Anda di halaman 1dari 9

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/314222003

URGENSI AL-NÂR DALAM PERSPEKTIF TASHAWUF IBN ‘ARABÎ DALAM


KEHIDUPAN INSAN

Article · January 2017


DOI: 10.24014/jush.v23i1.1087

CITATIONS READS

0 148

2 authors, including:

Iskandar Arnel
State Islamic University of Sultan Syarif Kasim Riau
4 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

The Method of Ta'dib in Sufism View project

All content following this page was uploaded by Iskandar Arnel on 13 March 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


URGENSI AL-NÂR DALAM PERSPEKTIF TASHAWUF
IBN ‘ARABÎ DALAM KEHIDUPAN INSAN

Iskandar Arnel dan Muhammad Yasir


Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Iskandar.Arnel@uin-suska.ac.id

Abstrak
Keberadaan neraka dan azab yang bakal dialami penghuninya merupakan salah satu
doktrin yang membentuk keutuhan ajaran agama Islam. Didasarkan pada berbagai
ayat Qur’an dan hadis Rasulullah s.a.w, bisa dipastikan bahwa tidak seorang pun dari
kalangan umat Islam yang menolak keberadaan doktrin neraka. Akan tetapi apakah
kenyataan ini juga bermakna bahwa seluruh kaum muslimin memiliki perspektif yang
sama tentang ajaran yang satu ini? Ada dua pandangan yang mengemuka tentang topik
ini. Secara sederhana bisa digambarkan bahwa pandangan yang pertama berprinsip
bahwa neraka beserta azab yang dimilikinya bersifat abadi, kekal selama-lamanya.
Namun demikian, sesuai dengan dalil-dalil naqli, pandangan ini memberikan dua prinsip
utama tentang nasib para penghuni neraka. Bagi orang-orang mukmin yang berdosa,
mereka akan dipindahkan ke surga setelah masa azab berakhir. Sebaliknya, bagi orang-
orang kafir, musyrik dan munafik, mereka akan kekal di neraka dan akan diazab buat
selama-lamanya (al. QS.Al-Bayyinah: 6). Pandangan yang kedua datang dari perspektif
yang dibentangkan oleh advokat mazhab Hanafi, yaitu Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-
1328 M) dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Berbeda dari yang pertama, mereka
berpendapat bahwa neraka beserta azab yang terdapat di dalamnya bersifat fana, tidak
kekal.

Kata kunci: al-nâr, Ibn ‘Arabi, tashawuf, insan

Pendahuluan konsepsinya tentang walâyah. Setelah didalami


Pembahasan tentang nasib terakhir dengan seksama, bagi Ibn ‘Arabî kata ini ternyata
penghuni neraka dalam pemikiran Ibn ‘Arabî tidak selalu bermakna orang yang suci lagi saleh
tidak akan terlaksana dengan baik tanpa perhatian seperti yang hadir dalam pemahaman umum,
yang memadai tentang makna dan klasifikasi al- melainkan juga setiap yang berpartisipasi dalam
nâr (neraka) dalam perspektif eskatologis Ibn wujud.1 Inilah sebabnya maka kritikan yang
‘Arabî. Pembahasan yang seperti ini menjadi dialamatkan terhadap konsepsinya tentang
penting mengingat sebagian besar (kalau tidak mau walâyah sering salah alamat karena si pengkritik
dikatakan semua!) kritikan yang dihadapkan tidak menyadari konotasi lain dari kata yang
kepada Syekh Akbar berawal dari kesalahpahaman digunakan Ibn ‘Arabî. Dalam kaitannya dengan
tentang makna kata yang dipakainya, yang pembahasan ini diharapkan kekeliruan ini bisa
kebanyakan memang memiliki muatan ekstra dari dihindari setidaknya diperkecil sehingga
yang biasa difahami orang ramai. Contoh yang
sederhana adalah kata walî yang dijumpai dalam 1
www.wikipedia.org/Wiki/Narakasura.

