Anda di halaman 1dari 44

Struktur Organisasi Puskesmas

Struktur organisasi puskesmas dalam permenkes 75 tahun 2014 dibagi menjadi 3 (tiga) macam
sesuai dengan kategori puskesmas. Walaupun secara umum memiliki kesamaan, namun terdapat
beberapa bagian yang berbeda dari masing-masing kategori puskesmas.

Struktur Organisasi Puskesmas Perkotaan

Adapun struktur organisasi puskesmas perkotaan adalah sebagai berikut:

Kepala Puskesmas

Kriteria Kepala Puskesmas yaitu tenaga kesehatan dengan tingkat pendidikan paling rendah
sarjana, memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat, masa kerja di Puskesmas
minimal 2 (dua) tahun, dan telah mengikuti pelatihan manajemen Puskesmas.

Kasubag Tata Usaha

Membawahi beberapa kegiatan diantaranya Sistem Informasi Puskesmas, kepegawaian, rumah


tangga, dan keuangan.

Penanggungjawab UKM esensial dan keperawatan kesehatan masyarakat

Membawahi:

1. pelayanan promosi kesehatan termasuk UKS


2. pelayanan kesehatan lingkungan
3. pelayanan KIA-KB yang bersifat UKM
4. pelayanan gizi yang bersifat UKM
5. pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit
6. pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat

Penanggungjawab UKM Pengembangan

Membawahi upaya pengembangan yang dilakukan Puskesmas, antara lain:

1. pelayanan kesehatan jiwa


2. pelayanan kesehatan gigi masyarakat
3. pelayanan kesehatan tradisional komplementer
4. pelayanan kesehatan olahraga
5. pelayanan kesehatan indera
6. pelayanan kesehatan lansia
7. pelayanan kesehatan kerja
8. pelayanan kesehatan lainnya

Penanggungjawab UKP, kefarmasian, dan laboratorium

Membawahi beberapa kegiatan, yaitu:

1. pelayanan pemeriksaan umum


2. pelayanan kesehatan gigi dan mulut
3. pelayanan KIA-KB yang bersifat UKP
4. pelayanan gawat darurat
5. pelayanan gizi yang bersifat UKP
6. pelayanan persalinan
7. pelayanan rawat inap untuk Puskesmas yang menyediakan pelayanan rawat inap
8. pelayanan kefarmasian
9. pelayanan laboratorium

Penanggungjawab jaringan pelayanan Puskesmas dan jejaring fasilitas pelayanan


kesehatan

Membawahi:

1. Puskesmas Pembantu
2. Puskesmas Keliling
3. Bidan Desa
4. Jejaring fasilitas pelayanan kesehatan
Struktur Organisasi Puskesms Perkotaan dan Perdesaan

Struktur Organisasi Puskesmas Perdesaan

Struktur organisasi puskesmas perdesaan memiliki pola yang sama dengan puskesmas perkotaan
atau tidak ada yang berbeda sama sekali. Jadi, sebagai acuannya silakan lihat struktur organisasi
puskesmas perkotaan.

Untuk mengetahui kategori Puskesmas, anda dapat membaca tulisan kami sebelumnya tentang
Kategori Puskesmas Berdasarkan Permenkes 75 Tahun 2017.

Struktur Organisasi Puskesmas Terpencil dan Sangat Terpencil

Struktur organisasi puskesmas terpencil dan sangat terpencil lebih sederhana karena disesuaikan
dengan keterbatasan sumber daya manusia di Puskesmas kawasan Terpencil dan Sangat
Terpencil.

Pola struktur organisasi Puskesmas yang dapat dijadikan acuan Puskesmas di kawasan Terpencil
dan Sangat Terpencil adalah sebagai berikut:
1. Kepala Puskesmas; dengan kriteria yaitu tenaga kesehatan dengan tingkat pendidikan
minimal diploma tiga bila tidak tersedia tenaga kesehatan dengan pendidikan sarjana,
memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat, masa kerja di Puskesmas
minimal 2 (dua) tahun, dan telah mengikuti pelatihan manajemen Puskesmas.
2. Kepala sub bagian Tata Usaha, yang bertanggung jawab membantu kepala Puskesmas
dalam pengelolaan Sistem Informasi Puskesmas, kepegawaian, rumah tangga. Bendahara
termasuk dalam bagian Tata Usaha.
3. Penanggungjawab UKM Esensial, UKM Pengembangan dan Keperawatan Kesehatan
Masyarakat.
4. Penanggungjawab UKP, kefarmasian dan laboratorium
5. Penanggungjawab jaringan pelayanan Puskesmas dan jejaring fasilitas pelayanan
kesehatan, yang membawahi:

 Puskesmas Pembantu
 Puskesmas Keliling
 Bidan Desa
 Jejaring fasilitas pelayanan kesehatan

PEDOMAN
PENGENDALIAN DOKUMEN
PUSKESMAS
KEDUNGWUNI II
DINAS KESEHATAN KABUPATEN
PEKALONGAN.
A. PENDAHULUAN
Dokumen Puskesmas merupakan data manajemen Puskesmas, sehingga data maupun
dokumen Puskesmas wajib dikelola secara baik agar tidak sampai tercecer. Untuk
memudahkan didalam pengelolaan dokumen penting ditentukan sistem pengendalian
dokumen agar memudahkan didalam pengelolaan, penyimpanan dan pencarian untuk
diberlakukan pelaksanaannya,
sebagai pedoman didalam pengelolaan dokumen di
Puskesmas, baik dokumen yang bertalian dengan dokumen administrasi Puskesmas
maupun dokumen akreditasi Puskesmas
. Oleh karena itu sebagai acuan didalam
pengelolaan dokumen maka wajib disusun Pedoman Pengendalian Dokumen Puskesmas.
B. DASAR PENETAPAN PENGENDALIAN DOKUMEN
Didalam penetapan pedoman pengendalian dokumen Puskesmas
Kedungwuni II
. sebagai
dasarnya adalah:
1.
Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
2.
Peraturan pemerintah Nomor 8 tahun 2003 tentang pedoman organisasi perangkat
daerah ( Lembaran Negara Tahun 2003 nomor 14, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4262).
3.
Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Daerah Propinsi an Pemerintah Daerah
Kabupaten / Kota.
4.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 59/2015 tentang Komisi Akreditasi FKTP.
5.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 tahun 2014 tentang Puskesmas
6.
Kepmenkes nomor: 269/ Menkes/ Per / III/ 2008, Tentang Rekam Medik,
7.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan
pada Jaminan Kesehatan Nasional
8.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
46
tahun 201
5
tentang
Akreditasi Puskesmas,
Klinik Pratama, Tempat Praktek Mandiri Dokter dan Tempat Praktik Mandiri Dokter
Mandiri.
1
Pedoman Pengendalian Dokumen
Nomor :
9.
Peraturan Bupati Kab. Pekalongan
.
Nomor
19 Tahun 2014 tentang
Tata Naskah
Dinas Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Pekalongan.
10.
M
anajemen Kearsipan, A
la
msyah, Gramedia Pustaka Utama,1995.
11.
Sistem kearsipan,
Manajemen Perkantorkan, Depkes.RI.2009.
12.
Peraturan Bupati Kab. Pekalongan. Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pola Klasifikasi
Kearsipan Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Pekalongan.
13.
Panduan Penyusunan Dokumen
Standar Akreditasi Puskesmas Kriteria 2.3.11.
Elemen Penilaian 4. Tahun 2015
C. PENGERTIAN PENGENDALIAN DOKUMEN
1.
Pedoman
Pengendalian dokumen Puske
smas Kedungwuni II. adalah
sistem
pengelolaan dokumen/ surat menyurat
dan rekaman implementasi
, yang meliputi
sistem penomoran maupun penyimpanan dokumen Puskesmas, baik dokumen
perkantoran maupun dokumen akreditasi Puskesmas.
2.
Dokumen ekternal adalah: buku, peraturan, standar, surat keputusan, kebijakan yang
merupakan acuan/ referensi di dalam penyusunan dokumen akreditasi Puskesmas,
3.
Dokumen/ arsip aktif
adalah
dokumen yang frekuensi pemakaian masih tinggi/ masih
dipakai didalam kegiatan, dan masih disimpan di
unit- unit pelayanan,
4.
Dokumen/ arsip inaktif
adalah
dokumen yang frekuensi pemakaiannya sudah rendah/
sudah tidak dipakai, untuk dokumen rekam medik apabila pasien yang sudah mati
atau sudah pindah.
5.
Master dokumen akreditasi yang telah lengkap/ telah dinomori, disyahkan dan
ditanda-tangani namun belum dibubuhi cap Puskesmas.
6.
Kelompok dokumen
adalah
kelompok jenis- jenis dokumen/ rekaman (contoh
kelompok S
O
P)
,
7.
D.
PENETAPAN PENOMERAN DOKUMEN
1.
Surat masuk dan keluar diberi nomer sesuai dengan ketentuan Pemerintah Daerah
Kabupaten Pekalongan. .
Tentang POLA KLASIFIKASI KEARSIPAN DI
LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN Nomor 35 Tahun
2007
2.
Penomeran dokumen akreditasi dilakukan di sekretariat akreditasi dibantu dengan
sekretaris masing-masing Kelompok Kerja
2
Pedoman Pengendalian Dokumen
3.
Penomeran dilakukan sesuai kelompok Kelompok Kerja masing-masing sesuai
dengan sistem pengkodean yang telah dilakukan
4.
Penomeran dokumen diurutkan sesuai dengan pengkodean
5.
Urutan penomeran meliputi :

