Anda di halaman 1dari 70

MAKALAH

DIARE DAN KONSTIPASI


Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Obat Gangguan Endokrin dan Saluran Pencernaan
Dosen: Tri Wahyuni, M.Biomed., Apt.

Disusun Oleh :

Kelompok 5

A. Rinciani Putri 1306377165 Fismia Hikmah Tiara 1306376553


Amirah 1306480244 Hilmia Erianto 1306377026
Astari Rachma N. 1306404424 Kartika Dwi Sukmawati 1306376471
Claudia Nelrima E. 1306397192 M. Aditya Wardana 1306408523
Desta Andriyani 1306377083 Rahmadina Providya 1306377064
Erwin 1306408504

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2015
PEMBAGIAN TUGAS MATERI DISKUSI
1
1. A. Rinciani Putri Patofisiologi Konstipasi (kurang serat,
penggunaan obat opiat, geriatri)
2. Amirah Farmakologi diare
3. Astari Rachma Nityasa Farmakoterapi konstipasi dan farmakologi
konstipasi (laksatif osmotik dan laksatif
stimulan)
4. Claudia Nelrima Fisiologi penyerapan
5. Desta Andriyani Fisiologi usus halus
6. Erwin Patofisioogi diare (diare sekretori)
7. Fismia Hikmah Tiara Farmakoterapi diare dan farmakologi diare
8. Hilmia Erianto Fisiologi usu besar dan anus
9. Kartika Dwi Sukmawati Patofisiologi konstipasi (gangguan GIT,
gangguan endokrin, kehamilan, gangguan
neurogenik)
10. M. Aditya Wardana Patofisiologi diare (diare motilitas dan diare
osmotik)
11. Rahmadina Providya Farmakologi konstipasi (bulk forming
laxatives, surfactant laxatives), farmakoterapi
konstipasi

KATA PENGANTAR

2
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Tri Wahyuni, M.Biomed., Apt. selaku dosen pembimbing kami dalam proses
pembuatan makalah ini. Kami juga berterima kasih atas bantuan semua pihak yang secara
langsung maupun tidak langsung telah memberikan dukungan moral maupun materi kepada
kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar.
Untuk kedepannya kami berharap makalah Diare dan Konstipasi sebagai tugas mata
kuliah Obat Gangguan Endokrin dan Saluran Pencernaan yang telah kami susun dapat
berguna bagi pembaca. Sebelumnya kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki
banyak kekurangan. Untuk itu kami menerima kritik dan saran untuk memperbaiki makalah
ini.

Depok, 12 Desember 2015

Tim Penulis

DAFTAR ISI

PEMBAGIAN TUGAS MATERI DISKUSI.......................................................................................2

3
KATA PENGANTAR ...........................................................................................................................3

DAFTAR ISI...........................................................................................................................................4

Bab I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………................................................................................................................6

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................................6

1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................................6

1.4 Metode Penulisan........................................................................................................................6

Bab II ISI

2.1 Fisiologi..........................................................................................................................7

2.1.1 Usus Halus..............................................................................................7

2.1.2 Usus Besar dan Anus............................................................................15

2.2 Patofisiologi Diare........................................................................................................25

2.3 Terapi Non Farmakologi Diare....................................................................................31

2.4 Terapi Farmakologi Diare............................................................................................31

2.5 Farmakoterapi Diare.....................................................................................................49

2.6 Patofisiologi Konstipasi................................................................................................51

2.7 Terapi Non Farmakologi Konstipasi............................................................................57

2.8 Terapi Farmakologi Konstipasi....................................................................................58

2.9 Farmakoterapi Konstipasi.............................................................................................70

Bab III PENUTUP

3.1 Kesimpulan...............................................................................................................................72

3.2 Saran……………………………..…………………………………………...................….....72

4
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................73

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


5
Diare adalah penyakit peningkatan frekuensi defekasi dan bobot cairan, volume, dan
berat feses. Berdasarkan mekanismenya diare yang sering terjadi diklasifikasikan menjadi
diare sekretori, diare motilitas, dan diare osmotik. Golongan obat yang digunakan untuk
penanganan diare antara lain antimotilitas, adsorben, laktosa, dan antibiotik.
Konstipasi merupakan penyakit yang disebabkan oleh penyakit lainya. Hal ini menunjukkan
bahwa banyak hal yang dapat menyebabkan konstipasi. Secara garis besar penyebab kontipasi
adalah konsumsi kurang serat, penggunaan obat golongan opiat, dan gangguan psikogenik.
Beberapa obat dapat menangani konstipasi salah satunya adalah golongan laksatif.

1.2 Rumusan Masalah


1. Mengetahui fisiologi usus halus, usus besar, anus, serta penyerapan yang terjadi pada saluran
gastrointestinal tersebut
2. Mengetahui patofisiologi atau penyebab diare dan konstipasi
3. Mengetahui golongan- golongan obat yang digunakan sebagai terapi peyembuhan diare dan
konstipasi
4. Mengetahui tata laksana penanganan diare dan konstipasi

1.3 Tujuan Penulisan

Memberikan pengetahuan lebih bagi penulis dan pembaca mengenai penyakit diare dan konstipasi
serta penanganannya

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan yang dilakukan adalah telusur pustaka dari jurnal dan buku- buku
terkait yang sesuai dengan materi diare konstipasi

BAB II
ISI
2.1. FISIOLOGI

6
2.1.1 Usus Halus

Gambar 1. Usus halus

Dalam sistem pencernaan, usus halus merupakan tempat terjadinya sebagian


besar pencernaan serta penyerapan nutrisi-nutri makanan yang berguna bagi tubuh kita.
Secara garis besar, usus halus memiliki 3 bagian utama yaitu Duodenum, Jejunum dan
Ileum dimana dari ketiga bagian tersebut, jejunum memiliki ukuran yang lebih panjang
yang menyebabkan pada bagaian tersebut terjadi penyerapan secara besar-besaran.
Usus halus terletak bergelung diantara rongga abdomen tepatnya diantara
lambung dan usus besar. Dan dalam sistem pencernaan, secara garis besar usus halus
melakukan 3 aktivitas yaitu:
1. Motilitas
2. Sekresi getah pencernaan
3. Penyerapan

Dari ketiga aktivitas diatas, yang akan dibahas lebih jauh dan yang nantinya
berkaitan dengan patofisiologis diare serta konstipasi ialah motilitas dan penyerapan.
Berikut ini penjelasan dari kedua aktivitas tersebut:

2.1.1.1 Motilitas
Motilitas yang dilakukan oleh usus halus bertujuan untuk melakukan
pencampuran dan pendorongan kimus dari lambung ke sepanjang usus halus
hingga mencapai usus besar nantinya. Ada 2 macam motilitas yang dilakukan
usus halus, yaitu
7
a. Segmentasi
Segmentasi merupakan motilitas utama usus halus saat mencerna makanan
dimana proses ini berfungsi untuk mencampur dan mendorong kimus secara
perlahan. Terjadi kontraksi otot polos sirkular yang distimulasi oleh saraf
parasimpatis pada usus halus sehingga usus halus akan membentuk suatu
cincin-cincin kontraktil dimana saat berkontraksi, cincin-cincin kontraktil
ini akan melakukan gerakan dua arah yaitu kedepan dan kebelakang,
dengan adanya pergerakan tersebut kimus dapat tercampur secara optimal
serta terdorong secara perlahan melewati usus halus. Proses segmentasi
terjadi secara kuat setelah makan. Dimana duodenum akan memulai
segmentasi ketika terjadi peregangan dikarenakan keberadaan kimus,
sedangkan ileum akan memulai segmentasi ketika hormon gastrin
disekresikan sebagai tanda bahwa kimus berada di dalam lambung (refleks
gastroileum). Pada duodenum proses segmentasi terjadi 12x per menit
sedangkan pada ileum terminal proses ini terjadi 9x per menit, kimus akan
terdorong perlahan agar pencampuran merata dan penyerapannya optimal.
b. Migrating Motility Complex
Merupakan motilitas diantara waktu makan. Berbentuk gelombang
peristaltik lemah berulang dalam jarak yang pendek sampai kebagian hilir
usus halus. Kontraksi yang terjadi akan menyapu sisa-sisa makanan, debris
mukosa dan bakteri menuju kolon. Proses ini dibantu oleh hormon motilin
yang disekresi oleh sel-sel endokrin mukosa usus halus saat keadaan tidak
makan
2.1.1.2 Penyerapan
Penyerapan merupakan proses utama yang terdapat didalam usus halus,
dimana bagian dari usus halus yang merupakan tempat menyerap nutrisi terbesar
ialah duodenum dan jejunum. Meskipun duodenum dan jejunum merupakan
tempat paling optimal melakukan penyerapan, bukan berarti ileum tidak
melakukan penyerapan. Penyerapan yang terjadi di ileum tidak terlalu besar
karena memang sebagain besar telah terserap lebih dahulu pada bagian awal usus
halus, akan tetapi vitamin B12 serta garam-garam empedu lebih banyak diserap
pada bagian ini.
Usus halus memiliki mukosa dengan luas permukaan yang besar, itu sebabnya
proses penyerapan terbesar terjadi pada organ ini. Semakin besar luas permukaan,
maka semakin optimal penyerapan yang terjadi. Sel-sel epitel usus halus itu

8
sendiripun memiliki berbagai macam mekanisme kerja transport aktif yang dapat
membantu proses penyerapan.
Adapun nutrisi yang diserap di usus halus itu sendiri meliputi, karbohidrat,
lemak, protein, vitamin, mineral, garam-garam empedu, ion dan yang paling
utama ialah air. Setiap zat tersebut memiliki mekanisme penyerapannya masing-
masing, pada bagian ini akan dibahas penyerapan dari kalsium karena beberapa
sudah dibahas sebelumnya.
a. Penyerapan kalsium

Gambar 2. Proses penyerapan kalsium


Silverthorn, D.U. 2010. Human Physiology: an Integrated Approach 5th Ed. San Fransisco: Pearson Benjamin Cummings
Publishing

Manusia mengkonsumsi kalsium setiap harinya sebanyak 100mg, akan


tetapi yang nantinya akan diserap kedalam tubuh hanyalah dua pertiga dari
jumlah tersebut. Di dalam tubuh mineral yang paling banyak diserap adalah
besi dan kalsium.Apabila tubuh kekurangan besi dan kalsium, maka akan
terjadi peningkatan penyerapan kedua mineral tersebut di dalam usus halus.
Penyerapan kalsium di usus halus ditingkatkan oleh hormon calcitriol
(vitamin D3) dari vitamin D yang diperoleh melalui diet atau sinar matahari
melalui. Sebelum menjadi calcitriol, vitamin D di metabolisme di hati
menjadi 25-kolekalsiferol kemudian berlanjut di ginjal untuk mendapatkan

9
bentuk calcitriolnya. Ketika konsentrasi kalsium dalam plasma menurun,
maka sekresi hormon paratiroid akan meningkat sehingga akan memberikan
feedback negatif kepada ginjal untuk meningkatkan sekresi calcitriol dan
meningkatkan penyerapan kalsium ke usus halus.
b. Volume cairan yang diserap oleh tubuh

Gambar
3. Volume
cairan yang
diserap usus

Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia: Dari Sistem ke Sel edisi ke-6. Jakarta: EGC

Setiap harinya, 9500 ml cairan yang masuk ke usus halus dimana 2500
berasal dari eksternal yaitu makanan dan minuman sedangkan 7000ml
sisanya merupakan getah-getah hasil sekresi pencernaan. Dari 9500ml itu
yang akan diserap oleh usus halus hanya 9000ml nya saja termasuk getah-
getah pencernaan sehingga tubuh tidak akan kehilangan getah- getah
pencernaan tersebut. Sisanya yaitu 500ml akan masuk ke kolon.

c. Proses Pencernaan dan Penyerapan Lemak

10
Gambar 4. Proses pencernaan lemak yang terjadi di dalam tubuh

Lemak yang masuk ke dalam tubuh ada yang sudah dalam bentuk siap
untuk di absorpsi dan ada yang dalam bentuk belum siap di absorpsi. Oleh
karena itu, lemak dalam bentuk belum siap diabsorpsi oleh usus halus akan
di metabolisme lagi dan diuraikan oleh enzim lipase dalam usus halus
sehingga bisa menjadi asam lemak dan molekul gliserol yang siap untuk di
absorbsi oleh usus halus dan siap untuk dibawa darah menuju jaringan yang
memerlukan.