88 JURNAL USHULUDDIN Vol. 23 No. 1, Juni 2015


diperoleh pemahaman yang fundamental dan Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Zajjâj, kata
komprehensif tentang perspektifnya mengenai nâr dengan arti nûr bisa ditemukan dalam Q. S.
nasib terakhir penghuni neraka. al-Naml [27]: 8 “an bûrika man fî al-nâr wa man
hawlahâ” (diberkatilah mereka yang berada
Tinjaun Etimologis dalam nûr dan yang di sekitarnya). Sebaliknya,
Kata ‘neraka’ yang dikenal dalam bahasa untuk makna ra’y, dijumpai dalam pernyataan Ibn
Indonesia diadopsi dari kata naraka yang terdapat al-A‘râbî, “lâ tastaî’û binâr al-musyrikîn”
dalam bahasa Sansekerta. Dalam mitologi Hindu, (janganlah kalian mencerahkan diri dengan nâr
kata naraka juga dipakai untuk nama ‘iblis’ yang orang-orang musyrik).6
bernama Narakasura, sosok raksasa bengis lagi Menggelitik untuk diketahui adalah
kejam yang sangat ditakuti. Dalam kisahnya statemen Qur’an bahwa penciptaan jin7 ternyata
disebutkan bahwa Narakasura dibunuh oleh juga dari nâr. Tepatnya, sebagaimana yang
Krisna disuatu perperangan yang sengit.2 disebutkan dalam Q. S. al-$ijr [15]:27, dari
Dalam ajaran Islam, neraka disebut dengan bahang api yang sangat panas (nâr samûm), yang
istilah Arab al-nâr, api, yang oleh al-Jurjânî dalam Q. S. al-Rahmân [55]: 15 diidentifikasikan
didefinisikan sebagai substansi halus yang selalu sebagai bunga api (mârij min al-nâr). Dalam
bergerak-gerak (jawhar lamîf mutaharrik). 3 konteks ini, maka Iblis yang tergolong dari kaum
Secara etimologis, kata ini berasal dari akar kata jin (Q. S. al-Kahfi [18]: 50) juga bisa dikatakan
N-W-R, yang ternyata juga merupakan akar kata diciptakan dari bunga api. Pertanyaannya, jika
untuk istilah nûr (cahaya; hidayah). Kesamaan ini neraka dipenuhi oleh api sedangkan jin diciptakan
bisa difahami mengingat keduanya sama-sama dari bunga api, apakah semua jin akan menjadi
mengindikasikan sesuatu yang ber-cahaya dan penghuni neraka di Hari Kemudian? Jawaban atas
jelas. 4 Lebih jauh lagi, berdasarkan analisa pertanyaan ini tampaknya negatif. Pernyataan ini
linguistik historis-komparatif (linguistik disokong, pertama, oleh keberadaan Iblis di surga
diakronis), diketahui bahwa bahasa-bahasa tua seperti yang ditayangkan dalam kisah Adam.
seperti Akkadian, Aramaik, Hebrew (Yahudi), dan Artinya, jika seluruh jin masuk neraka, tentulah
Syiriak ternyata juga berkongsi akar kata dan Iblis tidak akan pernah menapakkan kakinya di
makna yang sama dengan bahasa Arab untuk surga. Kedua, beberapa ayat dalam Q. S. al-Jinn
kedua kata nâr dan nûr.5 menunjukkan bahwa di kalangan jin ada yang
Namun demikian dan dalam konteks Muslim dan ada pula yang menyimpang (al-
kalimat tertentu, kata nâr juga bisa diartikan qâsimûn) (Q. S. 72: 14); bahwa yang terakhir ini
dengan nûr dan ra’y (pendapat/pandangan). akan dijadikan bahan bakar neraka (li jahannam
hamab-an) (Q. S. 72: 15); bahwa yang berjalan di
2
al-‘Allâmah ‘Alî b. Mu%ammad al-Syarîf al-Jurjânî, Kitâb jalan yang lurus akan diberi air yang cukup (mâ’-
al-Ta‘rîfât, ed. Gustavus Flùgel (Beirut: Librairie du Liban, an
ghadaq-an) (Q. S. 72: 16); dan bahwa yang
1985), 158. Perlu diketahui bahwa dalam editannya ini Flùgel
juga memuat Icmilâ%âtal-Syaykh Mu%y al-Dîn Ibn al-
berpaling (yu‘ri) akan menjalani azab yang berat
‘Arabî.
3
A%mad b. Fâris, Mu‘jam Maqâyîs al-Lugha’, ed. ‘Abd
al-Salâm Mu%ammad Hârûn (Kairo: Mamba‘a’ Mucmafâ 6
Ibid. Untuk informasi yang memadai tentang jin lihat
al-Bâbî al-$alabî, cet. 2, 1970), entri “Nûr”; T. Fahd, “Nâr”, The Holy Qur-ân: English Translation of the Meanings and
dalam Encyclopaedia of Islam, New Edition (Leiden dan Commentary, direvisi ulang dan diedit oleh tim dari The
New York: E. J. Brill, 1993), 7:957. Presidency of Islamic Researches, Ifta, Call dan Guidance
4
Fahd, “Nâr”, 7:957. (Madinah: King Fahd Holy Qur’-ân Printing Complex,
5
Ibn Man“ûr, Lisân al-‘Arab, eds. Amîn Mu%ammad ‘Abd 1405), 371- 2n. 929.
al-Wahhâb and Mu%ammad al-bâdiq al-Ubaydî (Bayrût: 7
A%mad Mucmafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, cetakan
Dâr I%yâ’ al-Turâth al-‘Arabî, 3rd edn., n.d.), entri “Nûr”. ketiga (Beirut: Dâr al-Fikr, 1394/1974), 1:66.

