubuh. Ini tidak seperti karbon dioksida, yang memiliki penyimpanan besar di dalam
tubuh (lihat teks berikut). Oksigen seperti bahan bakar roket dan bisa menjadi racun
bagi jika berlebihan dalam waktu lama. Konsumsi oksigen rata-rata orang dewasa kira-
kira 250 mL per menit. Kandungan total oksigen dalam darah mereka akan sekitar 700
sampai 800 mL dan di FRC mereka 500 mL (udara pernapasan). Hipoksia jaringan akan
dimulai dengan sangat cepat jika suplai oksigen terputus. Mencuci FRC dengan Fio 2
dari 1.0 dapat berpotensi memberikan cadangan 2.500 mL O2, persediaan yang cukup
untuk beberapa menit apnea.
Transport Karbon Dioksida
Karbon dioksida (CO2) adalah produk utama metabolisme aerobik protein,
lemak, dan karbohidrat. Karbon dioksida secara moderat larut dalam semua cairan
tubuh (kira-kira 20 kali lebih mudah larut daripada oksigen) dan berdifusi menurunkan
gradien konsentrasinya dari tempat produksi intraselular ke dalam darah kapiler dan
vena. Serupa dengan oksigen, ketegangan CO2 terlarut dalam darah adalah bagian yang
diukur dalam analisis gas darah. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 24-39,
transport CO2 seperti gunung es terbalik dengan CO2 terlarut sebagai satu-satunya
bagian yang terlihat. Tapi, ini hanya sebagian kecil dari total CO2 dalam darah.
Mayoritas karbon dioksida ditransformasikan menjadi ion bikarbonat dalam reaksi
berikut:
CO2 + H2O = H2CO3 = H+ + HCO3-
Langkah pertama reaksi ini lambat dalam plasma tetapi berlangsung dengan
cepat dengan adanya enzim karbonat anhidrase, yang hadir dalam sel darah merah.
Sebagian besar CO2 dalam darah mengikuti jalur ini dan diangkut dalam darah sebagai
bikarbonat (HCO3-) setelah difusi ke dalam sel merah dan konversi enzimatik (Gambar
24-40). Sebagian kecil CO2 diangkut dalam darah digabungkan ke Hb sebagai senyawa
karbamino. Darah dengan saturasi oksihemoglobin lebih rendah (yaitu darah vena)
mampu membawa lebih banyak CO2 daripada darah dengan Hb yang tersaturasi dengan
baik (yaitu, arterial). Ini dikenal sebagai efek Haldane. Efek Haldane rumit dan
melibatkan peningkatan carbamino-CO2 yang dibawa oleh Hb yang terdesaturasi dan
juga peningkatan buffering H+ intraselular oleh Hb terdeoksigenasi, yang kurang asam
dibanding Hb yang beroksigen.
Ada dua efek yang terlibat dalam fisiologi pengangkutan gas dalam darah. Mereka
dapat diingat sebagai berikut:
1. Pergeseran kurva OHb karena perubahan pada H+, efek Bohr: (bOHr)
2. Perubahan transport CO2 karena perubahan saturasi oksigen, efek Haldane (yang
lain)
Karena volume CO2 dalam darah besar dibandingkan dengan volume O2, untuk
perubahan volume gas yang kira-kira sama dalam darah, PCO2 akan berubah jauh lebih
sedikit daripada PO2. Misalnya, volume produksi CO2 kira-kira 0,8 dari konsumsi
oksigen. Namun, perbedaan PCO2 antara darah vena dan arteri biasanya hanya 5 mmHg,
sedangkan perbedaan antara PO2 arteri dan Aliran hidrogen berlebih (H+) yang
dihasilkan dalam sel darah merah ditransfer ke vena biasanya 60 mmHg.

Kemoreseptor Perifer
Kemoreseptor perifer terletak terutama pada bifurkasi arteri karotid dan juga
pada aorta di atas dan di bawah arkus aorta. Kemoreseptor ini berfungsi sebagai sistem
cadangan dan pada individu normal tidak memiliki peran utama dalam mengendalikan
ventilasi. Reseptor ini diinervasi oleh Nervus kranialis, yaitu melalui Nervus
glossopharyngeal (N. IX) dan aorta melalui Nervus vagus (N. X). Meskipun ada
beberapa aktivitas tonik dari kemoreseptor perifer ini, reseptor ini biasanya tidak
merangsang ventilasi sampai PaO2 turun di bawah ambang batas sekitar 70–80 mmHg.
Ambang batas ini akan diturunkan pada individu yang disesuaikan dengan ketinggian
dan beberapa penyakit jantung hipoksik pernapasan atau bawaan. Stimulus saraf dari
kemoreseptor perifer memiliki dua tindakan pelengkap untuk meningkatkan ventilasi.
Terutama, ada efek langsung pada neuron pernapasan meduler. Kedua, ada efek untuk
meningkatkan kepekaan terhadap stimulus kemoreseptor pusat terhadap pH CSF.
Kemoreseptor perifer juga sensitif terhadap perubahan pH arteri dan PaCO2, dan
asidosis akan meningkatkan dorongan hipoksia. Dorongan hipoksia karena
kemoreseptor perifer berkurang oleh anestesi volatil.

Sambungan Neural Lainnya ke Pusat Respirasi Medullary


Seluruh saluran napas dari lapisan mukosa hidung dan mulut ke bronkus distal
memiliki koneksi neuron aferen dan eferen ke neuron pernafasan sentral. Hubungan ini
bertanggung jawab untuk banyak refleks pernafasan normal seperti pelebaran inspirasi
fasik jalan nafas atas selama inspirasi untuk mempertahankan patensi jalan nafas supra-
glotis. Aktivitas refleks ini mudah didapat dengan obat penenang CNS dan bertanggung
jawab atas sebagian besar hambatan saluran napas bagian atas yang terlihat saat anestesi
dan senyawa penyumbatan jalan napas pada pasien dengan apnea tidur obstruktif
(OSA). Iritan di jalan nafas memicu batuk dan refleks bersin melalui koneksi neuronal
ini.
Peregangan pasif paru-paru dapat menyebabkan penghambatan inspirasi
(Herring-Breuer reflex) atau megap-megap (refleks Kepala) tergantung pada konteks
klinisnya. Kapiler pulmonal yang padat diinervasi oleh saraf unmyelinated (C serat).

Pola Napas Abnormal


Pola nafas yang tidak normal jarang terjadi. Ada beberapa pola abnormal yang
diketahui yang melibatkan disfungsi kemoreseptor pusat. Sindrom hipoventilasi alveolar
primer adalah ketidakpekaan bawaan dari kemoreseptor pusat terhadap perubahan pH
CSF. Ini menghasilkan apnea dan hipoventilasi, terutama saat tidur. Hal ini dapat
diobati dengan ventilasi noninvasif dan diaphragmati. Pernafasan Cheyne-Stokes adalah
pola periode apnea 10 sampai 20 detik yang diikuti oleh periode hiperventilasi. Hal ini
terlihat pada beberapa pasien dengan SSP atau penyakit parah dan juga selama adaptasi
ke ketinggian. Hal ini disebabkan oleh interval respons yang tertunda di pusat
kemoreseptor. Cheyne-Stokes adalah bentuk pernafasan periodik yang paling parah,
yang terlihat pada tingkat tertentu pada neonatus dan orang tua dan saat tidur di segala
usia.