Proses pencernaan dan penyerapan lemak di dalam usus halus :

1. Lemak makanan dalam bentuk lemak besar akan mengalami


emulsifikasi oleh garam empedu menjadi suspensi butiran – butiran
halus, emulsi lemak ini mencegah menggumpalnya butiran tersebut
sehingga meningkatkan luas permukaan untuk diserang oleh lipase
pankreas
2. Lipase menghidrolisis trigliserida menjadi monogliserida dan asam
lemak bebas
3. Produk-produk ini lalu dibawa ke bagian interior misel larut air yang
dibentuk garam empedu. Lalu garam empedu akan mmenyelubungi
monogliserida dan asam lemak bebas menuju permukaan luminal sel
epitel usus halus
4. Setelah mendekati membran epitel, monogliserida, dan asam lemak
akan berdifusi dari misel menembus komponen lemak membran sel
epitel untuk masuk ke ke interior sel
5. Trigliserida-trigliserida lalu menyatu dan dibungkus lapisan
lipoprotein membentuk kilomikron untuk dikeluarkan secara
eksositosis dan menembus masuk ke pembuluh limfel, lakteal sentra

11
6. Garam-garam empedu terus mengulangi fungsi melarutkan lemak di
sepanjang usus halus sampai semua lemak terserap

Gambar 5. Proses penyerapan lemak

d. Proses Penyerapan Vitamin

Penyerapan vitamin biasanya berlangsung secara pasif. Vitamin yang


dapat larut dalam air akan lebih mudah diserap secara pasif bersama dengan
air sebagai pelarutnya. Sementara untuk vitamin yang larut dalam lemak
akan dibawa dalam misel dan diserap secara pasif bersama produk-produk
akhir metabolisme lemak (monogliserida dan asam-asam lemak)

12
Sementara vitamin B12 memiliki sifat unik yaitu harus berikatan terlebih
dahulu dengan faktor intrinsik lambung agar dapat diserap melalui proses
endositosis yang diperantarai oleh reseptor di ileum terminal
e. Proses Penyerapan Besi dan Kalsium
Berbeda dengan penyerapan elektrolit lain, besi dan kalsium tidak dapat
seluruhnya diserap oleh tubuh karena penyerapan keduanya berada di
bawah pengaturan dan bergantung pada kebutuhan tubuh. Penyerapan besi
ke dalam darah melibatkan dua langkah utama, yaitu penyerapan besi dari
lumen ke dalam sel epitel usus halus dan penyerapan besi dari sel epitel ke
dalam darah.
Besi diserap secara aktif oleh lumen ke dalam sel epitel usus halus. Ada
beberapa hal yang mempengaruhi transpor aktif dari zat besi, yaitu jenis
kelamin (wanita memiliki tempat transpor aktif empat kali lebih banyak
dari pria), bergantung dari jenis zat besi yang diserap dan adanya zat lain
yang dapat mempengaruhi penyerapan zat besi (contoh : vitamin C dapat
meningkatkan penyerapan zat besi).
Setelah diserap ke dalam sel epitel usus halus, zat besi memiliki dua
kemungkinan yang terjadi, yaitu :
1. Besi yang segera dibutuhkan untuk produksi sel darah akan
langsung diserap ke dalam darah untuk disalurkan ke dalam sumsum
tulang.
2. Besi yang tidak segera dibutuhkan akan tetap tersimpan dalam sel
epitel dalam bentuk granular yg disebut ferritin
Proses penyerapan besi :

Gambar 6. Proses penyerapan besi

13
1. Hanya sebagaian dari besi yang tertelan yang berada dalam bentuk yang
dapat diserap
2. Besi dalam diet yang diserap ke dalam sel epitel usus halus dan segera
dibutuhkan untuk produksi sel darah merah akan dipindahkan ke dalam
darah
3. Di dalam darah, besi yang diserap akan diangkut ke sumsum tulang dalam
bentuk terikat ke transferin
4. Besi dalam makanan diserap namun tidak digunakan akan diubah menjadi
bentuk feritin
5. Kelebihan besi dalam darah dapat dibuang ke kompartemen feritin
6. Besi yang tidak digunakan dapat dikeluarkan bersama tinja ketika sel epitel
mengandung feritin terlepas
7. Besi dalam makanan juga akan dikeluarkan bersama tinja jika tidak diserap
Penyerapan kalsium dapat dilakukan dengan difusi pasif tetapi
umumnya dilakukan dengan transpor aktif. Vitamin D sangat meningkatkan
traspor aktif dari penyerapan kalsium. Vitamin D ini menghasilkan efek
setelah diaktifkan di hati dan ginjal dan distimulasi oleh hormon paratiroid.
Dalam keadaan normal, hanya dua per tiga dari 1000 mg kalsium yang
dapat diserap oleh usus halus.
2.2 Usus Besar dan Anus

Gambar 7. Anatomi Usus Besar

Usus besar adalah organ dalam sistem pencernaan yang terletak setelah usus halus
(intestine). Usus besar memiliki panjang sekitar 5 kaki atau 1,5 meter. Fungsi usus
besar adalah sebagai tempat penyerapan dan penyimpanan residu makanan sebelum
14
defekasi (pegeluaran feses melalui lubang anus). Usus besar terdiri dari empat bagian
utama yaitu sekum, apendiks, kolon, dan rektum.

Gambar 8. Anatomi Usus Besar dan Lapisan Dinding Usus Besar

2.1.2.1 Sekum

Gambar 9. Sekum

Bagian dari usus besar yang letaknya paling dekat dengan usus halus.
Sekum adalah kantung buntu yang terletak setelah pertemuan antara usus
halus dengan usus besar. Pertemuan antara usus halus dengan usus besar itu
sendiri dibatasi oleh sebuah katup yang dinamakan katup ileosekum atau
ileosecal valve.
Katup ileosekum adalah katup pada persimpangan ileum dengan usus
besar yang dikelilingi oleh otot polos yang menebal (ileocecal sphincter).

15
Terdapat 2 faktor yang mengatur kemampuan katup ini sebagai pembatas
antara usus halus dan usus besar yaitu:
Anotominya yang terdiri dari lipatan jaringan menonjol dari ileum ke
dalam lumen sekum. Ketika isi ileum terdorong ke arah sekum maka katup
ini akan mudah terbuka. Tetapi lipatan jaringan menonjol tersebut akan
dipaksa tertutup ketika isi sekum mencoba untuk bergerak mundur.
Lapisan otot polos yang menebal pada bagian akhir dinding ileum yang
membentuk sphincter ileocecal. Bagian ini aktivitas kerjanya diatur oleh
sistem saraf dan hormon. Apabila terjadi distensi (penggelembungan) ileum
maka bagian ini akan mengalami relaksasi yang dimediasi oleh pleksus
intrinsik. Sementara itu ketika terdapat sedikit tekanan pada sekum maka
sphincter ini akan berkontraksi sehingga katup akan tertutup. Mekanisme
relaksasi dan kontraksi ini akan menyebabkan isi ileum terdorong ke arah
sekum sekaligus mencegah masuknya bakteri usus besar ke usus halus.

Gambar 10. Katup Ileosekum

2.1.2.2 Apendiks

16
Gambar 11. Apendiks

Apendiks adalah tonjolan kecil seperti jari di dasar sekum. Apendiks


merupakan suatu jaringan limfoid yang mengandung limfosit. Jaringan
limfoid berada pada tempat-tempat strategis dan berfungsi untuk mencegah
penyebaran mikroorganisme ke area yang lebih jauh. Pada apendiks,
limfosit yang diproduksi berperan mengatasi mikroorganisme yang
menginvasi saluran pencernaan. Fungsi ini dilakukan bersama-sama dengan
GALT (gut-associated lymphoid tissue) atau disebut sebagai Peyer’s
patches yaitu jaringan limfoid pada lapisan saluran pencernaan.

2.1.2.3 Kolon
Kolon merupakan bagian yang membentuk sebagian besar usus besar.
Tidak seperti otot halus yang bergulung-gulung, kolon terdiri dari 3 lapisan
yang relatif lurus yaitu kolon asendens (ascending colon), kolon
transversum (transverse colon), dan kolon desendens (descending colon).
Bagian akhir dari kolon desendes disebut sebagai kolon sigmoid (sogmoid
colon) karena bentuknya menyerupai sigma ataupun seperti huruf s.
Kolon adalah bagian dari usus besar tempat terjadinya motilitas, sekresi,
pencernaan, dan penyerapan terhadap isi kolon. Pada kolon juga terdapat
bakteri penghuni kolon yang jika diakumulasikan beratnya bisa mencapai
1000 gram dan terdiri dari sekitar 500-1000 jenis bakteri. Bakteri pada
kolon berfungsi dalam melakukan fermentasi terhadap karbohidrat dan
protein tidak tercerna menghasilkan senyawa seperti laktat dan asam lemak
rantai pendek seperti asam butirat. Selain itu bakteri pada kolon juga
berfungsi dalam menjaga imunitas kolon dengan bersaing melawan bakteri
jahat dalam menempati kolon, menjaga integritas mukosa kolon,
mendorong motilitas kolon, dan menghasilkan berbagai vitamin khususnya
vitamin K yang dapat diserap oleh mukosa usus besar dan bermanfaat bagi
tubuh. Salah satu contoh bakteri penghuni kolon adalah E. coli.

2.1.2.4 Rektum

17
Gambar 12. Rektum

Rektum adalah bagian paling akhir dari usus besar. Rektum dalam istilah
bahasa berarti lurus. Rektum memiliki panjang hanya sekitar 12 cm
(termasuk pendek). Rektum berbatasan langsung dengan kolon sigmoid dan
antara rektum dengan lingkungan luar tubuh dibatasi oleh lubang anus.
Rektum berperan dalam proses defekasi atau pengeluaran residu makanan
dari tubuh. Pada saat akan dilakukan defekasi maka rektum akan
berkontraksi sedangkan jika terjadi penundaan defekasi maka rektum akan
berelaksasi.
2.1.2.5 Anus

Gambar 13. Anus


Anus adalah lubang tempat keluarnya feses. Pembukaan dan penutupan
anus diatur oleh dua sphincter yaitu internal smooth muscle sphincter dan
external skeletal muscle sphincter. internal smooth muscle sphincter terdiri
dari otot polos sedangkan external skeletal muscle sphincter terdiri dari otot
rangka yang gerakannya diatur oleh gerakan volunteer. Defekasi terjadi
ketika adanya relaksasi dari kedua sphincter anus tersebut. Sementara
apabila terjadi penundaan defekasi maka kedua sphincter anus akan
berkontraksi untuk menjaga konsistensi feses.

2.1.2.6 Dinding Usus Besar


Seperti pada usus halus dan lambung, dinding usus besar terdiri dari 4
lapisan (dari atas ke bawah) yaitu mukosa, submukosa, mukularis eksterna,
dan serosa.

18
Gambar 14. Lapisan Dinding Usus Besar

a. Mukosa: mukosa usus besar tidak memiliki vili. Hal ini


menyebabkan luas permukaan dinding usus besar sempit tidak
seperti luas pemukaan usus halus yang besar karena adanya vili.
Luas permukaan yang kecil menyebabkan area penyerapan di
usus besar sempit sehingga penyerapan yang terjadi sedikit.
Pada mukosa disekresikan mucus dan sel goblet. Pada bagian
ini juga terdapat kripta, sel-sel endokrin, dan sel kolonosit yang
matang.
b. Submukosa: lapisan di bawah mukosa.
c. Mukularis eksterna: mukularis sekterna dinding usus besar
tediri dari dua lapisan yaitu tenia coli dan otot sirkular.
Tenia coli: lapisan otot polos longitudinal luar yang tidak
mengelilingi usus besar secara penuh. Lapisan ini terdiri dari 3
pita otot longitudinal yang terpisah yang berjalan di sepanjang
usus besar. Tenia coli lebih pendek dibanding lapisan otot
sirkular dan mukosa yang ada di atasnya. Karena itu lapisan di
atasnya disatukan membentuk kantung atau haustra. Haustra
secara aktif berganti lokasi akibat kontraksi lapisan otot polos
sirkular.
d. Serosa: lapisan paling bawa dinding usus besar.