JURNAL USHULUDDIN Vol. 23 No. 1, Juni 2015 89


(yaslukhu ‘adzâb-an ca‘ad -an) (Q. S. 72: 17). kesengsaraan di mana tubuh para pelaku kriminal
Ketiga, hanya ada 1 ayat Qur’an yang menegaskan dan binatang dilemparkan ke dalam api untuk
bahwa Iblis—salah satu dari kalangan jin, jadi dibakar secara terus-menerus dengan tujuan
bukan semua jin!—beserta seluruh pengikutnya pembersihan. Ini adalah metafor untuk tempat
akan dibalas dengan jahanam: “Qâla idzhab fa yang tidak menyenangkan dan penuh dengan
man tabi‘aka minhum fainna jahannam kutukan, yang menurut ajaran Yahudi hanya
jazâ’ukum jazâ’-an maufûr-an” (Q. S. al-Isrâ’ [17]: diperuntukkan bagi mereka yang jauh dari aturan
63). Yahweh.10
Sesuai dengan konteks penelitian ini, Secara umum Islam tidak berbeda dari
secara terminologis kata nâr dipahami sebagai dâr agama Yahudi tentang jahanam, kecuali pada
al-ghaab (tempat pembalasan) yang disediakan perspektif yang memposisikan neraka sebagai
bagi mereka yang selama hidup di dunia metafor seperti yang disebutkan di atas. Dalam
mengingkari syariat Allah SWT yang telah dibawa hal ini penelusuran terhadap Qur’an menunjukkan
oleh rasul-Nya. Mirip dengan itu adalah bahwa Kitab Suci umat Islam ini menggunakan
pernyataan Ahmad Mucmafâ al-Marâghî yang dua istilah untuk dua kategori azab neraka yang
menyebut nâr sebagai tempat azab (mawmin al- berbeda. Pertama, istilah ‘adzâb alîm (azab yang
‘adzâb).8 pedih) yang dijumpai pada Q. S. al-Baqara’ [2]:10
dan, kedua, ‘adzâb muhîn (azab yang memalukan)
Nâr dalam al-Qur’an pada Q. S. Âli ‘Imrân [3]:178. Azab yang pertama
Perlu diketahui bahwa dalam Qur’an bersifat jasmaniah, sedangkan yang kedua bersifat
terdapat dua istilah lain yang digunakan sebagai kejiwaan atau mental (mind, soul).11 Artinya,
sinonim kata al-nâr. Pertama adalah istilah dâr jahanam dalam ajaran Islam adalah sesuatu yang
al-bawâr. Disebutkan hanya sekali, yaitu pada Q. riil, bukan metafora.
S. Ibrâhîm [14]:18, tidak banyak yang bisa Siapakah para penghuni neraka
dijelaskan tentang istilah ini selain dari apa yang sebagaimana yang disebutkan dalam Qur’an?
ditayangkan dalam ayat yang menyebutkannya, Berikut adalah daftar dari hasil kajian Gwynne
yaitu statusnya sebagai tempat yang diserukan berdasarkan pemaparan Qur’an:12
kepada manusia oleh mereka yang memilih 1. Orang-orang kafir (Q.S. al-Baqara¿ ]2]:24,
keingkaran (kufr) dari pada kebenaran (ni‘ma’). 161-2)
Kata kedua adalah jahannam, suatu istilah 2. Orang-orang yang inkar (Q.S. Âli ‘ I m r â n
yang disebutkan sebanyak 77 kali dalam 77 ayat- [3]:86-91)
ayat Qur’an, yang dalam 9 ayat didapati 3. Orang-orang munafik (Q.S. al-Nisâ’ [4]:140)
digandengkan dengan nâr sehingga menjadi nâr 4. Para penyembah berhala (Q.S. Ibrâhîm
jahannam.9 Perlu diketahui bahwa kata jahannam [14]:30)
diadopsi dari ungkapan bahasa Hebrew gç hinnôm 5. Orang-orang yang mubazir (Q.S. al-Mu’min
habmel ,monniH utiay tapmet gnay ihunepid helo [40]:43
nakupmut hapmas uata atok kesedihan dan 6. Orang-orang yang sombong (Q.S. al-A‘râf
[7]:36)
8
Lihat Q. S. al-Tawba’ [9]: 35, 63, 68, 81 dan 109; Fâmir
[35]: 36; al-lûr [52]: 13; al-Jinn [72]: 23; dan al-Bayyina’
[98]: 6.
10
Rosalind W. Gwynne, “Hell and Hellfire”, dalam Jane
9
Lebih lanjut tentang jahanam (disebut juga dengan sheol) Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an, 6
dalam ajaran Yahudi, lihat Alice K. Turner, The History jld. (Leiden dan Boston: E. J. Brill, 2002), 2:416.
of Hell (San Diego, New York, dan London: A Harvest
11
Ibid., 2:418.
Book, 1993), 40-5.
12
Fahd, “Nâr”, 7:957-8.

