Anda di halaman 1dari 27

KEMANDIRIAN DAN KEINDEPENDENSIAN

KEJAKSAAN SEBAGAI PELAKSANA KEKUASAAN


NEGARA DI BIDANG PENUNTUTAN DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA

Oleh : PINOS PERMANA PINEM, SH.

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Negara indonesia adalah negara hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945. Norma ini bermakna bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,
hukum merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis
dan dominan dalam kehidupan masayarakat berbangsa dan bernegara.1 Untuk dapat
dikatakan sebagai negara hukum, suatu negara harus memiliki ciri negara hukum. Salah
satu ciri negara hukum adanya pemisahan kekuasaan negara (separation of powers) yang
diatur dalam konstitusi. Pemisahan dan pembagian kekuasaan bertujuan untuk mencegah
pemusatan kekuasaan dalam satu tangan dan untuk menciptakan suatu keseimbangan
kekuasaan yang menjamin agar fungsi-fungsi itu dijalankan secara optimal, dan sekaligus
mencegah kekuasaan esekutif mengambil ahli fungsi-fungsi kekuasaan lain.2 Selain itu,
menurut M. Elizabeth Magill pemisahan kekuasaan dalam ketentuan konstitusi dapat
dipahami sebagai suatu cara untuk mengontrol kekuasaan negara dengan memisahkannya
kedalam tiga kekuasaan yang berbeda, dan memberikan jaminan terhadap pemisahan
tersebut.3
Hukum, sebagai suatu sistem, dapat berperan dengan baik dan benar ditengah
masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan
dalam bidang penegakan hukum. Salah satu diantara kewenangan-kewenangan itu adalah
Kejaksaan Republik Indonesia.4 Sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman,
Kejaksaan sudah seharusnya mampu melaksanakan pembaruan dalam berbagai bidang
kehidupan, terutama dalam bidang penegakan hukum untuk mewujudkan jati diri
Kejaksaan Republik Indonesia yang lebih profesional dan lebih dinamis guna menghadapi
perkembangan masyarakat dan tuntutan zaman ini. Kejaksaan juga dituntut untuk tidak
hanya melaksanakan fungsinya dengan baik, tetapi juga harus mampu membentuk jati
1 Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2005, hlm. 1.
2 Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik (Pinsip-prinsip moral dasar kenegaran modern), Cet. 7.Jakarta: PT

Gramedia, hlm. 295


3 M. Elizabeth Magill, Beyond Powers and Branches in Separation of Powers Law, University of Pennsyl Law

Review 2001, Working Paper No. 01-10, hlm. 1.


4 Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Op.Cit., hlm 1.

2
dirinya sebagai salah satu ”institusi pelaksana kekuasaan negara”, bukan alat kekuasaan
negara.5
Kejaksaan yang ideal sebagai sebuah institusi adalah Kejaksaan sebagai penegak
hukum yang modern, independen dan bermartabat. Hal ini yang terus diupayakan dan
diperjuangkan oleh seluruh jajaran Kejaksaan tanpa terkecuali. Begitu pula dengan
pembentukan citra Kejaksaan harus selaras dan seiring dengan peningkatan kinerja
penegakan hukum dan pelayanan hukum seluruh jajaran Kejaksaan di seluruh Indonesia.6
Mengingat perkembangan masyarakat dan kebutuhan yang ada, kedudukan
Kejaksaan dalam era reformasi sangat penting untuk dimandirikan dan dibebaskan dari
campur tangan pemerintah yang terlalu besar, agar Kejaksaan dapat mewujudkan aparatur
yang profesional, sambil mengingat bahwa posisi Kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan
bukanlah tujuan karena yang penting adalah semangat dalam melakukan reformasi hukum
demi tegaknya kebenaran, keadilan dan supremasi hukum yang didasarkan pada nilai-nilai
kemanusiaan.7
Penegakan hukum dalam pengertian makro meliputi seluruh aspek kehidupan
masyarakat, berbangsa dan bernegara, sedangkan dalam pengertian mikro penegakan
hukum terbatas dalam proses litigasi di pengadilan, dalam perkara pidana termasuk proses
penyelidikan, penyidikan, penuntutan (pemeriksaan di depan persidangan) hingga
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.8
Dalam hal terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana
maka wajib segera dilakukan tindakan yang diperlukan guna menyelesaikannya, dengan
melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.9
Menjadi tugas dan wewenang Penuntut Umum setelah mempelajari dan meneliti kemudian
atas hasil penelitiannya, jaksa mengajukan penuntutan ke Pengadilan Negeri.10

5
Ibid., hlm 3.
6
Basrief Arief, Pidato Sambutan Jaksa Agung Republik Indonesia Pada Pencanangan Zona Integritas Menuju
Wilayah Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), Senin 25 November 2013,
http://www.kejaksaan.go.id/pidato.php?idu=0&id=153&hal=3
7
Nandan Iskandar, “Kejaksaan di Mata Masyarakat”, Jurnal Bina Adhyaksa, Vol.III, No.1, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Jakarta, Juli, 2011, hlm.36-37.
8 Marwan Effendy, Deskresi Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, makalah disampaikan pada

Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas Brawijaya Malang, Malang, 11 Juni 2012, hlm. 2-3.
9 Erni Widhayanti, Hak-Hak Tersangka/Terdakwa di dalam KUHAP, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm 48.
10
A. Soetomo, Hukum Acara Pidana Indonesia dalam Praktek, Pustaka Kartini, Jakarta, 1990, hlm. 19

3
Oleh karena itu, keberadaan kejaksaan RI, sebagai institusi penegak hukum
mempunyai kedudukan yang sentral dan peranan yang strategis di dalam suatu Negara
hukum karena institusi Kejaksaan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses
pemeriksaan di persidangan, sehingga keberadaannya dalam kehidupan masyarakat harus
mampu mengemban tugas penegakan hukum.11
Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan
kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan,
dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses
pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila,
serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakan kewibawaan pemerintah dan
negara serta melindungi kepentingan masyarakat.12
Dengan posisi dan peran yang demikian, Kejaksaan RI dituntut tidak saja harus
mampu melaksanakan fungsinya dengan baik dan benar, tetapi juga harus mampu
membentuk jati diri sebagai salah satu institusi pelaksana kekuasaan Negara, bukan alat
kekuasaan penguasa. Oleh karena itu sewajarnyalah di era reformasi ini Kejaksaan perlu
melakukan reformasi terhadap eksistensinya agar dapat menjadi lebih dinamis guna
menghadapi perkembangan dan perubahan dewasa ini.13
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Republik Indonesia sebagai
institusi penegak hukum di tempatkan dibawah pemerintah. Polri berfungsi melaksanakan
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan Kejaksaan Republik
Indonesia melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan. Dalam posisi demikian,
Kejaksaan bukanlah lembaga yang mandiri atau terbebas dari pengaruh pemerintah. Sebab,
Kejaksaan merupakan institusi yang bertugas dan sekaligus menjadi bagian dari
pemerintah untuk melaksanakan tugas penuntutan. Dengan demikian, dalam proses

11 Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Op.Cit., hlm 2.