Kode Kelompok Kerja / kode BAB(pelayanan)/kode dokumen/bulan/tahun/nomer urut
dokumen 3 digit” tanpa spasi.
Contoh : A/I/SOP/1/2015/001 atau C/IX(BPU)/SOP/1/2015/007
E.
KETENTUAN PENGENDALIAN DOKUMEN
Pengendalian dokumen dengan menerapkan hal- hal sebagai berikut:
1.
Pengkodean dokumen kelompok pelayanan:
a. Administrasi Manajemen dengan kode : A
1) Bab I : A/I
2) Bab II : A/II
3) Bab III : A/III
b. Upaya Kesehatan Masyarakat dengan kode : B
1) Bab IV : B/IV
2) Bab V : B/V
3) Bab VI : B/VI
c. Pelayanan Klinis dengan kode : C
1) Bab VII : C/VII
2) Bab VIII : C/VIII
3) Bab IX : C/IX
d. Manual Mutu dengan kode MM
e. Pedoman dengan kode PD
f. Kebijakan dengan kode Kb
g. Surat Keputusan dengan kode SK
h. Kerangka Acuan Kegiatan dengan kode KAK
i. Standar Operasional Prosedur dengan kode SOP
j.
Dokumen ekternal disingkat: Dek,
k. Daftar Tilik dengan kode DT
l. Audit Internal dengan kode AI
m. Apabila dokumen merujuk pada upaya kesehatan/ pelayan tertentu bisa
ditambahkan kode sesuai pelayanannya a.l :
1)
Kesehatan Ibu
,
Anak
dan Keluarga Berencana
(
KIA
.KB),
2)
Gizi : Pelayanan Perbaikan Gizi
3)
P2M : Pencegahan Penyakit Menular
4)
Promkes : Promosi Kesehatan
3
Pedoman Pengendalian Dokumen
5)
Kesling : Kesehatan Lingkungan
6)
BPU : BP Umum
7)
BPG : BP Gigi
8)
Lab : Laboratorium
9)
RM : Pendaftaran
10)
IGD : Intalasi Gawat Darurat
11)
Usila : Pelayanan Usila
12)
Obat : Pelayanan Farmasi
13)
Konsul : Konsultasi
14)
MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit
15)
Imuns : Imunisasi
16)
KB : Program Keluarga Berencana
17)
Jiwa : Progam Jiwa
18)
Indra : Program Indra
19)
UKS : Usaha Kesehatan Sekolah
20)
UKGS : Usaha kesehatan Gigi Sekolah
2.
PENETAPAN KETENTUAN PENULISAN DOKUMEN
Petugas menuliskan dokumen menggunakan ketentuan umum sebagai berikut
a.
Naskah dokumen akreditasi diketik pada satu halaman tidak boleh bolak-balik
dengan tipe huruf
Times New Roman
12 pt
Untuk Kebijakan/ surat keputusan
dengan tipe huruf
century Gothi 12 pt
,
b.
Judul bab/dokumen menggunakan
Times New Roman
14 pt ditebalkan, huruf
kapital
c.
Judul sub bab menggunakan
Times New Roman
12 pt ditebalkan
d.
Jenis dokumen menggunakan
Times New Roman
14 pt ditebalkan
e.
Jarak antar baris dibuat 1,15 spasi kecuali untuk judul atau keterangan yang lebih
dari 1 baris.
f.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia baku
g.
Ukuran kertas : A4
h.
Tipe Margin : Normal (batas kanan,kiri,atas bawah 2,54 cm) , teks rata tepi kanan
kiri
(justify)
i.
Penomeran ditulis secara konisten dari awal sampai akhir naskah. Cara yang
digunakan adalah gabungan antara angka Romawi dan Arab, seperti contoh berikut
:
I.
A.
1.
a.
1)
4
Pedoman Pengendalian Dokumen
a)
(1)
(a)
3.
PENETAPAN IDENTITAS DOKUMEN
Setiap dokumen terkendali memiliki bagian header di semua halaman yang merupakan
identitas dokumen yang berisi :
a.
Nama jenis dokumen
b.
Judul dokumen
c.
Lambang dan identitas kabupaten
d.
Lambang dan identitas Puskesmas
e.
Nomer dokumen
f.
Nomer revisi
g.
Tanggal terbit
h.
Jumlah terbit
i.
Halaman
j.
Pengesahan Kepala Puskesmas
F.
PENYIMPANAN DOKUMEN/
REKAM/
ARSIP
1.
Dokumen Rekam Medik (RM) inaktif wajib disimpan sekurang-kurangnya 2(dua)
tahun, terhitung dari tanggal terakhir pasien meninggal, atau pindah tempat. Setelah
batas waktu sebagaimana dimaksud diatas dilampaui, rekam medis dapat
dimusnahkan, kecuali persetujuan tindakan dan persetujuan lain harus disimpan jangka
waktu 10 tahun terhitung dari tanggal dibuatnya
2.
Dokumen resep yang telah terlayani dipelihara dan disimpan minimak 2(dua) tahun
dan dikelompokkan sesuai jenis pasiennya yaitu : pasien umum, pasien BPJS (PBI,non
PBI, Mandiri) dan pasien Jamkesda.
6.
Penyimpanan dokumen/ arsip perkantoran sesuai dengan sistem penyimpanan aturan
Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan. yaitu dengan
Tentang POLA
KLASIFIKASI KEARSIPAN DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN
PEKALONGAN Nomor 35 Tahun 2007
dengan alur sebagai berikut ;
a.
Surat Masuk
1)
Surat masuk diterima oleh pengadministrasi surat pada SKPD/ unit kerja
5
Pedoman Pengendalian Dokumen
2)
Pengadministrasi surat melakukan pencatatan data agenda surat masuk dan
melakukan penyimpanan
3)
Pengguna tujuan surat dapat melihat dan memeriksa data maupun isi surat
masuk yang ditujukan kepadanya.
4)
Apabila surat masuk tersebut salah alamat, terdapat fasilitas khusus untuk
mengembalikan ke pengadministrasi surat agar dilakukan penyesuaian.
5)
Pengguna tujuan surat dapat menangani surat masuk dengan membuat
disposisi
.
6)
Pengguna tujuan surat dapat menangani surat masuk
engan membuat
disposisi.
b. Disposisi
1) Alur disposisi merupakan kelanjutan dari penanganan
surat masuk atau disposisi
lanjutan,
2) Pembuat disposisi merupakan pengguna tujuan surat
yang menerima surat
masuk pertama kali atau penerima
disposisi yang melakukan disposisi
lanjutan.
3) Format disposisi dilengkapi dengan keterangan perintah
yang diberikan kepada
penerima disposisi.
4) Data disposisi yang telah diisikan akan tersimpan dalam
basis data yang
terpusat dan sistem secara otomatis akan
melengkapi dengan lampiran
dokumen surat masuk.
5) Pengguna penerima disposisi dapat melihat secara
langsung isi perintah
disposisi melalui aplikasi TNDE.
6)
Penerima disposisi harus menindaklanjuti disposisi dan
melaporkan
pelaksanaan tindak lanjut disposisi kepada
pembuat disposisi.
7)
Apabila diperlukan, penerima disposisi dapat melakukan
disposisi lanjutan
kepada pejabat di bawahnya.
c. Surat Keluar
1)
Konsep surat dibuat oleh SKPD/unit kerja yang
mempunyai inisiatif untuk
membuat konsep surat keluar.
2)
Konsep surat dibuat dengan menggunakan
template/borang acuan
sesuai
dengan ketentuan yang mengatur
tentang tata naskah dinas pada Pemerintah
Daerah.
3)
Konsep surat harus diajukan kepada atasan untuk
mendapat persetujuan.
4)
Surat yang telah disetujui oleh atasan diberi nomor sesuai
dengan format
penomoran agenda surat keluar
.
5)
Surat yang telah diberi nomor kemudian dicetak dan
dibubuhi tanda tangan
dan cap sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
6)
Langkah terakhir adalah melakukan pemindaian untuk
disimpan sebagai
file
lektronik atau dikirim dengan
aplikasi TNDE ke SKPD/Unit Kerja tujuan
6
Pedoman Pengendalian Dokumen
d.
Penyimpanan dokumen/arsip kepegawaian puskesmas dilakukan dengan
menggunakan box file masing-masing nama pegawai dengan urutan arsip
kepegawaian yang ditentukan.
e.
Penyimpanan dokumen akreditasi disimpan dimasing- masing kelompok
pelayanan, sedangkan di administrasi dan manajemen (admen) menyimpan
master dokumen semua kelompok pelayanan dan program
.
G.
Peminjaman Dokumen.
1)
Peminjaman dokumen dari antar unit/ lintas unit dengan mempergunakan ekpedisi
peminjaman, sedangkan
2)
Peminjaman dari luar organisasi/
peminjaman yang dilakukan oleh lintas sektor atau
dinas atasan harus memekai surat resmi dan melewati ketetatausahaan. (
uraian secara
rinnci................)
H.
Pelaporan ke Dinas Kesehatan Kabupaten
Pekalongan
..
Pelaporan pelayanan dan kegiatan Puskesmas
Kedungwuni II
. dengan penerapan satu
pintu melalui administrasi manajemen atau Ka.Subag. Tata Usaha, denganketetuan
pelaporan dari unit/ pelaksana paling
lambat tanggal ...... setiap bulan. Uraikan.......
I.
Format- Format.
Untuk menyeragamkan format yang digunakan di Puskesmas
Kedungwuni II
. dilampirkan
format- format sebagai berikut:
1.
Format disposisi surat masuk,
2.
Format surat keluar,
3.
Format Surat Keputusan/ Kebijakan,
4.
Format Standar Prosedur Operasional,
(SOP., ),
5.
Format rekam klinis
/ Medik,
6.
Format resep,
7.
Format rujukan ekternal,
8.
Format rujukan internal,
9.
Format persetujuan tindakan
(Inform Consent
),
10.
Format penolakan tindakan,

