Satria efendi merinci objek kajian ushul fiqh menjadi empat bagian yaitu :
Di bawah ini akan di kemukakanbeberapa kegunaan penting bagi mempelajari ushul fiqh:
1. Dengan mempelajari ushul fiqh akan memungkinkan untuk mengetahui dasar-dasar mujtahid masa
silam dalam membentu pendapat fiqhnya. Dengan demikian akan dimengerti secara mendalam,
sehingga dengan itu bisa diketahui sejauh mana kebenaran pendapat-pendapat fiqh yang berkembang
di dunia islam. Pengetahuan seperti ini akan mengantarkan kepada ketenangan mengamalkan
penndapat-pendapat meteka.
2. Dengan ushul fiqh seorang akan memperoleh untuk memahami ayat-ayat hukum dalam Al- qur’an
dan hadits-hadits hukum dalam sunnah Rasulullah. kemudian meng- istinbatkan –kan hukum dari dua
sumber tersebut. Dengan ushul fiqh seseorang memperoleh pengetahuan bagaimana seharusnya
memahami sebuah Al-qur’an atau hadits, dan bagaimana cara mengembangkannya. Oleh sebab itu
ulama’-ulama’ mujtahid terdahulu, lebih mengutamakan studi ushul fiqh dari studi fiqh itu sendiri.
Sebab dengan mempelajari ushuk fiqh seorang bukan saja mampu memakai tetapi berartimemproduk
fiqh
3. Dengan mendalami ushul fiqh seseorang akan mampu secara benar dan lebih baik
melakukan muqoronat al- mazahib al- fiqhiyah, studi komperatif antar pendapat ulama fikih dari
berbagai madzhab, sebab ushul fiqh merupakan alat untuk melakukan perbandingan madzhab fikih.
4. Dengan mengetahui ushul fiqih, kita akan mengetahui dasar-dasar dalam berdalil, dapat menjelaskan
mana saja dalil yang benar dan mana saja dalil yang palsu. Dalil yang benar adalah apa yang ada di
dalam al-qur’an, hadist rosulullah serta perkataan para sahabat, sedangkan dalil-dalil yang palsu
adalah seperti apa yang didakwahkan oleh kaum syiah, dimana mereka mengatakan bahwa mimpi dari
seorang yang mereka agungkan adalah dalil. Atau juga kelompok lain yang mengatakan bahwa
perkataan para tabi’in adalah dalil, ini merupakan dalil yang palsu yang dapat merusak syariat islam
yang mulia ini
5. Dengan ushul fiqih, kita dapat mengetahui cara berdalil yang benar, dimana banyak kaum muslimin
sekarang yang berdalil namun dengan cara yang salah. Mereka berdalil namun dalil yang mereka
gunakan tidaklah cocok atau sesuai dengan pembahasan yang dimaksudkan, sehingga pemaknaan
salah dan hukum yang diambil menjadi keliru. Seperti halnya mereka menghalalkan maulid nabi
dengan dalil sunnahnya puasa senin, yang mana ini sesuatu yang tidak berhubungan sama sekali.
Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa itu adalah salah?? Yakni dengan mempelajari ushul fiqih.
6. Ketika pada jaman sekarang timbul perkara-perkara yang tidak ada dalam masa nabi, terkadang kita
bingung, apa hukum melaksanakan demikian dan demikian, namun ketika kita mempelajari ushul
fiqih,kita akan tahu dan dapat berijtihad terhadap suatu hukum yang belum disebutkan di dalam al-
qur’an dan hadits. Dalam ushul fiqih akan dipelajari mengenai kaidah-kaidah dalam berfatwa, syarat-
syaratnya serta adab-adabnya. Sehingga fatwa yang diberikan sesuai dengan keadaan dari yang
ditanyakan.
7. Dengan mempelajari ushul fiqih, kita dapat mengetahui sebab-sebab yang menjadikan adanya
perselisihan diantara para ulama dan juga apa alasan mereka berselisih, sehingga dari hal ini kita akan
lebih paham dan mengerti maksud dari perbedaan pendapat tersebut, yang akhirnya kita bisa
berlapang dada terhadap perbedaan pendapat yang terjadi, bukannya saling mengejek dan
menjatuhkan satu sama lainnya.