12
Penjelasan Umum Undang-Undang RI No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
13
Ibid.,

4
penataan lembaga-lembaga Negara yang tugas dan wewenangya berhubungan dengan
kekuasaan kehakiman, semuanya tidak ditempatkan dalam posisi yang sama.14
Pemikiran tentang teori kekuasaan negara sebagaimana dijelaskan, tidak
memberikan penjelasan dimana kedudukan Kejaksaan (lembaga pelaksana kekuasaan
penuntutan). Menurut pendapat Beneč Štefan dengan mengamati sejarah teori Separation
of powers dari Montesquieu, menyatakan bahwa Montesquieu dalam teorinya Separation
of powers tidak menjelaskan dimana cabang sistem penuntutan diletakkan. Walaupun di
abad 14th, Jaksa Penuntut Kerajaan di Perancis merupakan suatu pejabat publik yang
mewakili raja, untuk melindungi hak kepemilikannya dan sebagai penuntut apabila adanya
tindak kejahatan.15
Pejabat yang melaksanakan penuntutan pidana tersebut dalam sistem hukum pidana
Indonesia di sebut dengan Jaksa.16 Kata Jaksa bersumber dari nama pejabat hukum pada
zaman kerajaan Majapahit yang di sebut “adhyaksa”. Adhyaksa adalah nama jabatan yang
di pegang oleh Gajah Mada pada masa kerajaan Majapahit yang fungsinya lebih mirip
seperti fungsi hakim pada sistem penegakan hukum modern.17
Jaksa dalam sistem peradilan pidana Indonesia terorganisir dalam lembaga negara
yang dinamakan Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan Republik Indonesia di pimpin
oleh Jaksa Agung. Jaksa Agung adalah pejabat tinggi hukum dan bertindak sebagai
pengawal kepentingan publik.18 Jaksa Agung adalah pengendali kebijakan penegakan
hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan kewenangan Kejaksaan. Kewenangan
Jaksa Agung tersebut di laksanakan dengan prinsip Kejaksaan sebagai sebuah kesatuan dan
tidak terpisah-pisahkan.19 Sehingga Jaksa Agung mengendalikan kebijakan penegakan
hukum dan keadilan dengan pola sentralistik terhadap seluruh Jaksa di seluruh wilayah
hukum Republik Indonesia.

14
Saldi Isra, Eksistensi Kejakasaan Pasca-Perubahan UUD 1945, Jurnal Adhyaksa Indonesia, Edisi 2, September
2014. Hlm 53.
15
Beneč Štefan, “Independence of Prosecution” (makalah disampaikan dalam Seminar “The prosecutor’s office
in a democratic and constitutional state” organized by The General Prosecutor’s Office and the Slovak National
Supporting Committee of Europe 2000, (25 April 2003 – 27 April 2003), hlm. 14.
16
Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Op.Cit., hlm 56.
17
Loc.cit
18 Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Kerjasama Yayasan obor dan Transparansi Internasional

Indonesia, 2003, hlm 137.


19 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pasal 2 (ayat 3).

5
Dalam menjalankan fungsinya, dalam sistem peradilan pidana tugas dan fungsi
Jaksa di atur di dalam Pasal 14 dan 15 KUHAP. Kejaksaan dengan fungsi yang sangat
dominan sebagai penyandang asas dominus litis, pengendali proses perkara yang
menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke
Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah menurut undang-undang, dan sebagai
executive ambtenaar pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara
pidana.20
Selain tugas dan kewenangan Jaksa sebagai penuntut umum Jaksa juga berperan
dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum. Selain itu Jaksa dengan surat kuasa
khusus dapat bertindak baik di luar maupun di dalam pengadilan untuk dan atas nama
negara atau pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara.21 Ditambah lagi
Kejaksaan Republik Indonesia juga berperan sebagai penyidik dalam berberapa tindak
pidana khusus sebagai mana yang di atur di dalam undang-undang.22
Fungsi Kejaksaan dalam penegakan hukum berkaitan dengan penanganan perkara
lebih di pandang bukan sebagai pelaksana kekuasaan Negara, tetapi sebagai alat
perpanjangan tangan penguasa untuk menindak rakyat atau masyarakat. Martin Basiang
mengatakan bahwa sorotan tajam masyarakat tersebut tidak sepenuhnya dapat disalahkan
mengingat kedudukan Kejaksaan oleh u ndang-Undang dinyatakan sebagai lembaga
pemerintah yang melaksanakan penuntutan. Sepanjang kedudukan Kejaksaan bukan
sebagai pelaksana kekuasaan Negara di bidang penegakan hukum, maka sorotan tajam dan
tudingan miring terhadap penanganan suatu perkara selamanya akan tetap dinilai bernuasa
politis. Hal ini akan memungkinkan pula munculnya intervensi dari pihak-pihak lain
terhadap kebijakan penuntutan.23
Sejarah mencatat, Presiden Soekarno memberhentikan Jaksa Agung Soeprapto pada
tanggal 1 April 1959 dan Mr. Goenawan pada tahun 1962 tanpa alasan yang jelas.
Masyarakat menduga pemberhentian kedua Jaksa Agung tersebut terkait dengan diusutnya
menteri di dalam Kabinet Dwikora yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.24

20
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 1996, hlm 72.
21 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 30.
22 Dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Jaksa berperan juga sebagai penyidik.


23 Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Op.Cit., hlm 7.
24
Kejaksaan Agung RI, Lima Windu sejarah Kejaksaan Republik Indonesia (1945-1985), Jakarata, 1985, hlm 32.

6
Begitu juga diera pemerintahan Presiden B.J. Habibie, Jaksa Agung A. Soedjono C.
Atmonegoro hanya sempat menjabat selama 3 (tiga) bulan karena berkehendak mengusut
Manta Presiden Soeharto. Pencopotan Soedjono itu dipandang oleh masyarakat sangat
bernuansa politis dan berlatar belakang kepentingan tertentu.25
Dalam penanganan perkara pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Permesta di
Sulawesi Selatan, PRRI di Sumatera Barat, G30S PKI, Komando Jihad, dan perkara
berkaitan dengan Letjen (Purn) H.R. Drsono dari kelompok Petisi 50 yang dicurigai
membahayakan Negara di gunakan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1963 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Subversi yang dikritik oleh berbagai kalangan karena
dipandang bertentangan dengan HAM. Begitu juga dengan penanganan perkara 27 Juli di
Jl. Diponegoro dalam kasus pengrusakan gedung PDI, perkara Djakfar Umar Sidik
Panglima Komando Jihad dalam kasus penghinaan kepada diri Kepala Negara, perkara
KH. Abubakar Baasyir dalam kasus terror bom dan makar, perkara HAM Tanjung Priok
dan Timor Timur, dalam perkara tindak pidana korupsi terkenal dengan terdakwa Mantan
Presiden Soeharto dan kroni-kroninya, perkara Ginanjar Krtasasmita mantan Menteri
Pertambangan dan Energi/Ketua Bappenas, perkara Syahril Sabirin Gubernur Bank
Indonesia serta perkara Akbar Tanjung Ketua Umum Partai Golkar yang oleh berbagai
kalangan, semuanya disinyalir penuh muatan politis. Pertanyaannya, Apakah
Ketidakmandirian dan ketidakindependensian institusi Kejaksaan RI adalah karena berada
dalam lingkungan eksekutif sebagai lembaga pemerintahan.26

B. PERMASALAHAN
Berdasarkan deskripsi diatas, hal ini menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam
tentang KEMANDIRIAN DAN KEINDEPENDENSIAN KEJAKSAAN SEBAGAI
PELAKSANA KEKUASAAN NEGARA DI BIDANG PENUNTUTAN DALAM
SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA sebagai bagian dari kebijakan politik
hukum yang terintegrasi dalam kebijakan nasional dalam pencapaian tujuan berbangsa dan
bernegara, yang berkaitan dengan konsep Negara kesehjahteraan berdasarkan Pancasila
yang tercantum dalam pembukaan alinea keempat UUD 1945.

