Anda di halaman 1dari 2

TERAPI KOMPLEMENTER

TERAPI HIPOTERMIA PADA PASIEN CEDERA OTAK TRAUMATIK (COT)

1. Latar Belakang
Pasien dengan Cedera Otak Traumatik ini memiliki risiko hipertensi
intrakranial, secara nyata dipengaruhi oleh perubahan suhu tubuh karena aliran
darah otak (cerebral blood flow) akan meningkat seiring dengan peningkatan
suhu tubuh. Peningkatan volume darah otak yang dihubungkan dengan kenaikan
suhu tubuh akan meningkatkan tekanan intrakranial ICP (intracranial pressure)
dan menyebabkan otak berisiko terkena cedera lain. Karena itu, salah satu terapi
yang bisa dilakukan adalah terapi hipertermia, Pengendalian normotermia
(pencegahan panas dengan pendinginan intravaskuler) efektif dalam mengurangi
panas dan beratnya cedera otak sekunder setelah cedera kepala berat akibat
dari penurunan tekanan intrakranial dan panas. Terapi Hipotermia (TH) adalah
pertolongan pertama untuk Cedera Otak Traumatik yang dikembangkan dalam
beberapa tahun terakhir. Untuk mencapai keuntungan maksimum, terapi
hipotermi harus diberikan sesegera mungkin, langsung ke target suhu yang
diinginkan dan diberikan dalam jangka waktu lama hal ini dilakukan agar tidak
terjadinya peningkatan tekanan intracranial secara cepat yang dapat berdampak
pada kematian.

2. Manfaat
Terapi hipotermia (TH) memainkan peran penting dalam perlindungan
fungsional otak, jantung, hati, ginjal, dan organ vital lainnya pada pasien yang
menjalani resusitasi kardiopulmoner atau menderita kerusakan otak hipoksia-
iskemik dan kegagalan beberapa organ. Pada pasien terapi TH bisa
memperbaiki metabolisme energi seluler; Menurunkan tingkat metabolisme basal
jaringan dan organ tubuh, konsumsi oksigen dan energi, pembentukan radikal
oksigen dan kelebihan kalsium intraselular, memperbaiki nekrosis sel dan
apoptosis, mempromosikan pemulihan sinyal interselular, meringankan edema
serebral dan mengurangi tekanan intrakranial. Terapi TH secara signifikan dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien dan mengurangi tingkat kecacatan atau
kematian. Semakin dini terapi diberikan, semakin penting efek perlindungannya.

3. Tinjauan literature
Dalam penelitian oleh Max Andresen et al (2015), Hipotermia terapi, yang
baru-baru ini disebut target temperature management (TTM), adalah landasan
strategi neuroprotektif. Meskipun hipotermia menurunkan tingkat metabolisme
untuk mengembalikan suplai dan permintaan O2, ia memiliki efek spesifik pada
jaringan lainnya, seperti mengurangi sifat excitotoxicity, membatasi peradangan,
mencegah penipisan ATP, mengurangi produksi radikal bebas dan juga
kelebihan kalsium intraselular untuk menghindari apoptosis. konsekuensi
patofisiologis hipotermia serta menyertakan pengalaman peneliti untuk
mengelola pasien dengan cedera otak akut yang diobati dengan menggunakan
hipotermia endovaskular.
4. Pembahasan
Teknik untuk menginduksi dan mempertahankan hipotermia dapat dibagi
menjadi dua jenis: metode pendinginan eksternal dan internal. Jenis pertama
mencakup penggunaan selimut pendingin, bungkus es, penggunaan alkohol,
perendaman air dingin, lavage lambung garam dingin, dan pendinginan lokal
menggunakan perangkat helm. Namun, terlepas dari sifat non-invasifnya,
metode ini memiliki beberapa kelemahan, seperti penerapan yang kompleks,
terutama pada pasien obesitas, persyaratan keperawatan tinggi, vasokonstriksi
kulit yang intens (menggigil), pencapaian yang lambat pada suhu yang diinginkan
dan suhu yang tidak menentu. Tipe kedua mencakup metode pendinginan
internal yang menggunakan kateter vena sentral untuk memberikan cairan dingin
secara langsung untuk mengurangi suhu darah melalui konveksi. Sebuah studi
tunggal membandingkan tingkat pendinginan untuk metode eksternal dan
internal, yang menunjukkan tingkat 0,9 ° C / jam dan 4,8 ° C / jam, masing-
masing Hipotermia terinduksi dapat dipisahkan menjadi tiga fase: induksi,
perawatan dan rewarming, setiap fase menghasilkan beberapa perubahan pada
fisiologi normal, Dokter harus menyadari kejadian ketiga fase dan perbedaan
antar individu. Induksi hipotermia harus dimulai sesegera mungkin untuk
meminimalkan kerusakan neurologis. Mengkonversikan cairan dingin, misalnya,
Ringer Laktat > 25 ml / kg pada suhu 4 ° C, adalah metode termudah dan paling
efektif untuk menginduksi hipotermia. Selama hipotermia, suhu sentral pasien
harus dipantau secara ketat. Lokasi probe yang disukai adalah suhu otak atau
inti, seperti vena sentral, esofagus, timpani, nasofaring, kandung kemih dan
rectum.
Pengelolaan tradisional hipertermi setelah COT adalah dengan
memberikan antipiretik, selimut pendingin, ice packs, dan beberapa kasus
blockade neuromuskuler. Ada kekurangan dari evaluasi literatur tentang
efektivitas antipiretik tradisional seperti asetaminofen, paracetamol, aspirin, dan
nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) untuk hipertermia akibat COT.
Induksi hipotermi dapat dilakukan dengan pendinginan permukaan (surface
cooling), endovascular cooling, selective head cooling. Surface cooling dapat
dilakukan dengan kantong es, helm, vests, mattresses, intravenous cooling,
intravascular cooling devices, selective brain cooling (pharyngeal). Dari data
eksperimental dan pengalaman klinis, temperature optimal adalah dalam rentang
34oC dan 35oC.
5. Kesimpulan
Hipotermi terapeutik masih kontroversi, akan tetapi, dalam situasi klinik
pertahankan suhu pasien 35 oC dan hindari suhu tubuh pasien lebih dari 37 oC,
lakukan terapeutik hipotermi minimal 5 hari, hal ini dilakukan agar tidak terjadinya
gangguan fungsional otak, meringankan edema serebral dan mengurangi
tekanan intrakranial. Terapi TH dapat memperbaiki kualitas hidup pasien dan
mengurangi tingkat kecacatan atau kematian pada pasien dengan Cedera Otak
traumatic (COT).

Anda mungkin juga menyukai