90 JURNAL USHULUDDIN Vol. 23 No. 1, Juni 2015


7. Mereka yang melawan Allah dan rasul-Nya [13]:18)
(Q.S. al-Tawba’ [9]:63) h. Membantah keaslian Qur’an (Q.S. al-
8. Mereka yang mempermain-mainkan agama Muddatstsir [74]:16-26)
(Q. S. al-An‘âm [6]:70) i. Membantah kedatangan Hari Akhirat
9. Para penggoda manusia dari jalan kebenaran (Q.S. al-Furqân [25]: 11-4).
dan mereka yang membiarkan dirinya digoda
(Q.S. al-$adîd [57]:13) Menarik untuk diperhatikan adalah dalam
10. Mereka yang mati dalam keadaan berdosa dan Qur’an juga terdapat sederetan nama yang sudah
tidak berusaha menjadi orang yang saleh (Q.S. terdaftar sebagai penghuni neraka. Mereka adalah
al-Nisâ’ [4]:97) Habil (Q.S. al-Mâ’ida’ [5]:27-32), Isteri Nabi Nuh
11. Mereka yang melakukan dosa-dosa yang dan Lut (Q.S. al-Tahrîm [66]:10), dan Paman
berikut: Rasulullah s.a.w., Abû Lahab, beserta isterinya
a. Membunuh (Q.S. al-Nisâ’ [4]:29-30), (Q.S. al-Lahab [111]). Atas kesalahan apa? Bisa
termasuk membunuh para nabi (Q.S. Âli dipastikan bahwa nama-nama tersebut terlibat
‘Imrân [3]:21) dan orang-orang yang dalam beberapa kesalahan yang telah disebutkan
beriman (Q.S. al-Burûj [85]:10) dalam daftar di atas.
b. Memakan harta anak-anak yatim (Q S. al- Tidak dapat tidak, pemaparan tersebut
Nisâ’ [4]:10) atau merusak warisan mereka sepenuhnya menayangkan nâr sebagai syaqâwa’,
(Q.S. al-Nisâ’ [4]:12-4) yaitu tempat yang penuh dengan penderitaan dan
c. Menuhankan dirinya (Q.S. al-Anbiyâ’ kesengsaraan. Gambaran ini tentu bertolak
[21]:29) belakang dari janna’ (surga) yang selalu
d. Mendirikan masjid sedangkan dia adalah ditampilkan sebagai sa‘âda’, yaitu lubuk
orang musyrik (Q.S. al-Tawba’ [9]:17) keberuntungan yang hanya memiliki dan
e. Melakukan gosip atau menebar fitnah, menghadirkan kebahagiaan. Pertanyaannya,
khususnya terhadap perempuan yang saleh apakah kata al-nâr yang disebutkan dalam Qur’an
(Q.S. al-Nûr [24]:23) selalu berkonotasi syaqâwah?
12. Mereka yang melakukan salah satu dari Harus diakui bahwa Qur’an lebih banyak
perkara-perkara berikut ini: menyebutkan kata nâr daripada janna’ (surga).
a. Mendustakan tanda-tanda atau ayat-ayat Tersebar di 102 ayat, kata ini disebutkan sebanyak
Allah (Q.S. al-Baqara’ [2]:39) 129 kali, sedangkan janna’ hanya 79 kali dalam
b. Melanggar perjanjian (Q.S. al-Baqara’ 77 ayat. Namun demikian perlu dicatat bahwa
[2]:83-5) penelitian Fahd mendapati bahwa kata nâr tidak
c. Mempraktikkan riba setelah [mengetahui] selamanya dipakai untuk sesuatu yang
keharamannya (Q.S. al-Baqara’ [2]:275) mengindikasikan syaqâwa’. Menurutnya, Qur’an
d. Melarikan diri dalam perperangan (Q.S. menyebutkan kata ini untuk 7 konteks yang
al-Anfâl [8]:16), atau tidak ikut berperang berbeda berikut ini:13
sama sekali (Q.S. al-Tawba’ [9]:49) 1. Api neraka yang abadi (111 kali)
e. Rida dan puas dengan kehidupan dunia 2. Api yang digunakan sebagai alat (6 kali)14
sehingga tidak mendambakan pertemuan 3. Api kosmik (4 kali)15
dengan Allah (Q.S. Yûnus [10]:7-8 dan al-
Isrâ’ [17]:18) 13
Q.S. al -Baqara’ [2]: 17; al-Ra‘d [13]: 17; al-Kahfi [18]: 96;
f. Mengolok-olokkan rasul (Q. S. al-Kahfi al-Nûr [24]: 35; Yâ Sin [36]: 80; dan al-Wâqi‘a’ [56]: 71.
14
Q.S. al-A‘râf [7]: 12; al-$ijr [15]: 27; bâd [38]: 76; dan
[18]:106) al-Rahmân [55]: 15.
g. Mengabaikan seruan Allah (Q.S. al-Ra‘d 15
Q.S. lâ Ha [20]: 10; al-Naml [27]: 7-8; dan al-Qacac [28]: 29.

