Anda di halaman 1dari 21

TUGAS MAKALAH

Politik Hukum Pidana


JUDUL

“Hukuman Mati dalam RUU KUHP Nasional”

Nama : Elina Zahra Yusra


NIM : 11010113130428
Kelas : ( B ) Politik Hukum Pidana
Dosen wali : Bambang Dwi Baskoro
Dosen Pengampu : Purwoto
Progam : S1 Ilmu Hukum Reguler 2013

0
Kata Pengantar
Puji suyukur kehadirat Tuhan YME yang atas berkat dan rahmatnya tugas

makalah Hukum Laut Indonesia dengan judul : “Hukuman Mati dalam RUU KUHP

Nasional” ini dapat terselesaikan dengan baik.

Dalam rancangan kitab undang-undang hukum pidana versi 2012 pidana mati

masih dicantumkan sebagai hukuman. Namun, pidana mati tak lagi menjadi pidana

pokok sebagaimana diatur KUHP yang ada saat ini. Pidana mati dalam rancangan

KUHP merupakan pidana pokok yang sifatnya khusus dan selalu diancamkan secara

alternative. Pidana mati juga merupakan upaya terakhir untuk mengayomi

masyarakat. Apa itu hukuman mati? Bagaimana sejarah hukuman mati? Bagaimana

pengaturan hukum pidana mati dalam RUU KUHP? Dan pro kontra hukuman mati…?

Akan penulis bahas dalam makalah kali ini.

Dan ucapan terima kasih kembali penulis haturkan kepada orang tua dan

segenap kerabat serta Dosen Politik Hukum Pidana yang membantu dalam

penyelesaian makalah ini.

1
Daftar Isi
Kata Pengantar…………………………………………………………………………. 1

Daftar Pustaka……………………………………………………………………………2

BAB I……………………………………………………………………………………… 3

Pendahuluan……………………………………………………………………………. 3

o Latar Belakang Masalah………………………………………………………… 3


o Tujuan Makalah………………………………………………………………….. 3
o Perumusan Masalah……………………………………………………………… 3

BAB II

Metodologi………………………………………………………………………………….4

BAB III

Pembahasan………………………………………………………………………………5

o Pengertian Hukuman Mati…………..…………………………………………. 5


o Sejarah Hukuman Mati………………………..………………………………… 9
o Pengaturan Hukuman Mati dalam RUU KUHP Nasional……….…………… 12
o Pro dan Kontra Hukuman Mati……………………………………………..……14

BAB IV

Penutup…………………………..……………………………………………………… 19

o Saran…………………………………………………………………………….. 19
o Kesimpulan………………………………………………………………………. 19

Daftar Pustaka…………………………………………………………………………….. 20

2
BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah

Pidana mati merupakan satu jenis pidana dalam usianya, setua usia kehidupan
manusia dan paling kontroversial dari semua sistem pidana, baik di negara-negara
yang menganut sistem Common Law, maupun di negara-negara yang menganut Civil
Law. Mempersoalkan hukuman mati dalam hukum pidana sebagai sarana mencapai
tujuan dari hukum pidana itu sendiri, telah banyak menimbulkan perdebatan antar
sesama ahli hukum pidana, diantara mereka ada yang pro dan juga ada yang kontra
terhadap penggunaan sarana pidana mati sebagai sarana untuk mencapai tujuan
hukum pidana yaitu memberikan rasa aman, memberikan keadilan dan sebagainya.

Sehingga dalam makalah kali ini penulis akan membahas hukuman mati yang
pengaturannya terdapat di dalam RUU KUHP nasional.

Tujuan Makalah

Makalah ini dibuat dalam rangka pemenuhan penilaian mata kuliah Politik Hukum
Pidana dan pemenuhuan pemahaman akan pengaturan hukuman mati dalam RUU
KUHP Nasional bagi penulis serta masyarakat Fakultas Hukum Undip yang
membacanya.

Perumusan Masalah

1. Mengapa hukuman mati diperlukan bagi hukum pidana Indonesia?


2. Bagaimana RUU KUHP Nasional mengatur Hukuman mati?

3
BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian studi pustaka yang berkaitan dengan makalah serta Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian survey yaitu suatu penelitian lapangan dan
meminta pendapat responden yang mengambil sampel dari suatu populasi dan
menggunakan kuesdioner atau daftar pertanyaan sebagai alat pengumpulan data
pokok. Penulis mengrincikan yang menjadi populasi dan sampel , adalah :

 Populasi
Semua rakyat Indonesia yang nantinya akan terikat dengan KUHP nasional
serta khususnya praktisi hukum dan pejuang-pejuang hak asasi manusia.

