Anda di halaman 1dari 7

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

1. Pengertian nikah

Menurut bahasa nikah berarati terkumpul atau menyatu, menjodohkan atau bersenggama
(wathi’). Menurut istilah syari’at Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki
laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak
dan kewajiban antara kedua insan.

Menurut Undang Undang no 1 Tahun 1974 tentang perkawinan , mendefinisikan bahwa


Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Mahaesa.

Berdasarkan pengertian diatas, disimpulkan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk


membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Sedangkan menurut syari’:

1.Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi

2.Untuk membentengi akhlaq yang luhur dan untuk menundukan pandangan

3.Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami

4.Untuk menghasilkan keturunan yang sah secara biologis dan secara syari’.

1.Pandangan Islam Mengenai Pernikahan Beda Agama


Dalam Islam, menikah bukan hanya menyatukan dua manusia, melainkan ada aturan atauran
yang harus diperhatikan, sehingga dengan aturan aturan itu menimbulkan adanya pernikahan
yang sah dan tidak sah, serta pernikahan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan, lantas
bagaimana dengan pernikahan beda agama ?

Pada dasarnya ulama membolehkan menikah beda agama, namun dengan kondisi seorang
Muslim laki-laki menikah dengan wanita Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi). Ini pendapat jumhur
(mayoritas ulama).

Dalam beberapa literatur dan juga kitab-kitab Tafsir disebutkan perbedaan pendapat apakah
selain wanita Ahli Kitab, seorang Muslim boleh menikahinya? Artinya ulama berbeda pendapat
tentang kebolehan menikahi wanita non-Muslim yang dari selain Ahli Kitab.

Imam Syafi’i dalam kitab klasiknya, Al-Umm, mendefinisikan Kitabiyah dan non Kitabiyah
sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani
yang berasal dari keturunan bangsa Israel asli. Adapun umat-umat lain yang menganut agama
Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka tidak termasuk dalam kata ahlul kitab. Sebab, Nabi Musa a.s.
dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali untuk Israil dan dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi
umat-umat setelah Bani israil.”

Jumhur sahabat dan jumhur ulama pun membolehkan pernikahan berbeda agama dalam keadaan
seperti ini, yakni laki laki muslim menikahi wanita muslim, diantara para jumhur shahabat
membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyah, diantaranya adalah Umar bin Al-
Khattab, Ustman bin Affan, Jabir, Thalhah, Huzaifah. Bersama dengan para shahabat Nabi juga
ada para tabi`Insya Allah seperti Atho`, Ibnul Musayib, al-Hasan, Thawus, Ibnu Jabir Az-Zuhri.

Adapun jika keadaannya terbalik, wanita muslim menikahi laki laki non muslim (kafir / musyrik)
Ijma’ (konsensus) ulama: tidak diperbolehkan seorang wanita Muslimah menikah dengan laki-
laki non-Muslim, apapun jenis ke-non-Muslimannya. Entah itu dia seorang Nasrani, Yahudi,
Budha, Hindu atau agama pun, yang penting ia bukanlah seorang Muslim.

Yang sedikit berbeda pendapatnya hanyalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, dimana
mereka berdua tidak melarang hanya memkaruhkan menikahi wanita kitabiyah selama ada
wanita muslimah.

Pendapat yang mengatakan bahwa nasrani itu musyrik adalah pendapat Ibnu Umar. Beliau
mengatakan bahwa nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa tidak
ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa. Sehingga
menurut mereka menikahi wanita ahli kitab itu haram hukumnya karena mereka adalah musyrik.

Namun jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa wanita kitabiyah itu boleh dinikahi, meski ada
perbedaan dalam tingkat kebolehannya. Namun demikian, wanita muslimah yang komitmen dan
bersungguh-sungguh dengan agamanya tentu lebih utama dan lebih layak bagi seorang muslim
dibanding wanita ahlul kitab. Juga apabila ia khawatir terhadap akidah anak-anak yang lahir
nanti, serta apabila jumlah pria muslim sedikit sementarawanita muslimah banyak, maka dalam
kondisi demikian ada yang berpendapat haram hukumnyapria muslim menikah dengan wanita
non muslim.