JURNAL USHULUDDIN Vol. 23 No. 1, Juni 2015 91


4. Api gunung Sinai (3 kali)16 dengan menilik teks ayat Q.S. al-Humaza’ [104],
5. Api dalam konteks azab (3 kali)17 satu-satunya surat yang menggunakan ungkapan
6. Api sebagai bukti kenabian (1 kali)18 ini:
7. Api sebagai tanda Kemahakuasaan Allah (1
 §°¨®Q\i°‹ÙÙ)]rQ"WÃÀ̯ Š¼V"³ª/Š§¯¨ÅQ\iVSÀ-ٍÃqW5
kali).19
[Yaitu] api Allah yang dinyalakan; yang
Ketujuh konteks di atas menunjukkan membakar sampai ke hati.22
bahwa kata al-nâr dalam Qur’an tidak selamanya
mengindikasikan siksa atau azab neraka, Berdasarkan kedua ayat di atas Ibn ‘Arabî
melainkan juga sebagai sesuatu yang berguna, berkata bahwa nâr Allâh adalah neraka yang
baik untuk kepentingan agama maupun kehidupan bersifat batin. Alasannya terletak pada kata al-
manusia. Ini cukup menjadi bukti betapa al-nâr, af’ida’ (tunggal fu’âd) yang digunakan Qur’an
satu di antara empat elemen utama selain tanah, pada ayat kedua, yaitu lubuk hati yang menyimpan
besi, air dan udara, ternyata memiliki sisi positif segala rahasia (sirr; jmk. asrâr), suatu tempat
dalam sifatnya yang selalu panas dan membakar. dalam diri manusia yang menjadi lokus terjadinya
Kenyataan ini perlu diperhatikan mengingat pembakaran seperti yang disebutkan oleh Q.S. al-
dalam perspektif Ibn ‘Arabî, seperti yang akan Humaza’ [104]: 7.23 Ibn ‘Arabî juga menyebut
dibahas kemudian, gambaran neraka (nâr) neraka yang satu ini dengan istilah nâr wujûdî,
ternyata tidak selalu mirip dengan yang yaitu neraka yang senantiasa mengiringi keber-
diproyeksikan oleh orang ramai, terutama ada-an setiap orang.24
tashawuf Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim. Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa
dengan perspektifnya ini Ibn ‘Arabî tidak
Nâr dalam Perspektif Ibn ‘Arabî bermaksud mengatakan bahwa fu’âd selamanya
Pada umumnya Ibn ‘Arabî sama dengan dipenuhi dengan api yang membakar. Alasannya,
ulama lainnya dalam mempersepsikan neraka, sebagaimana yang disebutkan dalam Q.S. al-
yaitu sebagai dâr al-ghaab,20 tempat yang penuh Syams [91]: 8 dan 10, nâr Allâh merupakan
dengan amarah Tuhan bagi para al-asyqiyâ’ al- kondisi batin yang terjebak dalam ke-fujûr-an
“âlimîn. Namun demikian, tekstual ayat karena kekotoran jiwa (dassâhâ). Jika batin
menunjukkan bahwa kata nâr dalam Qur’an ada tersebut mengikuti jalan ketakwaan, yang berarti
yang dinisbahkan kepada Allah dan ada pula dia telah mensucikan jiwanya (zakkâhâ), maka
kepada selain Allah. Oleh karena itu maka penulis dia akan menjadi orang yang beruntung karena
kitab Futûhât ini membagi neraka pada dua terhindar dari nâr tersebut.25
kategori, yaitu nâr Allâh (neraka Allah) dan nâr Sebagai sesuatu yang bersifat batin, maka
lahab (neraka yang menyala-nyala).21 nâr Allâh merupakan neraka yang berada dalam
Apakah yang dimaksud dengan nâr Allâh diri seseorang. Berbeda dari nâr lahab yang akan
dalam pemikiran eskatologis Ibn ‘Arabî? Jawaban diterangkan kemudian, neraka batin ini tidak
atas pertanyaan akan menemukan bentuknya dinyalakan oleh bahan bakar berupa manusia yang

16
Q.S. al-Baqara’ [2]: 266; al-Anbiyâ’ [21]: 69; dan al- 22
Ibid.
‘Ankabût [29]: 24. 23
Ibid., 3: 375.
17
Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 183. 24
Untuk pembahasan yang lebih detil, lihat Mahmûd al-
18
Q.S. al-Ra%mân [55]: Ghurâb, Rahma’ min al-Rahmân fî Tafsîr wa Isyârât al-
19
Ibn ‘Arabî, Futû%ât, 3: 374. Qur’ân min Kalâm al-Syaykh al-Akbar Muhy al-Dîn Ibn al-
20
Ibid. ‘Arabî (Damaskus: Mamba‘a’ Nar, 1410/1989), 4: 501-6.
21
Ibid. 25
Q. S. al-Baqara’ [2]: 24 dan al-Tahrîm [66]: 6.