 Sampel
Mahasiswa jurusan hukum pidana angkatan 2013 dan 2012 serta kuesioner
online dengan target masyarakat yang lebih luas.

Teknik Pengambilan Data

Metode pengumpulan data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah :

Studi pustaka. Pengumpulan data-data, informasi, dan teori-teori yang relevan dari
literatur, surat kabar, dan hasil karya para peneliti terdahulu untuk mendukung analisis
dan pemecahan masalah.

4
BAB III
PEMBAHASAN
Pengertian Hukuman Mati
Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan
pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang
dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.

Pidana mati sebagai salah satu jenis pidana yang paling kontroversial selalu
mendapat sorotan dari berbagai kalangan di seluruh dunia. Bermacam-macam
pendapat dan alasan dikemukakan untuk mendukung dan menentang pidana mati. Di
Indonesia yang berlaku KUHP buatan pemerintah Belanda sejak 1 Januari 1918,
dalam pasal 10 masih mencantumkan pidana mati dalam pidana pokoknya, padahal
di Belanda sendiri pidana mati sudah dihapuskan Pada tahun 1870. Hal tersebut tak
diikuti di Indonesia karena keadaan khusus di Indonesia menuntut supaya penjahat
yang terbesar dapat dilawan dengan pidana mati.

De Bussy membela adanya pidana mati di Indonesia dengan mengatakan


bahwa di Indonesia terdapat suatu keadaan yang khusus. Bahaya terhadap gangguan
yang sangat terhadap ketertiban hukum di Indonesia adalah lebih besar. Jonkers
membela pidana mati dengan alasan bahwa walaupun ada keberatan terhadap pidana
mati yang seringkali dajukan adalah bahwa pidana mati itu tak dapat ditarik kembali,
apabila sudah dilaksanakan dan diakui bahwa ada kekhilafan atau kekeliruan dalam
putusan hakim, lalu tak dapat diadakan pemulihan hak yang sesungguhnya. Terhadap
orang mati ketidakadilan yang dialaminya tidak dapat diperbaiki lagi.

Hazewinkel-Suringa mengemukakan bahwa pidana mati adalah suatu alat


pembersih radikal yang pada setiap masa revolusioner kita dapat menggunakannya.
Bichon van Tselmonde menyatakan : saya masih selalu berkeyakinan, bahwa ancaman
dan pelaksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-tiap negara dan masyarakat yang
teratur, baik ditinjau dari sudut keputusan hakum maupun dari sudut tidak dapat
ditiadakannya, kedua-duanya jure divino humano. Pedang pidana seperti juga pedang
harus ada pada negara. Hak dan kewajiban ini tak dapat diserahkan begitu saja. Tapi
haruslah dipertahankannya dan juga digunakannya. Lombrosso dan Garofalo
juga termasuk yang mendukung pidana mati. Mereka berpendapat bahwa pidana mati

5
adalah alat mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang
tak mung kini dapat diperbaiki lagi.

Para sarjana hokum di Indonesia juga ada yang mendukung pidana mati.
Diantaranya adalah Bismar Siregar yang menghendaki tetap dipertahankannya
pidana mati dengan maksud untuk menjaga sewaktu-waktu kita membutuhkan masih
tersedia. Sebab beliau menilai kalau seseorang penjahat sudah terlalu keji tanpa
perikemanusiaan , pidana apa lagi yang mesti dijatuhkan kalau bukan pidana mati.
Sedangkan Oemar Seno Adji menyatakan bahwa selama negara kita masih
meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam oleh
bahaya, selama tata tertib masyarakat dikacaukan dan dibahayakan oleh anasiranasir
yang tidak mengenal perikemanusiaan, ia masih memerlukan pidana mati.

Hartawi AM memandang ancaman dan pelaksanaan pidana mati sebagai


suatu social defence. Pidana mati adalah suatu pertahanan sosial untuk
menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman
kejahatan besar yang mungkin terjadi yang akan menimpa masyarakat, yang telah
atau akan mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggui ketertiban serta keamanan
rakyat umum, dalam pergaulan manusia bermasyarakat dan bergama. Adanya
bahaya-bahaya dan kejahatan-kejahatan besar yang menimpa dan mengancam
kehidupan masyarakat, memberikan hak pada masyarakat sebagai kesatuan untuk
menghindarkan dan pembelaan terhadap kejahatan dengan memakai senjata, salah
satunya adalah pidana mati.