Perubahan Kondisi Fisiologis


Anestesi
Nunn47 menunjukkan bahwa selama anestesi dan ventilasi spontan, pertukaran
gas diubah oleh rasio V / Q shunt dan inhomogeneous. Dia menyimpulkan dari
pengamatannya bahwa kisaran normal Pao2 dapat dipertahankan jika alveolar PO2
(PaO2) paling sedikit 200 mmHg, yang memerlukan FiO2 minimal 35%. Brismar dan
rekannya pada tahun 1985 menunjukkan dengan menggunakan CT-Scan bahwa dalam
waktu 5 menit setelah induksi anestesi, daerah-daerah yang bergantung pada paru
mengembangkan peningkatan densitas yang sesuai dengan atelektasis. Sekarang
diterima bahwa ini terjadi di daerah paru-paru yang bergantung pada sekitar 90% pasien
yang menjalani anestesi umum dengan menggunakan berbagai macam agen. Anestesi
epidural mungkin merupakan satu modalitas yang tampaknya menyebabkan atelektasis
sangat kecil dan tidak ada perubahan pada pencocokan VA atau Q atau oksigenasi.
Temuan yang hampir universal tentang penurunan fungsi paru-paru yang cepat
pada induksi anestesi dan kembalinya fungsi normal yang cepat setelah penghentian
PEEP telah menyebabkan kesimpulan bahwa atelektasis disebabkan oleh kompresi
jaringan paru-paru daripada penyerapan gas alveolar di balik jalan napas yang
tersumbat. Studi fluoroskopi oleh Froese dan Bryan mendapatkan bahwa gerakan
diafragma sukarelawan pernapasan spontan menunjukkan bahwa pada posisi telentang,
bagian bergantung pada diafragma memiliki perpindahan terbesar dengan setiap napas.
Inisiasi kelumpuhan dengan agen pemblokir neuromuskular dan ventilasi tekanan
positif menciptakan pembalikan gerakan ini dengan aspek nondependen atau superior
dari diafragma yang mengalami perpindahan terbesar dengan setiap napas berventilasi.
Absorpsi atelektasis dapat terjadi bila laju pengambilan gas ke dalam darah
melebihi laju ventilasi alveolus. Kondisi ekstrim adalah oklusi total saluran napas yang
mengisolasi gas alveolar di alveolar distal dan saluran pernafasan. Tekanan gas di dalam
kompartemen ini pada awalnya hampir mendekati tekanan atmosfer. Namun, karena
darah vena campuran terus menyempurnakan daerah ini, dan fakta bahwa jumlah
tekanan parsial gas dalam darah vena campuran adalah subatmosfer, pengambilan gas
dari kompartemen yang tersumbat oleh darah berlanjut dan alveoli ambruk. Pemodelan
komputer telah menunjukkan bahwa tingkat penyerapan gas dari daerah yang tidak
berventilasi bergantung pada FiO2 awal. Namun, dalam banyak situasi klinis, jalan
napas tidak sepenuhnya tersumbat namun ventilasi ke daerah menjadi sangat berkurang.
Jika rasio VA / Q yang diilhami dari unit pernafasan berkurang, sebuah titik tercapai
dimana tingkat di mana gas terinspirasi memasuki alveolus benar-benar diimbangi oleh
pengambilan gas ke dalam darah. Jika rasio VA/Q turun di bawah titik ekuilibrium
kritis ini, volume penurunan dan penurunan alveolus terjadi kemudian.
Hilangnya surfaktan alveolar dapat berperan dalam ketidakstabilan alveolar pada
volume alveolar rendah dan kolaps. Kecepatan keruntuhan alveolar setelah manuver
rekrutmen alveolar dan penghentian PEEP menunjukkan bahwa atelektrik per se dapat
mengganggu produksi surfaktan. Oleh karena itu, daerah atoten paru mungkin
cenderung mengalami kekambuhan keruntuhan karena tingkat surfaktan yang
berkurang, peningkatan tegangan permukaan alveolar, dan mekanisme yang disebutkan
di atas, semuanya berkontribusi terhadap volume alveolar yang berkurang.

Posisi
Pada pasien bernafas secara spontan, terjaga atau selama anestesi, mayoritas pertukaran
gas disebabkan oleh perpindahan kaudal diafragma, yang terjadi terutama di bagian
dorsal toraks. Selama anestesi dan kelumpuhan mendalam, diafragma menjadi relatif
lembek. Berat isi perut menempel secara kranial pada diafragma dorsal dan selama
inspirasi, dengan ventilasi tekanan positif, gas secara istimewa mendistribusikan ke
bagian ventral ventrikel yang sekarang lebih patuh. Distribusi perfusi sebagian besar
tetap tidak berubah dengan dominasi ke pusat dan dependen. bagian paru-paru. Dengan
demikian, pencocokan ventilasi / perfusi menurun dengan induksi anestesi dan
selanjutnya mengalami penurunan dengan kelumpuhan dan ventilasi tekanan positif.
Penambahan tingkat PEEP yang rendah (10 cm H2O) biasanya akan memperbaiki
ketidakcocokan ini oleh daerah paru-paru ventral yang sedikit overdistending tapi
memindahkan daerah paru-paru yang tergantung ke bagian kurva tekanan-volume yang
lebih sesuai.
Selama anestesi dan ventilasi tekanan positif pada posisi rawan, sebagian besar
perpindahan diafragma selama inspirasi akan tetap berada di bagian dorsal dari toror
dan ventilasi akan didistribusikan secara lebih homogen di paru-paru dibandingkan
dengan posisi terlentang. Pencocokan ventilasi dengan perfusi biasanya akan lebih
unggul dalam posisi rawan bila dibandingkan dengan posisi telentang. Namun, tidak
seperti posisi telentang, penambahan PEEP dalam posisi rawan dapat menyebabkan
kerusakan pada pencocokan ventilasi/perfusi. Hal ini berlaku untuk pasien dengan paru-
paru normal. Ini tidak seperti situasi pada pasien dengan ARDS. Pada pasien ini dalam
posisi terlentang, edema paru dikumpulkan di parenkim bagian dorsal paru-paru.
Kombinasi posisi rawan dan PEEP dapat menyebabkan pencocokan ventilasi yang lebih
baik dengan perfusi, walaupun efek ini mungkin bersifat sementara. Efek dari posisi
lateral akan dibahas di bagian "Ventilasi Satu-Paru".