92 JURNAL USHULUDDIN Vol. 23 No. 1, Juni 2015


ingkar dan bebatuan yang dijadikan sembahan (al- berbeda dari amalan negatif yang bersifat batin
nâs wa al-hijâra’).26 Menurut Ibn ‘Arabî, nâr (ma‘nawiyyah) yang menjadi pemicu menyalanya
Allâh yang membakar itu diakibatkan oleh amal nâr Allâh yang telah disebutkan sebelumnya,
ma‘nawiyya’, yaitu perbuatan hati seseorang seperti buruk sangka, dengki, dan ingkar dan
seperti kekufuran dan kemunafikan.27 sejenisnya.
Nâr lahab adalah jenis neraka yang Sampai di sini pendedahan tentang
berbeda dari nâr Allâh yang disebutkan di atas. perspektif Ibn ‘Arabî mengenai neraka yang
Perbedaan itu tampak dalam tiga aspek berikut, bersifat lahir dan batin seakan-akan berdiri
yaitu penisbahan, sifat, dan amalan yang terpisah dan berjalan sendiri-sendiri. Akan tetapi,
menyebabkan neraka ini menyala. Ditinjau dari apakah benar keduanya tidak berhubungan sama
aspek pertama, nâr lahab adalah neraka yang sekali? Jawabannya tentu saja tidak, sebab semua
dinisbahkan kepada selain Allah. Ibn ‘Arabî yang di luar (zâhir) adalah pantulan atau akibat
menyebutnya dengan neraka dzât al-waqûd (yang dari semua yang di dalam (bâtin). Dalam
memiliki bahan bakar)28 dengan daya api yang pemikiran Ibn ‘Arabî kebenaran statemen ini
menyala-nyala (hâmiya’)29 dan melingkar lagi menemukan bentuknya yang konkrit dalam
menyambar-nyambar (mu’cada’).30 Contohnya perspektif ontologisnya mengenai keberadaan
adalah neraka jahanam (nâr jahannam).31 alam semesta (zâhir), atau totalitas makhluk
Aspek pembeda kedua yang ada pada nâr secara keseluruhan. Menurut tokoh utama doktrin
lahab terletak pada sifatnya yang zahir, yaitu di wahda’ al-wujûd ini, alam semesta tidak lain dan
luar manusia. Maksudnya, inilah neraka yang tidak bukan adalah pantulan dari apa yang terdapat
nanti manusia akan dimasukkan ke dalamnya32 dalam ilmu/kesadaran Allah SWT yang bersifat
sebagai balasan atas kekufuran, kemungkaran, bâtin. Sebagai pantulan, maka konsekuensinya
dan kezaliman yang telah dilakukannya selama adalah semua yang terjadi di alam semesta
hidup di dunia. Ini sepenuhnya berbeda dari nâr merupakan manifestasi (tajallî) dari khazanah
Allâh yang bersifat batin, yang justeru diletakkan yang tersembunyi dalam kesadaran-Nya.
Allah dalam hati setiap orang. Akan tetapi di sini ada dua prinsip yang
Aspek pembeda terakhir adalah neraka harus digarisbawahi: pertama, semua yang ada
lahab ini tidak akan menyala melainkan karena dan terjadi di alam semesta adalah manifestasi
keburukan amal hissiyyah seseorang,33 yaitu dari yang terdapat dalam kesadaran Tuhan; kedua,
setiap bentuk perbuatan lahiriah yang tidak semua yang terdapat dalam kesadaran Tuhan
dikategorikan syariat sebagai perbuatan dosa. diaktualisasikan menjadi alam semesta. Prinsip
Contohnya adalah perbuatan-perbuatan yang kedua ini akan selamanya demikian karena
kasat mata seperti zina, fitnah, gibah, membunuh, kesadaran Tuhan tidak akan pernah
menghasut, mencuri, menghina dan lain-lain dikejawantahkan menjadi alam buat selama-
sebagainya. Di sini faktor kelahiriahan amal-amal lamanya melainkan setelah adanya perintah (amr)
tersebut mendapat penekanan yang serius agar yang direfleksikan dalam instruksi “Kun!”
(jadilah). Tanpanya, semua yang diberi potensi
untuk diwujudkan secara lahiriah (al-mumkinât,
26
Ibn ‘Arabî, Futûhât, 3:375.
potential being) akan selamanya tersimpan dalam
27
Ibid.
28
Q. S. al-Ghâsyiya’ [88]: 4 dan al-Qâri‘a’ [101]: 11. kesadaran Tuhan dan menyatu dengan-Nya.
29
Q. S. al-Balad [90]: 20. Perumpamaannya persis seperti yang
30
Ibn ‘Arabî, Futûhât, 3: 374.
terjadi antara objek yang di luar cermin dengan
31
Ibid., 3: 375.
32
Ibid. imej yang terdapat di dalamnya, suatu tema yang
33
Ibid., 3: 374. sangat tipikal dalam ontologis Ibn ‘Arabî.