Secara ringkas hukum nikah beda agama bisa kita bagi menjadi demikian :

1.Suami Islam, istri ahli kitab = boleh

2.Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram

3.Suami ahli kitab, istri Islam = haram

4Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram

Dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab namun tidak sebaliknya
karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa atas isterinya, dan bertanggung jawab
terhadap dirinya. Namun perlulah diketahui masih adakah yg namanya wanita ahlul kitab zaman
sekarang ? wallahu`alam..itu seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.dan untuk hal satu
ini..adalah sulit laki laki menemukan wanita ahli kitab walaupun diperbolehkan.

Islam menjamin kebebasan aqidah bagi isterinya, serta mlindungi hak-hak dan kehormatannnya
dengan syariat dan bimbingannya. Akan tetapi, agama lain seperti nasrani dan yahudi tidak
pernah memberikan jaminan kepada isteri yang berlainan agama.

1.Dalil Mengenai Pernikahan Beda Agama

Allah Ta’ala berfirman,

‫ار إِلَى يَدْعُونَ أُولَئِكَ أ َ ْع َجبَ ُك ْم َو َل ْو ُم ْش ِرك ِم ْن َخ ْير ُمؤْ ِمن َولَعَبْد يُؤْ ِمنُوا َحتَّى ْال ُم ْش ِركِينَ ت ُ ْن ِك ُحوا َوال‬
ِ َّ‫الن‬

“…….dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)


sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik
,walaupun dia menarik hatimu, mereka mengajak ke neraka,….” ( QS: Al-Baqarah: 221)

(almumtahanah 10)

“…mereka (wanita-wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir
itu tiada halal pula bagi mereka… “ (QS: Al-Mumtahanah: 10)

Dua ayat ini secara tegas mengatakan bahwa wanita Muslimah itu haram dinikahkah dengan
orang kafir bagaimana pun alasannya. Dan ulama telah mengatakan bahwa ini adalah Ijma’
ulama.Jika suatu hukum itu sudah dihukumi oleh sebuah Ijma’, maka sudah tidak ada lagi
perselisihan pendapat didalamnnya. Begitu suatu masalah dihukumi, dan hukum itu tidak
diperselisihkan oleh ulama yang lain, maka itu menjadi ijma’. Dan ketika sudah menjadi Ijma’,
sudah tidak perlu lagi dipertanyakan. Ini prinsip yang dipegang oleh para fuqaha’ (ahli fiqih).

Adapun ayat yang terkandung dalam surah Al-Maidah ayat 5, seperti dibawah ini:

(al maidah 5)Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang Ahli kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang Ahli kitab sebelum kamu…..” (QS. Al-
Maidah: 5).Ayat ini ialah takhshish [‫ ]تخصيص‬untuk ayat 221 surah al-Baqarah diatas. Disebutkan
bahwa wanita non-Muslim (musyrik) itu tidak boleh dinikahi oleh laki-laki Muslim. Pada ayat
ini terjadi pengkhususan, bahwa larangan yang ada di surah al-Baqarah itu untuk wanita musyrik
saja, sedangkan Ahli Kitab, dibolehkan.Artinya bahwa kalau wanita itu Ahli Kitab, tetap boleh.
Walaupun ia seorang wanita kafir. Karena yang dilarang itu ialah wanita kafir yang selain Ahli
Kitab.Larangan bagi wanita Muslimah untuk menikah dengan laki-laki non-Muslim tetap
berlaku. Karena ayat ini ialah takhshish [‫ ]تخصيص‬bukan naskh [‫ ]نسخ‬yang menghapus kandungan
hukum dalam ayat. Ini hanya pengkhususan saja. Maka yang tidak dikhususkan dalam ayat,
hukumnya tetap berlaku.