Kegemukan
Meningkatnya berat isi perut dan dinding dada memberlakukan pola ventilasi
restriktif pada sistem pernapasan dengan penurunan semua volume paru-paru namun
pelestarian rasio FEV1 / FVC. Hal ini terutama penting bagi ahli anestesi karena
terjatuhnya FRC, yang menyebabkan peningkatan shunt venoarterial dan
kecenderungan untuk desaturasi selama induksi dan pemeliharaan anestesi dan pada
periode pasca operasi. FRC dari seorang pasien Indeks Massa Tubuh (BMI) yang
mengalami obesitas 30 kg / m2 akan 75% diprediksi untuk orang yang sama tetapi
dengan BMI 20 dan untuk pasien dengan BMI. FRC akan menjadi, 66 % diprediksi
Studi awal PEEP selama anestesi pada pasien obesitas menunjukkan hasil yang beragam
dalam hal meningkatkan oksigenasi. Hal ini disebabkan pesatnya perkembangan
atelektasis pada pasien ini dan ketidakmampuan PEEP, dengan sendirinya, untuk
memperbaiki atelektasis. Tantangan dalam penanganan pernafasan pasien obesitas
secara perioperatif adalah meminimalkan kejatuhan FRC. Hal ini dapat dilakukan
dengan berbagai metode termasuk penggunaan anestesi regional / analgesia,
menghindari long-acting muscle relaxant, positioning, dan penggunaan CPAP
postoperatif.

Sleep-Disordered Breathing
Sekitar 20% populasi memiliki gangguan pernafasan saat tidur mulai dari mendengkur
sederhana hingga OSA. Kelainan ini semuanya melibatkan derajat obstruksi jalan nafas
dan apnea bagian atas selama tidur normal. OSA didefinisikan oleh lebih dari lima
episode per jam apnea, masing-masing 10 detik. Hal ini sering dikombinasikan dengan
periode hypopnea pada sleep apnea hypopnea syndrome (SAHS). OSA dapat
diperburuk dengan pergeseran cairan ke tubuh bagian atas dari kaki saat tidur pada
pasien dengan gaya hidup tidak berpindah-pindah. Gangguan tidur normal
menyebabkan somnolen pada siang hari dan periode hipoksia dapat menyebabkan
morbiditas kardiovaskular. Perawatan mungkin termasuk penurunan berat badan,
perangkat CPAP, dan operasi saluran napas bagian atas. Sindrom hipoventilatasi
obesitas adalah kombinasi antara obesitas, hipoventilasi, dan OSA berat, yang disebut
sindrom Pickwickian.

Olahraga
Konsumsi oksigen normal saat istirahat sekitar 200 sampai 250 mL per menit (3 sampai
4 mL / kg p er menit) untuk orang dewasa; Ini disebut satu ekivalen metabolik (MET).
Berjalan cepat atau mendaki satu anak tangga memerlukan 4 METs, bowling 8 ME Ts,
dan ski lintas alam yang kompetitif 14 METs. Pendayung Olimpiade, pemain ski, dan
pesepeda dapat melebihi konsumsi oksigen 80 mL / kg p menit (20 METs). Untuk
mencapai peningkatan konsumsi oksigen ini memerlukan peningkatan yang serasi
dalam ventilasi menit dan curah jantung.

Gambar 24-42. Setiap gambar mewakili CT-Scan 1 cm di atas diafragma pada tiga
pasien obesitas selama prosedur anestesi berlangsung. Pasien pada gambar paling atas
mendapatkan tekanan PEEP sebesar 10 cm H2O. Pasien pada gambar tengah
mendapatkan tekanan RM sebesar 33 cm H2O x 10 detik setelah induksi ditambah
tekanan PEEP sebesar 10 cm H2O. Pasien pada gambar paling bawah mendapatkan RM
diikuti dengan ZEEP
Pada titik tertentu, peningkatan ventilasi dan curah jantung tidak akan mampu memasok
oksigen yang cukup ke jaringan metabolisme aerobik dan peningkatan aktivitas otot
lebih lanjut akan memerlukan metabolisme anaerob yang menghasilkan asam laktat. Th
disebut ambang anaerobik. Hal ini paling sering akumulasi laktat dalam jaringan yang
menyebabkan disfungsi otot yang membatasi latihan berkepanjangan dan tidak terbatas
pada ventilasi menit atau curah jantung. Latihan latihan meningkatkan konsumsi
oksigen maksimal (VO2max), ambang anaerobik, dan toleransi asidosis laktat. Tes
latihan adalah prosedur medis yang mapan untuk mengukur VO2max pasien atau untuk
membedakan antara keterbatasan pernafasan dan jantung pada kapasitas berolahraga.
VO2max telah terbukti menjadi tes pra operasi yang berguna untuk mengidentifikasi
pasien dengan peningkatan risiko komplikasi dari operasi reseksi paru (VO2max pra
operasi, 15 sampai 20 mL / kg per menit) namun belum divalidasi untuk jenis prosedur
bedah lainnya.15 Perkiraan berguna VO2max pasien PPOK dapat dilakukan dari jarak
maksimal yang dapat mereka tempuh dalam 6 menit "uji coba 6 menit" (6MWT).

Tekanan Barometrik yang Diubah


Ketinggian: PO2 ambien menurun secara proporsional karena tekanan
barometrik turun dengan kenaikan ketinggian. PO2 adalah 149 mmHg di permukaan
laut, 122 pada ketinggian 5.000 kaki (misalnya, Denver), dan mungkin serendah 108
mm Hg di sebuah pesawat komersial yang bertekanan sampai 8.000 kaki (setara dengan
ketinggian yang diijinkan). Sebagai perbandingan, di puncak Gunung Everest, PO2
adalah 47 mm Hg (63.000 kaki) Ada adaptasi akut dan kronis terhadap hipoksia yang
terkait dengan ketinggian. Terutama, adaptasi cepat melibatkan hiperventilasi, didorong
oleh kemoreseptor perifer untuk menurunkan PCO2 alveolar dan dengan demikian
meningkatkan PaO2 alveolar. Alkalinisasi sekunder darah dan CSF kembali normal
setelah beberapa hari di ketinggian seperti bikarbonat diekskresikan. Tekanan pulmonal
yang meningkat akibat HPV yang dipicu oleh hipoksia dapat menyebabkan edema paru
dengan ketinggian tinggi. Hal ini dapat diobati dengan oksigen, diuretik, dan vasodilator
paru. Peningkatan aliran darah serebral akibat hipoksia ditentang sebagian oleh
vasokonstriksi serebral akibat hypocapnia namun dapat menyebabkan edema serebral.
Aklimatisasi kronis terhadap ketinggian melibatkan berbagai perubahan seluler dan
metabolik seperti pengaturan ulang kemoreseptor dan polisitemia perifer.
Anestesi pada elevasi ringan umumnya tidak rumit asalkan saturasi oksigen
dipantau dan oksigen tambahan yang adekuat disediakan. Ini bisa menjadi masalah
dengan nitrous oxide. Sebagian besar alat penguap komersial modern memberikan dosis
anestesi volatil yang cukup akurat pada ketinggian yang sederhana (6.000 kaki)
Tekanan pada manset terisi udara dari tabung endotrakea atau jalan nafas topeng laring
akan meningkat dan turun secara signifikan dengan perubahan tekanan di sekitarnya,
yang mungkin terkait dengan transportasi udara medis.
Oksigen hiperbarik dalam praktik medis disampaikan dalam ruangan yang
bertekanan hingga 2 sampai 3 kali tekanan atmosfir (ATM) (yaitu 1.400 sampai 2.100
mmHg). Perawatan diberikan dengan FiO2 yang tinggi, biasanya dari masker ketat
selama beberapa jam dan diulang sesuai kebutuhan. Indikasi meliputi emboli gas,
penyakit dekompresi, infeksi jaringan lunak nekrotikanat, dan keracunan karbon
monoksida. Pada tingkat FiO2 yang tinggi, di atas 2 ATM, hipoksia dapat menyebabkan
kejang. Paparan yang terlalu lama pada PaO2 menyebabkan toksisitas paru-paru paru
dan penyakit paru-paru yang membatasi. PaO2 tinggi di neonatus dapat menyebabkan
fibroplasia retrolental, merusak retina mata.

