PENDAHULUAN
Asma adalah inflamasi kronik saluran napas yang menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang serius di berbagai negara di dunia. Penyakit ini dapat timbul pada
semua usia meskipun paling banyak pada usia anak. Asma jarang menimbulkan
kematian, tetapi sering menimbulkan masalah baik pada anak maupun dewasa,
karena gangguan yang ditimbulkannya sering menyebabkan kehilangan hari kerja
pada dewasa dan waktu sekolah pada anak dan remaja. Asma dapat menimbulkan
berbagai gangguan aktivitas sehari-hari sehingga menurunkan kualitas hidup
penderitanya.
Asma erat kaitannya dengan berbagai faktor pencetus. Asma melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik pada asma menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi,
sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari.
Episode tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.1
Di Indonesia, asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan
kematian. Hal tersebut tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) diberbagai propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama
dengan bronkitis kronik dan empisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan
empisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) ke-4 di Indonesia atau sebesar
5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000
dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.1
Penatalaksanaan asma bertujuan mendapatkan asma yang terkontrol, yaitu
keadaan yang optimal sehingga penderita dapat melakukan aktivitas harian seperti
orang normal dan ini berarti meningkatkan kualitas hidup penderita. Keberhasilan
penatalaksanaan asma ditentukan oleh berbagai faktor, tiga faktor yang utama adalah
faktor tenaga medis/dokter yang menatalaksana asma, faktor penderita seperti
kepatuhan terhadap pengobatan, dan faktor obat-obatan seperti tersedianya obat,
biaya obat-obatan, dan efek samping dari obat asma.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2
perubahan struktural atau disebut juga ”remodelling”.2 Proses inflamasi kronik pada
asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh
proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan
pergantian sel-sel yang mati atau rusak dengan sel-sel yang baru. Proses
penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan jaringan yang rusak dengan jenis sel
parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan
penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada asma kedua proses tersebut
berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan
menghasilkan perubahan struktur yang komplek yang dikenal dengan airway
remodelling.1
2.2.2 Hiperreaktivitas saluran napas
Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis yang
secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggungjawab
terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui dengan
pasti tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas
(hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan
perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama
daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran respiratorik selama
kontraksi otot polos.7,8
3
2.4 Gambaran Klinis Asma
Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi. Gejala
lainnya dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan toleransi kerja,
nyeri tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai dengan pilek atau bersin.
Gejala tersebut dapat bervariasi menurut waktu dimana gejala tersebut timbul
musiman atau perenial, beratnya, intensitas, dan juga variasi diurnal. Timbulnya
gejala juga sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pencetus seperti paparan terhadap
alergen, udara dingin, infeksi saluran nafas, obat-obatan, atau aktivitas fisik. Faktor
sosial juga mempengaruhi munculnya serangan pada pasien asma, seperti
karakteristik rumah, merokok atau tidak, karakteristik tempat bekerja atau sekolah,
tingkat pendidikan penderita, atau pekerjaan.4
4
tinggi tetapi spesifisitas rendah. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi
melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum, namun cara ini
tidak terlalu bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya membantu dalam
mengidentifikasi faktor pencetus.
5
PENILAIAN DERAJAT BERATNYA ASMA
Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita sendiri
mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma.
A. Pemantauan tanda gejala asma.
B. Pemeriksaan faal paru
A. Pengontrol
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan
setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma
persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol
adalah:
a. Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan nafas, mengurangi
gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualitas
hidup. Efek samping adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring,
disfonia dan batuk karena iritasi saluran nafas atas.
6
b. Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan
sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya
terbatas mengingat risiko efek sistemik. Untuk jangka panjang, lebih efektif
menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid
oral terpaksa harus diberikan, maka dibutuhkan selama jangka waktu tertentu.