Bila pidana mati mendapat dukungan dari berbagai kalangan yang ingin tetap
mempertahankannya, maka ia juga mendapat penentang yang semakin hari semakin
banyak jumlahnya. Yang dianggap sebagai pelopor dari gerakan anti pidana mati ini
adalah Beccaria dengan karangannya yang terkenal Dei Delitti E Delle Pene
(1764). Yang menyebabkan Beccaria menentang pidana mati ialah proses yang
dijalankan dengan cara yang amat buruk terhadap Jean Callas yang dituduh telah
membunuh anaknya sendiri. Hakim menjatuhkan pidana mati. tapi Voltaire
kemudian dapat membuktikan bahwa Jean Callas tidak bersalah sehingga namanya
direhabilitasi. Walaupun demikian ia telah mati tanpa salah, akibat pidana mati yang
diperkenankan pada waktu itu. Beccaria menunjukkan adanya pertentangan antara
pidana mati dan pandangan negara sesuai dengan doktrin Contra Social. Karena

6
hidup adalah sesuatu yang tak dapat dihilangkan secara legal dan membunuh adalah
tercela, karena pembunuhan yang manapun juga yang mengijinkan untuk pidana
mati adalah immoral dan makanya tidak sah.

Van Bemmelen menyatakan bahwa pidana mati menurunkan wibawa


pemerintah, pemerintah mengakui ketidakmampuan dan kelemahnnya. Menurut
Roling, pidana mati justru mempunyai daya destruktif, yaitu bila negara tidak
menghormati nyawa manusia dan menganggap tepat untuk dengan tenang
melenyapkan nyawa seseorang, maka ada kemungkinan besar dan akan berkurang
pulalah hormat orang pada nyawa manusia. Disamping itu adalagi suatu bahaya, yaitu
bahwa perbuatan membunuh oleh negara itu akan memancing suatu penyusulan pula
terhadapnya.

Ernest Bowen Rowlands berpendapat bahwa pidana mati tidak dapat


diperbaiki kalau seorang hakim telah keliru dan pidana mati telah dilaksanakan, tak
pernah kehidupan dikembalikan pada yang dipidana mati. Von Hentig menyatakan
bahwa pengaruh yang kriminogen pidana mati itu terutama sekali disebabkan karena
telah memberikan suatu contoh yang jelek dengan pidana mati tersebut. Sebenarnya
negara yang berkewajiban mempertahankan nyawa manusia dalam keadaan apapun.
la menambahkan bahwa dengan menahan seseorang dalam penjara, kita mengadakan
suatu eksperimen yang sangat berharga. Hal ini tak mungkin ditemukan pada pidana
mati.

Is Cassutto menyatakan bahwa pada pidana mati ditemui kesukarankesukaran


yang serius, pertama-tama terbentur pada kemungkinan terjadinya kekhilafan yang
tak mungkin dapat diperbaiki. Damstee menyatakan bahwa "saya tak merasa perlu
pidana mati, saya tak percaya kegunaannya, malah saya percaya keburukannya. Dan
kalau pemerintah melalui pembunuhan. maka ia merendahkan kewibawaannya
terhadap rakyat pada siapa dianjurkan janganlah engkau membunuh. Dengan
membunuh ia membangunkan naluri yang jahat. Suatu masyarakat yang mengagung-
agungkan pidana mati dikecam bahwa disini masih ada orang-orang biadab dan
anggotaanggota masyarakat itu tak akan meninggalkan sifat-sifat biadabnya." leo
Polak beranggapan bahwa pidana mati setelah dilaksanakan tidak membawa nestapa
yang harus diderita oleh penjahat karena ia sudah tidak ada lagi. Jadi pidana mati
sama bukan pidana, bahkan bukan juga suatu pidana yang ringan. leo Polak

7
berpendapat pidana mati itu tidak adil, pelaksanaan pidana mati itu dianggap sebagai
suatu dosa kekeliruan besar dalam penetapan pembalasan yang adil.

Diantara sarjana hukum Indonesia yang menentang adanya pidana mati adalah
Roeslan Menurut beliau bagi kita penjara seumur hidup dan lain-lainnya pidana yang
merupakan perampasan dan pembatasan atas kemerdekaan dan harta kekayaan
seseorang sajalah yang dipandang sebagai pidana. Selanjutnya beliau menyatakan
bahwa karena orang semakin tahu betapa buruknya pidana mati itu, sehingga
bertrurut-turut banyak negara beradab yang menghapuskannya. Ing Dei Tjo lam
menyatakan bahwa tujuan pidana adalah memperbaiki individu yang melakukan
tindak pidana disamping melindungi masyarakat. Jadi nyata bahwa dengan adanya
pidana mati bertentangan dengan salah satu tujuan pidana yang disebutkan tadi. J.E
Sahetapy juga dianggap sebagai penentang pidana mati, walaupun terbatas hanya
mengenai pembunuhan berencana.