JURNAL USHULUDDIN Vol. 23 No. 1, Juni 2015 93


Sebagaimana diketahui, semua format, gerakan neraka tersebut, yaitu nâr Allâh dan nâr lahab,
dan warna-warni yang melekat pada imej adalah adalah nâr al-a‘mâl, yang suasana di dalamnya
aktualisasi dari format, gerakan dan warna-warni ditentukan oleh perbuatan seseorang ketika masih
yang terdapat pada objek yang di luar cermin. hidup di dunia.35
Keterikatan ini bersifat absolut sehingga sulit
diandaikan terpantulnya bentuk bulat pada imej Kesimpulan
cermin yang berasal dari objek petak yang di luar Penelitian terhadap pandangan tashawuf
cermin. Ibn ‘Arabi tentang azab menyimpulkan bahwa
Namun demikian, perlu difphami secara beliau melihatnya sebagai salah satu tampilan dari
seksama bahwa semua pantulan di dalam cermin rahmat, dan oleh karena itu, maknanya pun selalu
itu selamanya hanya membayangkan apa-apa terkait dengan kata ‘adzubah (kenikmatan) yang
yang ‘diinstruksikan keluar’ (zâhir) oleh objek di menurutnya adalah asal dari kata ‘adzab. Menurut
luar cermin. Jika tidak, maka imej dalam cermin Ibnu ‘Arabi, konteks rahmat pada azab terletak
tidak akan bisa memantulkannya. Misalnya, jika pada tujuan dari pemberian azab itu sendiri, yaitu
seseorang yang berdiri di depan cermin sebagai bentuk pengislahan atau pensucian bagi
mempunyai pikiran akan keindahan baju diri yang menerimanya. Artinya, neraka dan zab
berwarna hijau akan tetapi pada saat yang bukanlah sarana yang diciptakan Allah SWT
bersamaan dia tetap mengenakan baju berwarna untuk balas dendam terhadap perlakuan hamba-
putih, maka imej di dalam cermin tidak akan hamba-Nya yang menyimpang selama hidup di
pernah berbaju hijau buat selama-lamanya. dunia. Makanya ketika azab yang telah ditetapkan
Artinya, yang lahir selamanya hanya bagi seseorang selesai, maka dia tidak lagi
memantulkan apa yang diaktualkan dari dalam merasakan kepedihan dan penderitaan azab di
(bâtin), sedangkan yang tersembunyi tidak akan neraka.
pernah tampil secara lahiriah. Berbeda dari perspektif yang lain, Ibn
Jika dikaitkan dengan perspektif ‘Arabi melihat bahwa semua penghuni neraka
eskatologis Ibn ‘Arabî, maka pemaparan di atas sebagai orang yang beriman, baik dalam artian
dengan sendirinya menunjukkan bahwa neraka khusus seperti para pengikut Nabi dan Rasul,
lahiriah adalah suasana neraka batiniah yang maupun dalam artian umum, yaitu sekalian
diaktualisasikan melalui perbuatan lahiriah. makhluk, apapun spesies dan keyakinannya.
Artinya, apa yang sudah dinyalakan dalam neraka Dalam hal ini analisanya terhadap beberapa ayat
batiniah—misalnya, melalui sifat dengki—tidak Qur’an tidak memberinya ruang melainkan untuk
akan pernah menjadi neraka lahiriah selama orang meyakini bahwa setiap makhluk tidak bisa
yang bersangkutan tidak mengaktualkannya melepaskan diri dari keimanan universal kepada
melalui perbuatan bergunjing atau memfitnah. Allah SWT, walaupun secara lisan dan perbuatan
Sebaliknya, sekali saja dia bergunjing, maka didapati ada yang mengingkarinya secara terang-
suasana neraka batiniah itu dengan sendirinya terangan.
menjadi neraka lahiriah yang kelak akan Ibn ‘Arabi juga membagi penghuni neraka
ditimpakan kepadanya di hari akhirat. ke dalam dua kelompok, yaitu penduduk
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka sementara dan penduduk tetap. Kelompok
setiap orang menurut Ibn ‘Arabî bertanggungjawab pertama adalah orang-orang beriman dalam artian
atas suasana neraka lahiriah yang bakal khusus yang terlibat dalam perbuatan dosa yang
ditempatinya di akhirat kelak.34 Alasannya, kedua belum dimaafkan dan diampuni Allah SWT,