7 Pedoman Pengendalian Dokumen


11.Format permintaan rujukan ekternal,
12.Format penolakan rujukan ekternal
13.Format permintaan pulang paksa,
14.Format penolakan pasien pulang,
15.Dan sebagainya semua dilampirkan...
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1. Laporan Obat rusak dan atau Daluarsa

2.1.1. Pihak – pihak yang menggunakan laporan obat rusak dan atau daluarsa :
 Kepala Puskesmas
Kepala Puskesmas bertanggung jawab atas pelaksanaan pengelolaan obat dan pencatatan
pelaporan, mengajukan obat untuk pengadaan persediaan kepada Kepala Dinas/Kepala GFK,
menyampaikan laporan bulanan pemakaian obat, melaporkan semua obat yang hilang,
rusak maupun kadaluarsa kepada Kepala Dinas Kesehatan/Kepala GFK.

 Petugas Pengelola Obat


Petugas gudang obat bertanggung jawab dalam menerima obat dari GFK, menyimpan dan
mengatur ruang gudang obat serta mengendalikan persediaan obat, mendistribusikan obat untuk
unit pelayanan obat, mengawasi mutu obat, melakukan pencatatan danpelaporan. Petugas gudang
obat membantu Kepala Puskesmas dalam hal menjaga keamanan obat, penyusunan persediaan,
distribusi dan pengawasan persediaan obat.

2.1.2. Kegiatan yang harus dilakukan :


 Mengumpulkan obat – obatan yang rusak dan atau daluarsa
 Catat jenis dan jumlah obat yang rusak / daluarsa tersebut pada formulir laporan obat rusak /
daluarsa seperti terlampir.
 Catat jumlah obat yang rusak / daluarsa pada kartu stok pada kolom pengeluaran.
 Isi format laporan.
 Kirimkan obat yang rusak / daluarsa bersama – sama laporan ke Dinas Kesehatan Dati II

2.1.3. Manfaat informasi laporan Obat rusak dan atau daluarsa :


 Untuk memperbarui catatan mutasi obat dalam kartu stok pada satuan kerja yang melaporkan
dan yang menerima kembali obat rusak / daluarsa.
 Untuk mengetahui persediaan obat yang betul – betul dapat dipakai
 Sebagai informasi awal untuk menelusuri penyebab kerusakan obat

2.1.4. Contoh format laporan obat rusak atau kadaluarsa

No Jenis Obat No. Batch/ Tanggal Jumlah Keterangan


No. Lot Kadaluarsa
1 2 3 4 5 6
2 Ampisilin 500mg Dp 10012356 01-6-92 100 Kaplet Kadaluarsa
3 Timin Hcl 50mg Thm 11757 700 Kaplet Rusak

Yang menerima Melaporkan/Menyerahkan Obat

(......................................) (.....................................)