Dalam desertasinya yang berjudul Suatu Studi Khusus mengenai Ancaman


Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, beliau memberikan hipotesa :

1. Ancaman pidana mati dalam pasal 340 KUHP dewasa ini dalam praktek
merupakan suatu ketentuan abolisi de facto

2. Ancaman pidana mati dalam pasal 340 KUHP tidak akan mengenai sasarannya
selama ada berapa faktor seperti lembaga banding, lembaga kasasi, lembaga
grasi, kebebasan hakim dan "shame culture"

3. Dari segi kriminologi sangat diragukan manfaat pidana mati.

Sejarah Hukuman Mati


Pidana mati sudah dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai macam
delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara melaksanakan pidana mati

8
juga bermacam- macam; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan, dijemur dibawah
matahari hingga mati, ditumbuk kepalanya dengan alu dan lainlain. Di Aceh seorang
istri yang berzinah dibunuh.

Di Batak, jika pembunuh tidak membayar yang salah dan keluarga dari yang terbunuh
menyerahkan untuk pidana mati, maka pidana mati segera dilaksanakan. Demikian
pula bila seseorang melanggar perintah perkawinan yang eksogami. Kalau di
Minangkabau menurut pendapat konservatif dari Datuk Ketemanggungan dikenal
hukum membalas, siapa yang mencurahkan darah juga dicurahkan darahnya.
Sedangkan di Cirebon penculik-penculik atau perampok wanita apakah penduduk asli
atau asing yang menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon dianggap
kejahatan yang dapat dipidana mati.

Di Bali pidana mati juga diancamkan bagi pelaku kawin sumban Dikalangan suku dari
Tenggara Kalimantan orang yang bersumpah palsu dipidana mati dengan jalan
ditenggelamkan. Di Sulawesi Selatan pemberontakan terhadap pemerintah kalau
yang bersalah tak mau pergi ke tempat pembuangannya, maka ia boleh dibunuh oleh
setiap orang. Di Sulawesi Tengah seorang wanita kabisenya yaitu seorang wanita
yang berhubungan dengan seorang pria batua yaitu budak, maka tanpa melihat
proses dipidana mati.

Di Kepulauan Aru orang yang membawa dengan senjata mukah, kalau ia tak dapat
membayar denda ia dipidana mati. Di Pulau Bonerate, pencuri-pencuri dipidana mati
dengan jalan tidak diberi makan, pencuri itu diikat kaki tangannya kemudian ditidurkan
di bawah matahari hingga mati. Di Nias bila dalam tempo tiga hari belum memberikan
uang sebagai harga darah pada keluarga korban, maka pidana mati diterapkan. Di
pulau Timor, tiap-tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus dibayar atau
dibalaskan. Balasan itu dapat berupa pidana mati. Sedangkan di lampung terdapat
beberapa delik yang diancamkan dengan pidana mati yaitu pembunuhan, delik salah
putih (zinah antara bapak atau ibu dengan anaknya atau antara mertua dengan
menantu dsb) dan berzinah dengan istri orang lain.

Dengan melihat uraian diatas dapat disimpulkan bahwa suku-suku bangsa Indonesa
telah mengenal pidana mati jauh sebelum bangsa Belanda datang. Jadi bukan bangsa

9
Belanda dengan WvS-nya yang memperkenalkan pidana mati itu pada bangsa
Indonesia.

Ancaman pidana mati juga dikenal dalam hukum Islam yang dikenal dengan nama
Qishash. Pandangan Islam terhadap pidana mati tercantum dalam Surat AIBaQarah
ayat 178 dan 179, yang terjemahannya sebagai berikut. Ayat 178: "Hai orang- orang
yang beriman, diwajibkan atasmu Qishash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba
sahaya, wanita dengan wanita.

Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudara terbunuh,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang
diberi maaf) membayar diyah kepada pihak yang memberi maaf dengan cara yang
baik (pula). Yang demikian itu adalah satu keringanan hukuman yang telah
diisyarakatkan Tuhanmu, sementara untukmu adalah menjadi rahmat pula. Siapa
yang melanggar sesudah itu akan memperoleh siksa yang pedih." Ayat 179 : “ Dalam
hukum Qishash itu ada (jaminan) kelangsungan hidup, hai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertakwa".

Oishash dalam hukum Islam adalah hukuman bunuh yang harus dilaksanakan
terhadap diri seseorang yang telah melakukan pembunuhan. Tapi hukum ini tak harus
dilaksanakan, dengan kata lain hukum ini dapat gugur manakala ahli waris yang
terbunuh memberi maaf kepada pihak yang membunuh dengan membayar suatu
diyah. Diyah adalah hukuman denda yang disetujui oleh kedua belah pihak atau yang
ditentukan oleh hakim, apabila ahli waris yang terbunuh memaafkan si pembunuh dari
hukuman Qishash.