8. Ushul fiqih dapat menjauhkan seseorang dari fanatik buta terhadap para kiayi, ustadz atau guru-
gurunya. Begitu pula dengan ushul fiqih seseorang tidak menjadi taklid dan ikut-ikutan tanpa
mengetahui dalil-dalilnya.
9. Ushul fiqih dapat menjaga aqidah islam dengan membantah syubhat-syubhat yang dilancarkan oleh
orang-orang yang menyimpang. Sehingga ushul fiqih merupakan alat yang bermanfaat untuk
membendung dan menangkal segala bentuk kesesatan.
10. Ushul fiqih menjaga dari kebekuan agama islam. Karena banyak hal-hal baru yang belum ada
hukumnya pada jaman nabi, dengan ushul fiqih, hukum tersebut dapat diketahui.
11. Dalam ushul fiqih, diatur mengenai cara berdialog dan berdiskusi yang merujuk kepada dalil yang
benar dan diakui, tidak semata-mata pendapatnya masing-masing. Sehingga dengan hal ini, debat
kusir akan terhindari dan jalannya diskusi dihiasi oleh ilmu dan manfaat bukannya dengan adu mulut.
12. Dengan ushul fiqih, kita akan mengetahui kemudahan, kelapangan dan sisi-sisi keindahan dari agama
islam.
D. SEJARAH USHUL FIQH
Di masa rasulullah saw, ummat islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam
memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada
rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al- Qur’an, atau melalui sunnah beliau.
Para sahabat menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan turunnya Al- Qur’an dan
mengetahui dengan baik sunnah rasulullah saw, disamping itu mereka adalah para ahli
bahasa dan pemilik kecerdasan berfikir serta kebersihan fitrah yang luar biasa, sehingga
peninggalan rasulullah saw merekapun tidak memerlukan perangkat teori (kaidah) untuk
dapat berijtihad, meskipun kaidah-kaidah secara tidak tertulis telah ada dalam dada-dada
mereka yang dapat mereka gunakan disaat mereka memerlukannya. Setelah meluasnya
futuhat islamiyah, ummat islam arab banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang
berbeda bahasa dan latar belakang peradabannya, hal ini menyebabkan mekemahnya
kemampuan berbahasa arab di kalangan sebagian ummat, terutama di irak. Disisilain
kebutuhan akan ijtihad begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang
belum pernah terjadi dan memrlukan kejelasan hukum fiqh nya.
Dalam situasi ini, munculah dua madrasah besar yang mencerminkan metode mereka
dalam berijtihad:
Madrasah ahlir-ra’yi di irak dengan pusatnya di basrah dan kufah.
Madrasah ahlil-hadits di hijaz dan berpusat di mekkah dan madinah.
Perbedaan dua madrasah ini terletak pada banyak nya penggunaan hadits atau qiy
dalam berijtihad. Madrasah ahlir-ra’yi lebih banyak menggunakan qiyas (analogi) dalam
berijtiha, hal ini disebabkan oleh:
Sedikit jumlah hadits yang sampai ke ulama irak dan ketatnya seleksi hadits yang
mereka lakukan, hal ini karna banyak nya hadits-hadits palsu yang beredar
dikalangan mereka sehingga mereka tidak mudah menerima seseorang kecuali
melalui seleksi yang ketat. Disisi lain masalah baru yang mereka hadapi dan
memerlukan ijtihad begitu banyak, maka mau tidak mau mereka mengandalkan
qiyas (analogi) dalam menetapkan hukum. Masalah-masalah baru ini muncul akibat
peradaban dan kehidupan masyarakat irak yang sangat kompleks.
Mereka mencontoh guru mereka abdullah bin mas’ud ra yang banyak menggunakan
qiyas dalam berijtihad menghadapi berbagai masalah.
Sedangkan madrasah ahli hadits lebih berhati-hati dalam berfatwa dengan qiyas.karena
Situasi yang mereka hadapi berbeda,situasi itu adalah:
Banyak nya hadits yang berada ditangan mereka dan sedikitnya kasus-kasus baru
yang memerlukan ijtihad.
Contoh yang mereka dapati dari guru mereka, seperti abdullah bin umar ra, dan
abdullah bin ‘amr bin ‘ash, yang sangat berhati-hati logika dalam berfatwa.