Efek samping jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes,
supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma, obesitas,
penipisan kulit, striae, dan kelemahan otot.
c. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui
merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan mediator dari sel
mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung pada dosis dan
seleksi serta supresi pada sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil,
monosit), selain juga kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel
target. Pemberiannya secara inhalasi, digunakan sebagai pengontrol pada
asma persisten ringan. Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau
rasa tidak enak obat saat melakukan inhalasi.
d. Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner
seperti antiinflamasi. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan
bersama/kombinasi dengan agonis β2 kerja singkat, sebagai alternatif
bronkodilator jika dibutuhkan. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat
digunakan sebagai obat pengontrol, dimana pemberian jangka panjang efektif
mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat
mempunyai aksi/waktu kerja yang lama sehingga digunakan untuk
mengontrol gejala asma malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim.
Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi (≥10 mg/kgBB/hari atau
lebih) dengan gejala gastrointestinal seperti nausea, muntah adalah efek
samping yang paling dulu dan sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti
takikardi, aritmia dan kadangkala merangsang pusat nafas. Intoksikasi teofilin
dapat menyebabkan kejang bahkan kematian.
7
e. Agonis β2 kerja lama
Termasuk agonis β2 kerja lama inhalasi adalah salmoterol dan formoterol
yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Agonis β2 memiliki efek
relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan
permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel
mast dan basofil. Pada pemberian jangka lama mempunyai efek antiinflamasi,
walau kecil dan mempunyai efek protektif terhadap rangsang
bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis β2 kerja lama menghasilkan
efek bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan preparat oral. Karena
pengobatan jangka panjang dengan agonis β2 kerja lama tidak mengubah
inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu dikombinasi dengan
glukokortikosteroid inhalasi, dimana penambahan agonis β2 kerja lama
inhalasi akan memperbaiki gejala, menurunkan asma malam, memperbaiki
faal paru, menurunkan kebutuhan agonis β2 kerja singkat (pelega) dan
menurunkan frekuensi serangan asma.
Agonis β2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping
sistemik (rangsangan kardiovaskuler, tremor otot rangka dan hipokalemia)
yang lebih sedikit atau jarang daripada pemberian oral.
f. Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok
sintesis semua leukotrien (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-
reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas,
zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator
minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan
exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi.
B. Pelega
a. Agonis β2 kerja singkat
Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat. Formoterol
mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara
inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan
efek samping minimal/tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis β2
8
yaitu relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi
pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Efek sampingnya rangsangan
kardiovaskular, tremor otot rangka, dan hipokalemia. Pemberian secara
inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping.
b. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walaupun efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis β2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak menambah
efek bronkodilatasi agonis β2 kerja singkat, tetapi bermanfaat untuk
respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernafasan dan mempertahankan
respon agonis β2 kerja singkat diantara pemberian satu dengan berikutnya.
c. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan
asetilkolin dari saraf kolinergik dari jalan nafas. Menimbulkan bronkodilatasi
dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga
menghambat refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan.. Efek samping
berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit.
d. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak
tersedia agonis β2, atau tidak respon dengan agonis β2 kerja singkat.
9
Leukotriene Kortikosteroid Leukotriene Terapi Anti IgE
modifier inhalasi dosis modifier
sedang-tinggi
Kortikosteroid Teofilin lepas
inhalasi dosis lambat
rendah +
Leukotriene
modifier
Kortikosteroid
inhalasi dosis
rendah +
Teofilin lepas
lambat
Sedang Terbaik:
Jalan jarak jauh Nebulasi agonis β2 @ 4 jam Darurat gawat/RS
timbulkan gelaja Alternatif: Klinik
Berbicara beberapa kata - Agonis β2 subkutan Praktek dokter
dalam 1 nafas - Aminofilin iv Puskesmas
Nadi 100-120 - Adrenalin 1/1000 0,3 mL
APE 60-80% sc
Oksigen bila mungkin
Kortikosteroid sistemik
11
KONTROL SECARA TERATUR
Dua hal penting yang harus diperhatikan dokter dalam penatalaksanaan asma
jangka panjang adalah melakukan tindak lanjut/follow up teratur dan merujuk ke
ahli paru pada keadaan-keadaan tertentu.
12
DAFTAR PUSTAKA
13