Pidana Mati Dalam Perundang-undangan di Indonesia Roeslan Saleh dalam bukunya


Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa KUHP Indonesia membatasi
kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan yang berat-berat
saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang berat itu adalah :

1. Pasal104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)

2. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang,
jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang)

10
3. Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)

4. Pasal 140 aY3t 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat
yang direncanakan dan berakibat maut)

5. Pasal 340 (pembunuhan berencana)

6. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat
atau mati)

7. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka


berat atau mati)

8. Pasal444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan


kematian).

Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi


pelanggarnya. Peraturan-peraturan itu antara lain:

1. Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa


Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman
terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan
sandang pangan.

2. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat


ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.

3. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang senjata api,
amunisi atau sesuatu bahan peledak.

4. Pasal13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan


kegiatan subversi.

5. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 Tahun 1964 tentang ketentuan pokok tenaga


atom.

6. Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang Narkotika

11
7. Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan
kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.

Pengaturan Hukuman Mati dalam RUU KUHP

Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Semarang tahun 1990 Muladi
menyatakan bahwa hukum pidana tidak boleh hanya berorientasi pada perbuatan
manusia saja (daadstrafrecht), sebab dengan demikian hukum pidana menjadi tidak
manusiawi dan mengutamakan pembalasan.

Pidana hanya diorientasikan pada pemenuhan unsur tindak pidana didalam


perundang- undangan. Hukum pidana juga tidak benar apabila hanya memperhatikan
si pelaku saja (daderstrafrecht}, sebab dengan demikian penerapan hukum pidana
akan berkesan memanjakan penjahat dan kurang memperhatikan kepentingan yang
luas, yaitu kepentingan masyarakat,kepentingan negara ,dan kepentingan korban
tindak pidana.

Dengan demikian maka yang paling tepat secara integral hukum pidana harus
melindungi pelbagai kepentingan diatas, sehingga hukum pidana yg dianut harus
daad-daderstafrecht . Gambaran tentang penerapan teori integratif dalam
pemidanaan nampak dari pemahaman Tim Perancang KUHP Nasional dalam
merumuskan pidana mati dalam konsep KUHP baru.

Dari pengalaman empiris sampai saat ini terbukti bahwa, Indonesia termasuk
kelompok retensionis terhadap pidana mati, de jure dan de facto. Masalahnya adalah
bagaimana caranya menjaga keseimbangan perasaan antara kaum retensionis dan
kaum abolisionis di kalangan masyarakat yang di Indonesia yang masing -masing
jumlahnya sangat banyak. Sehubungan dengan kenyataan diatas, konsep rancangan
KUHP mengeluarkan pidana mati dari stelsel pidana pokok dan mencantumkannya
sebagai pidana pokok yang bersifat khusus atau sebagai pidana eksepsional.
Penempatan pidana mati terlepas dari paket pidana pokok dipandang penting, karena
merupakan kompromi dari pandangan retensionis dan abolisionis. Dalam konsep
Rancangan KUHP 1991/1992 terdapat beberapa macam tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati, antara lain:

12
1. Pasal 164 tentang menentang ideologi negara Pancasila : Barang siapa secara
melawan hukum dimuka umum melakukan perbuatan menentang ideologi
negera Pancasila atau Undang-Undang Dasar 1945 dengan maksud
mengubah bentuk negara atau susunan pemerintahan sehingga berakibat
terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun
dan paling rendah lima tahun.

2. Pasal167 tentang makar untuk membunuh presiden dan wakil presiden

3. Pasal186 tentang pemberian bantuan kepada musuh.

4. Pasal 269 tentang terorisme : Ayat 1 : Dipidana karena melakukan terorisme,


dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan paling rendah tiga
tahun, barangsiapa menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
terhadap target-target sipil dengan maksud menimbulkan suatu suasana teror
atau ketakutan yang besar dan mengadakan intimidasi Pada masyarakat,
dengan tujuan akhir melakukan perubahan dalam sistem politik yang berlaku.
Ayat 2 : Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling lama dua puluh tahun dan paling rendah lima tahun, jika perbuatan
terorisme tersebut menimbulkan bahaya bagi nyawa orang lain. Ayat 3 :
Dipidana pidana mati atau pidana penjara paling lama duapuluh tahun dan
paling rendah lima tahun, jika perbuatan terorisme tersebut menimbulkan
bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan matinya orang. Sedangkan
tindak pidana pembunuhan berencana ditiadakan. Menurut penjelasan konsep
Rancangan KUHP 1991/1992 hal ini memberi kebebasan kepada hakim dalam
rangka mempertimbangkan ada tidaknya unsur berencana yang acapkali sulit
dibuktikan.