25
Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Op.Cit., hlm 7.
26
Ibid., hlm 8.

7
Mengingat konsepsi Negara hukum dan sistem ketatanegaraan suatu Negara sangat
berkaitan erat dan saling mempengaruhi yang terjabarkan dalam konstitusi. Kenyataan
yang tak terbantahkan bahwa istilah Negara hukum atau dalam penjelasan UUD 1945 di
sebut sebagai Negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak terlepas dari pengaruh
paham rechtsstaat dan paham the rule of law. Sehingga seyogyanya untuk lebih
mencerminkan ciri khas Indonesia (nasionalisme), istilah tersebut lebih tepat disebut
“Negara hukum Pancasila”. Sehingga pencarian jati diri Kejaksaan sebenarnya tidak
terlepas dari pencarian jati diri bangsa Indonesia berlandaskan Pancasila sebagai
pencerminan pembahruan dan perubahan dalam proses perjuangan untuk memajukan
kesehjahteraan Negara dan bangsa Indonesia itu sendiri.
Dari uraian diatas, permasalahan-permasalahan yang perlu dikaji dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tinjauan umum terhadap Kejaksaan Republik Indonesia selaku
pelaksana kekuasaan negara di bidang penuntutan sesuai paham Negara Hukum ?
2. Bagaimanakah Kemandirian dan Keindependensian Kejaksaan RI sebagai
pelaksana kekuasaan Negara di bidang penuntutan dalam sistem ketatanegaraan
indonesia ?

8
BAB II

A. TINJAUAN UMUM TERHADAP KEJAKSAAN RI SELAKU PELAKSANA


KEKUASAAN NEGARA DI BIDANG PENUNTUTAN SESUAI PAHAM
NEGARA HUKUM
Istilah-istilah “Negara hukum”, “Rechtsstaat”, “the rule of law”, dan istilah yang
tertera dalam Penjelasan UUD 1945. “Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)”
sering digunakan dalam kepustakaan Indonesia. Usaha untuk menunjukan kekhasan
“keindonesiaannya” dilakukan dengan menambahkan atribut “Pancasila” di depan Negara
hukum sehingga menjadi “Negara hukum Pancasila”.27 Hal ini mengandung pengertian
bahwa Pancasila sebagai rule of law bukan semata-mata sebagai peraturan yang
diberlakukan bagi masyarakat Indonesia. Hal demikian berarti menempatkan sistem dalam
idealisme tertentu yang bersifat final, dinamis, dan selalu mencari tujuan-tujuan ideal
berlandaskan ideologi Pancasila.28
Paham Negara hukum Indonesia berangkat dari prinsip dasar bahwa ciri khas suatu
Negara hukum adalah bahwa Negara memberikan perlindungan kepada warganya dengan
cara yang berbeda. Negara hukum adalah suatu pengertian yang berkembang, yang
terwujud sebagai reaksi masa lampau. Oleh karena itu unsur Negara hukum berakar pada
sejarah dan perkembangan suatu bangsa. Setiap bangsa atau Negara memiliki sejarah yang
berbeda, oleh karena itu, pengertian dan isi Negara hukum dari berbagai bangsa berbeda
pula.29
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, perwujudan Negara hukum Indonesia
hendaklah dibangun berdasarkan ciri-ciri :
1. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat yang didasarkan asas
kekeluargaan;
2. Hubungan fungsional antar kekuasaan Negara yang profesional;
3. Prinsip penyelesaian sengketa yang mengutamakan musyawarah;
4. Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban.30

27
Ibid., hlm 29.
28
R. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, dalam Marwan Effendy,
Kejaksaan RI, Ibid.,
29
M. Scheiterna, dalam Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Ibid., hlm 30.
30
Ibid., hlm 32.

9
Di dalam Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksan Republik
Indonesia dalam Pasal 1, yang dimaksudkan dengan penuntutan adalah Tindakan Penuntut
umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakim disidang pengadilan. Dalam hal ini diatur dalam Pasal 2, bahwa
kewenangan dalam hal pelaksanaan kekuasaan negara dibidang penuntutan tersebut
diemban dan dilaksanakan oleh Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga
pemerintahan. Kekuasaan penuntutan tesebut dilaksanakan secara merdeka dan dalam
menjalankan fungsinya Kejaksaan satu dan tidak terpisah-pisahkan.
Kejaksaan merupakan salah satu lembaga penegakan hukum pidana. Kejaksaan
merupakan bagian dari sistem penegakan hukum pidana terpadu (Intergrated Criminal
Justice System). Sistem penegakan hukum pidana merupakan bagian dari sistem penegakan
hukum, dan sistem penegakan hukum merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman.
Bertolak dari pemikiran tersebut, Barda Nawawi Arief mengatakan dalam sistem peadilan
pidana terdapat empat sub sistem kekuasaan:
1) Kekuasaan Penyidikan (Badan Penyidikan)
2) Kekuasan Penuntutan (Badan Penuntutan)
3) Kekuasan Mengadili (Badan Pengadilan), dan
4) Kekuasaan Pelaksana pidana (Badan Eksekusi)31
Bahwa dengan demikian ketika kita membicarakan kekuasaan kehakiman, mata
kita tidak hanya tertuju kepada lembaga pengadilan (para hakim) tetapi semua elemen yang
memiliki kekuasaan di bidang penegakkan hukum yakni Polisi, Jaksa dan Hakim
(pelaksana putusan/penetapan hakim). Masing-masing komponen tersebut secara
administratif berdiri sendiri dan mempunyai tugas dan fungsi tersendiri sesuai dengan
kewenangan dan pengaturan yang dimilikinya. Namun tetap harus ada keterkaitan antara
sub-sistem tersebut. Keterkaitan antara sub-sistem satu dengan yang lainnya adalah sangat
erat satu sama lain. Setiap masalah dalam salah satu subsistem akan menimbulkan dampak
pada sub sistem lainnya.
Kekuasaan penuntutan yang dimiliki Kejaksaan dalam Negara hukum Indonesia
sesuai dengan asas dominus litis dalam perkembangannya disimpangi dengan kehadiran

31
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm 23.