34
Ibid., 3: 427. 35
Ibid., 3: 427.

94 JURNAL USHULUDDIN Vol. 23 No. 1, Juni 2015


sedangkan yang kedua adalah orang-orang al-Jurjânî, al-‘Allâmah ‘Alî b. Muhammad al-
beriman dalam artian umum seperti para kuffâr, Syarîf. Kitâb al-Ta‘rîfât. ed. Gustavus
munâfiqûn dan musyrikîn. Jika dihubungkan Flùgel. Beirut: Librairie du Liban, 1985.
dengan konteks perubahan azab menjadi nikmat al-Marâghî, Ahmad Mucmafâ. Tafsîr al-Marâghî.
seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Ibn cetakan ketiga. Beirut: Dâr al-Fikr, 1394/
‘Arabi berkata bahwa konteks tersebut berlaku 1974.
untuk kedua-dua kelompok ini. Caranya,
kolompok pertama dengan dipindahkan ke surga ‘Arabî, Ibn. al-Futûhât al-Makkiyyah. Beirut: Dâr
sedangkan yang kedua dengan mengganti rasa Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, 1418/1998.
sakit azab dengan rasa nikmat. Ini semua terjadi Fahd, T. “Nâr”. dalam Encyclopaedia of Islam.
karena Allah SWT adalah Tuhan yang Maha New Edition. Leiden dan New York: E. J.
Pengasih lagi Maha Penyayang. Brill, 1993.
Akan tetapi harus diakui bahwa penelitian
Fâris, Ahmad b. Mu‘jam Maqâyîs al-Lugha’. ed.
ini masih perlu ditingkatkan terutama karena
‘Abd al-Salâm Muhammad Hârûn. cet. 2.
ketidakhadiran anlisa tentang hadis-hadis Nabi
Kairo: Mamba‘a’ Mucmafâ al-Bâbî al-
SAW yang berkaitan dengan topik yang dibahas.
$alabî, 1970.
Ini seharusnya bisa dilakukan sejak awal
penelitian, akan tetapi mengingat banyaknya Gwynne, Rosalind W. “Hell and Hellfire”. dalam
kitab-kitab hadis yang harus disimak sedangkan Jane Dammen McAuliffe (ed.).
waktu penulisan sangat terbatas, maka tinjauan Encyclopaedia of the Qur’an. 6 jld. Leiden
tentang neraka, azab dan penghuni neraka dari dan Boston: E. J. Brill, 2002.
sudut hadis tidak dapat dipenuhi. Selain dari itu Ibn Man“ûr. Lisân al-‘Arab. eds. Amîn
kajian ini juga belum sempat melakukan Muhammad ‘Abd al-Wahhâb and
perbandingan yang memadai terhadap pandangan Muhammad al-bâdiq al-Ubaydî. 3rd edn.
dari sejumlah tokoh-tokoh lainnya dalam isu yang Bayrût: Dâr Ihyâ’ al-Turâth al-‘Arabî.
berkaitan dengan topik penelitian ini, seperti
Iskandar Arnel. “Walâyah: An Analysis on the
Imam al-Ghazzali dan Ibn Taymiyyah.
Hierarchy of Awliyâ’ in the Works of Ibn
Diharapkan perbandingan ini bisa dilakukan oleh
‘Arabî”. disertasi doktoral ISTAC-IIUM
peneliti yang lain sehingga isu ini bisa dipahami
(Oktober 2014).
secara lebih seksama.
The Holy Qur-ân: English Translation of the
Meanings and Commentary. direvisi ulang
Daftar Kepustakaan dan diedit oleh tim dari The Presidency of
Islamic Researches, Ifta, Call dan
Guidance. Madinah: King Fahd Holy
al-Ghurâb, Mahmûd. Rahma’ min al-Rahmân fî
Qur’-ân Printing Complex, 1405.
Tafsîr wa Isyârât al-Qur’ân min Kalâm
al-Syaykh al-Akbar Muhy al-Dîn Ibn al- Turner, Alice K. The History of Hell. San Diego, New
‘Arabî. Damaskus: Mamba‘a’ Nar, 1410/ York, dan London: A Harvest Book, 1993.
1989. www.wikipedia.org/Wiki/Narakasura.

JURNAL USHULUDDIN Vol. 23 No. 1, Juni 2015 95

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai