Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

Asma adalah inflamasi kronik saluran napas yang menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang serius di berbagai negara di dunia. Penyakit ini dapat timbul pada
semua usia meskipun paling banyak pada usia anak. Asma jarang menimbulkan
kematian, tetapi sering menimbulkan masalah baik pada anak maupun dewasa,
karena gangguan yang ditimbulkannya sering menyebabkan kehilangan hari kerja
pada dewasa dan waktu sekolah pada anak dan remaja. Asma dapat menimbulkan
berbagai gangguan aktivitas sehari-hari sehingga menurunkan kualitas hidup
penderitanya.
Asma erat kaitannya dengan berbagai faktor pencetus. Asma melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik pada asma menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi,
sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari.
Episode tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.1
Di Indonesia, asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan
kematian. Hal tersebut tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) diberbagai propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama
dengan bronkitis kronik dan empisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan
empisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) ke-4 di Indonesia atau sebesar
5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000
dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.1
Penatalaksanaan asma bertujuan mendapatkan asma yang terkontrol, yaitu
keadaan yang optimal sehingga penderita dapat melakukan aktivitas harian seperti
orang normal dan ini berarti meningkatkan kualitas hidup penderita. Keberhasilan
penatalaksanaan asma ditentukan oleh berbagai faktor, tiga faktor yang utama adalah
faktor tenaga medis/dokter yang menatalaksana asma, faktor penderita seperti
kepatuhan terhadap pengobatan, dan faktor obat-obatan seperti tersedianya obat,
biaya obat-obatan, dan efek samping dari obat asma.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Epidemiologi


Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai pada awal
kehidupan. Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10 tahun
dan sepertiga bagian lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Pada usia anak-anak,
terdapat perbandingan 2:1 untuk laki-laki dibandingkan wanita, namun perbandingan
ini menjadi sama pada umur 30 tahun. Angka ini dapat berbeda antara satu kota
dengan kota yang lain dalam negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma
berkisar antara 5 – 7 %.3,4
Atopi merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan asma.
Asma alergi sering dihubungkan dengan riwayat penyakit alergi pribadi maupun
keluarga seperti rinitis, urtikaria, dan eksema. Keadaan ini dapat pula disertai dengan
reaksi kulit terhadap injeksi intradermal dari ekstrak antigen yang terdapat di udara,
dan dapat pula disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan atau respon
positif terhadap tes provokasi yang melibatkan inhalasi antigen spesifik.4

2.2 Patofisiologi Asma


Patofisiologi asma merupakan proses yang sangat kompleks, dan melibatkan
beberapa komponen yaitu inflamasi saluran nafas, obstruksi aliran udara, dan
hiperaktivitas bronkus.4
2.2.1 Penyempitan Saluran Napas
Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala dan
perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
penyempitan saluran napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas, edema pada
saluran napas, penebalan dinding saluran napas dan hipersekresi mukus. 2
Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap berbagai
mediator bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme dominan terhadap
penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan dengan bronkodilator.
Edema pada saluran napas disebabkan kerena adanya proses inflamasi. Hal ini
penting pada eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas disebabkan karena

2
perubahan struktural atau disebut juga ”remodelling”.2 Proses inflamasi kronik pada
asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh
proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan
pergantian sel-sel yang mati atau rusak dengan sel-sel yang baru. Proses
penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan jaringan yang rusak dengan jenis sel
parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan
penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada asma kedua proses tersebut
berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan
menghasilkan perubahan struktur yang komplek yang dikenal dengan airway
remodelling.1
2.2.2 Hiperreaktivitas saluran napas
Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis yang
secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggungjawab
terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui dengan
pasti tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas
(hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan
perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama
daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran respiratorik selama
kontraksi otot polos.7,8

2.3 Faktor Pencetus Asma


Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu (host factor)
dan faktor lingkungan.1
a. Faktor host b. Faktor lingkungan
 Genetik  Rangsangan alergen
 Atopi/Alergi  Rangsangan bahan-bahan di
 Obesitas tempat kerja
 Jenis kelamin  Infeksi pernapasan
 Asap rokok/polusi udara
 Obat
 Sosial ekonomi atau faktor
lainnya

3
2.4 Gambaran Klinis Asma
Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi. Gejala
lainnya dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan toleransi kerja,
nyeri tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai dengan pilek atau bersin.
Gejala tersebut dapat bervariasi menurut waktu dimana gejala tersebut timbul
musiman atau perenial, beratnya, intensitas, dan juga variasi diurnal. Timbulnya
gejala juga sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pencetus seperti paparan terhadap
alergen, udara dingin, infeksi saluran nafas, obat-obatan, atau aktivitas fisik. Faktor
sosial juga mempengaruhi munculnya serangan pada pasien asma, seperti
karakteristik rumah, merokok atau tidak, karakteristik tempat bekerja atau sekolah,
tingkat pendidikan penderita, atau pekerjaan.4