2.1.2.7 Motilitas, Sekresi, Digesti, dan Absopsi di Usus Besar


a. Motilitas: terdiri dari dua gerakan yaitu segmentasi dan perubahan massa.
- Kontraksi haustra (segmentasi): Motilitas utama kolon adalah kontraksi
haustra yang dipicu oleh ritmisitas otonom sel-sel otot polos kolon

19
sehingga menyebabkan terjadinya kontraksi segmental. Waktu antara 2
kontraksi segmental haustra sekitar 30 menit. Lebih lama dibanding
kontraksi usus halus yang mencapai 9-12 kali per menit. Lokasi
kantung haustra secara bertahap berubah sewaktu segmen yang semula
melemas dan membentuk kantung mulai berkontraksi secara perlahan
sementara bagian yang tadinya berkontraksi melemas secara bersamaan
untuk membentuk kantung baru. Gerakan ini tidak mendorong isi usus
tetapi secara perlahan mengaduknya maju mundur sehingga isi kolon
terpajan mukosa penyerapan. Kontraksi haustra umunya dikontrol oleh
refleks-refleks lokal yang disebut pleksus intrinsik.
- Perubahan massa (mass movement): Selain kontraksi haustra yang
mencampur aduk kimus di dalam kolon, tejadi juga gerakan yang
dinamakan Perubahan Massa (Mass Movement). Perubahan massa
adalah kontraksi masif yang mendorong isi kolon ke bagian distal
sebagai tempat penampungan akhir sebelum terjadi defekasi. Gerakan
tersebut memperkecil diameter segmen kolon sehingga materi bolus
akan diteruskan menuju bagian distal kolon. Sebanyak 3-4 kali sehari
terjadi peningkatan motilitas kolon akibat kontraksi segmen-segmen
besar kolon asendens dan kolon transversum secara stimultan dan
mendorong feses sejauh 1/3 sampai ¾ panjang kolon dalam beberapa
detik. Gerakan ini dipengaruhi oleh refleks gastrokolon dan refleks
gastroileum. Reflex gastrokolon adalah reflex terjadinya pengosongan
makanan di usus halus menuju kolon karena adanya makanan baru
yang memasuki saluran pencernaan. Sedangkan reflex gastroileum
adalah pengosongan makanan di lambung menuju usus halus karena
adanya makanan baru yang memasuki saluran pencernaan.
b. Sekresi: usus besar tidak mensekresikan enzim pencernaan apapun. Oleh
karena itu sudah tidak ada lagi pencernaan di ussu besar kecuali yang
dilakukan oleh bekatri kolon. Sekresi kolon itu sendiri hanya terdiri dari
sekresi larutan mukus basa (NaCOH3) yang berfungsi melindungi mukosa
usus besar dari cedera mekanis dan kimiawi. Mukus menghasilkan
pelemasan yang berfungsi melancarkan pengeluaran feses. Sedangkan
NaCOH3 berfungsi menetralkan asam-asam iritan yang dihasilkan oleh
bakteri kolon.

20
c. Digesti: sudah tidak terjadi proses pencernaan lagi di kolon karena proses
pencernaan sudah berakhir di usus halus. Namun pencernaan dapat
dilakukan oleh bakteri kolon pada selulosa tidak tercerna untuk
kepentingan mereka. Selain itu bakteri pada kolon dapat menurunkan
jumlah karbohidrat dan protein yang tidak tercerna melalui proses
fermentasi. Hasil fermentasi oleh bakteri tersebut termasuk laktat dan
asam lemak rantai pendek seperti asam butirat.
d. Absorpsi: penyerapan di kolon lebih rendah dibanding penyerapan di
usus halus. Hal ini diakibatkan karena lumen kolon yang cukup halus dan
tidak memiliki vili sehingga luas permukaannya menjadi jauh lebih kecil.
Kolon dalam keadaan normal menyerap air dan garam-garam dengan
mekanisme penyerapan sebagai berikut:
- Ion natrium diserap melalui transpor aktif
- Ion klor diserap melalui difusi pasif mengikuti gradien listrik
- Air diserap melalui mekanisme pompa osmotis

Terdapat juga penyerapan sejumlah elektrolit dan beberapa vitamin


produksi bakteri kolon yang dapat diabsorbsi terutama vitamin K. Dari
500 gram residu makanan yang masuk ke kolon setiap harinya, sebanyak
350 ml diserap oleh lumen kolon dan 150 gram dikeluarkan sebagai feses
(terdiri dari bahan padat termasuk selulosa tidak tercerna, bilirubin, air,
bakteri, dan sejumlah kecil garam). Berikut adalah gambaran singkat
motilitas, sekresi, digesti, dan absorpsi yang terjadi di usus besar:

Gambar 15. Penjelasan Pristiwa di Usus Besar

2.1.2.8 Defekasi
Defekasi adalah pengeluaran kotoran tidak tercerna dari dalam tubuh.
Defekasi seperti pada urinasi merupakan refleks spinal yang dipicu oleh
adanya relaksasi dinding organ. Perpindahan materi feses ke dalam rektum
normal yang kosong memicu terjadinya defekasi. Relaksasi otot polos pada

21
internal anal sphincter dan kontraksi peristaltik rektum mendorong materi
feses menuju anus. Pada saat yang tepat external anal sphincter juga akan
berelaksasi sehingga feses keluar dari anus. Defekasi juga dibantu dengan
adanya kontraksi otot perut dan gerakan ekspirasi paksa yang melawan
glottis tertutup (Valsalva maneuver).
Defekasi terjadi saat adanya reflex defekasi. Reflex defekasi
menyebabkan rektum mengalami kontraksi dan kedua sfingter anus
mengalami relaksasi sehingga feses keluar melalui lubang anus. Apabila
terjadi penundaan defekasi baik disengaja maupun tidak maka rektum akan
mulai berelaksasi dan kedua sfingter anus akan mulai berkontraksi kembali
sehingga feses tidak jadi dikeluarkan melalui lubang anus. Defekasi
berikutnya baru akan terjadi sampai adanya gerakan massa selanjutnnya di
kolon.
Seperti urinasi, defekasi dipengaruhi oleh keadaan emosi seseorang.
Stress dapat berpengaruh pada motilitas usus besar (kolon).
- Pada sebagian individu, stress dapat meningkatkan motilitas kolon
sehingga terjadi diare dan sebaliknya pada beberapa individu stress
dapat memperlambat motilitas kolon sehingga terjadi konstipasi.
- Penundaan buang air besar baik disengaja maupun tidak akan
menyebabkan feses yang lebih lama berada di kolon mejadi keras
dan kering karena proses penyerapan air terus berlanjut.
2.1.2.9 Flatus (Gas Usus)
Flatus adalah gas usus yang dikeluarkan baik melalui anus maupun
mulut. Flatus berasal dari dua sumber yaitu gas yang tertelan (sekitar 500
ml ketika makan) dan gas yang dihasilkan oleh bakteri kolon. Berdasarkan
organ pengeluarannya, flatus dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Buang angin: Pengeluaran gas dari rektum dilakukan akibat gerak
sadar. Seseorang secara sengaja mengontraksikan otot-otot
abdomen dan sfingter ani eksternus secara bersamaan. Ketika
kontraksi abdomen meningkat maka akan terjadi peningkatan
tekanan pada sfingter ani eksternus yang tertutup sehingga
terbentuk gradien tekanan yang memaksa udara keluar dengan
kecepatan tinggi melalui lubang anus yang berbentuk celah dan
terlalu sempit untuk keluarnya feses. Lewatnya udara dengan
kecepatan tinggi menyebabkan tepi-tepi lubang anus bergetar,
menghasilkan nada rendah khas yang menyertai keluarnya gas.
22
b. Borborigmi: disebut juga bersendawa yaitu peristiwa pengeluaran
sebagian besar gas dari lambung. Gas yang tidak dikeluarkan
melalui sendawa akan diserap di usus halus atau diteruskan ke
kolon.

2.2 PATOFISIOLOGI DIARE

Diare (berasal dari bahasa Yunani dan Latin: dia, artinya melewati, dan rheein, artinya
mengalir atau berlari) adalah kondisi dimana seseorang mengalami peningkatan frekuensi
defekasi dan bobot cairan, volume, dan berat feses. Secara fisiologis, rata-rata volume feses
pada orang dewasa adalah kurang dari 200 g/hari, pada anak-anak bergantung pada usia dan
besarnya, dan pada bayi dapat mencapai 100 g/hari. Pasien diare mengalami peningkatan
massa feses, pada laki-laki lebih dari 235 g/hari, sedangkan perempuan lebih dari 175 g/hari.
Frekuensi defekasi juga meningkat menjadi lebih dari 2 kali per hari.
Diare diklasifikasikan berdasarkan durasi, volume feses, dan mekanisme.
• Berdasarkan durasi:
 Akut jika < 2 minggu
 Persisten jika 2-4 minggu
 Kronik jika > 4 minggu
• Berdasarkan volume feces:
 Large-volume diarrhea karena jumlah dan sekresi air yang berlebihan
pada intestin
 Small-volume diarrhea karena motilitas intestinal yang berlebihan
sehingga volume feses tidak meningkat
• Berdasarkan mekanismenya menjadi diare sekretori, osmotik, dan motilitas.
2.2.1 Diare Sekretori

Diare yang berubungan dengan gangguan transpor cairan dan elektrolit


melalui mukosa enterokolonik. Karakter klinik dari diare sekretori adalah
berair, volume feses besar, secara khas tidak sakit, dan tetap muncul saat
berpuasa. Diare ini dimulai ketika sekresi Cl- pada mukosa intestinal

23
teraktivasi. Pada sel mukosa, Cl- diperbanyak secara aktif sekunder oleh
pembawa simporter Na+-K+-2Cl- basolateral dan disekresikan melalui kanal
Cl- luminal. Hal ini terjadi lebih sering ketika konsentrasi cAMP intrasel
meningkat.

Gambar 16. Penyebab Diare Sekretori

2.2.1.1 Pengobatan.
Diare ini dapat terjadi akibat penggunaan obat-obatan seperti antibiotik,
antidisritmik jantung, antihipertensi, NSAID, beberapa antidepresan,
agen kemoterapi, bronkodilator, antasid, laksatif, dll.
2.2.1.2 Keracunan.
Diare sering terkait dengan respon tubuh terhadap pencernaan toksin,
jadi tubuh berusaha mengeluarkan toksin tersebut dengan cara sekresi
air berlebih yang akhirnya menyebabkan diare. Toksin tersebut antara
lain insektisida organofosfat, amanita dan jamur lain, arsen, dan toksin
lingkungan dalam seafood seperti ciguatera dan scombroid.
2.2.1.3 Operasi usus, penyakit mukosa, dan fistula enterokolik.
Hal ini akan menyebabkan permukaan reabsorpsi cairan dan elektrolit
menjadi tidak adekuat. Kondisi ini diperburuk dengan adanya
makanan. Penyakit (contohnya Crohn’s ileitis) atau operasi kurang dari
100 cm terminal ileum, asam dihidroksi empedu dapat lolos dari
absorpsi dan menstimulasi sekresi kolonik (cholorrheic diarrhea).
Mekanisme ini menyebabkan diare sekretori idiopatik, dimana asam
empedu mengalami malabsorpsi dari terminal ileum.
2.2.1.4 Defek kongenital absorpsi ion.
Sangat jarang, defek pada pembawa (carriers) spesifik terkait absorpsi
ion menyebabkan diare berair sejak lahir, dan kelainan ini termasuk

24
defek pertukaran Cl–/HCO3– yang menyebabkan alkalosis dan defek
pertukaran Na+/H+ menyebabkan asidosis.
2.2.1.5 Hormon.
• Metastatic gastrointestinal carcinoid tumors atau primary
bronchial carcinoids dapat menyebabkan diare berair. Diare ini
terkait pelepasan ke sirkulasi sejumlah sekretagog intestinal yang
poten, seperti serotonin, histamin, prostaglandin, dan beberapa
kinin.
• Gastrinoma adalah salah satu tumor neuroendokrin yang
kebanyakan ditandai dengan ulkus peptikum refraktori, tetapi diare
terjadi sebanyak satu sampai tiga kasus dan mungkin merupakan
manifestasi klinis pada 10%. Pelepasan sekretagog lain dengan
gastrin berperan dalam hal ini, kebanyakan diare terjadi akibat
maldigesti lemak karena inaktivasi enzim pankreatik oleh pH
intraduodenal yang rendah.
• Sindrom akloridia hipokalemia diare berair, disebut juga kolera
pankreatik, terkait non- cell pancreatic adenoma, merujuk pada
VIPoma, yang mensekresikan VIP (vasoactive intestinal peptide)
dan sebagai host hormon peptida lain termasuk polipeptida
pankreatik, sekretin, gastrin, polipeptida inhibitor gastrin (disebut
juga peptida insulinotropik bergantung glukosa), neurotensin,
kalsitonin, dan prostaglandin. Kondisi diare sekretori sering parah
dengan volume feses lebih dari 3 L/hari; telah dilaporkan terdapat
volume mencapai 20 L. VIPoma dapat menyebabkan dehidrasi
yang mengancam kehidupan; disfungsi neuromuskular terkait
hipokalemia, hipomagnesia, atau hiperkalsemia; flushing; dan
hiperglikemia.
• Karsinoma medular tiroid muncul dengan diare sekretori akibat
kalsitonin, peptida sakretori lain, atau prostaglandin. Tumor ini
terjadi sporadik atau pada 25-50% kasus, seperti pada kebanyakan
neoplasia endokrin tipe 2a dengan feokromositoma dan
hiperparatiroidisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada
pasien MCT yang mengalami diare, menunjukkan peningkatan
nilai kalsitonin dari 20,2 sampai 680 µg/l (normalnya < 0,08 µg/l).