2.1.5. Penanganan Obat Rusak dan Kadaluarsa

Jika petugas pengelola obat menemukan obat yang tidak layak pakai (karena rusak atau

kadaluarsa), maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

a) Petugas ruang farmasi, kamar suntik atau unit pelayanan kesehatan lainnya segera melaporkan
dan mengirimkan kembali obat tersebut kepada Kepala Puskesmas melalui petugas gudang obat
puskesmas.

b) Petugas gudang obat puskesmas menerima dan mengumpulkan obat rusak dalam gudang. Jika
memang ditemukan obat tidak layak pakai maka harus segera dikurangkan dari catatan sisa stock
pada masing-masing kartu stock yang dikelolanya. Petugas kemudian melaporkan obat rusak atau
kadaluarsa yang diterimanya dari satuan kerja lainnya, ditambah dengan obat rusak atau kadaluarsa
dalam gudang kepada Kepala Puskesmas.

c) Kepala Puskesmas selanjutnya melaporkan dan mengirimkan kembali obat rusak atau kadaluarsa
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota, untuk kemudian dibuatkan berita acara
sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Anonim, 2006a).
2.2. Surat Pernyataan Obat Hilang
2.2.1. Pihak yang menggunakan :
 Kepala Puskesmas
 Petugas Pengelola

2.2.2. Pihak yang menyimpan untuk diproses lebih lanjut :


 Lembar pertama untuk Dinas Kesehatan Dati II
 Lembar kedua untuk Gdang Farmasi Kabupaten / Kodya
 Lembar ketiga untuk Arsip Puskesmas

2.2.3. Kegiatan yang harus dilakukan :


 Mempersiapkan Surat Pernyataan Obat Hilang sesuai dengan petunjuk berikut.
 Menyusun daftar obat jadi yang hilang seperti format terlampir.

2.2.4. Fungsi :
 Sebagai bahan laporan kepada Kepala Dinas Kesehatan Dati II

2.2.5. Manfaat informasi Surat Pernyataan Obat Hilang :


 Masukan untuk langkah – langkah pengamanan

2.2.6. Format Surat Pernyataan Obat Hilang :

Puskesmas: (1)__________________
Pemerintah Daerah Tk II.
(2)_____________________

Surat Pernyataan Obat Hilang


Pada hari ini, tanggal (3)____ bulan (4)___________, kami yang bertanda tangan di bawah ini
selaku Kepala Puskesmas (6)___________________ Daerah Tingkat II Kabupaten/Kotamadya
(7)_______________ telah memeriksa dan memastikan adanya kejadian obat hilang di lokasi
(8)______________ yang termasuk dalam wilayah kerja Puskesmas (9)_____________
bersama-sama dengan petugas pengelola obat bersangkutan.
Jenis dan jumlah obat yang hilang dinyatakan pada lampiran surat pernyataan ini.
Kejadian tersebut timbul sebagai akibat dari (10____________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
Demikian surat pernyataan ini disusun, agar dapat dipergunakan seperlunya.

Petugas Pengelola Obat Kepala Puskesmas


(11)________________ (12)_________________

(....................................) (..................................)

2.2.7. Lampiran daftar obat hilang

Lokasi : (a)............................
Tanggal : (b)............................
No Nama Obat No. Batch/ No. Jumlah Keterangan
Lot

2.2.8. Penanganan obat hilang


Tujuan penanganan obat hilang sebagai bukti pertanggung jawaban kepala puskesmas sehingga
diketahui persediaan obat saat itu. Untuk menangani kejadian obat hilang, perlu dilakukan langkah
– langkah sebagai berikut :

1. Petugas pengelola obat yang mengetahui kejadian obat hilang segera menyusun daftar jenis
dan jumlah obat hilang, serta melaporkan kepada kepala puskesmas. Daftar obat hilang tersebut
nantinya akan digunakan sebagai lampiran dari berita cara obat hilang yang diterbitkan oleh kepala
puskesmas.

2. Kepala puskesmas kemudian memeriksa dan memastikan kejadian tersebut, serta menerbitkan
berita acara obat hilang.

3. Kepala puskesmas menyampaikan laporan kejadian tersebut kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, disertai berita acara obat hilang.

4. Petugas pengelola obat selanjutnya mencatat jenis dan jumlah obat yang hilang tersebut pada
masing-masing kartu stok.
5. Apabila jumlah obat yang tersisa diperhitungkan tidak lagi mencukupi
kebutuhan pelayanannya, segera disiapkan LPLPO untuk mengajukan tambahan obat.

6. Apabila hilangnya obat karena pencurian maka dilaporkan kepada kepolisian dengan membuat
berita acara.

2.3 Alur pelaporan pemakaian obat dan permintaan obat :

2.3.1. Skema alur pemakaian dan permintaan obat :

LPLPO

LPLPO LPLPO
Kamar Obat

Pustu
KamarSuntik

Posyandu
Pusling

LPLPO LPLPO LPLPO

= jalur pelaporan
= jalur distribusi obat
a. Gudang Puskesmas
Penerimaan dan pengeluaran obat gudang dicatat dalam kartu stok. LPLPO dibuat
berdasarkan kartu stok obat dan catatan harian penggunaan obat.

Petugas Gudang Obat Puskesmas


 Menerima, menyimpan, memelihara obat yang ada di gudang membuat catatan mutasi obat yang
keluar maupun yang masuk gudang tobat Puskesmas dalam kartu stok.
 Mempersiapkan data penerimaan dan pemakaian obat
 Mengkompilasi data pemakaian dan sisa obat dari masing – masing sub unit
 Mempersiapkan laporan pemakaian dan permintaan obat
 Menerima, menyimpan dan memelihara LPLPO yang sudah diisi.
 Melayani permintaan obat oleh kamar obat dan Puskesmas Pembantu
 Menerima dan mengumpulkan obat rusak / daluarsa dari gudang simpanannya, kamar obat dan
Puskesmas Pembantu
 Mempersiapkan laporan obat hilang, rusak dan daluarsa
 Melaporkan obat yang tidak dipakai, hilang, rusak dan daluarsa kepada Kepala Puskesmas
 Menyimpan kartu stok selama 10 tahun

b. Kamar Obat
Jumlah obat yang dikeluarkan untuk pasien dicatat pada buku pengeluaran harian. LPLPO ke
gudang obat dibuat berdasarkan catatan pemakaian harian dan sisa stok.
Petugas Kamar Obat Puskesmas
 Menyimpan, memelihara dan membuat catatan mutasi obat yang diterima maupun yang dipakai
oleh kamar obat Puskesmas dalam bentuk Buku Catatan Harian Penerimaan dan Pemakaian Obat
 Memberi tanda “ UMUM “ pada resep – resep untuk pasien umum
 Memberi tanda “ PHB “ pada resep – resep untuk peserta PHB Asuransi Kesehatan.
 Memberi tanda “ Gratis “ pada resep – resep untuk pasien yang tidak membayar biaya pelayanan.
 Memelihara dan menyimpan resep obat secara tertib ( untuk bukti pengeluaran obat kepada pasien
)
 Setiap awal bulan mempersiapkan data pemakaian obat dan jumlah penerimaan resep ( umum, PHB
dan gratis )
 Membuat laporan dan secara berkala mengajukan permintaan obat kepada Kepala Puskesmas /
Petugas Gudang Obat.
 Melayani permintaan obat untuk keperluan Kamar Suntik, Puskesmas Keliling dan Posyandu
 Menyimpan dan memelihara obat yang ada di Kamar Obat.
 Menyerahkan kembali obat rusak / daluarsa kepada Petugas Gudang Obat.

c. Puskesmas Pembantu

Petugas Puskesmas Pembantu


 Menyimpan, memelihara dan membuat catatan obat yang digunakan maupun yang diterima oleh
Puskesmas Pembantu dalam bentuk Buku Catatan Harian Penerimaan dan Pengeluaran Obat.
 Setiap awal bulan mempersiapkan data pemakaian obat, sisa stok dan melaporkan serta mengajukan
permintaan obat kepada Kepala Puskesmas / Petugas Gudang Obat.
 Menyimpan resep – resep obat sebagai bukti penggunaan obat.
 Menyerahkan kembali obat rusak / daluarsa kepada Kepala Puskesmas / Petugas Gudang Obat.

d. Kamar Suntik
Setiap hari pemakaian obat dicatat pada buku penggunaan obat suntik dan menjadi sumber data
untuk permintaan tambahan obat.