2.5 Diagnosis Asma1,2


Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas yang
reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit/gejala :
- bersifat episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
- gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak.
- gejala timbul/memburuk di malam hari.
- respons terhadap pemberian bronkodilator.
Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat keluarga (atopi),
riwayat alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan penyakit dan
pengobatan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda obstruksi saluran nafas
dan tanda yang khas adalah adanya mengi pada auskultasi. Namun pada sebagian
penderita dapat ditemukan suara nafas yang normal pada auskultasi walaupun pada
pengukuran faal paru telah terjadi penyempitan jalan nafas.
Pengukuran faal paru dilakukan untuk menilai obstruksi jalan nafas,
reversibilitas kelainan faal paru, variabilitas faal paru, sebagai penilaian tidak
langsung hiper-responsif jalan nafas. Pemeriksaan faal paru yang standar adalah
pemeriksaan spirometri dan peak expiratory flow meter (arus puncak ekspirasi).
Pemeriksaan lain yang berperan untuk diagnosis antara lain uji provokasi bronkus
dan pengukuran status alergi. Uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas yang

4
tinggi tetapi spesifisitas rendah. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi
melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum, namun cara ini
tidak terlalu bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya membantu dalam
mengidentifikasi faktor pencetus.

2.6 Klasifikasi Asma1,2


Menurut Global Initiative for Asthma Guideline Update (GINA) 2010, asma
dikelompokkan menurut karakteristik terkontrolnya.
Tabel 1. Derajat Kontrol Asma
Karakteristik Terkontrol Terkontrol Tidak
Sebagian terkontrol
Gejala siang hari Tidak ada (2 kali Lebih dari 2 Tiga atau lebih
atau kali/minggu gambaran asma
kurang/minggu) terkontrol
Keterbatasan Tidak ada Ada sebagian terjadi
aktivitas dalam 1 minggu
Gejala malam hari Tidak (2 kali atau Ada
kurang/minggu)
Butuh obat Normal Lebih dari 2
reliever/penanganan kali/minggu
segera
Fungsi paru Tidak <80% dari
(PEV/FEV1) prediksi
Eksaserbasi Tidak Sekali atau Sekali dalam
lebih/tahun seminggu

2.7 Penatalaksanaan Asma1-10


Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia yang
dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2004, ada 7 komponen
program penatalaksanaan asma dan ditambah satu komponen yaitu pola hidup sehat.1
EDUKASI
Edukasi yang diberikan antara lain adalah pemahaman mengenai asma itu sendiri,
tujuan pengobatan asma, bagaimana mengidentifikasi dan mengontrol faktor
pencetus, obat-obat yang digunakan berikut efek samping obat, dan juga penanganan
serangan asma di rumah.

5
PENILAIAN DERAJAT BERATNYA ASMA
Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita sendiri
mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma.
A. Pemantauan tanda gejala asma.
B. Pemeriksaan faal paru

IDENTIFIKASI DAN PENGENDALIAN FAKTOR PENCETUS


Sebagian penderita dengan mudah mengenali fakor pencetus, akan tetapi sebagian
lagi tidak dapat menegtahui faktor pencetus asmanya.

MERENCANAKAN DAN MEMBERIKAN PENGOBATAN JANGKA PANJANG


Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan. Dalam
menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai atau
mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat tiga faktor yang perlu
dipertimbangkan:
1. Medikasi (obat-obatan)
2. Tahapan pengobatan
3. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan nafas,
terdiri atas pengontrol dan pelega.

A. Pengontrol
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan
setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma
persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol
adalah:
a. Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan nafas, mengurangi
gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualitas
hidup. Efek samping adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring,
disfonia dan batuk karena iritasi saluran nafas atas.

6
b. Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan
sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya
terbatas mengingat risiko efek sistemik. Untuk jangka panjang, lebih efektif
menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid
oral terpaksa harus diberikan, maka dibutuhkan selama jangka waktu tertentu.
Efek samping jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes,
supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma, obesitas,
penipisan kulit, striae, dan kelemahan otot.
c. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui
merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan mediator dari sel
mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung pada dosis dan
seleksi serta supresi pada sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil,
monosit), selain juga kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel
target. Pemberiannya secara inhalasi, digunakan sebagai pengontrol pada
asma persisten ringan. Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau
rasa tidak enak obat saat melakukan inhalasi.
d. Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner
seperti antiinflamasi. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan
bersama/kombinasi dengan agonis β2 kerja singkat, sebagai alternatif
bronkodilator jika dibutuhkan. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat
digunakan sebagai obat pengontrol, dimana pemberian jangka panjang efektif
mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat
mempunyai aksi/waktu kerja yang lama sehingga digunakan untuk
mengontrol gejala asma malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim.
Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi (≥10 mg/kgBB/hari atau
lebih) dengan gejala gastrointestinal seperti nausea, muntah adalah efek
samping yang paling dulu dan sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti
takikardi, aritmia dan kadangkala merangsang pusat nafas. Intoksikasi teofilin
dapat menyebabkan kejang bahkan kematian.