25
Kalsitonin merupakan sekretagog poten pada usus halus kelinci
dan manusia, tetapi mekanisme aksinya belum diketahui.
• Mastositosis sistemik terkait dengan lesi kulit urtikaria
pigmentosa, dapat menyebabkan diare sekretori karena histamin,
atau inflamatori terkait infiltrasi intestinal oleh sel mast.
2.2.1.6 Enterotoksin.
Enterotoksin bakteri adalah polipeptida yang dapat menyebabkan
diare. Beberapa enterotoksin menyebabkan sekresi cairan dan elektrolit
tanpa merusak jaringan. Hal ini terjadi karena toksin dapat menembus
membran sel epitel dan mengaktivasi sekresi elektrolit yang diikuti
dengan cairan. E.coli memliki 2 jenis toksin sekretagog yaitu heat-
labile (LT) dan heat-stable (ST) yang merupakan penyebab terbesar
dari traveler’s diarrhea. Toksin ST menginduksi cGMP yang akhirnya
meningkatkan ekresi air. Toksin kolera merupakan toksin sekretagog
yang dapat meningkatkan Ca2+ intrasel yang menyebabkan disfungsi
transpor cairan dan elektrolit. Toksin kolera terdiri dari 5 peptida B
pengikat dan 1 peptida A katalitik. Peptida B berguna sebagai landing
pad yang berikatan dengan karbohidrat dari gangliosid GM1 pada
permukaan membran epitel usus halus. Hal ini memungkinkan toksin
subunit A masu melalui kalveolar dimediasi endosomal. Transpor
kembali subunit A dari endosom ke sitoplasma sel diikuti dengan
pemutusan ikatan disulfida yang menghubungkan peptida A (A1 dan
A2). Katalitik peptida A1 :
 A1 berikatan dengan protein sitosolik 20-kD yaitu faktor
ribosilasi-ADP (ARF)
 Komplek ARF-A1 mengkatalisis ribosilasi ADP dari protein G 49
kD (Gsα)
 Ikatan NAD dan GTP menghasilkan Gsα yang teraktivasi yang
kemudian berikatan dan mengaktivasi adenilat siklase.
 Adenilat siklase yang teraktivasi menyebabkan cAMP intrasel
intrase yang meningkat dari ATP
 cAMP menstimulasi sekresi Cl- dan HCO3- yang terkait dengan
sekresi Na+ dan air. Resorpsi Cl- dan Na+ juga diinhibisi

26
Gambar 17. Ion yang terlibat dalam resorpsi dan sekresi penyebab diare

Fungsi resorpsi kolon terlampaui sehingga menyebabkan diare yang mengandung


mukus mencapai 14 l/hari yang ekivalen dengan volume sirkulasi darah dapat
menyebabkan dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit.

2.1.2 Diare Osmotik

Gambar 18. Penyebab diare osmotik

27
Osmotic diarrhea dikarenakan konsumsi zat yang sulit diabsopsi, baik
dalam keadaan normal maupun pada kondisi malabsorpsi, dalam jumlah
banyak. Zat-zat seperti sorbitol, fruktosa; garam magnesium; anion yang
sulit terabsorpsi seperti sulfat, fosfat dan sitrat, bersifat osmotik aktif
sehingga mengeluarkan air dari dalam sel ke lumen saluran cerna.
Pengeluaran air dari saluran cerna adalah suatu mekanisme tubuh untuk
mempertahankan gradient osmotik, yang mengakibatkan terjadinya
peningkatan volume feses. Selain konsumsi zat non-absorpable ada
beberapa hal lain yang mengakibatkan osmotic diarrhea lainnya yaitu
malabsorpsi yang terkait defisiensi laktase, deisiensi enzim pankreas atau
garam empedu, pertumbuhan bakteri usus yang terlalu cepat, celiac disease.

2.1.3 Diare Motilitas

Motility diarrhea diakibatkan peningkatan motilitas usus. Peningkatan


motilitas usus dapat menurunkan waktu transit, menurunkan waktu kontak
dengan mukosa usus, dan kesempatan untuk absorpsi cairan. Adapun
penyebab dari motility diarrhea disebabkan oleh beberapa hal seperti
reseksi usus halus, operasi bypass pada sebagian area usus, pembentukan
fistula pada loop usus, irritable bowel syndrome, diabetes neuropati,
hipertiroidisme, penggunaan laksatif berlebihan.

Gambar 19. Penyebab diare motilitas


28
2.3 TERAPI NON FARMAKOLOGI
• Terapi dengan mengubah gaya hidup
• Pengaturan diet, dianjurkan untuk pasien diare untuk menghindari makanan padat
selama 24 jam dan menghindari konsumsi susu.
• Menghentikan laksatif atau obat lainnya yang menyebabkan diare.
Pemberian elektrolit

2.4 FARMAKOLOGI DIARE


2.4.1 Antimotilitas
Mekanisme Kerja Umum Antimotilitas
• Obat antimotilitas bekerja dengan mengurangi gerakan peristaltik
usus sehingga diharapkan akan memperpanjang waktu kontak dan
penyerapan di usus. Obat antimotilitas digunakan apabila diare
berlangsung terus menerus selama 48 jam.
• Obat antimotilitas meliputi : Kodein, difenoksilat, loperamid,
paregoric, opium tincture, difenoksin
Berikut adalah beberapa jenis obat antimotilitas:
1. Loperamide
Mekanisme Kerja
• Bekerja langsung pada otot sirkular dan otot longitudinal usus sampai
reseptor opioid. Untuk menginhibisi gerakan peristalsis usus.
• Mengurangi volume dan meningkatkan viskositas feses.
• Mengurangi cairan dan kekurangan elektrolit.
Indikasi
• Diare kronis
Kontraindikasi
• Sakit perut akut • Disentri akut
untuk anak <2 • Acute ulcerative
tahun colitis
(hipersensitivitas)
Efek Samping
• Pusing • Kram perut
• Konstipasi • Nausea
Interaksi Obat
29
• Cholestiramin • Metoklopramid
• Bethanecol • Eritromisin
• Cisaprid

Contoh Sediaan

Gambar 20. Imodium Gambar 21. Loperamide

2. Difenoksilat
Mekanisme Kerja
Menginhibisi motilitas saluran cerna dan dorongan saluran cerna
Indikasi
• Diare
Kontraindikasi
 Hipersensitifitas  anak yang
 Penyakit hati
berusia < 2
yang parah tahun
 Diare infeksius  Toleransi
 Colitis ulseratif
terhadap alcohol
 Jaundice
Efek Samping
 Konstipasi  Takikardia
 Lemas  Mati rasa
 Mulut kering  Anafilaksis
 Pusing dan  Anoreksia
 Pankreatitis
mengantuk
 Muntah
 Ileus paralitik

Interaksi Obat
 Alkohol  Narkotik
 Hipnotik sedatif

30
Contoh Sediaan

Gambar 22. Contoh sediaan Difenoksilat

3. Paregoric
Mekanisme Kerja
• Meningkatkan kerja otot halus di saluran cerna, menurunkan
motilitas dan peristalsis
• Menurunkan sekresi pencernaan
Indikasi
• Diare • Mengurangi sakit
perut
Kontraindikasi
• Hipersensitivitas
pada opium
• kehamilan

31
Efek Samping
• CNS : pusing, malaise, insomnia, depresi CNS, peningkatan
intracranial
• Kardiovaskular : Palpitasi, hipotensi, bradikardia, vasodilatasi
perifer
• GI : mual, muntah, konstipasi, anoreksi, keram perut
Interaksi Obat
• CNS depresan (ex/ alkohol, narkotik, benzodiazepin), MAO
inhibitor dapat meningkatkan efek agonis opiate (ex/ morfin)

Contoh Sediaan

Gambar 23. Paregoric

2.4.2 Adsorben

Hidrofilik organik polimer dan pembentuk bulk, dengan cara mengikat


air dalam usus sehingga feses yang lunak menjadi lebih padat. Hidrofilik
poliakrilik resin yang mampu mengikat air 60x dari masa keringnya.
Menyerap kelebihan cairan di dalam tinja dan mrenyerap toksin.
Macam-macam Adsorben
 Attapulgit
 Kaolin-pektin
 Polikarbofil
Mekanisme Kerja
 Mengadsorbsi toksin dan bakteri yg menyebabkan diare
 Mengadsorbsi nutrisi, obat lain, dan getah pencernaan  karena
kerjanya tidak spesifik
 Mengadsorbsi air di usus & menambah masa feses lebih padat.
 Tidak diadsorbsi GIT  toksin dan mikroorganisme yang diadsorbsi
pada akhirnya akan dieksresi bersama feses
Penggunaan bersamaan dengan obat lain akan mengurangi
bioavailabilitasnya
Indikasi :
 Obat diare umum untuk anak-anak
 Terapi gejala diare nonspesifik & diare karena keracunan makanan
& toksin dari bakteri/ virus.

Kontraindikasi:
 Lesi pada saluran gastro intestinal, konstipasi, obstruksi intestinal,
hipersensitivitas
Efek samping:
 Konstipasi, impaksi fekal
Perhatian:
 Pemberian pada anak usia di bawah 6 tahun, demam tinggi,dan
pemakaian obat lebih dari dua hari
 Interval 2-3 jam setelah konsumsi obat oral
Interaksi obat:

 Menurunkan absorpsi dari diflunisal, azitromisin, siprofloksasin,


isoniazid, nitrofurontoin, norfloksasin, ofloksasin, rifampisin, &
sebagian besar golongan tetrasiklin, gabapentin, fenitoin,
itrakonazol, ketokonazol, kloroquin, fenotiazin, fenasin, Fe oral.

Interaksi kaolin:
 Menurunkan konsentrasi digoksin jika dikonsumsi bersamaan
dengan digoksin
 Berinteraksi dengan aspirin kloroquin dan hidroksikloroquin,
fenotiazin, dan tetrasiklin
Interaksi New Diatabs:
 Menghilangkan aksi ipecacuanha & obat-obat emetik lain.
 Berinteraksi dengan hipoglikemik oral, antikoagulan, antagonis
vitamin K, PABA, dan prokain.
 Meningkatkan efek antikolinergik dari obat-obat jenis
antihistamin, antidepressan, antipsikotik, dan antiparkinson.