Petugas Kamar Suntik


 Menyimpan, memelihara dan membuat catatan obat yang digunakan maupun yang diterimanya
dalam bentuk Buku Catatan Harian Penerimaan dan Pemakaian Obat.
 Setiap awal bulan (atau jika stok hampir habis) mempersiapkan data pemakaian obat dan
melaporkan serta mengajukan permintaan obat kepada Kepala Puskesmas / Petugas Kamar Obat.
 Menyimpan obat yang ada di Kamar Suntik dengan baik / pada tempat yang sesuai.
 Menyerahkan kembali obat rusak / daluarsa kepada Kepala Puskesmas / Petugas Kamar Obat.

d. Puskesmas Keliling
Jumlah obat yang dikeluarkan untuk pasien dicatat pada buku pengeluaran harian. LPLPO ke
gudang obat dibuat berdasarkan catatan pemakaian harian dan sisa stok. LPLPO dibuat 3
rangkap yaitu 1rangkap untuk Dinkes Kabupaten/Kota melalui UPOPPK , 1 rangkap lainnya
disimpan LPLPO dan 1 rangkap untuk Arsip Puskesmas.

Petugas puskesmas keliling


 Setiap kali melaksanakan kegiatan lapangan, mengajukan permintaan obat yang diperlukan kepada
Kepala Puskesmas / Petugas Kamar Obat
 Mencatat pemakaian dan sisa obat
 Menyimpan resep – resep obat sebagai bukti penggunaan obat
 Setelah selesai dengan kegiatan lapangan, segera mengembalikan sisa obat kepada Kepala
Puskesmas.
2.3.2. Waktu pembuatan laporan
Secara periodik setiap Unit dan Sub Unit Pelayanan Kesehatan harus membuat laporan obat
dengan menggunakan form LPLPO (Puskesmas, kamar obat, kamar suntik, Puskesmas
Pembantu, Puskesmas Keliling dan Posyandu)
Penggolongan Obat Berdasarkan Undang-Undang
1 April 2016 / solahudinoppa

Golongan obat adalah penggolongan yang dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan
ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi yang terdiri dari obat bebas, obat bebas
terbatas, obat wajib apotek, obat keras, psikotropika dan narkotika.

 Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dapat dijual bebas kepada masyarakat tanpa resep dokter, tidak
termasik dalam daftar narkotika, psikotropika, obat keras, dan obat bebas terbatas, dan sudah
terdaftar di Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Obat bebas disebut juga obat OTC (Over
The Counter).

Obat bebas dapat dijual bebas di warung kelontong, toko obat berizin, supermarket serta apotek.
Dalam pemakaiannya, penderita dapat membeli dalam jumlah sangat sedikit saat obat
diperlukan, jenis zat aktif pada obat golongan ini relatif aman sehingga pemakaiannnya tidak
memerlukan pengawasan tenaga medis selama diminum sesuai petunjuk yang tertera pada
kemasan obat. Oleh karena itu, sebaiknya obat golongan ini tetap dibeli dengan kemasnnya.

Penandaan obat bebas diatur berdasarkan S.K MenKes RI Nomor 2380/A/SK/VI/1983 tentang
tanda khusus untuk obat bebas dan obat bebas terbatas. Tanda khusus untuk obat bebas yaitu
bulatan berwarna hijau dengan garis tepi warna hitam.

Logo Obat Bebas

 Obat Bebas Terbatas


Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual
dan dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Obat bebas terbatas
atau obat yang termasuk dalam daftar “W”, Menurut bahasa belanda “W” singkatan dari
“Waarschuwing” artinya peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas
adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.

Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa empat persegi
panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima) sentimeter, lebar 2 (dua) sentimeter dan
memuat pemberitahuan berwarna putih.

Seharusnya obat jenis ini hanya dijual bebas di toko obat berizin (dipegang seorang asisten
apoteker) serta apotek (yang hanya boleh beroperasi jika ada apoteker (No Pharmacist No
Service), karena diharapkan pasien memperoleh informasi obat yang memadai saat membeli obat
bebas terbatas.

Logo Obat Bebas Terbatas


Logo Peringatan pada Obat Bebas Terbatas

 Obat Keras

Obat keras disebut juga obat daftar “G”, yang diambil dari bahasa Belanda. “G” merupakan
singkatan dari “Gevaarlijk” artinya berbahaya, maksudnya obat dalam golongan ini berbahaya
jika pemakainnya tidak berdasarkan resep dokter.

Golongan obat yang hanya boleh diberikan atas resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan
ditandai dengan tanda lingkaran merah dan terdapat huruf K di dalamnya. Yang termasuk
golongan ini adalah beberapa obat generik dan Obat Wajib Apotek (OWA). Juga termasuk di
dalamnya narkotika dan psikotropika tergolong obat keras.

Berdasarkan Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No. 02396/A/SK/VIII/1986


tentang tanda khusus obat keras Daftar “G” adalah “Lingkaran bulat berwarna merah dengan
garis tepi berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi”.
Logo Obat Keras

 Obat Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah atau sintetis, bukan narkotik yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada SSP (Susunan Saraf Pusat) yang menyebabkan
perubahan khas pada aktifitas mental dan prilaku.

Untuk penandaan psikotropika sama dengan penandaan untuk obat keras, hal ini sebelum
diundangkannya UU RI No. 5 Tahun 1997 tentang psikotropika, maka obat-obat psikotropika
termasuk obat keras yang pengaturannya ada di bawah ordonansi.

Sehingga untuk psikotropika penandaanya: lingkaran bulat berwarna merah, dengan huruf K
berwarna hitam yang menyentuh garis tepi yang berwarna hitam.

Logo Obat Psikotropika


Menurut UU RI No. 5 tahun 1997, psikotropika dibagi menjadi 4 golongan:

Golongan I : Adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan
dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Psikotropika terdiri dari 26 macam, antara lain Brolamfetamin, Etisiklidina,
Psilobina, Tenosiklidina.

Golongan II : Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam
terapi dan/atau ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Psikotropika golongan II terdiri dari 14 macam, antara lain, Amfetamin,
Deksanfentamin, Levamfetamin, Metamfetamin.

Golongan III : Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam
terapi dan/atau ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Psikotropika golongan III terdiri dari 9 macam, antara lain: Amobarbital,
Pentobarbital, Siklobarbital, Butalbital.