Perbedaan kedua madrasah ini melahirkan perdebatan sengit, sehingga membuat para ulama
merasa perlu untuk membuat kaidah-kaidah tertulis yang di bukukan sebagai undang –undang
bersama dalam menyatukan du madrasah ini. Di antara ulama yang mempunyai perhatian terhadap
hal ini adalah al- imam abdur rahman bin mahdi rahimullah (135-198 H ). Beliau meminta kepada al
imam asy syafi’i rahimahullah (150-204 H) untuk menulis sebuah buku tentang prinsip-prinsip ijtihad
yang dapat di gunakan sebagai pedoman. Maka lahirlah kitab ar -risalah karya imam syafi’i sebagai
kitab pertama dalam ushul fiqh.
Hal ini tidak berarti bahwa sebelum lahirnya kitab ar-risalah prinsip-prinsip ushul fiqh tidak
ada sama sekali, tetapi iya sudah ada sejak masa sahabat ra dan ulama-ulama sebelum safi’i akan
tetapii kaidah-kaidah itu belum disusun dalam sebuah buku ataw disiplin ilmu tersendiri dan masih
berserakan pada kitab-kitab fiqh para ulama. Imam syafi’i lah orang pertama yang menulis buku
ushul fiqh, sehingga ar risalah menjadi rujukan bagi para ulama sesudahnya untuk mengembangkan
dan menyempurnakan ilmu ini.
Abu abdillah muhammad bin idris as syafi’i ra memang pantas untuk memperoleh kemuliaan
ini, karena beliau memiliki pengetahuan tentang madrasah ahli hadits dan madrasah ahdir ra’yi.
Beliau lahir di gaza, pada usia dua tahun bersama ibunya pergi ke mekah untuk belajar dan
menghafal al qur’an serta ilmu fiqh dari ulama mekkah. Sejak kecil beliau sudah mendapat
pendidikan bahasa dari perempuan huzail, salah satu qabilah yang terkenal dengan kefasihan
berbahasa. Pada usia 15 tahun beliau sudah diizinkan oleh muslim bin kholid az- zanji salah satu
ulama mekkah untukk memberi fatwa.
Kemudian beliau pergi ke madinah kemudian beliau pergi ke madinah dan berguru kepada
imam penduduk madinah, imam malik bin anas ra (95-179 H) dalam selang waktu sembilan tahun
meskipun tidak berturut-turut beserta ulama-ulama lainnya, sehingga beliau memiliki pengetahuan
yang cukup dalam ilmu hadits dan fiqh madinah. Lalu beliau pergi ke irak dan belajar metod fiqh
irak kepada muhammad bin hasan as syaibani ra (wafat tahun 187 H), murid imam abu hanifah
annu’man bin tuststabit ra (80-150 H ).
Dari latar belakangnya, kita melihat bahwa imam syafi’i memiliki pengetahuan tentang kedua
madrasah yang berbeda pendapat, maka beliau memang orang yang tepat untuk
menjadi orang pertama yang menulis buku dalam ilmu ushul. Selain Ar-risalah, imam
syafi’i juga memiliki karya lain dalam ilmu ushul, seperti: kitab jima’ul-ilmi, ibtahalul
istihsan, dan ikhtiaful hadits.
Dapat kita simpulkan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya penulisan ilmu
ushul fiqh:
Setelah ar-risalah,munculnya berbagai karya para ulama dalam ilmu usghul fiqh, diantaranya:
1. Khabar al wahid, itsbat al qiyas, dan ijtihad ar-ra’yi, ketiganya karya isa bin aban bin
shadaqah al hanafi (wafat tahun 221 H).
2. Annasikh wal-mansukh, karya imam ahmad bin hambal (164-241 H).
3. Al-ijma’, ibthal At-taqlid, ibthal al-qiyas, dan buku lain karya daud bin ali zhahiri (200-
270 H).
4. Al mu’tamad karya abul husain muhammad bin ali al-bhasiri al- mu’taziliy asy syafi’i
(wafat tahun 436H).