Landasan Utama Pasangan dalam Islam


Dalam agama islam, syarat untuk bisa melakukan pernikahan adalah keimanan dari orang
tersebut. Hal ini menjadi syarat utama, mengingat bahwa nilai dasar dalam keluarga islam
haruslah berdasarkan ketauhidan dan membangun keluarga yang juga bisa berdampak dan
membangun islam. Sebagaimanpun umat islam memiliki pilihan pasangan, namun perlu
diperhatikan pula cara memilih calon pendamping hidup sesuai syariat agama.

Rasulullah SAW pernah bersabda,

“Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya,
dan karena agamanya, maka sebaik-baik perempuan adalah perempuan yang dinikahi karena
agamanya” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dalam hadist tersebut menunjukkan bahwa sebetulnya dalam ajaran islam aspek agama menjadi
dasar dalam pemilihan pasangan. Kita bisa saja memilih pasangan dari aspek hartanya, asal
keturunannya, kecantikan parasnya atau hal-hal lain yang melekat pada dirinya. Namun,
Rasulullah mengajarkan agar meletakkan pondasi pemilihan pasangan, dan mencintai orang yang
memang memiliki keimanan dan agama yang kuat.

Dalam QS Al-Baqarah : 221, Allah menyampaikan pada umat islam,

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.


Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke
surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”
Islam memiliki kriteria calon suami menurut islam dan kriteria calon istri menurut islam yang
harus diperhatikan. Hal ini dijelaskan juga dalam QS An-Nur : 26, Allah menyampaikan pula
bahwa,

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik
dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)….”
Dari penjelasan ayat tersebut kita bisa melihat hal-hal mendasar yang menjadi aturan islam
terkait pemilihan pasangan yang berlandaskan kepada islam. Hal tersebut diantaranya adalah :

1. Larangan Menikahi wanita atau laki-laki musyrik sebelum beriman

Secara eksplisit aturan Islam melarang menikahi wanita atau laki-laki musyrik sebelum mereka
beriman. Dalam hal ini berarti umat islam, para muslim dan mukmin dilarang untuk menikah
dengan orang yang tidak memiliki keimanan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Kecuali mereka
dalam kondisi sudah beriman dan tidak akan keluar dari keyakinan tersebut.
Orang-orang musyrik pada zaman Rasulullah adalah orang-orang yang membenci islam,
mengkhianati perjuangan Rasulullah, bahkan diam-diam ingin merusak atau menghancurkan
islam. Jika salah satu umat islam menikah dengan orang yang berlainan agama tersebut, terdapat
kekhawatiran berdampak pada perjuangan islam pula. Seperti bocornya strategi, merubah
keyakinan dari orang islam, atau kurang kuatnya pondasi islam di keluarga tentunya berdampak
pada pondasi islam di keluarga. Selain itu, syirik dalam islam pun dosanya sangat besar dan
termasuk pada dosa yang tak terampuni.

Sepasang suami istri sebagaimana satu tubuh dan pakaian. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-
Quran, Surat Al-Baqarah : 187,“Mereka (para istri) adalah pakaian bagimu dan kamu pun
adalah pakaian bagi mereka,”. Untuk itu penting memahami cara memilih pendamping dalam
islam.
Dalam hal ini suami istri saling mempengaruhi. Kekuatan iman tentunya juga ditentukan dari
bagaimana hubungan antara suami istri. Bagaimana mungkin seorang muslim bisa memelihara
keimanan jika pasangannya saja bukan berasal dari keyakinan yang sama, tentunya sulit untuk
saling memperkuat. Padahal keimanan seseorang tentunya bisa turun dan naik.

Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa islam melarang untuk menikah dengan orang yang
berpotensi pada kuatnya pembangunan islam di masyarakat lewat keluarga, bukan malah
sebaliknya. Bahkan Allah memberikan peringatan dan ancaman siksaan neraka bagi mereka yang
masih melakukannya, serta balasan surga bagi yang meniggalkannya.

2. Budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik yang disukai

Larangan untuk menikahi wanita atau laki-laki musyrik juga disertai dengan pernyataan Allah
bahwa budak yang mukmin lebih baik ketimbang seorang musyrik yang menarik hati. Dalam
ayat tersebut dapat kita pahami pula bahwa walaupun ada perasaan cinta atau kemenarikan
terhadap orang yang berbeda agama namun itu bukanlah hal yang baik.

Seorang budak, mereka mungkin terbelakang, terbiasa menjadi bawahan orang, tidak memiliki
harta dan kedudukan yang tinggi, namun jikalau budak tersebut seorang mukmin tentunya bukan
jadi masalah. Tentunya budak yang mukmin adalah budak yang memiliki keimanan terhadap
Allah dan Rasul serta memiliki loyalitas tinggi bagi islam, sehingga tidak berpotensi untuk
melakukan pengrusakan atau pengkhianatan terhadap perkembangan agamanya sendiri.

Lagi-lagi Allah menekankan keyakinan menjadi hal penting, dan cinta menjadi dikesampingkan
untuk urusan keimanan seseorang. Karena fungsi iman kepada Allahbukanlah dirasakan hanya
jangka pendek, namun hingga ke akhirat kelak.

3. Pemilihan pasangan adalah berdasarkan akhlak atau moralitas (bukan yang keji)

Dalam ayat yang dijelaskan di atas bahwa lelaki yang baik-baik akan berpasangan dengan wanita
yang baik-baik. Sebaliknya, jika yang buruk atau keji akan bersama dengan yang buruk. Hal ini
islam pun memerintahkan umatnya untuk memilih pasangan untuk dinikahi adalah yang baik dan
melihat ketaqwaanya pada Allah. Untuk itu penting kiranya bagi laki-laki muslim pun
mengetahui ciri wanita yang baik untuk dinikahi menurut islam.
Jika umat islam menikah dengan yang beda agam tentu syarat tersebut menjadi absurd. Hal ini
dikarenakan standart baik atau buruk masing-masing kepercayaan atau agama bisa berbeda.
Contohnya saja, dalam islam memakan daging babi, bangkai, dan darah adalah suatu yang
haram. Hal ini akan ditemui berbeda jika ditemukan pada kepercayaan yang lain.

4. Pemilihan pasangan berdampak kepada nasib di hari akhir kelak

Allah menyampaikan bahwa orang-orang musyrik mengajak kepada neraka, sedangkan aturan
Allah menyelamatkan untuk ke surga. Hal ini menunjukkan bahwa pasangan pernikahan sangat
menentukan nasib kita di akhirat kelak. Bukan karena status musyriknya saja, melainkan ajakan-
ajakan dari kaum yang berbeda agama bisa bernilai buruk dan dosa dihadapan Allah. Sedangkan
jika semakin banyak hal-hal keburukan yang kita lakukan akan berdampak pada timbangan
kebaikan kita kelak di akhirat. Allah tidak ingin diduakan, sedangkan bersama musyrik potensi
untuk menduakan Allah tentulah sangat besar sekali.

Islam Melarang Pernikahan Beda Agama


Dari ayat diatas, kita bisa mengetahui bahwa Islam melarang pernikahan berbeda agama,
sebelum nantinya mereka masuk kepada agama islam. Mengenai larangan islam untuk menikah
beda agama, kita bisa merangkumnya dalam dua keterangan Al-Quran dan Sunnah Rasul. Kita
bisa melihat apakah rasul juga pernah melakukan pernikahan beda agama.

1. Keterangan dalam Al-Quran

Dari keterangan di atas, dapat diketahui bahwa islam melarang untuk melangsungkan pernikahan
dengan berbeda agama, sebelum orang tersebut menjadi seorang muslim dan mukmin. Bukan
hanya saja sebagai larangan, namun terdapat ancaman akhirat yang dimana neraka menjadi ruang
yang terbuka bagi mereka yang terajak oleh ajakan kemusyrikan yaitu yang menduakan Tuhan
selain Allah.