Golongan IV : Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan
dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindroma ketergantunagn. Psikotropika golongan IV terdiri dari 60 macam,
antara lain: Allobarbital, Bromazepam, Diazepam, Nitrazepam.

 Obat Narkotika

Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009 obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan
menimbulkan ketergantungan.

Penandaan narkotika berdasarkan peraturan yang terdapat dalam Ordonansi Obat Bius yaitu
“Palang Medali Merah”
Logo Obat Narkotika

Berdasarkan UU RI No. 35 tahun 2009, narkotika dibagi atas 3 golongan:

Golongan I : Adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi
mengakibatkan ketergantungan. Contohnya yaitu Tanaman Papaver Somniferum L, Opium
Mentah, Tanaman Ganja, Heroina.

Golongan II : Adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir
dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contohnya yaitu Morfina, Opium,
Petidina, Tebaina, Tebakon.

Golongan III : Adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam
terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan. Contohnya yaitu Kodeina, Nikodikodina, Nikokodina.

 Obat Wajib Apotek (OWA)

Selain memproduksi obat generik, untuk memenuhi keterjangkauan pelayanan kesehatan


khususnya askes obat pemerintah mengeluarkan kebijakan OWA. OWA merupakan obat keras
yang dapat diberikan oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA) kepada pasien. Walaupun APA
boleh memberikan obat keras, namun ada persyaratan yang harus dilakukan dalam penyerahan
OWA.

Tujuan OWA adalah memperluas keterjangkauan obat untuk masyarakat, maka obat-obat yang
digolongkan dalam OWA adalah obat yang diperlukan bagi kebanyakan penyakit yang diderita
pasien. Antara lain: obat antiinflamasi (asam mefenamat), obat alergi kulit (salep hidrokortison),
infeksi kulit dan mata (salep oksitetrasiklin), anti alergi sistemik (CTM), obat KB hormon.

Penandaan obat wajib apotek pada dasarnya adalah obat keras maka penandaanya sama dengan
obat keras. Berdasarkan Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No.
02396/A/SK/VIII/1986, tanda khusus untuk obat keras daftar G adalah berupa lingkaran bulat
berwarna merah dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf “K” yang menyentuh garis tepi.
Tanda khusus harus diletakan sedemikian rupa sehingga jelas terlihat dan mudah dikenal. Tanda
khusus untuk obat keras adalah sebagai berikut:
Logo Obat Wajib Apotek

Sesuai PerMenKes No. 919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat diserahkan:

1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan
orang tua di atas 65 tahun.
2. Penggunaan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit.
3. Penggunaan tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan.
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang pravalensinya tinggi di Indonesia.
5. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggung jawabkan untuk
pengobatan sendiri.

PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI, ALKES & BMHP (PERMENKES 72


2016)

Februari 07, 2018


Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit yang
menjamin seluruh rangkaian kegiatan perbekalan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan ketentuan
yang berlaku serta memastikan kualitas, manfaat, dan keamanannya.
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan,
perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian, dan
administrasi yang diperlukan bagi kegiatan Pelayanan Kefarmasian.
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai harus dilaksanakan secara multidisiplin, terkoordinir dan
menggunakan proses yang efektif untuk menjamin kendali mutu dan
kendali biaya. Dalam ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor
44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyatakan bahwa Pengelolaan Alat
Kesehatan, Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah
Sakit harus dilakukan oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu. Alat
Kesehatan yang dikelola oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu berupa
alat medis habis pakai/peralatan non elektromedik, antara lain alat
kontrasepsi (IUD), alat pacu jantung, implan, dan stent.
Sistem satu pintu adalah satu kebijakan kefarmasian termasuk
pembuatan formularium, pengadaan, dan pendistribusian Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bertujuan
untuk mengutamakan kepentingan pasien melalui Instalasi Farmasi.
Dengan demikian semua Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang beredar di Rumah Sakit merupakan tanggung
jawab Instalasi Farmasi, sehingga tidak ada pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit yang
dilaksanakan selain oleh Instalasi Farmasi.
Dengan kebijakan pengelolaan sistem satu pintu, Instalasi Farmasi
sebagai satu-satunya penyelenggara Pelayanan Kefarmasian, sehingga
Rumah Sakit akan mendapatkan manfaat dalam hal:
1. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penggunaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
2. standarisasi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai;
3. penjaminan mutu Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai;
4. pengendalian harga Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai;
5. pemantauan terapi Obat;
6. penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (keselamatan pasien);
7. kemudahan akses data Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang akurat;
8. peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit dan citra Rumah Sakit; dan
9. peningkatan pendapatan Rumah Sakit dan peningkatan kesejahteraan
pegawai.
Rumah Sakit harus menyusun kebijakan terkait manajemen
pengunaan Obat yang efektif. Kebijakan tersebut harus ditinjau ulang
sekurang- kurangnya sekali setahun. Peninjauan ulang sangat
membantu Rumah Sakit memahami kebutuhan dan prioritas dari
perbaikan sistem mutu dan keselamatan penggunaan Obat yang
berkelanjutan.
Rumah Sakit perlu mengembangkan kebijakan pengelolaan Obat
untuk meningkatkan keamanan, khususnya Obat yang perlu diwaspadai
(high- alert medication). High-alert medication adalah Obat yang harus
diwaspadai karena sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan
serius (sentinel event) dan Obat yang berisiko tinggi menyebabkan Reaksi
Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD). Kelompok Obat high-alert
diantaranya:
1. Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa
dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA).
2. Elektrolit konsentrasi tinggi (misalnya kalium klorida 2meq/ml atau
yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0,9%,
dan magnesium sulfat =50% atau lebih pekat).
3. Obat-Obat sitostatika.

A. Kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan


Medis Habis Pakai meliputi:
1. Pemilihan
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai ini
berdasarkan:
a. formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan
terapi;
b. standar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang telah ditetapkan;
c. pola penyakit;
d. efektifitas dan keamanan;
e. pengobatan berbasis bukti;
f. mutu;
g. harga; dan
h. ketersediaan di pasaran.
Formularium Rumah Sakit disusun mengacu kepada
Formularium Nasional. Formularium Rumah Sakit merupakan
daftar Obat yang disepakati staf medis, disusun oleh
Komite/Tim Farmasi dan Terapi yang ditetapkan oleh Pimpinan
Rumah Sakit.
Formularium Rumah Sakit harus tersedia untuk semua
penulis Resep, pemberi Obat, dan penyedia Obat di Rumah
Sakit. Evaluasi terhadap Formularium Rumah Sakit harus
secara rutin dan dilakukan revisi sesuai kebijakan dan
kebutuhan Rumah Sakit.
Penyusunan dan revisi Formularium Rumah Sakit
dikembangkan berdasarkan pertimbangan terapetik dan ekonomi
dari penggunaan Obat agar dihasilkan Formularium Rumah
Sakit yang selalu mutakhir dan dapat memenuhi kebutuhan pengobatan
yang rasional.
Tahapan proses penyusunan Formularium Rumah Sakit:
a. membuat rekapitulasi usulan Obat dari masing-masing Staf
Medik Fungsional (SMF) berdasarkan standar terapi atau
standar pelayanan medik;
b. mengelompokkan usulan Obat berdasarkan kelas terapi;
c. membahas usulan tersebut dalam rapat Komite/Tim Farmasi
dan Terapi, jika diperlukan dapat meminta masukan dari
pakar;
d. mengembalikan rancangan hasil pembahasan Komite/Tim
Farmasi dan Terapi, dikembalikan ke masing-masing SMF
untuk mendapatkan umpan balik;
e. membahas hasil umpan balik dari masing-masing SMF;
f. menetapkan daftar Obat yang masuk ke dalam Formularium
Rumah Sakit;
g. menyusun kebijakan dan pedoman untuk implementasi; dan
h. melakukan edukasi mengenai Formularium Rumah Sakit
kepada staf dan melakukan monitoring.
Kriteria pemilihan Obat untuk masuk Formularium Rumah
Sakit:
a. mengutamakan penggunaan Obat generik;
b. memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling
menguntungkan penderita;
c. mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas;
d. praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan;
e. praktis dalam penggunaan dan penyerahan;
f. menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh
pasien;
g. memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi
berdasarkan biaya langsung dan tidak lansung; dan
h. Obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiah dan
aman (evidence based medicines) yang paling dibutuhkan
untuk pelayanan dengan harga yang terjangkau.
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan terhadap formulari
um Rumah Sakit, maka Rumah Sakit harus mempunyai
kebijakan terkait dengan penambahan atau pengurangan Obat
dalam Formularium Rumah Sakit dengan mempertimbangkan indikasi
penggunaaan, efektivitas, risiko, dan biaya.
2. Perencanaan Kebutuhan
Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk
menentukan jumlah dan periode pengadaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan
hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis,
tepat jumlah, tepat waktu dan efisien.
Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan Obat
dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang
telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi
metode konsumsi dan epidemiologi dan disesuaikan dengan anggaran
yang tersedia.
Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan:
a. anggaran yang tersedia;
b. penetapan prioritas;
c. sisa persediaan;
d. data pemakaian periode yang lalu;
e. waktu tunggu pemesanan; dan
f. rencana pengembangan.
3. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk
merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif
harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat
dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu.
Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai
dari pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian
antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode pengadaan,
pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan
proses pengadaan, dan pembayaran.
Untuk memastikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan mutu dan spesifikasi
yang dipersyaratkan maka jika proses pengadaan dilaksanakan
oleh bagian lain di luar Instalasi Farmasi harus melibatkan
tenaga kefarmasian.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai antara
lain:
a. Bahan baku Obat harus disertai Sertifikat Analisa.
b. Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data
Sheet (MSDS).
c. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai harus mempunyai Nomor Izin Edar.
d. Masa kadaluarsa (expired date) minimal 2 (dua) tahun kecuali
untuk Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai tertentu (vaksin, reagensia, dan lain-lain), atau
pada kondisi tertentu yang dapat dipertanggung jawabkan.
Rumah Sakit
harus memiliki mekanisme yang mencegah kekosongan stok Obat yang
secara normal tersedia di Rumah Sakit dan mendapatkan Obat saat
Instalasi Farmasi tutup.
Pengadaan dapat dilakukan melalui:
a. Pembelian
Untuk Rumah Sakit pemerintah pembelian Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
harus sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa
yang berlaku.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelian adalah:
1) Kriteria Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai, yang meliputi kriteria umum dan
kriteria mutu Obat.
2) Persyaratan pemasok.
3) Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
4) Pemantauan rencana pengadaan sesuai jenis, jumlah
dan waktu.
b. Produksi Sediaan Farmasi
Instalasi Farmasi dapat memproduksi sediaan tertentu
apabila:
1) Sediaan Farmasi tidak ada di pasaran;
2) Sediaan Farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri;
3) Sediaan Farmasi dengan formula khusus;
4) Sediaan Farmasi dengan kemasan yang lebih
kecil/repacking;
5) Sediaan Farmasi untuk penelitian; dan
6) Sediaan Farmasi yang tidak stabil dalam
penyimpanan/harus dibuat baru (recenter paratus).
Sediaan yang dibuat di Rumah Sakit harus memenuhi
persyaratan mutu dan terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan di Rumah Sakit tersebut.
c. Sumbangan/Dropping/Hibah
Instalasi Farmasi harus melakukan pencatatan dan
pelaporan terhadap penerimaan dan penggunaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sumbangan/dropping/ hibah.
Seluruh kegiatan penerimaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dengan cara
sumbangan/dropping/hibah harus disertai dokumen
administrasi yang lengkap dan jelas. Agar penyediaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai dapat membantu pelayanan kesehatan, maka jenis
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai harus sesuai dengan kebutuhan pasien di Rumah
Sakit. Instalasi Farmasi dapat memberikan rekomendasi
kepada pimpinan Rumah Sakit untuk
mengembalikan/menolak sumbangan/dropping/hibah
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai yang tidak bermanfaat bagi kepentingan pasien Rumah
Sakit.
4. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis,
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam
kontrak atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua
dokumen terkait penerimaan barang harus tersimpan dengan baik.
5. Penyimpanan
Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu
dilakukan penyimpanan sebelum dilakukan pendistribusian.
Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian
yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan,
sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
Komponen yang harus diperhatikan antara lain:
a. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk
mempersiapkan Obat diberi label yang secara jelas terbaca
memuat nama, tanggal pertama kemasan dibuka, tanggal
kadaluwarsa dan peringatan khusus.
b. Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan
kecuali untuk kebutuhan klinis yang penting.
c. Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit
perawatan pasien dilengkapi dengan pengaman, harus diberi
label yang jelas dan disimpan pada area yang dibatasi ketat
(restricted) untuk mencegah penatalaksanaan yang kurang
hati-hati.
d. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai yang dibawa oleh pasien harus disimpan secara
khusus dan dapat diidentifikasi.
e. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk
penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi.
Instalasi Farmasi harus dapat memastikan bahwa Obat disimpan
secara benar dan diinspeksi secara periodik.
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
harus disimpan terpisah yaitu:
a. Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan
api dan diberi tanda khusus bahan berbahaya.
b. Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan
diberi penandaaan untuk menghindari kesalahan
pengambilan jenis gas medis. Penyimpanan tabung gas
medis kosong terpisah dari tabung gas medis yang ada
isinya. Penyimpanan tabung gas medis di ruangan harus
menggunakan tutup demi keselamatan.
Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas
terapi, bentuk sediaan, dan jenis Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan disusun secara
alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired First Out
(FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai sistem informasi
manajemen. Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai yang penampilan dan penamaan
yang mirip (LASA, Look Alike Sound Alike) tidak ditempatkan
berdekatan dan harus diberi penandaan khusus untuk mencegah
terjadinya kesalahan pengambilan Obat.
Rumah Sakit harus dapat menyediakan lokasi penyimpanan
Obat emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat
penyimpanan harus mudah diakses dan terhindar dari
penyalahgunaan dan pencurian.
Pengelolaan Obat emergensi harus menjamin:
a. jumlah dan jenis Obat sesuai dengan daftar Obat emergensi
yang telah ditetapkan;
b. tidak boleh bercampur dengan persediaan Obat untuk
kebutuhan lain;
c. bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti;
d. dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa; dan
e. dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain.
6. Pendistribusian
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam
rangka menyalurkan/menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dari tempat
penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap
menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu.
Rumah Sakit harus menentukan sistem distribusi yang dapat
menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di unit
pelayanan.
Sistem distribusi di unit pelayanan dapat dilakukan dengan
cara:
a. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock)
1) Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai untuk persediaan di ruang rawat disiapkan dan
dikelola oleh Instalasi Farmasi.
2) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang disimpan di ruang rawat harus
dalam jenis dan jumlah yang sangat dibutuhkan.
3) Dalam kondisi sementara dimana tidak ada petugas
farmasi yang mengelola (di atas jam kerja) maka
pendistribusiannya didelegasikan kepada penanggung
jawab ruangan.
4) Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan
obat floor stock kepada petugas farmasi dari penanggung jawab
ruangan.
5) Apoteker harus menyediakan informasi, peringatan dan
kemungkinan interaksi Obat pada setiap jenis Obat yang disediakan di floor
stock.
b. Sistem Resep Perorangan
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai berdasarkan Resep
perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap melalui Instalasi
Farmasi.
c. Sistem Unit Dosis
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai berdasarkan Resep perorangan yang disiapkan
dalam unit dosis tunggal atau ganda, untuk
penggunaan satu kali dosis/pasien. Sistem unit dosis ini digunakan untuk
pasien rawat inap.
d. Sistem Kombinasi
Sistem pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai bagi pasien
rawat inap dengan menggunakan kombinasi a + b atau b + c
atau a + c.
Sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) sangat dianjurkan
untuk pasien rawat inap mengingat dengan sistem ini tingkat kesalahan
pemberian Obat dapat diminimalkan sampai kurang dari
5% dibandingkan dengan sistem floor stock atau Resep individu yang
mencapai 18%.
Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau
oleh pasien dengan mempertimbangkan:
a. efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada; dan
b. metode sentralisasi atau desentralisasi.
7. Pemusnahan dan Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai
Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak dapat
digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi
standar/ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh
pemilik izin edar berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM (mandatory
recall) atau berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar
(voluntary recall) dengan tetap memberikan laporan kepada Kepala BPOM.
Penarikan Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan
terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri.
Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai bila:
a. produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
b. telah kadaluwarsa;
c. tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan
kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan; dan/atau
d. dicabut izin edarnya.
Tahapan pemusnahan terdiri dari:
a. membuat daftar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai yang akan dimusnahkan;
b. menyiapkan Berita Acara Pemusnahan;
c. mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan
kepada pihak terkait;
d. menyiapkan tempat pemusnahan; dan
e. melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan
bentuk sediaan serta peraturan yang berlaku.
8. Pengendalian
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan
dan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai.
Pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dapat dilakukan
oleh Instalasi Farmasi harus bersama dengan Komite/Tim Farmasi
dan Terapi di Rumah Sakit.
Tujuan pengendalian persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai adalah untuk:
a. penggunaan Obat sesuai dengan Formularium Rumah Sakit;
b. penggunaan Obat sesuai dengan diagnosis dan terapi; dan
c. memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi
kelebihan dan kekurangan/kekosongan, kerusakan,
kadaluwarsa, dan kehilangan serta pengembalian pesanan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai.
Cara untuk mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai adalah:
a. melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow
moving);
b. melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam
waktu tiga bulan berturut-turut (death stock);
c. Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala.
9. Administrasi
Administrasi harus dilakukan secara tertib dan
berkesinambungan untuk memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah
berlalu.
Kegiatan administrasi terdiri dari:
a. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan
pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang meliputi perencanaan kebutuhan,
pengadaan, penerimaan, pendistribusian, pengendalian
persediaan, pengembalian, pemusnahan dan penarikan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai. Pelaporan dibuat secara periodik yang dilakukan
Instalasi Farmasi dalam periode waktu tertentu (bulanan,
triwulanan, semester atau pertahun).
Jenis-jenis pelaporan yang dibuat menyesuaikan dengan peraturan yang
berlaku.
Pencatatan dilakukan untuk:
1) persyaratan Kementerian Kesehatan/BPOM;
2) dasar akreditasi Rumah Sakit;
3) dasar audit Rumah Sakit; dan
4) dokumentasi farmasi.
Pelaporan dilakukan sebagai:
1) komunikasi antara level manajemen;
2) penyiapan laporan tahunan yang komprehensif
mengenai kegiatan di Instalasi Farmasi; dan
3) laporan tahunan.
b. Administrasi Keuangan
Apabila Instalasi Farmasi harus mengelola keuangan
maka perlu menyelenggarakan administrasi keuangan.
Administrasi keuangan merupakan pengaturan
anggaran, pengendalian dan analisa biaya, pengumpulan informasi
keuangan, penyiapan laporan, penggunaan laporan
yang berkaitan dengan semua kegiatan Pelayanan
Kefarmasian secara rutin atau tidak rutin dalam periode bulanan,
triwulanan, semesteran atau tahunan.
c. Administrasi Penghapusan
Administrasi penghapusan merupakan kegiatan
penyelesaian terhadap Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak terpakai karena kadaluwarsa, rusak,
mutu tidak memenuhi standar dengan cara membuat usulan penghapusan
Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai kepada pihak terkait sesuai
dengan prosedur yang berlaku.
B. Manajemen Risiko Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai
Manajemen risiko merupakan aktivitas Pelayanan Kefarmasian yang
dilakukan untuk identifikasi, evaluasi, dan menurunkan risiko
terjadinya kecelakaan pada pasien, tenaga kesehatan dan keluarga pasien,
serta risiko kehilangan dalam suatu organisasi.
Manajemen risiko pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan melalui beberapa langkah
yaitu:
1. Menentukan konteks manajemen risiko pada proses pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
2. Mengidentifikasi Risiko
Beberapa risiko yang berpotensi terjadi dalam pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
antara lain:
a. ketidaktepatan perencanaan kebutuhan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai selama
periode tertentu;
b. pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai tidak melalui jalur resmi;
c. pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang belum/tidak teregistrasi;
d. keterlambatan pemenuhan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
e. kesalahan pemesanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai seperti spesifikasi (merek, dosis, bentuk sediaan) dan
kuantitas;
f. ketidaktepatan pengalokasian dana yang berdampak
terhadap pemenuhan/ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai;
g. ketidaktepatan penyimpanan yang berpotensi terjadinya
kerusakan dan kesalahan dalam pemberian;
h. kehilangan fisik yang tidak mampu telusur;
i. pemberian label yang tidak jelas atau tidak lengkap; dan
j. kesalahan dalam pendistribusian.
3. Menganalisa Risiko
Analisa risiko dapat dilakukan kualitatif, semi kuantitatif,
dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan
memberikan deskripsi dari risiko yang terjadi. Pendekatan
kuantitatif memberikan paparan secara statistik berdasarkan data
sesungguhnya.
4. Mengevaluasi Risiko
Membandingkan risiko yang telah dianalisis dengan kebijakan
pimpinan Rumah Sakit (contoh peraturan
perundangundangan, Standar Operasional Prosedur, Surat Keputusan
Direktur) serta menentukan prioritas masalah yang harus segera diatasi.
Evaluasi dapat dilakukan dengan pengukuran berdasarkan target yang
telah disepakati.
5. Mengatasi Risiko
Mengatasi risiko dilakukan dengan cara:
a. melakukan sosialisasi terhadap kebijakan pimpinan Rumah
Sakit;
b. mengidentifikasi pilihan tindakan untuk mengatasi risiko;
c. menetapkan kemungkinan pilihan (cost benefit analysis);
d. menganalisa risiko yang mungkin masih ada; dan
e. mengimplementasikan rencana tindakan, meliputi
menghindari risiko, mengurangi risiko, memindahkan risiko, menahan risiko,
dan mengendalikan risiko.

Anda mungkin juga menyukai