5. Al- burhan karya abul ma’ali abdul malik asy-syafi’i (wafat tahun 436 H).
6. Al-burhan karya abul ma’ali abdul malik bin abdullah al- juwaini/imamul haramain(410-
478 H).
7. Al- mustashfa karya imam al-gazali muhammad bin muhammad (wafat 505 H).
8. Al- mahshul karya fakhruddin muhammad bin umar arrazi (wafat 606 H).
9. Al-ihkam fi’ushulil-ahkam karya syaifuddin ali bin abi ali al-amidi (wafat 631 H).
10. Ushul al-karkhi karya ubaidullah bin al husain al-karkhi (wafat 340 H).
11. Ushul al-jashahs karya abu bakar al-jashash (wafat 370 H).
12. Ushul al-sarakhsi karya muhammad bin ahmad as-sarakhsi (wafat 490 H).
13. Kanz al-wushul ila ma’rifat al ushul karya ali bin muhammad al-bazdawi (wafat 482 H).
14. Badi’un nizham karya muzhaffaruddin ahmad bin ali as-sa’ati al- hanafi (wafat 694 H).
15. At- tahrir karya kamaluddin muhammad bin abdul wahid yang di kenal dengan ibnul
hammmam (wafat 861 H).
16. Jam’ul jawami karya abdul wahab bin ali as subki (wafat 771 H).
17. Al-muafaqat karya abu ishaq ibrahim bin musa al- gharnathi yang dikenal dengan nama
asy-syathibi (wafat 790 H).
18. Irsyadul- fuhul ila tahqiq iim al-ushul karya muhaammad bin ali bin muhammad asy
syaukani (wafat 1255 H).
E. Ushul fiqh dan qawaidul fiqh
Hubungan ushul fiqih dengan fiqih adalah seperti hubungan ilmu mantiq (logika) dengan
filsafat; mantiq merupakan kaidah berfikir yang memelihara akal agar tidak terjadi kerancuan dalam
berpikir. Juga seperti hubungan ilmu nahwu dengan bahasa arab; ilmu nahwu sebagai gramatika yang
menghindarkan kesalahan seseorang didalam menulis dan mengucapkan bahasa arab. Demikian ushul
fiqih diumpamakan dengan limu mantiq atau ilmu nahwu, sedangkan fiqih seperti ilmu filsafat atau
bahasa arab, sehingga ilmu ushul fiqih berfungsi menjaga agar tidak terjadi kesalahan dalam
mengistinbatkan hukum
Objek fiqih adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan mausia beserta dalil-dalilnya yang
terperinci. Adapun objek ushul fiqih adalah mengenai metodologi penetapan hukum-hukum tersebut.
Kedua disiplin ilmu tersebut sama-sama membahas dalil-dalil syara’, tetapi tinjauannya berbeda.
Fiqih membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan
dengan perbuatan manusia, sedangkan ushul fiqih meninjau dari segi metode penetapan, klasifikasi
argumetasi, serta situasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dalil tersebut
Ushul fiqih merupakan ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-cara menginstinbath (menggali
hukum). Sekalipun ushul fiqh muncul setelah fiqih, tetapi secara teknis, terlebih dahulu para ulama
menggunakan ushul fiqh untuk menghasilkan fiqh. Artinya sebelum ulama menetapkan suatu perkara
itu haram, ia telah mengkaji dasar-dasar yang menjadi alasan perkara itu diharamkan. Hukum
haramnya disebut fiqih, dan dasar-dasar sebagai alasannya disebut ushul fiqh.
Kemudian tujuan dari pada ushul fiqih itu sendiri adalah untuk mengetahui jalan dalam mendapatkan
hukum syara’ dan cara-cara untuk menginstinbatkan suatu hukum dari dalil-dalilnya. Dengan
menggunakan ushul fiqih itu, seseorang dapat terhindar dari jurang taklid.Ushul fiqih itu juga sebagai
pemberi pegangan pokok atau sebagai pengantar dan sebagai cabang ilmu fiqih itu.Dapat dikatakan
bahwa ushul fiqih sebagai pengantar dari fiqih, memberikan alat atau sarana kepada fiqih dalam
merumuskan, menemukan penilaian-penilaian syari’at dan peraturan-peraturannya dengan tepat.
Hukum yang digali dari dalil atau sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqih.