Usia
Bayi dan anak-anak: Keseluruhan kepatuhan terhadap sistem pernapasan rendah
pada bayi baru lahir dan meningkat sampai usia remaja. Alveoli saat lahir memiliki
jumlah elastin lebih rendah daripada orang dewasa dan jumlah surfaktan yang menurun
yang menyebabkan penurunan kepatuhan paru-paru. Namun, kepatuhan dinding dada
pada bayi baru lahir dan bayi sangat tinggi karena tidak adanya osifikasi tulang rawan.
Ini merupakan predisposisi bayi terhadap penurunan FRC selama anestesi. Dalam
keadaan terjaga, FRC dipertahankan di atas CC pada bayi dengan laju pernafasan yang
cepat. Otot pernafasan pada bayi memiliki persentase jenis serat tipe I yang leuklearing
dan mereka lebih rentan terhadap kelelahan pernafasan. Semua saluran udara secara
proporsional lebih kecil pada bayi dibandingkan orang dewasa dan resistensi saluran
napas lebih tinggi, sehingga meningkatkan kerja pernapasan saat istirahat dan terutama
selama infeksi saluran napas atas atau bawah (mis., Croup). Bagian tersempit dari jalan
napas atas adalah pada tulang rawan krikoid sampai usia 5 tahun.
Pengendalian pernapasan pada bayi baru lahir itu unik. Hipoksia awalnya
menyebabkan peningkatan ventilasi, seperti pada orang dewasa, namun kemudian
menyebabkan penurunan ventilasi. Hal ini lebih banyak dibesar-besarkan pada bayi
prematur. Konsumsi oksigen lebih tinggi pada bayi baru lahir dibandingkan orang
dewasa (6 – 8 mL / kg / m inute). HbF mendominasi saat lahir sampai usia 3 sampai 6
bulan. HbF hemoglobin memiliki P50 rendah (18 sampai 19 mmHg), yang
meningkatkan pemuatan oksigen di plasenta namun menurunkan muatan oksigen ke
dalam jaringan.
Lansia: perubahan pada sistem pernafasan dengan usia meliputi penurunan tonus
otot pada dilator faring, yang menyebabkan sumbatan saluran napas bagian atas selama
anestesi. Ada hilangnya tempat tidur vaskular paru, yang berakibat pada peningkatan
PVR dan 30% meningkat pada tekanan arteri pulmonalis rata-rata dan peningkatan
ruang mati alveolar. Parenkim paru kehilangan jaringan pendukung elastis yang
mengakibatkan peningkatan kepatuhan paru-paru, namun dinding dada meningkat
dalam kekakuan sehingga efek bersihnya adalah penurunan keseluruhan pada kepatuhan
sistem pernapasan. Dengan hilangnya dukungan struktural saluran udara perifer, CC
meningkat secara signifikan; Inilah perubahan yang memiliki implikasi anestesi utama.
Jatuhnya FRC di bawah CC menyebabkan peningkatan shunt venoarterial dan
bertanggung jawab atas penurunan PaO2 seiring bertambahnya usia. Rata-rata PaO2
pasien yang sehat akan menurun menjadi sekitar 80 mmHg pada usia 70, setelah itu
tetap stabil. Responsivitas dari kemoreseptor sentral dan perifer terhadap hiperkarbia
dan hipoksemia menurun seiring bertambahnya usia.

Penyakit Pernapasan Kronis


Penyakit pernafasan kronis umumnya dibagi menjadi dua kategori utama:
obstruktif dan restriktif. Pada penyakit obstruktif, rasio FEV1 / FVC biasanya kurang
dari normal (80%) dengan FEV1 yang meningkat. Penyakit pembatas biasanya
memiliki rasio FEV1 / FVC normal dan FEV1 menurun. Ada beberapa tumpang tindih,
dengan beberapa pasien (mis., Cystic fibrosis) menunjukkan pola obstruktif / restriktif.
Tingkat keparahan penyakit ini dapat dinilai menurut FEV1 sebagai persen dari nilai
prediksi: ringan, FEV1> 70%; sedang, 50% sampai 70%; parah, 30% sampai 50%; dan
sangat parah, 30%.
PPOK menggabungkan tiga kelainan: emfisema, penyakit saluran pernafasan,
dan bronkitis kronis. Setiap pasien mungkin memiliki satu atau semua kondisi ini,
namun ciri klinis yang dominan adalah penurunan aliran udara ekspirasi. Harapan hidup
mungkin kurang dari 3 tahun pada pasien PPOK berat 60 tahun. Pasien PPOK ringan
tidak boleh mengalami dyspnea, hipoksemia, atau hiperkarbia yang signifikan dan
penyebab lainnya harus dipertimbangkan jika ada.
Beberapa pasien COPD sedang dan berat memiliki peningkatan PaCO2 saat
istirahat. Tidak mungkin untuk membedakan "penghambat CO2 ini" dari orang-orang
yang tidak berkeringat berdasarkan sejarah, pemeriksaan fisik, atau pengujian fungsi
paru spirometrik. Retensi CO2 tampaknya terkait dengan ketidakmampuan untuk
mempertahankan peningkatan kerja pernapasan (Wresp) yang diperlukan untuk menjaga
agar PaCO2 normal pada pasien dengan fungsi paru tidak efisien secara mekanis dan
tidak terutama karena adanya perubahan mekanisme kontrol pernafasan. PaCO2
meningkat pada pasien-pasien ini ketika suplemen FiO2 diberikan karena penurunan
elektif ventilasi alveolar dan peningkatan ruang mati alveolar dan shunt oleh redistribusi
perfusi jauh dari daerah paru-paru dengan V / Q yang relatif normal yang sesuai dengan
area yang sangat rasio V / Q rendah karena HPV regional menurun dan juga karena efek
Haldane. Namun, oksigen tambahan harus diberikan kepada pasien ini setelah operasi
untuk mencegah hipoksemia yang terkait dengan penurunan FRC yang tidak dapat
dihindari. Peningkatan petugas di PaCO2 harus diantisipasi dan dipantau. Untuk
mengidentifikasi pasien ini sebelum operasi, semua pasien PPOK sedang atau berat
memerlukan analisis gas darah arterial. Juga, penting untuk mengetahui baseline pra-
operasi PaCO2 pasien untuk memandu penyapihan jika ventilasi mekanis menjadi
penting pada periode pascaoperasi.
Pasien PPOK lebih desaturasi lebih sering dan lebih parah daripada pasien
normal selama tidur. Hal ini disebabkan oleh pola pernapasan cepat / dangkal yang
terjadi pada semua pasien selama tidur REM. Pada pasien PPOK yang menghirup
udara, ini menyebabkan peningkatan yang signifikan pada rasio ruang mati / pasang
surut (VD / VT) respiratori dan penurunan tekanan oksigen alveolar (PaO2) dan PaO2.
Ini bukan SAHS. Tidak ada peningkatan kejadian SAHS pada PPOK.
Disfungsi ventrikel kanan terjadi pada hingga 50% pasien COPD sedang sampai
berat.69 Ventrikel kanan disfungsional tidak toleran terhadap peningkatan afterload
yang tiba-tiba seperti perubahan dari ventilasi spontan ke ventilasi terkontrol. Fungsi
ventrikel kanan menjadi penting dalam mempertahankan curah jantung saat tekanan
arteri pulmonalis meningkat. Fraksi ejeksi ventrikel kanan tidak meningkat dengan
latihan pada pasien COPD seperti pada pasien normal. Hipoksemia rekuren kronis
adalah penyebab disfungsi ventrikel kanan dan perkembangan selanjutnya ke cor
pulmonale. Pasien yang mengalami hipoksemia episodik meskipun paru-paru normal
(misalnya, hipoventilasi alveolar sentral, SAHS) mengembangkan masalah jantung
sekunder yang sama dengan pasien COPD. Satu-satunya terapi yang telah terbukti dapat
memperbaiki kelangsungan hidup jangka panjang dan mengurangi tekanan jantung
kanan pada COPD adalah oksigen tambahan. Pasien COPD yang telah beristirahat PaO 2
kurang dari 55 mmHg harus menerima oksigen rumah tambahan dan juga mereka yang
tidak memenuhi syarat untuk berolahraga kurang dari 44 mmHg. Tujuan oksigen
tambahan adalah mempertahankan PaO2 60 sampai 65 mmHg. Dibandingkan dengan
pasien dengan bronkitis kronis, pasien COPD emphysematous cenderung mengalami
penurunan curah jantung dan tekanan oksigen vena campuran sambil mempertahankan
tekanan arteri pulmonal yang lebih rendah.
Banyak pasien dengan COPD sedang atau berat akan mengembangkan ruang
kistik udara di parenkim paru yang dikenal dengan bullae. Banggai ini sering
asimtomatik kecuali jika mereka menempati lebih dari 50% hemithorax, dimana pasien
akan hadir dengan temuan penyakit pernafasan yang terbatas disamping penyakit
obstruktifnya. Bulla adalah daerah terlokalisasi dari hilangnya jaringan pendukung
struktural di paru-paru dengan rekahan elastis parenkim sekitarnya. Tekanan pada bulla
sebenarnya adalah tekanan rata-rata pada alveoli sekitarnya yang rata-rata selama siklus
pernafasan. Ini berarti bahwa selama ventilasi spontan normal, tekanan intra-bulla
sebenarnya sedikit negatif jika dibandingkan dengan parenkim sekitarnya. Namun,
setiap kali ventilasi tekanan positif digunakan, tekanan pada bulla akan menjadi positif
dalam kaitannya dengan jaringan paru-paru yang berdekatan dan bulla akan
berkembang dengan risiko pecah, ketegangan pneumotoraks, dan fistula bronkopleural.
Ventilasi tekanan positif dapat digunakan dengan aman pada pasien dengan bullae
sehingga tekanan saluran udara dijaga tetap rendah dan ada keahlian dan peralatan yang
memadai segera tersedia untuk memasukkan lubang dada dan mendapatkan isolasi paru
jika perlu. Karena kelarutan nitrogen yang lebih rendah dalam plasma dibandingkan
dengan nitrous oxide, bila dimilikinya dikonversi dari menghirup udara hingga
menghirup campuran yang mengandung nitrous oxide selama anestesi, oksida nitrat
akan berdifusi menjadi bulla lebih cepat daripada nitrogen yang dapat diserap dan bulla.
akan meningkat dalam ukuran dengan risiko pecahnya petugas. Pasien PPOK yang
parah seringkali "flow-limited" bahkan saat kadaluarsa kadaluarsa saat istirahat.
Pembatas aliran hadir pada pasien normal hanya selama manuver ekspirasi paksa.
Pembatas aliran terjadi saat EPP berkembang di saluran napas intrathoracic saat
kadaluarsa. Selama masa kadaluarsa pada pasien normal, tekanan pada lumen saluran
udara selalu melebihi tekanan intrapleural karena tekanan elastis elastis yang dikirim
dari alveoli. Efek dari tekanan mundur elastis ini berkurang saat udara mengalir ke hilir
di jalan napas.

Gambar 24-43. Penampang CT-Scan coronal pada pasien dengan bula lobus
inferior bilateral. Selama prosedur pemberian ventilasi tekanan positif, risiko
pecahnya bula dan tension pneumotoraks harus selalu diwaspadai

Dengan berakhirnya paksa, tekanan intrapleural mungkin sama dengan tekanan


intraluminal pada titik tertentu, EPP, yang kemudian membatasi aliran ekspirasi.
Kemudian, setiap peningkatan usaha ekspirasi tidak akan menghasilkan peningkatan
arus pada volume paru-paru yang diberikan. Pembatasan aliran terjadi terutama pada
pasien emphysematous, yang terutama memiliki masalah dengan kehilangan rekurensi
elastik paru dan memiliki dispnea yang ditandai saat beraktivitas. Keterbatasan aliran
menyebabkan dyspnea karena stimulasi mekanik pada otak respirasi, sangkar toraks,
dan di jalan napas distal ke EPP. Setiap peningkatan kerja respirasi akan menyebabkan
peningkatan dyspnea. Variabel kompresi mekanis saluran napas oleh alveoli
overinflated adalah penyebab utama obstruksi aliran udara pada emfisema. Pasien
dengan aliran sangat terbatas beresiko mengalami keruntuhan hemodinamik dengan
penerapan ventilasi tekanan positif karena hiperinflasi dinamis pada paru-paru. Bahkan
tekanan udara positif yang sederhana yang terkait dengan ventilasi manual dengan tas /
masker pada induksi dapat menyebabkan hipotensi karena pasien ini tidak mengalami
peningkatan ketahanan terhadap inspirasi namun merupakan tanda penghentian
kadaluarsa. Pada beberapa pasien ini, ini telah berkontribusi pada sindrom "Lazarus" di
mana pasien telah pulih dari serangan jantung hanya setelah resusitasi dan ventilasi
tekanan positif dihentikan.
Pasien dengan PPOK berat sering bernapas dalam pola yang mengganggu
kadaluarsa sebelum tekanan alveolar telah turun ke tekanan atmosfer. Kedaluwarsa
yang tidak sempurna ini disebabkan oleh faktor om omeksi antara faktor yang meliputi
flowlimitasi, peningkatan kerja respirasi dan peningkatan hambatan saluran napas.
Gangguan ini menyebabkan peningkatan volume paru ekspirasi akhir di atas FRC.
PEEP ini di alveoli saat istirahat telah disebut auto-PEEP atau intrinsic-PEEP. Selama
respirasi spontan, tekanan intrapleural harus diturunkan ke tingkat yang melawan auto-
PEEP sebelum aliran inspirasi dapat dimulai. Dengan demikian, pasien PPOK dapat
memiliki peningkatan beban inspirasi yang ditambahkan pada beban ekspirasi mereka
yang sudah meningkat.
Auto-PEEP menjadi lebih penting lagi selama ventilasi mekanis. Ini berbanding
lurus dengan volume tidal dan berbanding terbalik dengan waktu ekspirasi. Kehadiran
auto-PEEP tidak terdeteksi oleh manometer ventilator anestesi standar. Hal ini dapat
diukur dengan gangguan arus ekspirasi, yang tersedia pada ventilator perawatan
intensif. Auto-PEEP telah ditemukan berkembang pada kebanyakan pasien PPOK
selama anestesi satu paru.
Penyakit paru-paru yang membatasi seringkali merupakan bagian dari proses
penyakit multisistemik seperti gangguan jaringan ikat. Pada sebagian kecil pasien, tidak
ada penyakit sistemik lain (yaitu, fibrosis paru idiopatik). Pasien seringkali lebih lemah
dengan penyakit yang mendasarinya (misalnya, rheumatoid arthritis) dibandingkan
penyakit paru-paru mereka. Pasien dengan penyakit paru restriktif ringan sampai sedang
secara umum, kurang merupakan masalah bagi ahli anestesi untuk mengelola
intraoperatif (dibandingkan dengan COPD) dan lebih banyak masalah pasca operasi.
Karena penurunan FRC pada penyakit restriktif, pasien ini cenderung mengembangkan
shunt meningkat selama anestesi dan pasca operasi. Restorasi FRC pasca operasi
biasanya merupakan masalah dan penggunaan anestesi / analgesia regional, opioid
short-acting dan pelemas otot, dan ventilasi noninvasif seringkali bermanfaat pada
pasien dengan penyakit restriktif.