10
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan untuk melakukan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Hal tersebut dapat dilihat dalam rumusan
Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yaitu KPK mempunyai tugas melakukan tindakan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Rumusan pasal secara eksplisit
menegaskan bahwa KPK juga berwenang melakukan tindakan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi.
Selain itu, bila dibaca dengan seksama, tidak satupun ketentuan pada Undang-
Undang Kejaksaan RI yang mengatur tugas dan wewenang Jaksa Agung yang
berhubungan dengan pengendalian penuntutan tindak pidana militer. Kalaupun UU
tersebut mengatur salah satu tugas khusus Jaksa Agung untuk mengendalikan kebijakan
penegakan hukum dan keadilan, tapi tugas tersebut hanya dalam ruang lingkup dan
wewenang Kejaksaan. Sementara, ketentuan terkait tugas dan wewenang Kejaksaan, sama
sekali tidak diatur tugas jaksa terkait pidana militer.32
Bila Jaksa Agung ditempatkan sebagai penuntut umum tertinggi Negara,
seharusnya oditurat militer secara fungsional ditempatkan dibawah Jaksa Agung.
Pertanggungjawaban pelaksanaan tugas keodituratan tidak mesti melalui Panglima TNI
seperti yang diatur dalam UU Peradilan Militer. Sebab, fungsi penegakan hukum oleh
oditurat militer semestinya dipisahkan dari struktur komando militer. Hal ini perlu
dilakukan untuk menjamin proses penegakan hukum terhadap prajurit juga, dapat
dilakukan secara adil.33
Bahwa eksistensi kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan dalam sistem hukum
nasional dapat dilihat dari :
1. Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur secara implisit keberadaan Kejaksaan RI
dalam sistem ketatanegaraan, sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman
(vide Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 jo. Pasal 41 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman), dengan fungsi yang sangat dominan sebagai penyandang asas
dominus litis, pengendali proses perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang
dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang

32
Saldi Isra, Eksistensi Kejakasaan Pasca-Perubahan UUD 1945, Op.Cit., hlm 54.
33
Ibid., hlm 55

11
sah menurut Undang-undang, dan sebagai executive ambtenaar pelaksana penetapan
dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana.
2. Pasal 1 butir 13 KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa
yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan.
3. Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menempatkan posisi dan
fungsi kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sistem ketatanegaraan yaitu sebagai
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
secara bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.34
Berbeda dengan Konstitusi RIS ataupun UUDS 1945, UUD 1945 hasil perubahan
sama sekali tidak menyebut secara tegas jabatan jaksa agung ataupun institusi Kejaksaan.
Pada proses perubahan keempat UUD 1945, disepakati menambahkan satu ayat pada Pasal
24 menjadi ayat (3), yang berbunyi “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang”. Rumusan tersebut ditujukan sebagai
pengganti penyebutan satu demi satu badan-badan lain dalam bab kekuasaan kehakiman.
Salah satu badan lain yang dimaksudkan adalah kejaksaan RI.35
Kejaksaan ditempatkan dalam ranah kekuasaan eksekutif, sementara landasan
pembentukannya berada pada bab tentang kekuasaan kehakiman. Hal ini harus dibaca
secara lebih komprehensif, artinya profesionalitas dan kemandirian kejaksaan dalam
melakukan tugas penuntutan harus ditempatkan sebagai sesuatu yang sama sekali tidak
boleh diintervensi. Sedangkan, secara konstitusional, kejaksaan berada dibawah kekuasaan
pemerintah sebagai kepala pemerintahan. Dalam kedudukan demikian, seorang Presiden
berwenang memerintahkan Kejaksaan untuk melakukan proses hukum terhadap suatu
perkara. Hanya, presiden tidak dapat mengintervensi proses penyidikan dan penuntutan
yang dilakukan jaksa penuntut umum. Itulah yang dimaksud Pasal 37 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI sebagai jaksa agung bertanggung
jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan

34
Implementasi kekuasaan penuntutan di Negara hukum Indonesia,
http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=28&idsu=35&idke=0&hal=1&id=54&bc=, diakses 12
Januari 2015.
35
Saldi Isra, Eksistensi Kejakasaan Pasca-Perubahan UUD 1945, Jurnal Adhyaksa, Op.Cit., hlm 53.

12
hukum dan hati nurani. Di situlah kiranya jalan tengah terkait pengaturan Kejaksaan dalam
pasal 24 ayat (3) UUD 1945 dan kedudukan Kejaksaan sebagai bagian eksekutif.36
Bagir Manan menulis bahwa ajaran Negara hukum memuat tiga dimensi penting,
yaitu dimensi politik, hukum dan sosial ekonomi. Dalam dimensi politik, Negara hukum
memuat prinsip pembatasan kekuasaan, yang menjelma dalam keharusan paham Negara
untuk berkonstitusi, melakukan pembagian (pemisahan) kekuasaan, kemerdekaan
kekuasaan kehakiman, dan memberikan jaminan dan penghormatan terhadap hak-hak
asasi. Dalam dimensi hukum, Negara hukum harus menciptakan suatu tertib hukum dan
perlindungan hukum bagi setiap orang tanpa diskriminasi. Sedangkan, dalam dimensi
sosial ekonomi, Negara hukum (Negara atau pemerintah) harus mewujudkan dan
menjamin kesehjahteraan sosial.37
Jaksa Agung Basrief Arief menuturkan bahwa untuk mewujudkan prisnsip-prinsip
Negara hukum diperlukan norma-norma hukum atau peraturan perundang-undangan,serta
aparatur pengemban dan penegak hukum yang profesional, berintegritas dan disiplin yang
didukung oleh sarana dan prasarana hukum serta perilaku hukum masyarakat."Ini membuat
hukum mempunyai posisi strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum
sebagai suatu sistem,dapat berperan dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika
instrumen pelaksananya dilengkapi dengan kewenangan di bidang penegakan hukum,
salah satu di antaranya adalah Kejaksaan Republik Indonesia”.38
Basrief menceritakan bahwa dalam perjalanan sejarahnya, Kejaksaan pernah duduk
di antara dua kamar,yaitu Eksekutif dan Yudikatif. Hingga pada tanggal 22 Juli 1960,
Presiden Soekarno mengeluarkan Kepres No.204 tahun 1960 yang secara tegas
memisahkan Kejaksaan dari kementerian Kehakiman dan Mahkamah Agung dan
menjadikannya sebagai suatu Institusi yang berdiri sendiri dan merupakan bagian langsung
dari kabinet. "Inilah landasan Hukum pertama yang menmpatkan Kejaksaan sepenuhnya
sebagai bagian ranah dari kekuasaan eksekutif."39

36
Ibid., hlm 55.
37
Padmo Wahjono, dalam Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Op.Cit., hlm 35.
38 Posisi ideal Kejaksaan http://majalah prosekutor.com /index.php?option=com_content&view=
article&id=153:seminar-posisi-ideal-kejaksaan&catid=5:kabar-gedung-bundar&Itemid=7, diakses 12 Januari
2015.
39
Loc.Cit.,