Jadi fiqih adalah produk operasional ushul fiqih. Sebuah hukum fiqih tidak dapat dikeluarkan dari
dalil atau sumbernya (nash al-Qur’an dan as-Sunnah) tanpa melalui ushul fiqih. Ini sejalan dengan
pengertian harfiah ushul fiqih, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqih. Misalnya hukum wajib sholat dan
zakat yang digali (istinbath) dari ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 43 yang berbunyi:
َالرا ِك ِعين
َّ ار َكعُوا َم َع َّ َوأَقِي ُموا الص َََّلةَ َوآت ُوا
ْ الزكَاةَ َو
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’”.
Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ilmu ushul fiqih, perintah pada asalnya
menunjukan wajib selama tidak ada dalil yang merubah ketentuan tersebut ( )األَصْل فِي ْاألَمر ل ْل ُو ُجوب.
Fiqih membahas tentang bagaimana cara tentang beribadah, tentang prinsip rukun Islam dan
hubungan antara manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh
karena itu hubungan diantara Qowa’id al- fiqhiyah dengan fiqih sangat erat sekali karena qowa’id
fiqhiyah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang
mukalaf. Ini karena dalam menjalanklan hukum fiqih kadang-kadang mengalami kendala-
kendala. Misalnya kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan tepat pada waktunya.
Kemudian seorang mukalaf dalam menjalankan kewajibannya mendapat halangan, misalnya ia
diancam bunuh jika mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Dalam kasus seperti ini, mukalaf
tersebut boleh menunda sholat dari waktunya karena jiwanya terancam. Hukum boleh ini dapat
ditetapkan lewat pendekatan qawaid fiqhiyah, yaitu dengan menggunakan qaidah :” “الضرار يزالbahaya
itu wajib dihilangkan. Ini adalah salah satu perbedaan antara ushul fiqih dengan qowa’id fiqih.
Qowa’id fiqih merupakan kunci berpikir dalam pengembangan dan seleksi hukum fiqih. Dengan
bantuan qawa’id al fiqhiyah semakin tampak jelas semua permasalahan hukum baru yang tumbuh
ditengah-tengah masyarakat dapat ditampung oleh syari’at Islam dan dengan mudah serta cepat dapat
dipecahkan permasalahannya. Persoalan baru semakin banyak tumbuh dalam masyarakat seiring
dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Maka diperlukan kunci berfikir guna
memecahkan persoalan masyarakat sehingga tidak menjadi berlarut-larut tanpa kepastian hukum.
Dengan demikian qawa’id al fiqhiyah sangat berhubungan dengan tugas pengabdian ulama ahli fiqih
dalam rangka mengefektifkan dan mendinamiskan ilmu fiqih ke arah pemecahan problema hukum
masyarakat.
Adapun dalam kaitannya dengan fiqih mu’amalah hampir sama dengan fiqih pada umumnya akan
tetapi dalam fiqih mu’amalah objek kajian dikhususkan pada lingkup mu’amalah saja yaitu hal yang
berkaitan hubungan antara sesama manusia. Berikut ayat yang menjelaskan keterkaitan antara fiqh,
ushul fiqh, dan qawaid fiqh:
َّ … َوأ َ َح َّل
ِ َّللاُ ا ْلبَ ْي َع َوح ََّر َم
.… الربَا
Artinya: “Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al Baqarah: 275)
Ushul fiqih mu’amalah contohnya seperti ayat yang menghalalkan jual beli sedangkan fiqihnya yaitu
mubah (boleh), dan untuk qowa’id fiqihnya yaitu:
َحْريْمِ هَا َ اإلبَاحَةُ االَّ أ َ ْن يَ ُد َّل َد ِل ْي ٌل ع
ِ َلى ت ْ َ األ
ِ ص ُل فِي ال ُمعَا َملَ ِة
“Hukum asal semua bentuk muamlah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
Mengharamkannya.”
Demikianlah hubungan antara ushul fiqih, qowa’id fiqih dan fiqih mu’amalah . Hukum syara’ tentang
mu’amalah (fiqih mu’amalah ) adalah hukum yang diistinbath dari nash al-Qur’a
n dan sunnah melalui pendekatan ushul fiqih. Hukum yang telah diistinbath tersebut diikat oleh
qowa’id fiqhiyah, dengan maksud supaya lebih mudah difahami dan diidentifikasi.