Ventilasi Satu Paru


Ventilasi satu paru (OLV) dilakukan selama operasi toraks untuk memudahkan
paparan bedah di dada. OLV biasanya diperoleh dengan penempatan tabung

Gambar 24-44. A: Jaring laba-labar terlihat pada kotak kayu, pada hari yang cerah sebagai
salah satu model untuk menggambaran patofisiologi dari bula. B: memutus satu helai bagian
dapat menyebabkan bula mendapatkan tarikan yang lebih kuat pada bagian sejajar dengan
tempat kerusakan

endobronkial double-lumen atau penghambat bronchial dengan tabung endotrakeal


standard. Selama OLV, ahli anestesi memiliki tujuan unik dan sering bertentangan
untuk memaksimalkan atelektasis di paru-paru yang tidak berventilasi untuk
memperbaiki akses bedah saat mencoba menghindari atelektasis di paru-paru
berventilasi (biasanya paru-paru yang bergantung) untuk mengoptimalkan pertukaran
gas. Campuran gas di paru yang tidak berventilasi segera sebelum OLV memiliki efek
yang signifikan terhadap kecepatan keruntuhan paru ini. Karena kelarutan gas darah
rendahnya, nitrogen (atau campuran udara-oksigen) akan menunda keruntuhan paru-
paru ini. Ini terutama masalah pada awal operasi torasik minimal invasif ketika
visualisasi bedah pada hemithorax operasi terbatas dan pada pasien dengan emfisema
yang telah menunda jatuhnya paru-paru yang tidak berventilasi karena penurunan
rekurensi elastis paru-paru. Penting untuk mencekal paru-paru operasi secara
menyeluruh, dengan ventilasi dengan oksigen, segera sebelum dibiarkan runtuh.
Meskipun oksida nitrat bahkan lebih efektif daripada oksigen dalam mempercepat
kolaps paru (karena kelarutannya), obat ini biasanya tidak digunakan dalam anestesi
toraks karena banyak pasien mungkin memiliki blebs atau bullae. Selama periode
anestesi dua paru sebelum dimulainya OLV, atelektasis akan berkembang di paru-paru
yang bergantung. Hal ini berguna untuk melakukan manuver perekrutan ke paru-paru
yang bergantung (serupa dengan manuver Valsava, menahan paru-paru pada tekanan
inspirasi akhir 20 cm H2O selama 15 sampai 20 detik) segera setelah dimulainya OLV
untuk menurunkan atelektasis ini. Perekrutan penting untuk mempertahankan tingkat
PaO2 selama OLV berikutnya adalah terjadinya hipoksemia selama OLV.

Gambar 24-45. Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi aliran darah pulmonal selama
ventilasi satu paru. Hypoxic pulmonary vasoconstriction (HPV) dan kolapsnya paru yang
tidak digunakan untuk ventilasi, dapat meningkatkan Pulmonary Vascular Resistance
Perhatian utama yang mempengaruhi manajemen anestesi untuk operasi toraks
(PVR), menyebabkan distribusi darah hanya mengarah ke paru yang terventilasi.

Tidak ada alat ukur yang dapat diterima secara universal untuk batas saturasi
oksigen paling aman selama OLV. Saturasi yang lebih besar dari atau sama dengan 90%
(PaO2 60 mmHg) diterima secara umum, dan untuk periode singkat, kejenuhan pada
usia 80-an yang tinggi dapat diterima pada pasien tanpa komorbiditas yang signifikan.
Namun, saturasi terendah yang dapat diterima akan lebih tinggi pada pasien dengan
organ berisiko hipoksia karena aliran darah regional yang terbatas (misalnya, penyakit
koroner atau serebrovaskular) dan pada pasien dengan transportasi oksigen terbatas
(misalnya anemia atau penurunan cadangan kardiopulmoner). Sebelumnya, hipoksemia
sering terjadi selama OLV. Laporan untuk periode 1950 sampai 1980 menggambarkan
kejadian hipoksemia (Saturasi arteri, 90%) 20% sampai 25%. Laporan saat ini
menggambarkan kejadian kurang dari 5%. Perbaikan ini kemungkinan besar disebabkan
oleh beberapa faktor: teknik isolasi paru yang lebih baik, seperti bronkoscopy serat
optik rutin untuk mencegah obstruksi lobar dari tabung lumen ganda; agen anestesi
yang lebih baik, yang menyebabkan kurang menghambat HPV; dan pemahaman yang
lebih baik tentang patofisiologi OLV.
Patofisiologi OLV kompleks dan melibatkan kemampuan tubuh untuk
mendistribusikan kembali aliran darah paru ke paru-paru yang berventilasi. Beberapa
faktor membantu dan menghalangi redistribusi ini dan ini berada di bawah kendali ahli
anestesi ke tingkat yang bervariasi. Tujuan anestesiologis selama OLV adalah
memaksimalkan PVR di paru yang tidak berventilasi sambil meminimalkan PVR di
paru yang berventilasi. PVR terendah di FRC dan meningkat seiring volume paru naik
atau turun di atas atau di bawah FRC. Tujuan anestesi, untuk mengoptimalkan
redistribusi aliran darah paru selama OLV, adalah untuk menjaga paru-paru yang
berventilasi sedekat mungkin dengan FRC sambil memfasilitasi keruntuhan paru-paru
yang tidak berventilasi untuk meningkatkan PVR. Operasi toraks yang paling banyak
dilakukan pada posisi lateral. Pasien yang memiliki OLV pada posisi lateral memiliki
tingkat PaO2 yang lebih baik daripada tingkat OLV pada posisi telentang karena
distribusi aliran darah yang istimewa ke paru-paru yang bergantung yang disebabkan
oleh gaya gravitasi.
Daftar Pustaka