13
B. KEMANDIRIAN DAN KEINDEPENDENSIAN KEJAKSAAN RI SEBAGAI
PELAKSANA KEKUASAAN NEGARA DI BIDANG PENUNTUTAN DALAM
SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
Dalam upaya menegakan hukum, institusi-institusi penegak hukum, disatu sisi,
dengan penetapan undang-undang mendapatkan kewenangan yang lebih luas. Namun, di
sisi lain, ada institusi yang kewenangannya semakin dikurangi, misalnya kejaksaan RI.
Pengurangan kewenangan itu diawali, melalui KUHAP, pada kewenangan penyidikan dan
penyidikan lanjutan yang dipangkas hanya menjadi kewenangan penyidikan tindak pidana
umum. Begitu pula halnya, tindak pidana penyelundupan telah dimonopoli oleh instansi
Bea Cukai.40 Ditambah dengan hadirnya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Kejaksaan sebagai pelaksana kekuasaan Negara yang tertinggi dalam bidang penuntutan,
semakin terlihat kurang eksistensinya, seakan dianggap tidak mampu mengemban tugas
dan wewenangnya sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang, dengan kata lain trust
atau kepercaayaan publik makin hari makin berkurang terhadap institusi ini.
Secara jujur harus dikatakan bahwa kebijakan yang berkaitan dengan penegak
hukum, yang menjadi sorotan negatif akhir-akhir ini, bukan semata-mata karena prilaku
aparatur Kejaksaan, melainkan lebih karena terjadinya pemasungan kewenangan.41
Struktur birokrasi dan kultur birokrasi Kejaksaan yang dibangun sebagaimana yang eksis
saat ini, tidak bisa dilepaskan dari hukum positif yang melandasinya, oleh sebab itu juga
diperlukan rekontruksi terhadap Undang-undang Kejaksaan dan peraturan perundang-
undangan lainnya yang terkait. Terkait dengan masalah ini, dengan mengutip peringatan
Montesquieu, Vittorio Aymone, mengingatkan bahwa peraturan perundang-undangan
seharusnya memiliki sifat sebagai berikut :
“the warning of Montesquieu has been completely forgotten : laws should be few, simple
dan clear, so that everyone can understand them and so that their application can be
quick”.42
Peringatan ini mengingatkan bahwa peraturan perundang-undangan itu tidak perlu
bertele-tele, sesederhana mungkin dan sejelas mungkin, dengan demikian diharapkan

40
Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Op.Cit., hlm 49-51.
41
Loc.Cit.,
42
Yudi Kristiana, Menuju Kejaksaan Progresif studi tentang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak
pidana korupsi, Masyarakat Transparansi Indonesia, Jakarta, 2010, hlm 292.

14
penerapannya dapat dilakukan dengan cepat. Rekontruksi atas peraturan perundang-
undangan yang mendasari bekerjanya birokrasi kejaksaan menjadi bijaksana bila
memperhatikan peringatan ini. Peringatan lain yang berangkat dari pemikiran Montesquieu
adalah masalah konsistensi peraturan perundang-undangan.43
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, di dalam UU No 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan, terdapat ketentuan-ketentuan yang tidak konsisten, antara lain : 44
1. Pasal 2 ayat (1) yang menegaskan bahwa Kejaksaan melaksanakan kekuasaan Negara
di bidang penuntutan, tetapi sekaligus juga dinyatakan sebagai lembaga pemerintahan.
Padahal kekuasaan Negara di bidang penuntutan termasuk bagian dari kekuasaan
kehakiman (yudikatif), yang membawa konsekuensi pada independensi, dan
seharusnya bukan bagian dari kekuasaan pemerintahan (eksekutif).
Relevan dengan inkonsistensi tentang ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang
menegaskan bahwa Kejaksaan melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan,
tetapi sekaligus juga dinyatakan sebagai lembaga pemerintahan, juga dapat dilihat
dalam konsideran menimbang huruf b UU No 16 Tahun 2004 sebagai berikut :
“bahwa Kejaksaan Republik Indonesia termasuk salah satu badan yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.
Inkonsistensi lain yang masih berkaitan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) juga
dapat dilihat dari konsideran menimbang huruf c UU No. 16 Tahun 2004 sebagai
berikut :
“bahwa untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di
bidang penuntutan harus bebas dari penagaruh kekuasaan pihak manapun”.
2. Pasal 2 ayat (2) Jaksa dalam melaksanakan kewenangannya bersifat merdeka, namun
demikian Pasal 8 ayat (2) jaksa harus bertanggung jawab secara hirarkhis, dan Pasal
18 (1) menyebutkan secara tegas bahwa jaksa agung sebagai pengendali tertinggi,
dengan demikian kemerdekaan jaksa diingkari dengan adanya pertanggungjawaban
hirarkhis.

43
Loc.Cit.,
44
Loc.Cit.,

15
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah akan di bawa kemana Negara hukum
kita ? terkait dengan hal tersebut, menarik apa yang ditawarkan oleh Satjipto Rahardjo
tentang konsep “rule of Pancasila” yang dapat menjadi salah satu alternatif. Lebih lanjut
dikatakan “pengembangan dari doktrinasi rule of law, rule of justice dan rule of
Pancasila, memberikan konsekuensi-konsekuensi bagi praktik hukum, seperti juga doktrin
rule of law memiliki konsekuensi praktisnya sendiri. Suatu sisi mendasar dari doktrinasi
Indonesia terebut sudah tercermin dalam kata-kata moral, keadilan dan Pancasila. Hal itu
mensyaratkan, bahwa kita mengungulkan olah hati nurani daripada olah otak atau lebih
memujikan komitmen moral daripada perundang-undangan”.45
Meskipun konsep moral yang menurut Austin disebut sebagai hukum kodrat atau
hukum ilahi memiliki sisi lemah bahkan dianggap sebagai “tidak layak untuk di sebut
sebagai hukum”, namun konsep-konsep tenatang keadilan dan moral tetap relevan untuk
dikedepankan dalam hukum. Tampaknya Pancasila menjadi lebih mereprensentasikan
keduanya, karena didalamnya secara filosofis mencakup nilai-nilai luhur antara lain
moralitas, kemanusiaan dan keadilan. Oleh sebab itu dalam menciptakan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang Kejaksaan yang progresif, harus
mengakomodasikan kepentingan nilai-nilai Pancasila di dalamnya.46
Sebagai lembaga yang memiliki otoritas di bidang penyidikan dan penuntutan,
sementara itu kekuasaan penyidikan dan penuntutan merupakan bagian dari kekuasaan
kehakiman (kekuasaan penegaka hukum) dalam arti luas, sudah selayaknya ditegaskan
bahwa Kejaksaan adalah merupakan bagian dri kekuasaan kehakiman yang tergolong
sebagai lembaga yudiktif, bukan sebagai lembaga eksekutif. Konsekuensi lebih lanjut dari
penegasan bahwa kejaksaan sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman dalam arti luas,
sementara kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan mandiri, maka
kemerdekaan dan kemandirian juga harus terwujud dalam lembaga Kejaksaan.47
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen menegaskan, bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut
undang-undang. Selanjutnya dalam penjelasan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Dari perumusan diatas