7
e. Agonis β2 kerja lama
Termasuk agonis β2 kerja lama inhalasi adalah salmoterol dan formoterol
yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Agonis β2 memiliki efek
relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan
permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel
mast dan basofil. Pada pemberian jangka lama mempunyai efek antiinflamasi,
walau kecil dan mempunyai efek protektif terhadap rangsang
bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis β2 kerja lama menghasilkan
efek bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan preparat oral. Karena
pengobatan jangka panjang dengan agonis β2 kerja lama tidak mengubah
inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu dikombinasi dengan
glukokortikosteroid inhalasi, dimana penambahan agonis β2 kerja lama
inhalasi akan memperbaiki gejala, menurunkan asma malam, memperbaiki
faal paru, menurunkan kebutuhan agonis β2 kerja singkat (pelega) dan
menurunkan frekuensi serangan asma.
Agonis β2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping
sistemik (rangsangan kardiovaskuler, tremor otot rangka dan hipokalemia)
yang lebih sedikit atau jarang daripada pemberian oral.
f. Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok
sintesis semua leukotrien (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-
reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas,
zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator
minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan
exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi.
B. Pelega
a. Agonis β2 kerja singkat
Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat. Formoterol
mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara
inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan
efek samping minimal/tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis β2

8
yaitu relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi
pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Efek sampingnya rangsangan
kardiovaskular, tremor otot rangka, dan hipokalemia. Pemberian secara
inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping.
b. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walaupun efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis β2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak menambah
efek bronkodilatasi agonis β2 kerja singkat, tetapi bermanfaat untuk
respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernafasan dan mempertahankan
respon agonis β2 kerja singkat diantara pemberian satu dengan berikutnya.
c. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan
asetilkolin dari saraf kolinergik dari jalan nafas. Menimbulkan bronkodilatasi
dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga
menghambat refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan.. Efek samping
berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit.
d. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak
tersedia agonis β2, atau tidak respon dengan agonis β2 kerja singkat.

C. Tahapan penanganan asma


Tabel 2. Langkah-langkah Penatalaksanaan Asma (GINA, 2010)
Kurangi Tingkatkan
Langkah 1 Langkah 2 Langkah 3 Langkah 4 Langkah 5
Edukasi tentang asma dan kontrol terhadap lingkungan
β2 agonis kerja cepat jika diperlukan
Pilihan Pilih salah satu Pilih salah satu Langkah 3 + Langkah 4 +
controller salah satu salah satu
Kortikosteroid Kortikosteroid Kortikosteroid Gluko-
inhalasi dosis inhalasi dosis inhalasi dosis kortkosteroid
rendah rendah + β2 rendah-sedang + steroid oral
agonis kerja β2 agonis kerja (dosis terendah)
lama lama

9
Leukotriene Kortikosteroid Leukotriene Terapi Anti IgE
modifier inhalasi dosis modifier
sedang-tinggi
Kortikosteroid Teofilin lepas
inhalasi dosis lambat
rendah +
Leukotriene
modifier
Kortikosteroid
inhalasi dosis
rendah +
Teofilin lepas
lambat

MENETAPKAN PENGOBATAN PADA SERANGAN AKUT


Kunci awal dalam penanganan serangan akut adalah penilaian berat serangan.
Menurut GINA 2010, serangan asma akut diklasifikasikan menjadi derajat ringan,
sedang, berat, dan mengancam jiwa berdasarkan gejala dan tanda yang dijumpai.

Tabel 3. Klasifikasi Berat Serangan Asma Akut1


Gejala dan Berat Serangan Akut Keadaan
Tanda Ringan Sedang Berat Mengancam
Jiwa
Sesak nafas Berjalan Berbicara Istirahat
Posisi Dapat tidur Duduk Duduk
terlentang membungkuk
Cara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kata
berbicara
Kesadaran Mungkin Gelisah Gelisah Mengantuk,
gelisah gelisah,
kesadaran
menurun
Frekuensi < 20/menit 20-30/menit > 30 menit
nafas
Nadi < 100 100-120 > 120 Bradikardia
Pulsus - ± + -
paradoksus (10 mmHg) (10-20 mmHg) (> 25 mmHg) (kelelahan otot)
Otot bantu - + + Torakoabdomin
nafas dan al paradoksal
retraksi
suprasternal
Mengi Akhir Akhir ekspirasi Inspirasi dan Silent chest
ekspirasi ekspirasi
paksa
10
APE > 80% 60-80% < 60%
PaO2 > 80 mmHg 80-60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg
SaO2 > 95% 91-95% < 90%