1. Jaeger JM. Blank RS. Essential anatomy and physiology of the respiratory
system and pulmonary circulation. In: Slinger P, ed. Principles and Practice of
Anesthesia for Th racic Surgery. New York, NY: Springer; 2011:51–69.
2. Shorten GD, Opie NJ, Graziotti P, et al. Assessment of the upper airway in
awake, sedated and anaesthetized patients using magnetic resonance imaging.
Anaesth Intens Care. 1994;22:165–169.
3. Hudgel DW, Hendricks C. Palate and hypopharynx—sites of inspiratory
narrowing of the upper airway during sleep. Am Rev Respir Dis.
1988;138:1542–1547.
4. Eikermann M, Grosse-Sundrup M, Zaremba S, et al. Ketamine activates
breathing and abolishes the coupling between loss of consciousness and upper
airway dilator muscle function. Anesthesiology. 2012;116:6–8.
5. Bartlett D. Respiratory function of the larynx. Physiol Rev. 1989;69: 33–57.
6. Gal TJ. Anatomy and physiology of the respiratory system and the pulmonary
circulation. In: Kaplan JA, Slinger PD, eds. Th racic Anesthesia. 3rd ed.
Philadelphia, PA: Churchill Livingstone; 2003: 57–70.
7. Voynow JA, Rubin BK. Mucins, mucus, and sputum. Chest. 2009; 135:505–
512.
8. Gonda I. Particle deposition in the human respiratory tract. In: Crystal RG, West
JB, Weibel ER, et al, eds. The Lung: Scientific Foundations. 2nd ed.
Philadelphia, PA: Lippincott-Raven; 1997:2289–2308.
9. Lumb AB, ed. Nunn’s Applied Respiratory Physiology, 7th ed. Edinburgh,
United Kingdom: Churchill Livingstone Elsevier; 2010.
10. Burwell DR, Jones JG. The airways and anaesthesia. Anaesthesia. 1996;51:849–
857.
11. Duggan M, Kavanagh B. Pulmonary atelectasis. Anesthesiology. 2005;102:838–
854.
12. Chappell D, Jacob M, Hofman-Keifer K, et al. A rational approach to
perioperative fluid management. Anesthesiology. 2008;109: 723–724.
13. McKenzie DK, Gandevia SC. Skeletal muscle properties: diaphragm and chest
wall. In: Crystal RG, West JB, Weibel ER, et al, eds. Th Lung: Scientifi
Foundations. 2nd ed. Philadelphia, PA: Lipincott-Raven; 1997:981–991.
14. Levine S, Kaiser L, Leferovich J, et al. Cellular adaptations in thediaphragm in
chronic obstructive pulmonary disease. New Engl JMed. 1997;337:1799–1806.
15. Lim E, Baldwin D, Beckles M, et al. Guidelines on the radical managementof
patients with lung cancer. Thorax. 2010;65(suppl 3):iii1–iii27.
16. Sprung J, Gajic O, Warner DO. Age related alterations in respiratoryfunction-
anesthetic consideration. Can J Anaesth. 2006;53:1244–1257.
17. Rothen HU, Sporre B, Engberg G, et al. Airway closure, atelectasis,and gas
exchange during general anesthesia. Br J Anaesth.1998;81:681–686.
18. Whitsett JA, Weaver TE. Hydrophobic surfactant proteins in lungfunction and
disease. N Engl J Med. 2002;347:2141–2148.
19. Harris RS. Pressure-volume curves of the respiratory system. RespirCare.
2005;50:78–99.
20. Slats AM, Janssen K, van Schadewijk A, et al. Bronchial inflammationand
responses to deep inspiration in asthma and chronic bronchitis.Am J Respir Crit
Care Med. 2007;176:121–128.
21. Holst M, Striem J, Hedenstierna G. Errors in tracheal pressure recordingin
patients with a tracheostomy tube—a model study. IntensiveCare Med.
1990;16:384–389.
22. Cotes JE, Chinn DJ, Miller MR. Lung Function. Physiology, Measurementand
Application in Medicine. Oxford, United Kingdom: BlackwellPublishing; 2006.
23. Raux M, Starus C, Redolfi S, et al. Electroencephalographic evidencefor pre-
motor cortex activation during inspiratory loading inhumans. J Physiol.
2007;578:569–578.
24. Ingram RH, McFadden ER. Localisation and mechanisms of airwayresponses. N
Engl J Med. 1977;297:596–600.
25. Campbell EJM, Westlake EK, Cherniak RM. Simple methods of
estimatingoxygen consumption and the efficiency of the muscles ofrespiration. J
Appl Physiol. 1957;11:303–308.
26. Lumb AB, ed. Nunn’s Applied Respiratory Physiology. 7th ed.
Edinburgh,United Kingdom: Churchill Livingstone Elsevier; 2010.
27. Fujii Y, Toyooka H, Amaha K. Diaphragmatic fatigue and its recoveryare
influenced by cardiac output. J Anaesth. 1991;5:17–23.
28. Levine S, Nguyen T, Taylor N, et al. Rapid disuse atrophy of diaphragmfibers in
mechanically ventilated humans. N Engl J Med.2008;358:1327–1355.
29. Goligher EC, Ferguson ND, Kavanagh BP. Ventilator induced
diaphragmdysfunction. Anesthesiology. 2012;117:560–567.
30. Bake B, Wood L, Murphy B, et al. Effect of inspiratory flow rateon regional
distribution of inspired gas. J Appl Physiol. 1974;37:8–17.
31. Widdicombe J. Anatomy and physiology of the airway circulation.Am Rev
Respir Dis. 1992;146:S3–S7.
32. Clark AR, Tawhai MH, Hoffman EA, et al. The interdependent contributionsof
gravitational and structural features to perfusion distributionin a multiscale
model of the pulmonary circulation. J ApplPhysiol. 2011;110:943–955.
33. West J, Dollery C, Naimark A. Distribution of blood flow in isolatedlung;
relation to vascular and alveolar pressures. J Appl Physiol.1964;19:713–724.
34. Bohr C. Uber die lugenathmung. Skand Arch Physiol. 1891;2:236.
35. Tusman G, Sipmann S, Bohm SH. Rationale of dead space measurement by
volumetric capnography. Anesth Analg. 2012;114:866–874.
36. Sylvester JT, Shimoda LA, Aaronson PI, et al. Hypoxic pulmonary
vasoconstriction. Physiol Rev. 2012;92:367–520.
37. Talbot NP, Balanos GM, Dorrington KL, et al. Two temporal components
within the human pulmonary vascular response to 2h of isocapnic hypoxia. J
Appl Physiol. 2005;98:1125–1139.
38. Domino KB, Wetstein L, Glasser SA, et al. Influence of mixed venous oxygen
tension (PvO2) on blood flow to atelectatic lung. Anesthesiology. 1983;59:428–
434.
39. Lejeune P, Vachiaery JL, Leeman M, et al. Absence of parasympathetic control
of pulmonary vascular pressure-flow plots in hyperoxic and hypoxic dogs.