Dengan demikian hakim akan lebih mengutamakan untuk mempertimbangkan motif,


cara, sarana atau upaya membunuh dan akibat serta dampaknya suatu pembunuhan
bagi masyarakat.

PRO DAN KONTRA HUKUMAN MATI DIPANDANG DARI HAK MANUSIA UNTUK
HIDUP
Pidana mati (doodstraf) adalah pidana yang merampas satu kepentingan hukum,

13
yakni jiwa atau manusia. Hukuman mati selalu menjadi perdebatan menarik setiap kali
terpidana mati dieksekusi. Yang selalu menjadi pertanyaan sekarang Masih layakkah
hukuman mati tetap dicantumkan dalam perundangundangan kita? Manusiawikah
pidana mati tetap diterapkan di Indonesia?. Kalangan organisasi non-pemerintah atau
Komnas HAM meminta semua peraturan yang memuat hukuman mati tidak
diberlakukan. Mereka menilai hukuman mati sudah kehilangan sukma konstitusi dan
bertentangan dengan pasal 28 I butir 1 UUD 1945 (Amandemen Kedua) yang
menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun. Ini berarti seluruh produk hukum yang masih.
mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidana harus ditiadakan. Di lain
pihak banyak yang setuju atas penerapan hukuman mati.
Berikut ini adalah beberapa alasan saya mengenai penghapusan hukuman mati :

1. Alasan Legal Di Indonesia, hukuman mati bertentangan dengan Konstitusi RI


(UUD 1945) pasal 28i ayat (1). Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Hak untuk hidup adalah
hak yang tidak dapat dikurangi (diambil) dalam keadaan apapun dan dengan
alasan apapun.

2. Alasan Penghargaan Terhadap Kehidupan Penghargaan terhadap kehidupan


adalah nilai utama yang berlaku universal. Hidup dan kehidupan adalah
anugerah dan karunia yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, dan hanya
Tuhan sendiri yang bisa mengambilnya. Dalam agama, konsep kesucian hidup
(sanctity of life) adalah konsep yang diakui, bahwa hidup manusia adalah
suatu hal yang suci dan merupakan anugerah dari Tuhan.
Di satu sisi agama sangat menghormati kehidupan, tetapi disisi yang lain
agama juga masih memberlakukan hukuman mati. Pelaku kejahatan (narkoba,
koruptor, pembunuh, dll) adalah manusia yang harus dihargai kehidupannya,
walaupun mereka sendiri tidak menghormati kehidupan orang lain. Kita tidak
bisa “membunuh” mereka karena akan menjadikan kita menjadi sama seperti
mereka. Tidak akan ada yang berubah (korban bisa hidup kembali, uang

14
korupsinya kembali, dll) jika pelakunya dihukum mati. Tidak ada yg berubah
karenanya selain memuaskan keinginan manusia untuk membalaskan
dendam kejahatan si pelaku.

3. Alasan Sebab-Akibat Pelegalan hukuman mati dengan dasar pandangan


bahwa hukuman mati itu bisa membuat orang lain menjadi JERA dan tidak
mengulang kejahatan tersebut sudah lama tidak lagi menjadi pandangan
utama dalam pemikiran filsafat hukum. Hal ini dikarenakan tidak adanya
korelasi antara penjatuhan hukuman mati dengan menurunnya tingkat
kriminalitas yang diancam dengan hukuman mati.
Selain itu negara juga tidak berusaha mencari jenis hukuman lain yang
berdampak langsung terhadap masyarakat tanpa mengorbankan hidup.
Konsep yang sering ada dibalik alasan hukuman mati adalah konsep dimana
negara ingin menerapkan low-cost pada sistem hukumnya. Dengan
menghukum mati, maka negara tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan
yang dikeluarkan untuk mengedukasi dan mendidik warga negaranya. Dengan
memberlakukan hukuman mati maka secara ekonomis negara diuntungkan
karena biaya yang dikeluarkan untuk lembaga pemasyarakatan otomatis akan
berkurang jika terdakwa dihukum seumur hidup, sebagai contoh. Dalam hal ini
membandingkan antara nyawa dan hidup manusia dengan cost (biaya) adalah
suatu pemikiran yang menyedihkan.

4. Alasan Pendidikan dan Pembelajaran Pandangan yang sekarang ini dianut


dalam filsafat hukum adalah suatu hukuman haruslah mempunyai suatu efek
pembelajaran, khususnya bagi terdakwa. Seorang terdakwa dihukum agar
dirinya dapat belajar dari tingkah lakunya dan tidak akan melakukan kejahatan
itu nantinya. Semua orang mempunyai kapasitas untuk belajar dan berubah.

5. Alasan Fatalisme Hukuman mati menutup kemungkinan seseorang untuk


berubah (bertobat, insyaf, belajar). Dengan menjatuhkan hukuman mati,
negara langsung memvonis bahwa seorang terhukum PASTI tidak akan
berubah.

6. Alasan Ketidaksempurnaan Hukum Fakta sejarah menunjukkan bahwa hukum


itu tidak sempurna. Banyak kita lihat, baik di Indonesia maupun di seluruh

15
dunia, kasus terhukum yang diubah hukumannya setelah mendapat bukti-bukti
baru. Pelaksanaan hukuman mati menyebabkan revisi terhadap fakta ini tidak
bisa terjadi, karena sang terhukum sudah terlanjur mati (dan kenyataan ini
pernah terjadi di Amerika, di mana ditemukan seseorang ternyata tidak
bersalah terhadap suatu kasus, padahal orang tersebut sudah terlanjur
dihukum mati).

Ada empat analisis utama dalam pemberian hukuman dalam yurisprudensi hukum di
dunia, tiga diantaranya adalah :

 analisis literal yang menganggap bahwa jenis hukuman yg harus dilarang


adalah hukuman yg membawa penderitaan fisik yang parah,

 analisis historis yang menganggap hukuman yg harus dilarang adalah


hukuman yg dianggap kejam dan tidak manusiawi,

 analisis konsensus, bahwa jenis hukuman yg harus dilarang adalah yg


bertentangan dgn kesadaran MORAL warga negara.

Di Indonesia sebagai salah satu Negara yang masih menggunakan hukuman mati
sebagai sarana penegakan hukum pidana, walaupun WVs (KUHP Negara Belanda)
telah menghapuskan pidana mati itu sendiri. Alasan-alasan Hindia Belanda
(Indonesia) tidak mengikuti menghapuskan pidana mati ini dapat dilihat dalam alasan-
alasan di bawah ini :

 Keadaan khusus Hindia Belanda sebagai archipelago yang komunikasinya


sukar.

 Alat-alat keamanan Negara kurang

 Penduduknya heterogen, sehingga mudah bentrok

Diantara para sarjana-sarjana yang setuju dengan tetap dipertahankannya pidana


mati ini mengemukakan beberapa syarat-syarat sebagai berikut :

16
1. Betul-betul untuk kepentingan umum, artinya hanya akan dijatuhkan apabila
kepentingan umum sangat terancam

2. Hakim harus benar-benar yakin akan kesalahan yang bersangkutan dengan


pembuktian yang selengkap-lengkapnya

3. Harus diancamkan secara alternative, agar hakim dapat memilih.

Sebagai catatan beberapa alasan pemikiran yang terkait dengan aliran yang pro
terhadap pidana adalah:

Bichon van Ysselmonde, yang menyetujui tetap adanya pidana mati, mengatakan
antara lain: “Saya masih selalu berkeyakinan, bahwa ancaman dan pelaksanaan dari
pidana mati itu harus ada dalam tiap-tiap negara dan masyarakat yang teratur, baik
ditinjau dari sudut kepatutan hukum maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya,
Kedua-duanya jure divino et humano. Pedang pemidana, seperti juga pedang perang
harus ada pada negara. Ini menjadi kewajiban dari negara. Hak dan kewajiban ini
tidak boleh diserahkan begitu saja, tetapi haruslah dipertahankannya dan juga
digunakan”

De Savornin Lohman, “ Dalam Kitab Undang-undang tidaklah boleh tidak ada


pengakuan bahwa negara mempunyai hak untuk menghilangkan nyawa dari penjahat
yang tidak mengindahkan zedewet samasekali. Hukum pidana itu pada hakekatnya
tidak lain dari hukum membalas dendam. Bila suatu kejahatan dilakukan, maka saya
masih termasuk orang yang mau mengatakan: kejahatan itu menghendaki adanya
pembalasan. Itu tidak hanya sekarang, tetapi seperti itulah selalu dan dimana-mana
demikian. Bila seseorang menginjak-injak zedewet sedemikian rupa sehingga dengan
perbuatannya itu dia menunjukkan tidak mengakui hukum lagi, maka negara berhak
dan berkewajiban melenyapkannya dari masyarakat”.
Mr. Dr Rambonnet, “adalah tugas dari penguasa negara untuk mempertahankan
ketertiban hukum. Mempertahankan ketertiban hukum itu diujudkan oleh pidana. Jadi
dari sini kita berkesimpulan, bahwa penguasa negara mempunyai hak untuk
memidana, artinya membalas kejahatan. Dan hak dari penguasa untuk memidana
mati itu adalah akibat yang logis daripada haknya untuk membalas dengan pidana.
Kalau karena kejahatan itu terganggulah ketertiban tersebut dalam satu bagian yang

17
tertentu saja, maka hubungan yang baik akan dapat dipulihkan kembali dengan
mengeluarkan atau tidak menurut sertakan penjahat itu dalam sebagian pula dari
kesejahteraan umum. Ini secara umumnya dapat dilakukan dengan merampas
kemerdekaannya, melukai hak miliknya dsb. Tetapi … jika kejahatan itu tidak
mengganggu ketertiban itu hanya dalam satu bagian tertentu saja darinya, melainkan
membuangkan dan merusakkan seluruh ketertiban, maka ketertiban yang terancam
itu dapat dipulihkan kembali dengan benar-benar sama sekali melenyapkan
seluruhnya dia ini dari turut sertanya dalam kesejahteraan umum itu dengan
membunuh penjahat tersebut, sebab selagi dia masih hidup, maka dia masih turut
serta dalam kesejahteraan umum itu maka negarapun akan mempunyai hak untuk
melaksanakan pidana mati”.

Bapak kriminologi Lombroso dan Garofalo, “pidana mati adalah alat yang mutlak yang
harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu-individu yang tidak mungkin
dapat diperbaiki lagi. Dan karenanya kedua sarjana inipun menjadi pembela pidana
mati. Pidana mati adalah suatu upaya yang radikal untuk meniadakan orang-orang
yang tak terperbaiki lagi, dan dengan adanya pidana mati ini maka hilanglah pula
kewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara yang sedemikian besar biayanya.
Begitu pula hilanglah ketakutan-ketakutan kita kalau-kalau orang-orang demikian
melarikan diri dari penjara dan membikin kejahatan lagi dalam masyarakat” Thomas
R Eddlem dalam artikelnya “Ten Anti-Death Penalty Fallacies”, menyanggah keras
tudingan kaum abolisionis yang menyatakan bahwa hukuman mati sebagai
melestarikan suatu siklus kekerasan dan mempromosikan “sense of vengeance” (rasa
dendam) dalam kultur umat manusia. Kaum abolisionis mengatakan bahwa kita tidak
boleh mengajarkan bahwa kita pantas membunuh orang yang bersalah (lihat
pendapat Rolling pada bagian yang kontra pidana mati).

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari penjelasan yang ada diatas jelas bahwa pidana mati sebagai sebagai peninggalan
sejarah masa lampau tampaknya masih akan tetap di pertahankan dalam rancangan KUHP

18
setidak-tidaknya sampai rancangan tahun 2004. Namun penggunaan pidana mati dalam
rancangan KUHP tidaklah sama dengan apa yang diatur dalam KUHP nasional yang ada
sekarang. namun Konsep RUU KUHP nampaknya tidak berorientasi pada
kebijakan/paradigma absolut.

Dengan demikian jelas bahwa dalam Rancangan KUHP masih akan tetap mempertahankan
pidana mati sebagai sarana penjatuhan pidana walaupun penggunaanya nanti bukan sebagai
sarana pidana pokok dengan alasan bahwa Dilihat dari tujuan pemidanaan, pidana mati pada
hakikatnya bukan sarana utama/pokok untuk mengatur, menertibkan, dan memperbaiki
individu/masyarakat. Pidana mati hanya merupakan sarana terakhir/perkecualian.

SARAN
Bagi penulis adanya sesuatu hal atau fenomena yang sudah terjadi berlangsung
lamanya yakni seperti pidana mati, bahkan hal ini sulit sekali dilepaskan oleh Negara-
negara tertentu contohnya Indonesia maka ini menunjukkan bahwa pidana mati
adalah hal yang masih diterapkan dalam hukum tanpa melukai hukum itu sendiri.

Penulis meyakini bahwa pidana mati tetap dibutuhkan namun dalam penegakannya
harus melalui proses dan pertimbangan yang matang. Pidana mati harus ditegakkan
dengan hati-hati dan penuh tanggu jawab dari aparat penegak hukum.

Daftar Pustaka
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa lain, Kini
dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.

E. Utrecht Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas, Bandung, 1968.

J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap
Pembunuhan Berencana, CV Rajawali, Jakarta, 1982.

19
Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai
Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.

muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materil lndonesia di Masa Datang, Pidato


Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Semarang, 1990.

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977.

HukumOnline.com

20

Anda mungkin juga menyukai