Anda di halaman 1dari 3

In Memoriam Shaifuddin Bahrum

Terlalu Banyak yang Ingin Kuceritakan

Sungguh saya benar-benar terkejut membaca di beberapa group whatsup tentang kepergianmu.
Mataku tiba-tiba basah oleh air mata yang mengenang begitu saja tanpa kusadari. Tak percaya. Ya,
tentu aku tak percaya, sebab baru saja kita bertemu dan wajahmu selalu menyungkinkan senyum.

Tapi begitulah hidup. Kadang-kadang seseorang harus pergi menghadap Sang Pencipta tanpa
disangka-sangka. Tentu banyak hal yang menjadi penyebabnya. Prof. Rasyid Asba dan Anwar Halim
malah pergi begitu saja, tanpa ada yang mengalami sakit, seperti yang kau alami. Dan keduanya
adalah teman-temanmu.

Hari itu, 22 Januari 2020, dinding facebookku pun dipenuhi ucapan bela sungkawa atas kepergianmu
menghadap Sang Pencipta. Doa tulus dan cerita tentangmu berseliwerang di dunia maya. Mulai dari
teman-teman, mahasiswa dan orang-orang yang pernah berinteraksi denganmu. Bahkan mereka
yang hanya pernah membaca dan menonton karyamu, tak ingin pula ketinggalan memberikan
ucapan belasungkawa dan mengirimkan doa.

Berbagai macam cara mereka mengenangmu, menampilkan foto-fotomu dengan berbagai macam
gaya dalam setiap postingan ucapan belasungkawanya.

Sungguh saya terenyuh. Begitu banyak orang yang bersedih atas kepergianmu, hingga saya sendiri
tak mampu menuliskan sepatah kata pun di dinding facebookku untuk mengenang kepergianmu.
Mataku hanya bisa berkaca-kaca membaca setiap kalimat mereka yang pernah berinteraksi
denganmu.

Ya, aku benar-benar tak mampu menulis sepatah kata pun untuk mengenangmu, kecuali segera
mengambil wudhu, shalat dan mengirimkanmu Alfatihah diiringi sejumput doa semoga Allah
menerima segala amal ibadah dan mengampuni segala dosa-dosamu.

Dan di saat itu, air mataku kembali mengenang, bahkan mengalir dilekuk pipiku. Aku segera
menyekanya agar tidak begitu larut dalam kesedihan. Terlalu banyak kenangan yang melintasi di
benakku. Puluhan tahun berinteraksi, tentu banyak hal yang harus kuputar kembali untuk
mengenang saat-saat kita bersama.

Tapi biarlah saya mulai saja di tahun 2002, saat kita sama-sama menjadi panitia Festival dan Seminar
Internasional La Galigo di Barru dan tahun 2003 di Masamba, Luwu Utara. Di tahun 2003 juga kita
sering bersama, saat ingin menerbitkan buku tentang etnis Cina Makassar dan kita sepakat
memberinya judul, Cina Peranakan Makassar, Pembauran Melalui Perkawinan Antarbudaya.

Saat itu, kau memintaku membantu untuk mengedit, melayout dan membuatkan sampul bukumu,
juga membawaku menghadiri beberapa acara, ritual dan pertemuan Cina peranakan di Makassar.
Dengan kemampuan seadanya, saya pun mengiyakan untuk membantu.

Dan Fahmi Syarief (Dosen Unhas) pun ikut terlibat mengedit buku itu. Begitu banyak “layang-layang”
yang beliau buat. Istilah “layang-layang” itu melintasi begitu saja untuk menyebut coretan yang
banyak melintasi paragraf, sebab mencari tempat kosong untuk menunjukkan kesalahan dan
menuliskan koreksiannya.

Dan kata yang terucap dari mulutmu, “Luar biasa betul orang tua itu. Kita sudah edit beberapa kali,
masih juga dia temukan kesalahan.Dan pertemuan kita pun kian intens.

Kau sering datang ke tempat kosku. Bukan hanya seorang diri, tapi terkadang juga dengan istri dan 3
orang anakmu (Kak Ira, Nisa, Nunu dan Acim). Dengan menggunakan motor, kau memboyong
semuanya, meski kadang hanya sekedar singgah untuk mengontrol bukumu yang kukerjakan.