Respir Physiol. 1989;78:123–133.
40. Robins ED, Theodore J, Burke CM, et al. Hypoxic vasoconstriction persists in
the human transplanted lung. Clin Sci. 1987;72:283–287.
41. Evans AM, Dipp M. Hypoxic pulmonary vasoconstriction: cyclic adenosine
diphosphate-ribose, smooth muscle Ca21 stores and the endothelium. Respir
Physiol Neurobiol. 2002;132:3–15.
42. Yamamoto Y, Nakano H, Ide H, et al. Role of airway nitric oxide on the
regulation of pulmonary circulation by carbon dioxide. J Appl Physiol.
2001;91:1121–1130.
43. Gourine AV. On the peripheral and central chemoreception and control of
breathing: an emerging role for ATP. J Physiol. 2005; 568:715–724.
44. Lopez-Barneo J, Ortega-Saenz P, Pardal R, et al. Carotid body oxygen sensing.
Eur Respir J. 2008;32:1386–1398.
45. Knill RL, Manninen PH, Clement JL. Ventilation and chemoreflexes during
enflurane sedation and anaesthesia in man. Can Anaesth Soc J. 1979;26:353–
360.
46. Lorenzi-Filho G, Genta PR. A new straw in the genesis of Cheyne-Stokes
respiration. Chest. 2008,134:7–9.
47. Nunn JF. Factors influencing the arterial oxygen tension duringhalothane
anaesthesia with spontaneous respiration. Br J Anaesth.1964;36:327–324.
48. Brismar B, Hedenstierna G, Lundquist H, et al. Pulmonary densitiesduring
anesthesia with muscular relaxation—a proposal of atelectasis.Anesthesiology.
1985;62:422–428.
49. Magnusson L, Spahn DR. New concepts of atelectasis during
generalanaesthesia. Brit J Anaesth. 2003;91:61–72.
50. Froese AB, Bryan AC. Effects of anesthesia and paralysis on
diaphragmaticmechanics in man. Anesthesiology. 1974;41:242–255.
51. Reber A, Nylund U, Hedenstierna G. Position and shape of thediaphragm:
implications for atelectasis formation. Anaesthesia.1998;53:1054–1061.
52. Joyce CJ, Baker AB, Kennedy RR. Gas uptake from an unventilatedarea of the
lung: computer model of absorption atelectasis. J ApplPhysiol. 1993;74:1107–
1116.
53. Gattinoni L, Caironi P. Prone positioning beyond physiology.
Anesthesiology.2010;113:1262–1264.
54. Petersson J, Ax M, Frey J, et al. Positive end-expiratory pressure
redistributesregional blood flow and ventilation differently in supineand prone
humans. Anesthesiology. 2010;113:1361–1369.
55. Jones RL, Nzekwu M-MU. The effects of body mass index on lungvolumes.
Chest. 2006;130:827–833.
56. Redolfi S, Yumino D, Ruttanaumpawan P. Relationship betweenovernight
rostral fluid shift and obstructive sleep apnea in nonobesemen. Am J Resp Crit
Care Med. 2009;179:241–246.
57. Horner RL, Bradley TD. Update in sleep and control of ventilation 2008. Am J
Resp Crit Care Med. 2009;179:528–532.
58. Mokhlesi B, Tulaimat A. Recent advances in the obesity hypoventilation
syndrome. Chest. 2007;132:1322–1336.
59. Ainsworth BE, Haskell WL, Leon AS, et al. Compendium of physical activities:
classifi ation of energy costs of human physical activities. Med Sci Sports Exerc.
1993;25:71–80.
60. Carter R, Holiday DB, Stocks J, et al. predicting oxygen uptake for men and
women with moderate to severe chronic obstructive pulmonary disease. Arch
Phys Med Rehab. 2003;64:328–332.
61. Leissner KB, Mahmood FU. Physiology and pathophysiology at high altitude:
considerations for the anesthesiologist. J Anesth. 2009;23: 534–553.
62. Tibbles PM, Eisenberg JS. Hyperbaric-oxygen therapy. N Engl J Med.
1993;334:1642–1648
63. McNeice WL, Dierdorf SF. The pediatric airway. Semin Pediatr Surg.
2004;13:152–159.
64. Rigatto H, Brady J, Verduzco R. Chemoreceptor reflexes in preterm infants.
Pediatrics. 1975:55:604–610.
65. Zaugg M, Lucchinetti E. Respiratory function in the elderly. Anesthesiol Clin
North America. 2000;18:47–58.
66. American Thoracic Society. Standards for the diagnosis and care of patients
with chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med.
1995;152:s77–s121.
67. Simpson SQ. Oxygen-induced acute hypercapnia in chronic obstructive
pulmonary disease: what’s the problem? Crit Care Med. 2002;30:258–259.
68. Douglas NJ, Flenley DC. Breathing during sleep in patients with obstructive
lung disease. Am Rev Respir Dis. 1990;141:1055–1057.
69. Schulman DS, Mathony RA. The right ventricle in pulmonary disease. Cardiol
Clin. 1992;10:111–120.
70. Morgan MDL, Edwards CW, Morris J, et al. Origin and behavior of
emphysematous bullae. Thorax. 1989;44:533–537.
71. Ben-David B, Stonebraker VC, Hershman R, et al. Survival after failed
intraoperative resuscitation: a case of “Lazarus syndrome.” Anesth Analg.
2001;92:690–695.
72. Slinger P, Hickey D. The interaction applied PEEP and auto-PEEP during one-
lung ventilation. J Cardiothorac Vasc Anesth. 1998;12: 133–138.
73. Ko R, Kruger M, McRae K, et al. The use of air in the inspired gas mixture
during two-lung ventilation delays lung collapse during one-lung ventilation.
Anesth Analg. 2009;108:1092–1097.
74. Unzueta C, Tusman G, Suarez-Sipman F, et al. Alveolar recruitment improves
ventilation during thoracic surgery: a randomized controlled trial. Br J Anaesth.
2012;108:517–524.
75. Slinger PD, Kruger M, McRae K, et al. The relation of the static compliance
curve and PEEP to oxygenation during one-lung ventilation. Anesthesiology.
2001;95:1096–1102.
76. Peek GJ, Mugford M, Tiruvoipati R, et al. CESAR trial collaboration. Efficacy
and economic assessment of conventional ventilatory support versus
extracorporeal membrane oxygenation for severe adult respiratory failure
(CESAR): a multicentre randomised controlled trial. Lancet. 2009;374:1351–
1363.
77. Von Dossow-Hanfstingl V, Deja M, Zwisser B, et al. Post-operative
management: extra-corporeal ventilatory therapy. In: Slinger P, ed. Principles
and Practice of Anesthesia for Th racic Surgery. New York, NY: Springer;
2011:647.

Anda mungkin juga menyukai