2. Rasulullah para Sahabat Tidak Menikahi Wanita yang Beda Agama

Rasulullah SAW dan Sahabat terdekat tidak pernah menikahi wanita yang berbeda agama. Istri-
istri Nabi Muhammad selalu beragama islam, walauoun sebelumnya belum beriman. Mereka
menikahi para wanita ahlul kitab atau kaum yang beragama lain setelah mereka masuk islam,
mengikrarkan syahadat, dan mengakui Allah sebagai Tuhan serta mau mengikuti ajaran yang
disampaikan. Wanita yang belum beriman, maka tidak dinikahi oleh Rasulullah dan Sahabat.
Pun awalnya mereka berkeyakinan lain, namun pada akhirnya mengikuti dan berikrar syahadat
terlebih dahulu.

Rasulullah pernah menikahi seorang bekas tawanan perang yang merupakan mantan dari budak
kerajaan kristen koptik. Wanita tersebut bernama Maryatul Qibtiyah. Dia masuk islam dan
kemudian dibebaskan dari status kebudakanya. Setelah berikrar syahadat barulah Rasulullah
menikahinya. Sebelum Maria menyatakan keislamannya atau telah berstatus mualaf, maka ia
tidak dinikahi oleh Rasul. Untuk itu, kita bisa melihat Rasulullah tidak pernah menikah dengan
wanita bukan muslim.
Fatwa Ulama MUI persoalan pernikahan beda agama

Mengenai pernikahan beda agama, para ulama pun bersepakat mengenai hal tersebut. Hal ini
dijelaskan dalam FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/
/2005 Tentang PERKAWINAN BEDA AGAMA. Kesimpulan dari fatwanya adalah sebagai
berikut :

1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.


2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram
dan tidak sah.

Dari yang telah dijelaskan pada pembahasan di atas tentunya hal ini tidak bertentangan ara
pendapat ulama di Majelis Ulama Indonesia. Untuk itu jelas pernikahan beda agama yang bukan
atas dasar islam adalah haram dan dilarang oleh Islam sedangkan statusnya adalah tidak sah.

Dampak Pernikahan dari Beda Agama


Haram atau pelarangan nikah beda agama oleh Islam tentunya bukanlah suatu yang tidak ada
dasar. Setiap aturan islam tentunya memiliki dampak yang positif jika dilakukan, jika dilanggar
akan berdampak negatif. Fungsi agama adalah melindungi umatnya agar tidak terjebak pada
jurang kesesatan dan keburukan. Untuk itu begitupun dengan larangan pernikahan beda agama.
Dampak dari pernikahan beda agama dapat kita lihat sebagai berikut.

 Pondasi Islam di Keluarga tidaklah kuat sehingga keluarga tidak menjadi keluarga islami yang
diharapkan oleh Allah dalam ajaran islam.
 Anak bisa mendapatkan kebingunan dalam hal Pendidikan Agama karena melihat perbedaan
keyakinan dan teknis beribadah dari kedua orang tuanya.
 Berpotensi pada konflik rumah tangga karena ketidaksamaan prinsip, keyakinan, dan teknis
menyelesaikan permasalahan
 Seorang muslim dapat saja berpindah agama atau keyakinan karena pengaruh dari pasangannya.
Untuk itu bisa mengancam keimanan dari dirinya, padahal itu dibenci oleh Allah
 Kebahagiaan dunia dan akhirat berpotensi untuk hilang, karena konflik dan ancaman neraka bagi
yang mengikutinya

Untuk itu, menghindari konflik dalam keluarga salah satunya adalah kita memilih pasangan yang
seiman, serta memperhatikannya dengancara menjaga keharmonisan rumah tangga menurut
islam.

Terhadap adanya orang yang berbeda agama tentunya tidak masalah jika kita menjaga hubungan
baik karena tentunya ada manfaat toleransi antar umat beragama. Namun toleransi berbeda
dengan kita mengikuti ajarannya pula apalagi mempersatukannya dalam sebuah pernikahan.

 Tags

Anda mungkin juga menyukai