Bisa dibayangkan bagaimana kemampuanmu mengatur keseimbangan sebuah motor yang harus
memuat 5 orang sekaligus. Dan sedikit iseng, saya pun kerap mencandaimu, “Dari latihan sirkus ki’
lagi kanda?” Dan seperti biasa, kau hanya tersenyum, terkadang pula membalas candaanku.

Ah, bagaimana kalau saya mulai saja di tahun 2005, saat kita bersama-sama membantu Pemkab
Soppeng dalam rangka Perayaan Hari Jadi ke 745. Bersama teman-teman, Ahmad Saransi, Hadis
Badawi, Firmansyah (Anca Gonrong), berhari-hari kita menginap di rujab Wakil Bupati, Sarimin
Saransi (kakak Ahmad Saransi).

Dan di situ pun banyak cerita yang tak mungkin saya ceritakan satu persatu dalam tulisan ini. Tapi
yang selalu kuingat sampai sekarang, ketika sering mencandaimu tatkala membaca SMS yang masuk
ke Handphone-mu dengan memajukan tanganmu yang memegang HP menjauh dari badan
mengarah kebawah. Matamu pun memicing.

Dan saat melihat itu, saya selalu berkomentar, “Jangan terlalu bergaya kanda. Masa baca SMS saja
bergaya begitu….” “Bergayanya, baca SMS ji lagi.” Atau ucapan senada lainnya.

Dengan senyum seperti biasa, kau pun kerap membalas candaanku, “Tunggu mi umurmu 40 tahun
lebih, kau juga akan bergaya seperti ini.” Dan apa yang kau katakan itu, benar-benar terjadi. Dan aku
selalu tertawa jika mengingat ucapanmu.

Rasanyanya aku juga ingin memulai kenangan bersamamu di tahun 2006, saat kau ingin kembali
menerbitkan bukumu yang berjudul Bunga Sibollo. Buku ini berisi syair-syair yang ditulis Ho Eng Dji.
Dan kau pun kembali meminta untuk membantu melayout dan membuatkan desain sampul, bahkan
turun ke lapangan menemui keluarga Ho Eng Dji. Aku bahkan masih menyimpan penawaran harga
cetaknya tertanggal 28 Februari 2006.

Atau bagaimana kalau saya mulai saat mengerjakan buku berjudul Ayo Makassar bersama Pak
Arwan Tjahjadi di tahun 2006 atau awal tahun 2007. Beberapa malam, kita sering nongkrong,
begadang dan menginap di Hotel Losari Beach milik beliau untuk menyelesaian buku itu. Dan tentu
banyak cerita yang lucu dan membuat kita sering tertawa jika mengenangnya. Terutama pesan pak
Arwan kepada karyawannya untuk selalu mengawasi kita selama berada di hotel.

Mungkin juga saya bisa mulai bercerita di tahun 2010. Tanggal 3 Juli 2010, bersama Andi Akhmar
(Dosen Unhas), Ahmad Saransi (Kabag di Kantor Perpustakaan dan Kearsipan Sulsel), Yakob Marala
(Seniman), Armin Mustamin Toputiri (anggota DPRD Sulsel), dan Rahmat Masri Bandaso (Wakil
Walikota Palopo), kau pergi melamarkan perempuan yang sah menjadi istriku tanggal 10-10-2010.
Tentu saya tak bisa melupakan momen penting di tahun ini.
Atau…… Sudahlah. Aku kesulitan untuk bercerita tentang kebersamaan kita. Terlalu banyak yang
ingin kuceritakan, tapi biarlah semua menjadi kenangan bagiku. Yang pasti kau orang baik. Kau
sangat menghargai siapapun. Hampir tak ada musuhmu, dan jika pun kau berseberangan dengan
orang lain, kau selalu memilih untuk mengalah. Aku paham betul itu. Begitu banyak cerita yang kau
ceritakan padaku.

Dan saat ini, ternyata aku berhasil menyusun kata-kata untuk mengenangmu. Aku tahu, tulisan ini
cukup kacau. Dan mungkin kau akan banyak mengedit saat membacanya. Tapi sungguh, aku begitu
sulit menulis tentang kenangan bersamamu. Semoga tulisan ini bisa sedikit mewakili kebersamaan
kita.

Selamat jalan, saudaraku, guruku, kakandaku…. Bahagilah di alama sana. Kami semua pasti akan
menyusulmu. Alfatihah.

Anda mungkin juga menyukai