Dosis dan Sediaan

Tabel 1. Dosis dan penggunaan adsorben

Kaolin-Pektin
 Neo diaform ® (Corsa) tablet
 Neo kaominal ® (Molex Ayus) suspensi

Gambar 24. Neo Kaominal

Attapulgit
 New diatabs ® (Biomedis, Medifarma) tablet
Gambar 25. Diatabs

Karbo Adsorben
 Norit ® (Eglin) Tablet 125 mg, 250 mg

Gambar 26. Norit

2.4.3 Antisekretori
Saluran cerna  ↑ sekresi / ↓ absorbsi sejumlah besar air dan elektrolit 
DIARE yang menyebabkan:
 vasoactive intestinal peptide (VIP) dari tumor pankreas,
 laksatif,
 hormon (seperti: sekretin),
 toksin bakteri,
 produksi asam empedu yang berlebihan,
 bahan-bahan yang menstimulasi intracelluler cyclic adenosine
monofosfate dan menghambat Na+/K+ ATPase yang menyebabkan
peningkatan sekresi.
Obat yang termasuk antisekretori
 Bismuth subsalisilat
 Lactobacillus
a. Bismuth subsalisilat

Mekanisme Kerja

 bekerja sebagai antisekretori, antiinflamasi dan antibakteri 


menormalkan kembali keseimbangan cairan & mengurangi diare
 Meningkatkan absorpsi usus terhadap cairan dan elektrolit,
menormalkan sekresi elektrolit (antisekretori)
Indikasi

 Terapi adjuvan pada diare ringan/sedang; mual, kram adomen, nyeri


lambung, dan indigesti yang menyertai diare; pengobatan diare krn
racun/ virus; gangguan pencernaan, nyeri ulu hati; pengobatan dan
pencegahan diare pada wisatawan (Escherichia coli
enterotoksigenik)
Kontra Indikasi
 Lansia yang cenderung mengalami impaksi fekal; anak2/ remaja
saat/ setelah masa penyembuhan cacar air/ flu (mengandung
salisilat) karena dapat meningkatkan resiko Reye’s sindrom; ibu
hamil (3rd semester); hipersensitivitas aspirin.
Interaksi Obat
 dengan aspirin  toksisitas salisilat
 menurunkan absorpsi tetrasiklin /enoksasin
 mengubah efek antikoagulan oral
Efek Samping Obat
 GI: konstipasi, impaksi, feses abu-abu hitam
Contoh Sediaan

Gambar 27.Bismuth subsalisilat

b. Lactobacillus
 Merupakan suatu pengobatan kontroversial yang dapat mengganti
koloni mikroflora  mengembalikan fungsi usus dan menghambat
mikroorganisme patogen
 Diet produk susu yg mengandung laktosa 200-400 g / dekstrin,
efektif dalam rekolonisasi mikroflora

Gambar 28. Youghurt

2.4.4 Antibiotik
Pemberian antibiotik pada penyakit diare diindikasikan pada: pasien
dengan gejala dan tanda diare infeksi seperti demam, feses berdarah,
leukosit pada feses, dimaksudkan untuk mengurangi ekskresi dan
kontaminasi lingkungan dan untuk penyelamatan jiwa pada diare infeksi
Antibiotik dapat menyembuhkan diare apabila organisme penyebabnya
peka terhadap antibiotik tersebut, tetapi infeksi diare sangat terbatas dan
diobati dengan terapi pendukung.
Adanya penggunaan antibiotik untuk penyakit diare ini, yang mungkin
tidak rasional dapat menyebabkan resistensi, sehingga perlu dievaluasi.
Jenis-jenis bakteri, protozoa, dan virus yang dapat menyebabkan diare
cukup banyak. Berikut ini adalah beberapa tipe bakteri, protozoa dan virus
yang menyebabkan diare berserta gejala yang ditimbulkan dan terapi yang
dilakukan.
Jenis-jenis Antibiotik yang digunakan untuk Obat diare
a. Kotrimoksazol
Kotrimoksazol (trimetoprim : sulfametoksazol, 5:1)

o Mekanisme: Sulfametoksazol mengganggu sintesis asam folat


bakteri dan pertumbuhan lewat penghambatan pembentukan asam
dihidrofolat dari asam para-aminobenzoat; trimetoprim
menghambat reduksi asam dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat,
kombinasi keduanya menghasilkan inhibisi enzim berurutan dalam
jalur asamfolat. Mampu menghilangkan demam dalam 4 hari.
Tidak diperkenankan memakai lebih dari dua minggu karena
menyebabkan gangguan darah.
o Dosis: 2 dd 3 tablet @480 mg sampai bebas demam, kemudian 2
dd 2 tablet selama 7 hari.
o Contoh sediaan yang beredar di pasaran antara lain Bactrim®
(Tiap tab mengandung Sulfametoksazol 400 mg dan Trimetoprim
80 mg)

Gambar 29. Bactrim


b. Amoksisilin dan Ampisilin
o Ampisillin aktif terhadap beberapa jenis kuman gram positif dan
negatif, tetapi dirusak oleh penisilinase. Amoksisilin merupakan
turunan ampisilin yang absorbsinya tidak terganggu oleh adanya
makanan di lambung.
o Mekanisme kerja keduanya adalah menghambat sintesa lengkap
dari polimer (peptidoglikan) yang spesifik bagi bakteri. Bila sel
tumbuh dan plasmanya bertambah atau menyerap air dengan jalan
osmosis, maka sel tersebut akan pecah sehingga kuman akan mati.
Kedua obat ini aktif terhadap bakteri gram-
positif dan sejumlah bakteri gram-negatif kecuali Pseudomonas,
Klebsiella dan B. fragilis. Tidak tahan terhadap enzimlaktamase.
o Dosis: 3 dd 500 mg - 1 g.
o Contoh sediaan yang beredar di pasaran antara lain Amoxsan®
(Tiap kaps mengandungAmoksisilin 500 mg) dan Sanpicillin®
(Tiap kaps mengandung Ampisillin 500 mg)

c. Kloramfenikol Gambar 30. Sanpicillin


Kloramfenikol merupakan antibiotik dengan spektrum luas yang
digunakan pada saat terjadi infeksi yang berat.
 Mekanisme kerja : kloramfenikol bekerja menghambat sintesis
protein bakteri dengancara berikatan dengan ribosom 50S sehingga
menghambat rantai peptida.
 Dosis lazim : 50 mg/KgBB sehari. Setelah demam hilang (3-4
hari) pengobatan dilanjutkan selama 8-10 hari dengan dosis yang
lebih rendah guna mencegah kambuh kembali. Pengobatan
maksimal selama 14 hari atau total 30 g kloramfenikol.
 Contoh sediaan yang beredar dipasaran antara lain Bufacetin®
(Tiap kaps mengandung Kloramfenikol 250 mg)
d. Metronidazole
 Metronidazole adalah antimikroba dengan aktivitas yang sangat
baik terhadap bakteri anaerob dan protozoa.
 Mekanisme kerja: Metronidazole berinteraksi dengan DNA
menyebabkan perubahan struktur helix DNA dan putusnya rantai
sehingga sintesa protein dihambat dan kematian sel.
 Dosis: 3 dd 500 mg.
 Contoh sediaan yang beredar dipasaran antara lain Anmerob®
(Tiap tab mengandung Metronidazole 500 mg)

2.4.5 Octreotide
• Analog oktapeptid sintetik dari somatostatin.
• Golongan Antidiarrheals & Somatostatin Analogs.
• Diresepkan untuk pengobatan gejala tumor karsinoid dan tumor sekresi
VIP.
• Menghambat pelepasan serotonin dan peptida aktif lain.
• Efektif mengontrol diare.
Mekanisme Kerja
o Kerjanya serupa dengan Somatostatin.
o Menghambat sekresi serotonin. Karena penghambatan serotonin ini,
maka dapat:
 Menghambat sekresi sejumlah hormon dan transmitter seperti
gastrin, kolesistokinin, glukagon, hormon pertumbuhan, insulin,
sekretin, polipeptide pankreas, dan peptida vasoaktif usus.
 Mengurangi sekresi cairan usus dan sekresi pankreas.
 Memperlambat motilitas saluran cerna dan menghambat
kontraksi kandung empedu.
 Memicu kontraksi langsung otot polos vaskular, yang
menyebabkan reduksi aliran darah portal dan splanknik.
• Menghambat sekresi beberapa hormon hipofisis anterior.

Indikasi
Diare sekretori yang disebabkan oleh
Mengontrol simptom (diare dan
VIPoma dan tumor carcinoid yang
flushing) pada pasien menderita
menyebabkan peningkatan sekresi
metastatik karsinoid tumor
hormon pankreas dan saluran GI

Diare kronik yang berkaitan dengan Pengobatan diare yang


AIDS. disebabkan oleh VIPomas
Diare yang diinduksi oleh Terapi tumor hipofisis (misalnya,
kemoterapi akromegali)
Diare yang terkait dengan diabetes.

Dosis Obat

Dewasa Anak-anak

1-10 mcg/BB kg IV setiap 12


50-100 mcg/h IV dosis
jam, diencerkan dalam 50-
awal setiap 8 jam, dosis
100 mL. dapat ditingkatkan
maksimum 500 mcg
0,3 mcg/BB kg/dosis dengan
setiap 8 jam.
interval 3 hari.

Efek Samping & Kontraindikasi


 Steatorea -> defisiensi vitamin larut lemak.
 Mual, nyeri abdomen, flatulens, dan (1-10%) diare.
 Inhibisi kontraktilitas kantung empedu.
 Penggunaan jangka panjang -> terbentuk batu empedu (lebih
dari separuh pasien) -> terkadang timbul kolesistitis akut.
 Hiperglikemia, (lebih jarang) hipoglikemia (ringan)
 Terapi berkepanjangan -> hipotiroidisme.
 Bradikardia.
 Kontraindikasi : Hipersensitivitas

Pada Ibu Hamil


 Kategori B : belum diketahui efek samping dari penggunaan
obat ini pada kehamilan.
 Tidak diketahui apakah memberikan dampak kepada ibu
menyusui. Hindari pemberiannya.
Kontra Indikasi
 Amiodarone
 Quinidine
 Arsenic Trioxide
 Disopyramide
 Procainamide
Interaksi Obat
 Amoxapine
 Chlorpromazine
 Clarithromycin
 Epinephrine
 Formoterol
Contoh Sediaan

Gambar 31. Sandostatin

2.4.6 Enzim
Gambar 32. Perbedaan pencernaan laktosa pada keadaan normal dan tidak normal

• Mengkonsumsi susu atau produk susu  laktosa yang tidak dicerna


akan tertinggal di lumen usus.
• Penimbunan laktosa membuat suatu gradien osmotik yang menarik air
ke dalam lumen usus.
• Selain itu, bakteri yang ada di dalam usus akan memanfaatkan laktosa
sebagai sumber energi dan menghasilkan gas CO2 dan metana.
• Peningkatan motilitas usus oleh cairan dan adanya gas menimbulkan
rasa nyeri dan diare.
Mekanisme Kerja

Laktase Glukosa
Diserap
Laktosa Dari
Lumen
Usus
Galaktosa
Gambar 33. Mekanisme penyerapan laktosa

Indikasi
• Mengatasi diare yang disebabkan oleh intoleransi laktosa atau difisiensi
laktase.
Efek Samping
• Tidak ada yang membahayakan.
Contoh Sediaan: Lactaid (Tablet kunyah)
Gambar 34. Lactaid

2.4.7 Oralit
• Oralit merupakan campuran garam elektrolit, seperti natrium klorida
(NaCl), kalium klorida (KCl), dan trisodium sitrat hidrat, serta glukosa
anhidrat.
• Oralit diberikan untuk mengganti cairan dan elektrolit dalam tubuh yang
terbuang saat diare. Walaupun air sangat penting untuk mencegah
dehidrasi, air minum tidak mengandung garam elektrolit yang diperlukan
untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit dalam tubuh sehingga
lebih diutamakan oralit. Campuran glukosa dan garam yang terkandung
dalam oralit dapat diserap dengan baik oleh usus penderita diare.

Oralit lama Oralit formula baru


No
(WHO/UNICEF 1978) (WHO/UNICEF 2004)

1 NaCl : 3.5 g NaCl : 2.6 g


2 NaHCO3: 2.5 g Na Citrate: 2.9 g
3 KCl : 1.5 g KCl : 1.5 g
4 Glucose : 20 g Glucose : 13.5 g
Osmolar. 331 mmol/l Osmolar. 245 mmol/l
Tabel 2. Komposisi pembuatan oralit

Penelitan menunjukkan bahwa oralit formula baru mampu:


a. Mengurangi volume tinja hingga 25%
b. Mengurangi mual-muntah hingga 30%
c. Mengurangi secara bermakna pemberian cairan melalui intravena
Contoh Sediaan
Komposisi:
- Potassium Chloride 0.3 g
- Sodium Chloride 0.7 g
- Sodium Bicarbonate 0.535.gOralit
Gambar

- Anhydrate Glucose 4.0 g


Indikasi :
Mencegah dan mengobati dehidrasi yang menyebabkan diare, disentri, dan
kolera

2.5 FARMAKOTERAPI DIARE


Rekomendasi untuk terapi diare akut. Dengan mengikuti langkah berikut:

1. Menunjukkan riwayat penyakit dan uji fisik.


2. Apakah diare akut atau kronik? Jika diare kronik, maka ikuti foto 23-2.
3. Jika diare akut, periksa apakah ada demam dan atau gejala-gejala sistemik. Jika ada
penyakit sistemik (demam, anoreksia, penurunan volume), periksa sumber infeksi.
Jika positif infeksi diare, gunakan terapi obat antibiotik/ antelmintik sesuai dengan
gejalanya. Jika negatif, hanya gunakan terapi gejala saja.
4. Jika tidak ditemukan pada sistemik, gunakan terapi dasar untuk gejala keparahan
untuk penurunan volume, oral atau cairan parenteral/ elektrolit, agen antidiare, dan
pola makan. (RBC, sel darah merah; WBC, sel darah putih)
Rekomendasi untuk terapi diare kronis. Dengan mengikuti langkah berikut ini.