45
Ibid., hlm 294.
46
Loc.Cit.,
47
Ibid., hlm 297.

16
terlihat, bahwa UUD 1945 pada awalnya tidak memberikan batasan pengertian apa yang
dimaksud dengan kekuasaan kehakiman, Pasal 24 UUD 45 hanya menegaskan badan mana
yang diserahi tugas atau kewenangan untuk melakukan atau melaksanakan kekuasaan
kehakiman. Demikian pula penjelasan pasal 24 tidak memberikan batasan pengertian
mengenai kekuasaan kehakiman, tetapi hanya menegaskan sifat, kedudukan, eksistensi
dari kekuasaan kehakiman, yaitu sebagai kekuasaan yang merdeka dan mandiri. Jadi UUD
45 (asli) pada mulanya tidak memberi batasan pengertian kekuasaan kehakiman. Batasan
pengertian kekuasaan kehakiman baru ada setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 14
tahun 1970 tentang Pokok Pokok Kekuasan kehakiman yang saat ini telah mengalami
perubahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 dan terakhir diganti dengan Undang-Undang nomor 48 Tahun 2009. Dalam
Pasal 1 angka 1 UU No 48 Tahun 2009 itu ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Perumusan tersebut selaras dengan perubahan Pasal 24 UUD 1945 amandemen ke-
3 (9 November 2001) yang menegaskan sebagai berikut :
1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada dibawahnya dalam lingkup peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkup peradilan militer, lingkup peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi
Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman maka independensi kejaksaan harus pula
terwujud dalam perannya melaksanakan kekuasaan penuntutan pidana. Independensi yudisial
harus diperluas tidak hanya pada kekuasaan peradilan. Kekuasaan kehakiman yang independen
tidak akan ada artinya apabila hanya ada pada salah satu subsistem yaitu kekuasaan mengadili.
Permasalahan sistem penuntutan dalam kekuasaan negara, juga menjadi pembahasan yang
serius di negara-negara eropa yang diwujudkan dengan mengadakan beberapa pertemuan
internasional antara lain pertemuan “The Eropean Status of Justice” yang diselenggarakan pada

17
buan Januari 1993 dan “The Paneuropean Conference” yang diselenggarakan di Vienna pada
bulan Mei 1999. Pada pertemuan “The Eropean Status of Justice” yang telah menjadi inspirasi
diskusi-diskusi selanjutnya tentang sistem penuntutan di dalam struktur kekuasaan negara, pada
salah satu pasal resolusinya menyatakan bahwa kemampuan untuk memutuskan secara mandiri
dalam lembaga penuntutan merupakan instrumen penting dalam mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang mandiri. Mereka harus melepasakan tugas-tugas mereka dari kekuasaan
lainnya, selain itu harus adanya jaminan hak dan kewajiban Jaksa secara hukum didalam
melakukan proses penuntutan. Hal ini sebagaima diatur dalam Section 9.1 dan Section 9.2,
yakni:
1) section 9.1. the following: Self-government in prosecution creates an essential instrument
of judicial power independence. Judges (public officers) in prosecution secure equality of
citizens before the law. They discharge their functions independently on political power.
They are subordinated to law only.
2) section 9.2. Judges (prosecutors) who discharge their functions in prosecution shall have
identical rights and identical guarantees as stated in the Status hereof.48

Permasalahan independesi kejaksaan tersebut juga menjadi perhatian yang serius dari
beberapa ahli hukum. Sebagaimana dijelaskan oleh Andi Hamzah, tidak independennya
kejaksaan karena undang-undang tentang Kejaksaan menyebutkan kejaksaan sebagai alat
pemerintah. Selain dari itu jaksa agung dapat diangkat dan diberhentikan oleh presiden,
sehingga dengan sendirinya kejaksaan tidak mandiri. Untuk penyelesaian permasalahan
tersebut Andi Hamzah menyatakan bahwa Undang-Undang tentang Kejaksaan harus menjamin
keindependensian kejaksaan, sehingga kejaksaan dapat menuntut siapa saja tanpa adanya
intervensi pemerintah.49.
Selain itu, Andi Hamzah juga menyarankan agar undang-undang mengenai kejaksaan
yang menempatkan kejaksaan sebagai alat pemerintah harus diganti dengan undang-undang
baru. Kejaksaan harus menjadi bagian mahkamah agung sebagai kekuasaan kehakiman yang
independen tidak dicampuri oleh kekuasaan eksekutif.50 Hal ini berarti Andi Hamzah

48
Beneč Štefan, “Independence of Prosecution” (makalah disampaikan dalam Seminar “The prosecutor’s office
in a democratic and constitutional state” organized by The General Prosecutor’s Office and the Slovakia National
Supporting Committee of Europe 2000, 25 April 2003 – 27 April 2003), hlm. 14.
49
Andi Hamzah, “Konsep dan Strategi pembaharuan Kejaksaan Republik Indonesia” (makalah disampaikan pada
Workshop Governmence Audit of The Public Prosecutor Servive, Bali 21-22 Februari 2001), hal. 6.
50
Andi Hamzah, “Posisi Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, (makalah diajukan pada
seminar menyambut hari bakti adiyaksa, Jakarta 20 Juli 2000), hal. 5-6.

18
berpendapat bahwa kejaksaan harus berada dalam lingkup kekuasaan kehakiman bukan dalam
kekuasaan pemerintah.
Sedangkan Harkristuti Harkrisnowo mengatakan bahwa kejaksaan harus independen,
Harkristuti tidak menyinggung tentang independensi jaksa agung. Menurut pendapatnya
Kejaksaan sebagai alat penegak hukum harus dirumuskan kembali dengan tegas dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang organiknya demi independensi Kejaksaan.51
Akan tetapi berbeda dengan Andi Hamzah, menurut Harkristuti Harkrisnowo, independensi
Kejaksaan bukan berarti Kejaksaan harus ditempatkan di luar lembaga eksekutif. Independensi
Kejaksaan dapat dicapai asalkan pimpinan eksekutif konsisten pada keinginan untuk mencapai
supremasi hukum yang berkeadilan walaupun kejaksaan berada dalam kekuasaan eksekutif.
Terhadap pendapat Harkristuti Harkrisnowo, terdapat suatu hal yang menarik, yakni
perlunya kejaksaan sebagai penegak hukum harus dirumuskan dalam undang-undang dasar.
Pengaturan kejaksaan dalam undang-undang dasar (constitution) suatu negara bukanlah
merupakan hal yang baru, karena ternyata di dunia ini terdapat hampir 90 (sembilan puluh)
negara yang mengatur lembaga Kejaksaan dan/atau Jaksa Agungnya dalam undang-undang
dasar.52
Survey terbaru dari Indonesia Legal Rountable (ILR) berkaitan dengan Indeks Presepsi
Negara Hukum pada 31 Mei 2013 menempatkan Indonesia pada angka 4,53. Survei ini
berkaitan dengan pandangan masyarakat mengenai lima poin prinsip negara hukum. Lima
prinsip dimaksud adalah pemerintah berdasarkan hukum; independensi kekuasaan kehakiman;
penghormatan, pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia; akses terhadap keadilan; dan
peraturan yang terbuka dan jelas. Survey lain yang juga baru saja dirilis datang dari Lembaga
Transparency Internasional Indonesia pada 8 Juli 2013 yang menempatkan kelembagaan
pemerintah "Kepolisian, Parlemen, dan Peradilan di Indonesia sebagai pelaku praktek korupsi
tertinggi. Menurut informasi Sekjen TII, Dadang Trisasongko kepada penulis, Kejaksaan
dalam survey tersebut dianggap sebagai bagian dari lembaga peradilan.53

51
Harkristuti Harkrisnowo, “Kejaksaan Agung dalam Tatanan Kelembagaan: Beberapa catatan Awal”, (makalah
disampaikan pada Seminar Hukum dalam Konteks Perubahan ke Dua UUD 1945 yang deselenggarakan oleh MPR
dan Fakulktas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta 24-26 Maret 2000), hal. 7.
52
Loc.Cit.,
53
Quo Vadis Korps Adhyaksa, http://muhammadismet.blogspot.com/2013/07/quo-vadis-korps-adhyaksa.html, di
akses 13 Januari 2014.