Tabel 4. Rencana Pengobatan Serangan Asma Berdasarkan Berat Serangan dan


Tempat Pengobatan1
Serangan Pengobatan Tempat pengobatan
Ringan Terbaik: Di rumah
Aktivitas relatif normal Inhalasi agonis β2
Berbicara satu kalimat Alternatif: Di praktek dokter/
dalam 1 nafas Kombinasi oral agonis β2 klinik/ puskesmas
Nadi < 100 dan teofilin
APE > 80%

Sedang Terbaik:
Jalan jarak jauh Nebulasi agonis β2 @ 4 jam Darurat gawat/RS
timbulkan gelaja Alternatif: Klinik
Berbicara beberapa kata - Agonis β2 subkutan Praktek dokter
dalam 1 nafas - Aminofilin iv Puskesmas
Nadi 100-120 - Adrenalin 1/1000 0,3 mL
APE 60-80% sc
Oksigen bila mungkin
Kortikosteroid sistemik

Berat Terbaik: Darurat gawat/RS


Sesak saat istirahat Nebulasi agonis β2 @ 4 jam Klinik
Berbicara kata perkata Alternatif:
dalam 1 nafas - Agonis β2 sc/iv
Nadi > 120 - Adrenalin 1/1000 0,3 mL
APE < 60% atau 100 sc
L/dtk Aminofilin bolus
dilanjutkan drip
Oksigen
Kortikosteroid iv

Mengancam jiwa Seperti serangan akut berat Darurat gawat/RS


Kesadaran berubah Pertimbangkan intubasi dan ICU
/menurun ventilasi mekanik
Gelisah
Sianosis
Gagal nafas

11
KONTROL SECARA TERATUR
Dua hal penting yang harus diperhatikan dokter dalam penatalaksanaan asma
jangka panjang adalah melakukan tindak lanjut/follow up teratur dan merujuk ke
ahli paru pada keadaan-keadaan tertentu.

POLA HIDUP SEHAT


Pola hidup sehat yang dianjurkan antara lain adalah meningkatkan kebugaran fisik
melalui olahraga, penderita dianjurkan untuk berhenti atau tidak pernah merokok
karena rokok merupakan oksidan yang dapat menimbulkan inflamasi dan
menyebabkan ketidakseimbangan protease antiprotease serta penderita asma
dianjurkan untuk tidak bekerja di tempat kerja yang merupakan faktor pencetus
asma.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunegoro, H. Widjaja, A. Sutoyo, DK. Yunus, F. Pradjnaparamita.


Suryanto, E. et al. (2004), Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
2. O’Byrne, P. Bateman, ED. Bosquet, J. Clark, T. Otha, K. Paggiaro, P. et al.
(2010), Global Initiative for Asthma Global Strategy for Asthma Management
and Prevention, Ontario Canada.
3. Sundaru, H. Sukamto. (2006), Asma Bronkial, In: Sudowo, AW. Setiyohadi, B.
Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S. (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
I, Edisi Keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp: 247-252.
4. McFaden, ER. (2005), Asthma, In: Kasper, DL. Pauci, AS. Longo, DL.
Draunwald, E. Hauser, SL. Jameson, JL. (eds), Harrison’s Principal of
Medicine, 16th ed, Vol 2, McGraw-Hill, Philladelphia, pp:1508-1515.
5. Chesnutt, MS. Prendergast, TJ. (2007), Lung, In: McPhee, SJ. Papadakis, MA.
(eds) Current Medical Diagnosis and Treatment, 46th ed, McGrawHill,
Philadelphia, pp: 230-241.
6. Rani, AA. Soegondo, S. Nasir, UAZ. Wijaya, IP. Nafrialdi. Mansjoer, A.
(2006), Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia, PB PAPDI, Jakarta.
7. Gross KM, Ponte DC. New Strategies in The Medical Management in Asthma.
American Family Physician. Available at :
http://www.aafp.org/afp/980700ap/gross.html Last update: July 1st 1998.
Accessed: July 19th 2011
8. Kavuru MS, Lang DM, Erzarum SC. Asthma. Available at:
www.clevelandclinicmedical.com/medicalpubs/diseasemanagemen/asthma.htm.
Last update : March 2007. Accessed: July 19th 2011
9. Boushey HA. (2001), Drugs Used in Asthma, In: Katzung BG (eds), Basic and
Clinical Pharmacology, 8th ed, Lange Medical Book/McGraw-Hill,
Philadelphia, pp: 333-349
10. Trevor AJ, Katzung BG, Masters SB. (2005), Katzung&Trevor’s
Pharmacology, 7th ed, McGraw Hill, Philadelpia, pp 172-177

13

Anda mungkin juga menyukai