1. Menunjukkan riwayat penyakit dan uji fisik.


2. Karena banyak kemungkinan penyebab terjadinya diare, maka dapat di golongkan
menjadi infeksi usus (bakteri atau protozoa), penyakit inflamasi (Crohn disease atau
kolitis ulserativa), malabsorbsi (intoleran laktosa), tumor hormon sekresi (tumor
karsinoid usus atau vaksoaktif peptida usus-tumor sekresi), karena obat (antasid),
penyalahgunaan laksatif, atau gangguan motilitas (diabetes melitus, sindrom iritasi
usus, atau hipertiroid).
3. Jika diagnosis tidak pasti, maka gunakan sesuai dengan urutan diagnosis yang telah
dipelajari.
4. Setelah didiagnosa, tentukan rencana terapi untuk digarisbawahi sesuai dengan gejala
terapi antidiare.
5. Jika tidak ada penyebab spesifik yang dapat diidentifikasi, maka resepkan sesuai
dengan gejala terapi. (RBC, sel darah merah; WBC, sel darah putih)

2.6 PATOFISIOLOGI KONSTIPASI


Konstipasi bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu gejala yang terjadi
akibat suatu penyakit. Konstipasi biasanya disebabkan oleh diet rendah serat, konsumsi
obat opiat, atau disebabkan karena psikogenik. Konstipasi lebih sering terjadi pada
wanita dibanding pada pria karena hormon yang berbeda pada tiap jenis kelamin akan
mempengaruhi waktu transit makanan pada gastrointestinal.

2.6.1 Klasifikasi
Berdasarkan International Workshop on Constipation, defenisi kosntipasi
dibagi menjadi 2 tipe, adalah:
1. Konstipasi Fungsional
Kriterianya yaitu dua atau lebih dari keluhan ini paling sedikit dalam 12 bulan:
 mengedan keras 25% dari BAB
 feses yang keras 25% dari BAB
 rasa tidak tuntas 25% dari BAB
 BAB kurang dari 2 kali per minggu

2. Penundaan pada muara rektum


Kriterianya yaitu
 hambatan pada anus lebih dari 25% BAB
 waktu untuk BAB lebih lama
 perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
(Pranaka, Kris., & R, Rejeki Andayani., n.d.)
2.6.2 Manifestasi Klinik
1. Berkurangnya frekuensi defekasi
2. Kurangnya volume tinja saat BAB
3. Ketidaknyamanan pada perut
4. Perasaan perut yang penuh
5. Rasa sakit saat BAB
6. Feses keras, kecil atau kering
7. Sakit
8. Kram
9. Mual dan muntah
10. Sakit kepala
11. Kelelahan
(Sianipar, Nicholas Benedictus., 2015).

Kriteria Feses berasarkan Bristol Stool Chart

Gambar 37. Bentuk feses menunjukkan keparahan konstipasi

2.6.2 Penyakit atau kondisi lain yang menyebabkan konstipasi

1.6.2.1 Kelainan GI
Kelainan saluran gastrointestinal yang dapat menyebabkan konstipasi
antara lain IBD, divertikulitis, upper and lower GI tract disease,
hemoroid, fisura anal, ulcerative procitis, tumor, hernia, , sifilis,
tuberkulosis, lymphogranuloma venereum.
Adanya stimulasi simpatis dapat menyebabakan motilitas saluran
pencernaan berkurang sehingga akan memperlambat terjadinya defekasi
(Corwin)
2.6.2.2 Kelainan metabolisme dan endokrin
Kondisi yang menyebabkan diabetes antara lain neuropati diabetes,
hipotiroid, panhypopitutarism, pheochoromacytoma. Selanjutnya akan
dijelaskan mengenai:
2.6.2.2.1 Hiperkalsemia

Gambar 38. Kondisi hiperkalsemia

Kalsium merupakan suatu zat yang digunakan sebagai mediasi coupling


electrochemical sehingga stimulasi dapat sampai menuju neurotransmitter
(neurotarnsmitter sinapsis dan hormon). Hiperkalsemia terjadi akibat
ketidak seimbangan sekresi hormon paratiroid dan hormon kalsitonin
sehingga terjadi penyerapan kalsium yang berlebih dari usus halus.
Hiperkalsemia sering terjadi pada penderita hiperparatiroid.
Hiperkalsemia menyebabkan tight junction menurun permeabilitasnya
sehingga kalsium tidak lagi mengalami reabsorpsi di tubulus ginjal. Ketika
kalsium tidak lagi di reabsorpsi di tubulus ginjal, maka retensi Na dan air
juga akan menurun sehingga menyebbakan poliuria. Poliuria yang terjadi
menyebabkan seorang individu akan mengalami dehidrasi dan akan
menyebabkan konstipasi.
2.6.2.3 Pregnancy
Kontraksi otot yang menyebabkan pergerakan makanan di saluran
gastrointestinal akan melambat akibat tingginya hormon progesteron.
Menurut American Pregnancy, konstipasi saat kehamilan bisa
disebabkan karena gerakan aktivitas fisik yang sedikit, hormonal yang
menyebabkan relaksasi pada otot polos pada usus, dan membesarnya
ukuran uterus yang dapat menekan usus.
Hormon ovarium (esterogen dan progesteron) mampu mempengaruhi
fungsi gastrointestinal karena terdapat reseptor esterogen pada mukosa
lambung dan usus halus. Hormon steroid pada wanita dapat menginhibisi
kontraktilitas saluran pecernaan antara lain sfingter esophageal dan
kolon sehingga waktu motilitas akan tinggi. Namun, pada penelitian
yang telah dilakukan tidak menunjukkan hubungan yang jelas mengenai
pengaruh hormon pada konstipasi. Konstipasi dapat meningkat atau
tidak dapat meningkat saat fase menstruasi atau pada saat luteal (Oh et
al., 2013).
2.6.2.4 Neurogenic Constipation
Penyebab konstipasi yang lain adalah disebaban kelainan neurogenik

Gambar 39. Fase luteal

2.6.2.4.1 Hirschsprung’s Disease


Tidak adanya ganglion yang ada pada sekitar anus akibat
kelainan kongenital (aganglionosis). Hal ini menyebabkan
spasme yang terjadi terus menerus yang berasal dari segmen
yang terinfeksi akibat tidak adanya mekanisme relaksasi.
Selain itu hal ini juga disebabkan karena tidak adanya
anorectal inhibitory reflexes sehingga sfingter anal bagian
dalam tidak dapat terbuka saat rektum terisi. Anorectal
inhibitory reflexes adalah merupakan refleks transien sfingter
inter anal sebagai respon dilatasi rektum.

Gambar 40. Keadaan kolon penderita Hirschprung’s disease


2.6.2.4.2 Chagas’ Disease
Bakteri yang menyebabkan penyakit Chagas
(Trypanosoma cruzi) menyebabkan destruksi pada ganglion
perifer dari saraf autnom ganglion usus, sehingga usus tidak
tersarafi dengan baik. Hal ini menyebabkan kolon menjadi
terdilatasi (megacolon). Penyakit Chagas dapat
menyebabkan konstipasi akibat kelainan psikogenik yaitu
dyskinesia rectum yaitu akibat dari koordiansi motor yang
tidak berfungsi dengan baik, sehingga kontraksi dan relaksasi
tidak dapat dikontrol menyebabkan konstipasi. (Cavenaghi,
et.al 2008)
2.6.2.4.3 Systemic Nervous Disease
Penyakit parkinson, diabetes polyneuropathy, neuritis
akibat virus, multiple sclerosis, lesi pada saraf atau sumsum
tulang belakang juga dapat menyebabkan gangguan pada
refleks intestinal sehingga akan menyebabkan konstipasi
2.6.2.5 Konsumsi Serat
Konsumsi serat untuk meningkatkan massa feses dan menjadikan
feses lunak (serat tumbuhan dapat menarik air, selain itu akan
menstimulasi otot dan pencernaan dan akhirnya tekanan yang digunakan
untuk pengeluaran feses menjadi berkurang. (Wardlaw, G.M., Hampl,
J.S., and DiSilvestro, R.A., 2004.)
Ketika tubuh sedikit mengkonsumsi serat maka air yang berada di
feses akan terus diabsorpsi sehingga feses mengecil dan menjadi keras.
Ketika feses mengecil dan mengeras maka dibutuhkan tekanan yang
lebih untuk mengeluarkan feses dari kolon melalui anus. Tekanan yang
berlebihan dikolon untuk mengeluar-kan feses melalui anus dapat
memaksa bagian dari dinding kolon keluar dari sekitar otot, membentuk
kantong kecil yang disebut divertikula. (Wardlaw, G.M., Hampl, J.S.,
and DiSilvestro, R.A., 2004.)
2.6.2.6 Konsumsi obat golongan Opioid

Obat opioid akan berikatan dengan reseptor opioid di pleksus


myenteric. Hal ini akan menyebabkan gangguan motilitas
gastrointestinal. Selain itu segmentasi yang terjadi tidak disertai
dorongan sisa-sisa makanan kearah anus karena terjadi peningkatan
tonus sfingter di anus sehingga waktu transit sisa-sisa makanan di kolon
menjadi panjang dan absorpsi cairan yang terjadi semakin meningkat
serta penurunan sekresi mukosa kolon yang digunakan sebagai pelumas.
Hal tersebut menyebabkan feses mengecil dan mengeras sehingga
menyebabkan feses untuk dikeluarkan dan membutuhkan tekanan yang
lebih untuk mengeluarkan feses. (MD, Michael Camilleri., 2011).

2.6.2.7 Geriatri
Pada Geriatri konstipasi disebabkan oleh beberapa hal berikut :
a. Perubahan anatomis
Perubahan anatomis yang terjadi yaitu atrofi dinding usus,
berkurangnya suplai darah, dan perubahan-perubahan neuronal
intrinsik. Perubahan tersebut berkontribusi terhadap lama transit
dan berkurangnya kandungan air dalam feses
b. Usia >65th kehilangan 37% neuron enterik
Penurunan densitas neuron akan disertai dengan peningkatan
komponen fibrosa ganglion mesenterikus. Hal tersebut
menunjukkan bahwa perubahan neurodegeneratif berkontribusi
pada gangguan motilitas kolon pada populasi usia lanjut.
c. Tekanan sfingter anal internal dan kekuatan otot pelvis menurun,
begitu juga perubahan sensitivitas rektum dan fungsi anal.
Pada wanita mengalami penurunan tekanan pemerasan lebih
besar berkaitan dengan usia, terutama setelah menopause dan
akibat cedera persalinan per vaginam. Perubahan-perubahan ini
meningkatkan risiko ataupun potensi terjadinya konstipasi.
(Sianipar, Nicholas Benedictus., 2015)

2.7. TERAPI NON FARMAKOLOGI KONSTIPASI

Langkah-langkah umum yang diyakini dalam mengelola konstipasi


diantaranya modifikasi pola makan untuk meningkatkan jumlah serat yang
dikonsumsi sehari-hari (sebanyak 20-30 gram/hari), olahraga, penyesuaian kebiasaan
buang air besar sehingga waktu yang teratur dan memadai dibuat untuk menanggapi
dorongan untuk buang air besar, peningkatan asupan cairan, serta menghindari
konsumsi obat yang menyebabkan konstipasi.
Jika penyakit yang mendasarinya diakui sebagai penyebab konstipasi, upaya
harus dilakukan untuk memperbaikinya. Misalnya terdapat penyakit pencernaan yang
bersifat ganas (tumor, kanker) maka dapat diangkat melalui reseksi bedah.
Jika seorang pasien mengkonsumsi obat yang diketahui menyebabkan
konstipasi, pertimbangkan untuk pemberian agen alternatif. Jika tidak ada obat
alternatif lain yang tidak menyebabkan konstipasi, maka pertimbangkan untuk
menurunkan dosis obat yang dikonsumsi. Jika pasien harus tetap konsumsi obat yang
menyebabkan konstipasi, perhatian lebih harus diberikan kepada langkah-langkah
umum untuk pencegahan sembelit.
Manajemen yang tepat untuk konstipasi memerlukan kombinasi terapi
nonfarmakologis dan terapi farmakologis.