19
Kedua survey tersebut menunjukkan betapa rendahnya persepsi positif publik terhadap
lembaga penegakan hukum. Lembaga Penegakan Hukum masih dianggap sebagai lembaga
yang tidak terbuka terhadap perubahan, mempertahankan paradigma lama yang berorientasi
kekuasaan dan menempatkan publik lebih sebagai obyek ketimbang subyek. Ketidakmandirian
Kejaksaan sebagai lembaga penegakan hukum juga menjadi salah satu “titik lemah” Kejaksaan.
Dengan posisi sebagai anggota eksekutif, Kejaksaan menjadi lembaga penegak hukum
pemerintah dan bukan penegak hukum negara. Konsekuensinya, Kejaksaan kemudian memiliki
cara pandang yang sangat “pemerintah sentris”. Persoalan penegakan hukum kemudian
terreduksi hanya menjadi sekedar persoalan keamanan dan ketertiban, jauh dari logika
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Di negeri Belanda sebagai sumber dari berbagai
peraturan pidana Indonesia, Jaksa Agung selain memimpin institusi Kejaksaan juga bertindak
sebagai pejabat pada Mahkamah Agung (Hoofd Officer van Justitie Hoge Raad). Pemisahan
lembaga Kejaksaan dari struktur eksekutif menjadikan Kejaksaan di negeri Belanda sedemikian
kuat dan berwibawa. Hal itu tercermin pada “keberanian” Kejaksaan untuk memperkarakan
semua pihak yang diduga bersalah apapun posisi jabatan dan karir politiknya.54
Ada dua hal yang patut menjadi atensi bagi Kejaksaan yang prospektif dalam
penegakan hukum yaitu :
1. Perlu adanya reposisi konstitusional dari Kejaksaan RI
Tanpa adanya landasan konstitusional, pelaksanaan yang hanya dilandasi fungsi dan
wewenang terbatas pada Undang-Undang justru telah menimbulkan sorotan stigmaisasi
mengenai keberhasilan lembaga ini. Legislasi terhadap pelaksanaan wewenang dan fungsi
Kejaksaan RI untuk memenuhi amanat harus didasari suatu legitimasi pada basis konstitusi
yang lebih akseptabel. Dalam menjalankan fungsi penuntutan tertinggi, Kejaksaan RI harus
diberi tugas dan kewenangan yang independen dari kekuasaan tertinggi eksekutif. Sebagai
lembaga penuntutan tertinggi, Kejaksaan RI dimintai pertanggungjawaban melaksanakan
Pasal 4 TAP MPR No. XI/MPR/1998, 13 Nopember 1998. Parameternya, upaya
pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) harus dilakukan tegas terhadap
siapapun.
Dengan memperhatikan asas lex superior atas tata urutan peraturan perundang-
undangan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, adalah tepat bila Kejaksaan RI sebagai

54
Loc.Cit.,

20
lembaga yang bertanggung jawab di bidang penuntutan tertinggi memerlukan proteksi
konstitusi demi menjaga integritas dan independensinya. Di Negara-negara yang mengenal
prinsip rule of law, baik sistem eropa kontinental maupun anglo saxon keberadaan lembaga
Kejaksaan dalam Konstitusi merupakan hal yang akseptabel. Ia ditempatkan sebagai
lembaga penegak hukum (law enforcement institution) yang bertanggung jawab terhadap
penuntutan dinegara itu.
2. Diperlukan independensi pada sistem penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan RI.
The Eight United Nation Congres di Haavana, Kuba, 7 September 1990, menyebutkan
pada Guidelines on the role of Prosecutors, the office of prosecutors shall be strictly
separated from judicial function. Pemahaman pemisahan dalam fungsi yudisial haruslah
dimaknai dalam konteks penegakan hukum. Dengan pemahaman yang demikian, dalam
menjalankan fungsi penuntutan tertinggi, Kejaksaan harus di beri tugas dan kewenangan
yang independen dari kekuasaan tertinggi eksekutif. Sebab, secara ketatanegaraan,
Kejaksaan merupakan subordinasi kekuasaan tertinggi eksekutif. Tanpa adanya separasi
internal kekuasaan demikian, akan mudah sekali stigma dan intervensi terhadap penegakan
hukum yang dilakukan Kejaksaan.
Dalam konteks sharing and distribution of power yang fleksibel, ide suatu
kejaksaan sebagai lembaga Negara yang bebas dan tidak memihak adalah persyaratan
utama rule of law. Termasuk AS dan Indonesia yang memiliki persamaan fungsi, yakni
suatu kedaulatan fungsional dan kebebasan dalam melaksanakan tugas Kejaksaan, yang
tidak memungkinkan pengaruh extra intervensi kelembagaan lain terhadap kejaksaan di
bidang penuntutan tertinggi ataupun tugas-tugas justitiel lain dan sebagai karakter Negara
hukum, reposisi penempatan fungsi dan wewenang Kejaksaan RI secara intrakonstitusi
perlu ditempatkan sebagai aturan dalam UUD.55
Lebih jauh dapat dikatakan bahwa dengan mencermati kedudukan dan fungsi Kejaksan
RI dalam bingkai teori Negara hukum dan teori pembagian kekuasaan adalah sangat tepat
apabila Kejaksaan RI sebaiknya menjadi suatu “badan Negara” yang mandiri dan independen
dalam melaksanakan kekuasan Negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain sebagaimana
yang ditetapkan oleh undang-undang. Hal ini adalah karena fungsi Kejaksaan RI dalam

55
Ibid., hlm 57.

21
menegakan hukum di Indonesia tidak kalah beratnya dengan fungsi lembaga penegakan hukum
lainnya, misalnya Badan Peradilan dan Kepolisian RI.56
Pemisahan fungsi Kejaksaan RI dari fungsi pemerintahan hakikatnya dimaksudkan
untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini adalah Karena kekuasaan cenderung
disalahgunakan. Sebagai badan Negara yang menjalankan fungsi penegakan hukum,
Kejaksaan, dalam menjalankan fungsinya, membutuhkan kemandirian dan independensi
dengan sikap tidak memihak, tanpa membedakan asal usul, kewarganegaraan, agama atau
etnik, dan lain sebagainya. Hal itu sulit terwujud jika kedudukan Kejaksaan masih berada di
bawah Presiden, yakni dalam lingkungan eksekutif.57

56
Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Op.Cit., hlm 53.
57
Ibid., hlm 54.

22
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
1. Kejaksaan RI adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di
bidang penuntutan dan kekuasaan lain berdasarkan Undang-Undang yang didasarkan
kepada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dan KUHAP
serta perumusan secara implisit pada Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 mengenai Badan-
badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dimana terdapat
pertentangan antara kedudukan Kejaksaan ditempatkan dalam ranah kekuasaan
eksekutif, sementara landasan pembentukannya berada pada bab tentang kekuasaan
kehakiman sehingga mempengaruhi pelaksanaan tugas penegakan hukum yang
termasuk ranah yudikatif dalam arti luas khususnya dalam hal kemandirian dan
keindependensiannya.
2. Kemandirian dan Keindependensian Kejaksaan RI sebagai pelaksana kekuasaan
Negara di bidang penuntutan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sulit untuk
diwujudkan karena kedudukannya sebagai bagian di bawah pemerintahan dan Jaksa
Agung sebagai pengendali tertinggi kekuasaan penuntutan diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden, yang menyebabkan Kejaksaan RI tidak mandiri dan independen dalam
arti sulit melepaskan pengaruh pemerintah dalam setiap kebijakannya khususnya
penegakan hukum dan sulit menegakkan kewibawaannya khususnya keberanian dalam
melakukan proses hukum terhadap pejabat pemerintahan sampai pada tingkatan yang
tertinggi tanpa membedakannya dengan masyarakat biasa lainnya.

B. SARAN
1. Kedudukan dan fungsi Kejaksan RI dalam bingkai Negara hukum Pancasila adalah
sangat tepat apabila Kejaksaan RI sebaiknya menjadi suatu “badan Negara” yang
mandiri dan independen dalam melaksanakan kekuasan Negara di bidang penuntutan
dan kewenangan lain sebagaimana yang ditetapkan oleh undang-undang artinya
profesionalitas dan kemandirian kejaksaan dalam melakukan tugas penuntutan harus
ditempatkan sebagai sesuatu yang sama sekali tidak boleh diintervensi.

23
2. Untuk mewujudkan kekuasaan penuntutan yang Mandiri dan Independen maka perlu
untuk melakukan reposisi kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan harus
disadari merupakan bagian integral dari kekuasaan kehakiman. Independensi
kekuasaan kehakiman akan sangat dipengaruhi oleh independennya lembaga-
lemabaga lain yang terlibat dalam sistem peradilan pidana terpadu. Kejaksaan harus
dikeluarkan dalam struktur kekuasaan eksekutif. Kejaksaan hendaknya direposisi
sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman. Selain itu juga sebagai lembaga pelaksana
kekuasaan yudisial penting untuk mengatur kedudukan Kejaksaan secara eksplisit
dalam UUD 1945 dalam kerangka Negara hukum Pancasila.

24
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
 Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1996.
 Effendy, Marwan, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
 Marwan Effendy, Deskresi Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi,
makalah disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas
Brawijaya Malang, Malang, 11 Juni 2012.
 Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996.
 Kristiana, Yudi, Menuju Kejaksaan Progresif studi tentang penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan tindak pidana korupsi, Masyarakat Transparansi Indonesia, Jakarta,
2010.
 Kejaksaan Agung RI, Lima Windu sejarah Kejaksaan Republik Indonesia (1945-
1985), Jakarata, 1985.
 Magill, M. Elizabeth, Beyond Powers and Branches in Separation of Powers Law,
University of Pennsyl Law Review 2001, Working Paper No. 01-10.
 Pope, Jeremy, Strategi Memberantas Korupsi, Kerjasama Yayasan obor dan
Transparansi Internasional Indonesia, 2003.
 Suseno, Franz Magnis, Etika Politik (Pinsip-prinsip moral dasar kenegaran modern),
PT Gramedia, Jakarta, 2003.
 Soetomo, A. Hukum Acara Pidana Indonesia dalam Praktek, Pustaka Kartini, Jakarta,
1990.
 Erni Widhayanti, Hak-Hak Tersangka/Terdakwa di dalam KUHAP, Liberty,
Yogyakarta, 1996.

Jurnal dan Karya Ilmiah:

 Nandan Iskandar, “Kejaksaan di Mata Masyarakat”, Jurnal Bina Adhyaksa, Vol. III,
No.1, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung Republik Indonesia,
Jakarta, Juli, 2011.

25
 Saldi Isra, Eksistensi Kejakasaan Pasca-Perubahan UUD 1945, Jurnal Adhyaksa
Indonesia, Edisi 2, September 2014.
 Indriyanto Seno Adji, Kejaksaan Agung Reposisi Independensi dan Konstitusional,
Jurnal Adhyaksa Indonesia edisi agustus 2014.
 Beneč Štefan, “Independence of Prosecution” (makalah disampaikan dalam Seminar
“The prosecutor’s office in a democratic and constitutional state” organized by The
General Prosecutor’s Office and the Slovak National Supporting Committee of Europe
2000, (25 April 2003 – 27 April 2003).
 Harkristuti Harkrisnowo, “Kejaksaan Agung dalam Tatanan Kelembagaan: Beberapa
catatan Awal”, (makalah disampaikan pada Seminar Hukum dalam Konteks
Perubahan ke Dua UUD 1945 yang deselenggarakan oleh MPR dan Fakulktas Hukum
Universitas Indonesia. Jakarta 24-26 Maret 2000).
 Andi Hamzah, “Posisi Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”,
(makalah diajukan pada seminar menyambut hari bakti adiyaksa, Jakarta 20 Juli
2000).
 Andi Hamzah, “Konsep dan Strategi pembaharuan Kejaksaan Republik Indonesia”
(makalah disampaikan pada Workshop Governmence Audit of The Public Prosecutor
Servive, Bali 21-22 Februari 2001).

Peraturan Perundang-undangan:

 Undang Undang Dasar 1945.


 Undang Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kejaksaan Republik Indonesia.
 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman.
 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Internet:

 Basrief Arief, Pidato Sambutan Jaksa Agung Republik Indonesia Pada Pencanangan
Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), Senin

26
25 November 2013, http://www.kejaksaan.go.id/pidato.php?idu=0&id=153&hal=3,
diakses 11 Januari 2015.
 Implementasi kekuasaan penuntutan di Negara hukum Indonesia,
http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=28&idsu=35&idke=0&hal=1&id
=54&bc=, diakses 12 Januari 2015.
 Posisi ideal Kejaksaan http://majalah prosekutor.com
/index.php?option=com_content&view= article&id=153:seminar-posisi-ideal-
kejaksaan&catid=5:kabar-gedung-bundar&Itemid=7, diakses 12 Januari 2015.
 Quo Vadis Korps Adhyaksa, http://muhammadismet.blogspot.com/2013/07/quo-vadis-
korps-adhyaksa.html, di akses 13 Januari 2015.

27

Anda mungkin juga menyukai