2.8. FARMAKOLOGI KONSTIPASI

Sebagian besar obat konstipasi yang digunakan menyebabkan laksasi


(pengosongan bahan feses yang telah terbentuk sebelumnya dari rectum), tetapi
sebenarnya beberapa obat konstipasi bersifat katartik (pengosongan bahan feses yang
belum terbentuk sebelumnya dan biasanya berair dari seluruh kolon) yang pada dosis
rendah digunakan sebagai laxative. Laxative umumnya diduga bekerja mengikuti
salah satu cara berikut ini: (1) meningkatkan retensi cairan intraluminal melalui
mekanisme hidrofilik atau osmotik; (2) menurunkan jumlah absorpsi cairan yang
berpengaruh pada transportasi cairan dan elektrolit usus halus dan usus besar; (3)
mempengaruhi motilitas baik melalui penghambatan kontraksi segmental (yang
bersifat nonpropulsif) atau merangsang kontraksi yang bersifat mendorong feses
(propulsive). Berikut ini merupakan penggolongan dari laxative:

2.8.1 Bulk-forming Laxatives (Laksatif pembentuk massa)


Merupakan terapi paling penting dan lini pertama untuk pengobatan
konstipasi. Mekanisme kerja umumnya yaitu menyerap air dari usus,
kemudian membentuk bulk, kemudian gel pelunak (emollient gel) dapat
menggembungkan kolon dan mendukung terjadinya peristalsis sehingga
kotoran dapat berjalan menuju anus. Pada minggu-minggu awal terapi,
adanya serat tanaman di dalam kolon dapat memicu bakteri pencernaan
sehingga menyebabkan pasien mengalami perut kembung dan sering
flatulen. Terapi konsumsi makanan kaya serat dilakukan minimal selama 1
bulan, kebanyakan pasien mendapatkan efek terhadap pencernaannya
setelah 3-5 hari sejak mulai terapi.
Preparat yang tersedia yaitu produk herbal/natural plant/serat alami
(psyllium, metilselulosa) dan serat semisintetik (policarbophil).

a. Serat Alami
Pada keadaan normal, baik massa, ukuran, kekerasan, dan hidrasi
feses sangat bergantung pada kandungan serat makanan yang
dikonsumsi. Serat merupakan bagian dari makanan yang dapat
melawan pencernaan enzimatik dan sebagian besar serat tidak
berubah hingga mencapai kolon.
Bakteri kolon memfermentasi serat dengan tingkat beragam,
tergantung sifat kimiawi serta kelarutan dalam air masing-masing
subtype serat. Fermentasi serat memiliki 2 efek penting yaitu: (1)
memproduksi asam lemak rantai pendek (SCFA) yang berguna
atau sebagai nutrisi untuk epitel kolon, dan (2) meningkatkan
massa bakteri. Serat yang difermentasi dapat menurunkan cairan
feses, SCFA juga mempunyai efek prokinetik dan meningkatkan
massa bakteri yang berkonstribusi membentuk massa feses.
Sedangkan serat yang tidak difermentasi dapat mengabsorpsi air
dan membentuk massa feses. Jadi, efek bersih serat makanan pada
pergerakan usus beragam, bergantung pada komposisi serat dalam
makanan tersebut. Pada umumnya serat yang sulit difermentasi
(seperti lignin) merupakan yang paling efektif untuk meningkatkan
massa feses dan transit.

Tabel 2. Sifat berbagai serat makanan


Wheat Bran (Gandum). Gandum mengandung lebih dari 40%
serat. Wheat bran, kaya akan lignin, merupakan yang paling efektif
untuk meningkatkan massa kotoran. Selain gandum, contoh serat
alami lain yaitu buah dan sayuran. Buah dan sayuran mengandung
pektin dan hemiselulosa, yang lebih mudah difermentasi dan
mengurangi waktu singgah kotoran.
b. Serat Semisintetik
Serat semisintetik difermentasi lemah sehingga dapat
meningkatkan absorpsi air serta meningkatkan massa feses.
Contoh serat semisintetik yaitu Methylcellulose (CITRUCEL, dan
lainnya), Hydrophilic resin calcium polycarbophil (FIBERCON,
FIBERALL, dan lainnya), dan produk semisintetik lainnya.
Gambar 41. Contoh Sediaan Serat Semisintetik
Serat dikontraindikasikan pada pasien dengan gejala obstruktif dan
pada pasien yang menderita megakolon atau megarektum. Impeksi
feses harus diatasi terlebih dahulu sebelum pemberian suplemen
serat. Kembung dan nyeri abdomen merupakan efek samping serat
yang paling umum, tetapi biasanya akan berkurang seiring waktu.
2.8.2 Surfactant Laxatives
Agen ini dapat melunakkan feses, serta meningkatkan penetrasi air dan
lemak. Laxative ini dapat diadministrasi secara peroral atau melalui rektal.
Namun, penggunaan jangka panjang dapat mengganggu absorpsi vitamin
larut lemak (A, D, E, K). Produk yang tersedia diantaranya Docusate
(oral/enema), gliserin suppositoria, mineral oil, dan lainnya.
a. Emollient Laxatives (Docusates)
Agen surfaktan, docusate, bekerja dengan memfasilitasi
pencampuran dari cairan dan dan komponen lemak di dalam
saluran pencernaan. Dia dapat meningkatkan sekresi air dan
elektrolit pada usus. Produk ini menghasilkan kotoran yang lunak
selama 1-3 hari. Emollient laxatives tidak efektif untuk mengobati
konstipasi, tetapi biasa digunakan untuk mencegah konstipasi.
Docusate dapat digunakan pada situasi dimana ketegangan saat
defekasi harus dihindari, seperti pada pasien saat masa
penyembuhan dari infark myocardial, pasien dengan penyakit
perianal akut, atau pada pasien setelah operasi rektal.
Gambar 42. Contoh Sediaan Docusate

b. Lubrikan Laxatives (Mineral Oil)


Merupakan lubrikan laxative yang digunakan secara rutin,
bekerja melapisi kotoran dan memudahkan perjalanannya.
Mekanismenya yaitu menghambat absorpsi air pada kolon
sehingga meningkatkan massa kotoran dan menurunkan waktu
singgah kotoran. Secara umum, efek terhadap fungsi usus, setelah
2-3 hari penggunaan. Mineral oil sangat membantu pada situasi
yang sama saat diperlukan docusate: yaitu untuk memelihara
kotoran tetap lunak dan menghindari ketegangan selama beberapa
periode waktu (beberapa hari hingga 2 minggu), serta digunakan
pula untuk pengobatan konstipasi.
Mineral oil dapat diserap secara sistemik dan menyebabkan
reaksi tubuh yang tidak biasa pada jaringan lymphoid. Bila mineral
oil diberikan pada pasien kondisinya lemah, dapat menyebabkan
lipoid pneumonia.

2.8.3 Osmotic Laxative


Pencahar osmotik terdiri senyawa yang larut tetapi tidak dapat diabsorbsi
oleh tubuh sehingga terjadi peningkatan cairan pada feses akibat
meningkatnya cairan pada lumen kolon.
a. Garam atau gula yang tidak diabsorbsi
Agen osmotik ini digunakan untuk terapi konstipasi akut atau
pencegahan konstipasi kronik. Pada garam pencahar, terdiri dari
ion yang relatif sulit diabsorbsi seperti magnesium, sulfat, fosfat,
sitrat yang memproduksi efek laksatif dengan aksi osmotik untuk
menahan cairan pada saluran gastrointestinal..
Mekanisme kerja secara umum adalah pencahar osmotik akan
meningkatkan tekanan osmotik pada saluran intestinal sehingga
jumlah air yang memasuki saluran intestinal semakin banyak.
Garam pencahar juga meningkatkan gerakan peristaltis saluran
cerna sehingga meningkatkan evakuasi feses. Dosis tinggi pada
pemberian agen osmotik akan menyebabkan efek evakuasi pada
usus (purgative) dalam waktu 1-3 jam. Perpindahan cairan yang
cepat ke distal usus halus dan kolon menyebabkan peningkatan
cairan pada feses.
Magnesium hidroksida (MgOH) adalah garam pencahar yang
sering digunakan. Tetapi tidak disarankan untuk penggunaan
jangka panjang pada pasien dengan gangguan ginjal, karena dapat
berisiko terjadi hipermagnesia. Sorbitol dan Lactulose adalah gula
yang tidak diabsorbsi dan dapat digunakan untuk terapi konstipasi
kronik. Tetapi gula tersebut dimetabolisme oleh bakteri pada kolon
sehingga dapat menyebabkan kram perut dan flatus.

Gambar 43. Epsom Salt


Contoh sediaan:
Epsom Salt (Magnesium Sulfat)
 Indikasi : hipomagnesia, konstipasi
 Kontraindikasi: obstruksi usus, kolitis, ibu hamil
 ESO: ruam, pusing, denyut jantung yang tidak teratur, rasa
kantuk yang parah
 Dosis: 2-4 sendok teh dalam kurang lebih 225 ml cairan.
Selalu minum air yang banyak setelah mengkonsumsi.

b. PEG
Larutan PEG biasa digunakan untuk pembersihan kolon
sebelum dilakukan endoskopi. Karena memiliki tekanan osmotik
yang tinggi, PEG diabsorbsi dengan buruk oleh tubuh sehingga
larutan akan tertahan pada lumen. Ketika digunakan pada volume
besar, larutan PEG akan memperlihatkan efek katartik yang efektif.
Larutan isotonis PEG terdiri atas gula yang memiliki osmotik
tinggi (PEG) dan untuk mencegah perpindahan ion pada saluran
intestinal, biasanya mengandung campuran isotonik, seperti
natrium sulfat, natrium bikarbonat, atau kalium klorida. Oleh sebab
itu, penggunaan berlebihan dapat menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit.
Mekanisme kerja PEG sebagai agen laksatif adalah dengan
menambah isi cairan pada lumen kolon, sehingga cairan pada feses
juga meningkat. Selain itu, PEG juga meningkatkan gerakan
peristaltis sehingga proses evakuasi usus meningkat.

Gambar 44. Miralax

Contoh sediaan:
MiraLax (PEG 3350)
• Indikasi: konstipasi yang tidak rutin
• Kontraindikasi: hipersensitivitas, obstruksi usus, ulkus kolitis
• ESO : pendarahan rektal, nyeri pada perut, berkeringat banyak,
pusing
• Dosis: Dewasa  17 gram (dilarutkan pada kurang lebih 225 ml
cairan) per oral 1 kali sehari, anak-anak  0.5-1g/kg per hari

2.8.4 Stimulant Laxative


Stimulant laxative (katartikum) menginduksi pergerakan usus melalui
perangsangan sistem saraf yang di dalamnya termasuk stimulasi sistem
saraf enterik, elektrolit pada kolon, dan sekresi cairan. Mekanisme yang
lebih jauh masih belum dipahami, tetapi dalam beberapa hasil penelitian
disebutkan bahwa stimulant laxative merangsang myenteric plexes sehingga
meningkatkan motilitas usus. Stimulan laxative juga menghambat aktivitas
absorpsi cairan oleh sel mukosa sehingga terjadi akumulasi cairan dan
elektrolit pada lumen

Stimulan laxative diperlukan untuk pengobatan jangka panjang, terutama


untuk pasien yang mmeiliki gangguan pada saraf dan pada pasien tirah
baring jangka panjang. Dahulu terdapat isu bahwa penggunaan jangka
panjang stimulant laxative dapat mempengaruhi kolon sehngga kolon akan
berdilatasi, tetapi penelitian terbaru menyatakan bahwa penggunaannya
pada jangka panjang aman bagi sebagian besar pasien.
Stimulant laxatives memiliki efek pada eneterosit, saraf enterik, dan otot
polos gastroinstestinal. Baru-baru ini diteliti mekanisme kerja yang terjadi
pada stimulant laxative, kemungkinan obat stimulant laxative menginduksi
terjadinya inflamasi tingkat rendah pada usus halus dan usus besar untuk
meningkatkan akumulasi air dan elektrolit dan meningkatkan motilitas usus.
Mekanisme ini termasuk di dalamnya jalur aktivasi prostaglandin-cAMP
dan NO-cGMP,

a. Castor oil
Disebut juga minyak jarak atau Oleum Ricini, didapat dari
tanaman Ricinus communis, dan mengandung dua komponen
penting, yaitu protein yang sangat toksik, ricin, dan minyak yang
terdiri atas trigliserida asam ricinoleat. Asam ricinoleat bekerja
pada usus kecil untuk menstimulasi sekresi cairan dan elektrolit
dan kecepatan transit usus. Karena rasanya yang kurang enak dan
potensi toksik pada epitel usus dan saraf enterik, minyak castor
jarang direkomendasikan.
Asam ricinoleat adalah senyawa aktif dari minyak castor. Asam
ricinoleat akan meningkat akibat proses pencernaan lemak.
Mekanisme kerja dari asam ricinoleat adalah menginduksi mukosa
duodenum untuk mengeluarkan kolesistokinin/pankreozimin ke
dalam darah. Selanjutnya Pankreozimin/ kolesistokinin akan
bekerja pada tiga mekanisme :
• Kontraksi kantung empedu sehingga terjadi sekresi
asam empedu
• Induksi pancreas sehingga terjadi sekresi lipase
• Induksi gerakan peristaltis usus

Gambar 45. Mekanisme Castor Oil

Contoh sediaan:

Castor oil
Gambar 46. Contoh sediaan Castor Oil
• Indikasi : Konstipasi yang tidak rutin,
• Kontraindikasi : hipersensitivitas, ulkus peptikum
• Efek Samping: mual, muntah, nyeri perut
• Dosis: Dewasa dan anak di atas 12 tahun: 1 – makan 4 sendok
makan sehari, anak usia 2-12 tahun: 1-3 sendok teh sehari,
jangan digunakan pada anak di bawah 2 tahun

b. Derivat antraquinon
Derivat antraquinon di antaranya adalah aloe, senna, dan
cascara yang terdapat dalam tanaman dan memiliki inti antrasena.
Inti antrasena tersebut dimodifikasi oleh gugus hidroksil, metil
atau karboksil sehingga membentuk monoanthrone, seperti rhein
dan frangula. Gugus monoanthrone dapat mengiritasi mukosa
mulut, tetapi proses pengeringan mengubah bentuknya menjadi
bentuk dimer (dianthrone). Selanjutnya, gugus dianthrone akan
diubah oleh aksi bakteri kolon menjadi bentuk aktifnya.
Pencahar derivat antraquinon diabsorbsi secara buruk dan
setelah dihidrolisis dalam kolon, akan menyebabkan pergerakan
pada usus 6-12 jam setelah pemberian per oral dan 2 jam setelah
pemberian per rektal. Pencahar ini dapat menyebabkan kontraksi
kolon sehingga meningkatkan evakuasi dan menginduksi sekresi
elektrolit dan cairan. Tidak dianjurkan untuk pengobatan jangka
panjang atau konstipasi kronik karena dapa menyebabkan
pigmentasi melanosis pada kolon (melanosis coli).
Senna didapat dari daun dan buah kering Cassia acutifolia
atau Cassia angustifolia dan mengandung glikosida sennosida A
dan B. Senna termasuk laksatif golongan antrakuinon yang
menginduksi sekresi elektrolit dan air dan kontraksi kolon.
Cascara diperoleh dari kulit kayu pohon buckthorn
(Cascara sagrada) yang mengandung glikosida barbaloin dan
chrysaloin.

Contoh sediaan :

Gambar 47. Senokot


Senokot
• Indikasi: Konstipasi
• Kontraindikasi: hipersensitivitas, operasi pada bagian perut
dalam waktu dekat, obstruksi usus, apendictis
• ESO: Diare, mual, sakit pada bagian perut
• Dosis: Dewasa 2 tablet sekali sehari sebelum tidur, Anak
diawah 12 tahun satu tablet sekali sehari

c.Derivat difenilmetana
Bisacodyl meupakan derivat defenilmetana yang digunakan
untuk terapi konstipasi akut dan kronis. Bisacodyl dapat diberikan
secara oral ataupun rektal. Bisacodyl menginduksi pergerakan
usus dalam waktu 6-10 jam setelah pemberian oral karena
bisacodyl dimetabolisme oleh enzim esterase di usus. Derivat
difenilmatana memiliki absorpsi yang minim sehingga aman untuk
pengobatan jangka panjang dan kosntipasi akut. Bisacodyl jika
teraktivasi di usus akan menyebabkan iritasi lambung, untuk itu
pencegahan yang dapat dilakukan adalah menelan tablet bisacodyl
secara utuh tanpa dikunyah.
Obat lain pada kelas ini adalah fenolftalein, tetapi sudah
tidak direkomendasikan lagi penggunaannya karena memiliki
kemungkinan toksik pada jantung.

Contoh sediaan:
Dulcolax
• Indikasi: Digunakan untuk pasien yang menderita konstipasi.
Untuk persiapan prosedur diagnostik, terapi sebelum dan
sesudah operasi dan dalam kondisi untuk mempercepat defeksi.
• Kontraindikasi: Pada pasien ileus, abstruksi usus, yang baru
mengalami pembedahan dibagian perut seperti usus buntu,
penyakit radang usus akut dan hehidrasi parah.
• Efek samping: rasa tidak enak pada perut termasuk kram, sakit
perut, dan diare. Reaksi alergi, termasuk kasus-kasus
angiooedema
• Dosis: Gambar 48. Mekanisme Bisakodil
– Dewasa dan anak-anak di atas 12 tahun: 2 - 3 tablet (10 -
15 mg) sekali sehari.
– Anak-anak 6 - 12 tahun: 1 tablet (5 mg) sekali sehari.
– Anak-anak di bawah 6 tahun: konsultasi dengan dokter atau
dianjurkan memakai supositoria anak.
– Dosis yang berlebihan akan menyebabkan diare

2.9. FARMAKOTERAPI KONSTIPASI

Gambar 49. Farmakoterapi Konstipasi


2.9.1 Tujuan Terapi
Menghilangkan gejala, mengembalikan fungsi normal usus, serta
meningkatkan kualitas hidup dengan meminimalisir reaksi obat yang tidak
diinginkan dari terapi.
2.9.2 Rekomendasi Terapi
Dasar untuk pengobatan dan pencegahan konstipasi harus terdiri dari
bulk-forming laxative sebagai tambahan modifikasi diet yaitu
meningkatkan asupan serat.
Bagi kebanyakan pasien yang tidak dirawat inap dengan sembelit akut,
dapat menggunakan produk laxative. Namun, sebelum digunakan laxative
atau cathartics yang lebih poten, dapat dilakukan tindakan yang relatif
sederhana. Sebagai contoh, konstipasi akut dapat dihilangkan dengan
penggunaan tap water enema atau gliserin supositoria; jika tidak efektif,
dapat digunakan sorbitol oral, bisacodyl atau senna pada dosis rendah,
larutan PEG pada dosis rendah, atau obat pencahar garam (misalnya,
magnesium).
Jika obat laxative digunakan selama lebih dari 1 minggu, pasien
disarankan untuk konsultasi ke dokter untuk menentukan apakah ada
penyebab sembelit yang membutuhkan pengobatan dengan agen selain obat
laxative.
Untuk beberapa pasien terbaring di tempat tidur atau pasien geriatri, atau
pasien lain dengan sembelit kronis, obat golongan bulk-forming laxative
tetap merupakan lini pertama terapi konstipasi, tetapi penggunaan laxative
yang lebih poten mungkin diperlukan disertakan penggunaannya yang lebih
sering. Agen yang dapat digunakan pada situasi ini diantaranya sorbitol,
laktulosa, larutan PEG dengan dosis rendah, dan magnesium.
Pada pasien dirawat di rumah sakit tanpa penyakit GI, konstipasi
mungkin terjadi terkait dengan penggunaan anestesi umum dan/atau
substansi opiat. Sebagian besar laxative yang diadministrasi oral atau rektal
dapat digunakan. Untuk inisiasi cepat terhadap buang air besar dianjurkan
untuk menggunakan tap water enema, atau gliserin supositoria, atau
magnesium.
Pendekatan untuk pengobatan konstipasi pada bayi dan anak-anak harus
mempertimbangkan aspek neurologis, metabolik, atau kelainan anatomi
ketika konstipasi merupakan masalah yang terjadi secara terus-menerus.
Apabila konstipasi tidak berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya,
pendekatan konstipasi mirip dengan terapi konstipasi pada orang dewasa.
Diet tinggi serat harus ditekankan pada kasus ini.

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Terdapat berbagai macam aktivitas di usus. Antara lain motilitas, sekresi getah
pencernaan di usus, serta penyerapan
2. Klasifikasi diare dibagi menjadi tiga yaitu diare sekretori yang berkaitan dengan
transpor cairan dan elektrolit, diare motilitas yang berkaitan dengan konsumsi zat
yang sulit diabsorpsi, dan diare osmotik yang berkaitan dengan peningkatan
motilitas usus
3. Obat- obat yang digunakan untuk menangani diare antara lain antimotilitas,
adsorben, enzim laktose, oralit, antisekretori, antibiotik, dan octreotide
4. Penatalaksanaan diare dilakukan tergantung diare yang diderita pasien kronis atau
akut
5. Konstipasi merupakan penyakit yang disebabkan oleh penyakit lain. Kondisi yang
menyebabkan terjadinya konstipasi adalah gangguan GIT, kelainan neurogenik,
gangguan pada endokrin, kehamilan, kurangnya konsumsi serat, geriatri, dan
konsumsi obat opiat
6. Golongan obat yang digunakan untuk menangani konstipasi antara lain laksatif
osmotik dan laksatif stimulan, bulk forming laxatives, serta laksatif surfaktan
7. Tujuan terapi konstipasi yaitu menghilangkan gejala, mengembalikan fungsi
normal usus, serta meningkatkan kualitas hidup dengan meminimalisir reaksi obat
yang tidak diinginkan dari terapi.

3.2 SARAN
Farmasis harus paham dan mengerti mengenai fisiologi, patofisiologi, serta
penanganan diare dan konstipasi secara komperhensif.

DAFTAR PUSTAKA

Cavenaghi, S., Felicio, O., Ronchi, L., Cunrath, G., Melo, M. and Netinho, J. (2008).
Prevalence of rectoanal inhibitory reflex in chagasic megacolon. Arq. Gastroenterol.,
45(2), pp.128-131.
Departemen Farmakologi dan Tepeutik. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta. 2009
Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells, BG, Posey LM. (2011).
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Eight Edition. USA: The McGraw-
Hill Companies.
Oh, J., Kim, Y., Park, S. and Kim, J. (2013). Estrogen Rather Than Progesterone Cause
Constipation in Both Female and Male Mice. The Korean Journal of Physiology &
Pharmacology, 17(5), p.423.
Goodman, L., Gilman, A., Brunton, L., Lazo, J. and Parker, K. (2006). Goodman & Gilman's
the pharmacological basis of therapeutics. New York: McGraw Hill
Ikarashi, N., Baba, K., Ushiki, T., Kon, R., Mimura, A., Toda, T., Ishii, M., Ochiai, W. and
Sugiyama, K. (2011). The laxative effect of bisacodyl is attributable to decreased
aquaporin-3 expression in the colon induced by increased PGE2 secretion from
macrophages. AJP: Gastrointestinal and Liver Physiology, 301(5), pp.G887-G895.
Pranaka, Kris., & R, Rejeki Andayani. (n.d.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia: Dari Sistem ke Sel edisi ke-6. Jakarta: EGC
Silverthorn, D.U. 2010. Human Physiology: an Integrated Approach 5th Ed. San Fransisco:
Pearson Benjamin Cummings Publishing
Sianipar, Nicholas Benedictus. (2015). Konstipasi pada Pasien Geriatri. Continuing Medical
Education, 42 (8), 572-577
Sofyandari,made Windy. Rai Gunawan.2012. Komunikasi, Informasi, Dan Edukasi
(Kie)pada Resep Pasien Dengan Kasus Diare apotek Kimia Farma 108 Teuku Umar.
Jurusan Farmasifakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alamuniversitas Udayana
Trevor, A., Katzung, B. and Masters, S. (2008). Katzung & Trevor's New York: McGraw Hill
Medical.
Wardlaw, G.M., Hampl, J.S., and DiSilvestro, R.A. 2004. The Water-Soluble Vitamins. In:
Meyers, L.M., ed. Perspectives in Nutrition. 6thed. New York: McGraw-Hill. 352-356.
WebMD, (2015). First Trimester of Pregnancy: What to Expect. [online] Available at:
http://www.webmd.com/baby/guide/first-trimester-of-pregnancy [Accessed 19 Nov.
2015].
Anon, (2015). [online] Available at: http://americanpregnancy.org/pregnancy-
health/constipation-during-pregnancy/ [Accessed 19 Nov. 2015].
Anon, (2015). 1st ed. [ebook] Available at: http://eknygos.lsmuni.lt/springer/97/39-47.pdf
[Accessed 19 Nov. 2015].
Anonim. 2009. Informasi Spesialite Obat (ISO) Indonesia; Volume 44-2009 s/d 2010.
Jakarta : PT. ISFI Penerbitan Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai