Anda di halaman 1dari 33

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang

ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau

sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan

kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. SLE juga

merupakan penyakit inflamasi autoimun pada jaringan dan kompleks imun

sehingga mengakibatkan manifestasi klinis diberbagai sistem organ.1,4

Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang

berbeda.Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai

penyakit yang menimbulkan kecacatan.

3.2 Epidemiologi

Dalam 30 tahun terakhir, SLE menjadi salah satu penyakit rematik utama

didunia. Prevalensi SLE diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering

ditemukan pada ras tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi dan

geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Peyakit ini dapat ditemukan

pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi).

Frekuensi pada wanita dibanding dengan pria berkisar antara 9-14:1. 1

Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di

rumah sakit. Dari 3 penelitian di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia/ RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang

melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai berikut :

10
antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE ; selama periode 5 tahun (1972-

1976) ditemukan 1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang dirawat (insiden sebesar

15 per 10.000 perawatan); antara tahun 1988-1990 (3 tahun) insiden rata-rata ialah

sebesar 37,7 per 10.000 perawatan. 1

Pasien SLE, 90% adalah wanita dengan usia diantara 14 dan 45 tahun.

Penyakit ini tiga kali lebih sering ditemukan pada populasi keturunan Afrika-

Amerika. Frekuensi pada wanita dibanding pada pria berkisar antara (5,5-9) : 1. 1,

SLE awalnya digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar

1800-an dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk “kupu-

kupu”, melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai

gigitan serigala ( lupus adalah katta dalam bahasa latin yang berarti serigala).4

3.3 Etiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang

menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan

imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara factor - faktor genetik,

hormonal dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Sampai saat ini

penyebab SLE belum diketahui, diduga faktor genetik, infeksi dan lingkungan

ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan

untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan

reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody

ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan

penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan. Dalam keadaan

normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam

melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan

11
tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang

sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh,

sehingga terjadi penyakit menahun. 1,2,4

Faktor-faktor yang berperan :

a. Faktor Genetik

Kejadian SLE lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%) dibanding

dengan kembar dizigotik (3%), peningkatan frekuensi SLE pada

keluarga penderita SLE dibanding dengan kontrol sehat dan

peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu,

menguatkan dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam patogenesis

SLE.1

Elemen genetik yang paling banyak diteliti kontribusinya terhadap

SLE pada manusia adalah gen dari kompleks Histokompatibilitas

12
Mayor (MHC). Penelitian populasi menunjukkan bahwa kepekaan

terhadap SLE melibatkan polimorfisme dari gen HLA (human

leucocyte antigen) kelas II. HLA berhubungan dengan adanya

antibody tertentu seperti anti-Sm (small nuclear ribonuclearm

protein), anti-Ro, anti-La, anti-nRNP (nuclear ribonuclear protein)

dan anti-DNA. Gen HLA kelas III, khususnya yang mengkode

komponen komplemen C2 dan C4, memberikan resiko SLE pada

kelompok etnik tertentu. Selain itu SLE berhubungan dengan

pewarisan defisiensi C1q, C1r/s dan C2. Penurunan aktivitas

komplemen meningkatkan kepekaan terhadap antigen diri sendiri

maupun antigen asing. Jika beban antigen melebihi kapasitas

pembersih dari sistem imun, maka autoimunitas mungkin terjadi.

b. Faktor Homoral
1,2,6
SLE penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan .

Metabolisme estrogen yang abnormal telah ditunjukkan pada kedua

jenis kelamin, dimana peningkatan hidroksilasi 16a dari estrone

mengakibatkan peningkatan yang bermakna konsentrasi 16a

hidroksiestron. Metabolit 16 a lebih kuat dan merupakan feminising

estrogen. Perempuan dengan SLE juga mempunyai konsentrasi

androgen plasma yang rendah, termasuk testosteron,

dehidrotestosteron, dehidroepiandosteron (DHEA) dan

dehidroepianrosteron (DHEAS). Abnormalitas ini mungkin disebabkan

oleh peningkatan oksidasi testosteron pada C-17 atau peningkatan

aktivitas aromatase jaringan. Konsentrasi androgen berkorelasi negatif

13
dengan aktivitas penyakit. Konsentrasi testosteron plasma yang rendah

dan meningkatnya konsentrasi luteinising hormone (LH) ditemukan

pada penderita SLE laki-laki. Jadi estrogen yang berlebihan dengan

aktivitas hormone androgen yang tidak adekuat pada laki-laki maupun

perempuan, mungkin bertanggung jawab terhadap perubahan respon

imun. Konsentrasi progesteron didapatkan lebih rendah pada penderita

SLE perempuan dibandingkan dengan kontrol sehat.

Prolactin (PRL) adalah hormon terutama berasal dari kelenjar hipofise

anterior, diketahui menstimulasi respon imun selular dan humoral,

yang diduga berperan dalam patogenesis SLE. Fungsi PRL

menyerupai sitokin, yang mempunyai aktivitas endokrin , paraktin dan

autokrin. PRL diketahui menstimulasi sel T, sel naturl killer,

makrofag, neutrofil, sel hemopoietik CD34+ dan sel dendritik

presentasi antigen.

c. Faktor Lingkungan

Agen infeksi virus Epstein-Barr (EBV) mungkin menginduksi respon

spesifik melalui kemiripan molekular (molecular mimicry) dan

gangguan terhadap regulasi imun. Diet mempengaruhi produksi

mediator inflamasi , toksin/obat-obatan memodifikasi respon selular

dan imunogenitas dari self antigen dan agen fisik/kimia seperti sinar

ultraviolet (UV) dapat memnyebabkan inflamasi, memicu apoptosis sel

dan menyebabkan kerusakan jaringan.

14
3.4 Patogenesis

Patogenesis dari SLE masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat

banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktoral seperti faktor genetik,

faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik

memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat

pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan

bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur

sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada

kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta

dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat

komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang

mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan

sitokin3,6. Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan

dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen

MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi

spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen

komplemen, seperti C2, C4, atau C1q14-15. Kekurangan komplemen dapat

merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear

sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.

Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis

sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun6.

Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi

ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity

dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar

15
UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang

peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel DNA, serta

mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan

terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu

kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi

terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu

amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi

pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan

apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius

terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella,

sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis7.

Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal.

Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian

menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen

dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga

mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES. 8Autoantibodi

pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan anti-

DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit,

trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks

imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi

pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal7

16
3.5 Manifestasi Klinis

Saat awitan pertama pada SLE mungkin hanya mengenai satu sistem organ

(manifestasi tambahan muncul kemudian) atau multisistemik . Gambaran klinis

keterlibatan sendi atau muskuloskeletal dijumpai pada 90% kasus SLE, walaupun

artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus. 1,7

- Gejala Konstitusional

a. Kelelahan

Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada SLE dan

biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis. Kelelahan ini agak

sulit dinilai karena berbagai kondisi lain yang dapat meyebabkan

kelelahan seperti adanya anemia, meningkatnya beban kerja, konflik

kejiwaan serta pemakaian obat seperti prednison. Kelelahan dapat

diukur dengan menggunakan Profil of Mood States (POMS) dan tes

toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan oleh penyakit SLE

maka diperlukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu kadar C3 serum

yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respon

terhadap pemberian steroid.

b. Penurunan Berat Badan

Keluhan ini dijumpai pada sebagian penderita SLE dan terjadi dalam

beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan

ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan

gejala gastrointestial.

17
c. Demam

Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari

sebab lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40⁰C

tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat SLE

biasanya tidak disertai mengigil.

d. Lain-lain

Gejala lain yang sering dijumpai pada SLE dapat terjadi sebelum atau

seiring dengan aktivitas penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya

nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit

kepala, mual dan muntah.

1. Manifestasi muskulosekeletal

Hampir semua pasien SLE mengalami artralgia dan mialgia, sebagian

besar mengalami artritis intermiten. Nyeri sering melebihi temuan fisis yang

berupa pembengkakan fusiform sendi (paling sering mengenai sendi antarfalang

proksimal (AFP) dan metakarpofalang (MKF) pada tangan, pergelangan tangan

dan lutut ), pembengkakan difus tanga dan kaki, dan tendosinovitis. Deformitas

sendi jarang terjadi dengan 10% pasien mengalami deformitas leher angsa (swan

neck) jari tangan dan pergeseran ulnar pada sendi MKF. Erosi jarang terjadi, dapat

ditemukan nodus subkutis. Miopati dapat bersifat inflamatorik (selama masa

penyakit aktif) atau sekunder akibat pengobatan (hipokalemia, miopati

glukokortikoid, miopati hidroksiklorokuin). Nekrosis iskemik tulang sering

merupakan penyebab nyeri panggul, lutut atau bahu pada pasien yang mendapat

glukokortikoid.1,7 Hal yang paling perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya

koinsidensi penyakit autoimun lain seperti Artritis reumatoid, polymyositis,

18
skleroderma atau manifestasi klinis penyakit-penyakit tersebut merupakan bagian

gejala SLE.

1. Manifestasi Kulit

Ruam kulit merupakan manifestasi SLE pada kulit yang telah lama dikenal

oleh para ahli. Sejak era Rogerius, Paracelsus, Hebra sebelum abad 19

manifestasi kulit seperti seborea kongestifa, herpes esthimones dan

sebagainya telah diperdebatkan sebagai suatu lesi kulit pada SLE. Lesi

muko-kutaneus yang tampak sebagai bagian SLE dapat berupa reaksi

fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), subacute cutaneous lupus

erythematosus (SCLE) ,lupus profundus/ paniculitis, alopecia, lesi

vaskular berupa eritema periungual, livedo reticularis, telengiectasis,

fenomena raynud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol berwarna

putih perak dan dapat pula berupa bercak eritema pada palatum mole dan

durum, bercak atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir.

19
Ruam malar ( kupu-kupu) adalah ruam eritematosa persisten, datar atau

meninggi, dipipi dan pangkal hidung, sering meluas kedagu dan teliga.

Ruam ini bersifat fotosensitif. Tidak terjadi jaringan parut, dapat timbul

telangiektasis. Ruam makulopapula yang lebih difus, terutama dibagian

tubuh terpajan matahari, juga sering ditemukan dan biasanya

mengisyaratkan munculnya penyakit. Hilangnya rambut kepala biasanya

terbatas tetapi dapat ekstensif, rambut sering tumbuh kembali pada lesi

SLE tetapi tidak pada lesi lupus diskoid (LED). LED terjadi pada 20%

pasien SLE dan juga dapat juga menyebabkan kecacatan, karena lesi

memperlihatkan atrofi dan jaringan parut dibagian tengahnya, dengan

hilangnya apendiks kulit secara menetap.

2. Manifestasi Paru

Berbagai manifestasi klinis pada paru-paru dapat terjadi baik berupa

radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi

pulmonum, perdarahan paru, atau shrinking lung syndrom.

Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut menjadi kronik.

Pada keadaan akut perlu dibedakan dengan pneumonia bakterial dan

20
apabila terjadi keraguan dapat dilakukan tindakan invasive seperti bilas

bronkoalveolar. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan

dijumpai rhonki dibasal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi

kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai

vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons yang baik

dengan pemberian steroid. Manifestasi paru yang jarang terjadi namun

mempunyai angka mortalitas angka mortalitas yang tinggi adalah

sindroma distress pernafasan dan perdarahan intraalveolar masif.

Hemoptisis merupakan keadaan yang serius apabila merupakan bagian

dari perdarahan paru akibat SLE ini dan memerlukan penanganan yang

tepat, dimana tidak hanya penggunaan steroid namuntindakan pengobatan

lain seperti lasmafaresis atau pemberian sitostatiska.

3. Manifestasi Kardiologis

Perikardium, miokardium, endokardium ataupun pembuluh darah koroner

dapat terlibat pada penderita SLE, walaupun yang paling banyak terkena

adalah perikardium. Efusi dapat terjadi dan kadang-kadang temponade.

Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyer sub-

sternal, friction rub, gambaran silhouete sign foto dada, ataupun melalui

gambaran EKG, Echocardiografi. Apabila dijumpai adanya ritmia atau

gangguan konduksi, kardiomegali bahkan takikardi yang tidak jelas

penyebabnya, maka kecurigaan adanya miokarditis perlu dibuktikan lebih

lanjut. Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita SLE

dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal

21
jantung kongestif. Usia muda dengan gejala penyakit yang panjang serta

penggunaan steroid jangka panjang.

Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi menyerupai komplikasi lain

yang juga sering dijumpai pada penderita SLE . vegetasi pada katup

jantung merupakan akumulasi pada kompleks imun, sel mononuklear,

jaringan nekrosis, jaringan parut, hematoxyin bodies , fibrin dan trombus

trombosit. Manifestasi yang sering dijumpai adalah bising jantung sistolik

dan diastolik.1,5,7

4. Manifestasi Renal

Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar

terjadi setelah 5 tahun menderita SLE. Rasio wanita : pria dengan kelainan

ini 10 : 1 dengan puncak insiden antara 20-30 tahun. Gejala atau tanda

keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan

ginjal atau sindroma nefrotik. Pemeriksaan terhadap protein urine >500

mg/24 jam atau +3 semi kwantatif, adanya cetakan granular, hemoglobin,

tubuler, eritrosit tu gabungan serta pyuria (>5/LBP) tanpa bukti adanya

infeksi serta peningkatan serum kadar kreatinin menunjukkan adanya

keterlibatan pada penderita SLE.

5. Manifestasi Gastrointestinal

Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada pasien SLE , karena dapat

merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit ini atau

sebagai akibat pengobatan. Disfagia merupakan keluhan yang menonjol

pada saat penderita dalam keadaan tertekan dan sifatnya episodik,

22
walaupuntidak dapat dibuktikan adanya kelainan pada esofagus tersebut,

kecuali gangguan motilitas.

Keluhan dispepsia yang dijumpai pada 50% pasien SLE, lebih banyak

dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid. Pankreatitis akut

dapat timbul dan menjadi parah akibat SLE aktif atau akibat terapi

glukokortikoid dan azatioprin. Peningkatan kadar amilase dapat

mencerminkan pankreatitis, peradangan kelenjar liur, atau

makroamilasemia.

Hepatomegali juga merupakan pembesaran organ yang dapat dijumpai

pada pasien SLE, disertai peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun

fosfatase alkali dan LDH.

6. Manifestasi Neuropsikiatri

Keterlibatan susunan saraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsi,

hemiparesis, lesi saraf kranial, lesi batang otak, meningitis aseptik atau

myelitis transversal.

Pembuktian adanya keterlibatan saraf pusat tidak terlalu banyak membantu

proses penegakkan diagnosis SLE. Dapat dijumpai kelainan EEG namun

tidak spesifik pada cairan serebrospinal dapat ditemukan kmpleks imun,

kadar C4 rendah, peningkatan IgG, IgA dan atau IgM, peningkatan jumlah

sel, peningkatan kadar protein atau penurunan kadar glukosa.

7. Manifestasi Hemi-limfatik

Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering dijumpai pada

penderita SLE. Kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah

aksila dan servikal, dengan karakteristik tidak nyeri tekan, lunak dan

23
ukuran bervariasi sampai 3-4 cm. Organ limfoid lain yang sering dijumpai

pula pada penderita SLE adalah splenomegali yang biasanya disertai oleh

pembesaran hati. Kerusakan lien berupa infark atau berkaitan dengan

adanya lupus antikoagulan.

8. Hematologi

Anemia pada penyakit kronik terjadi pada sebagian pasien saat lupusnya

aktif. Pada sebagian pasien yang uji Coombsnya positif terjadi hemolisis.

Hemolisis ini biasanya berespon terhadap glukokortikoid dosis tinggi.

Leukopenia sering ditemukan tetapi jarang menyebabkan infeksi rekuren

dan tidak memerluka terapi. Trombositopeni ringan sering terjadi,

trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada 5% dan

harus di terapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka

pendek dapat dicapai dengan pemberian globulin gamma intravena. Bila

hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar yang memuaskan dalam 2

minggu, harus dipertimbangkan splenektomi.

3.6 Diagnosis

Diagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dn laboratorium.

Kriteria diagnostik SLE tahun 1997 dari American College of Rheumatology.

Kriteria Definisi

1. Ruam malar Eritema menetap, rata atau meninggi, di atas eminensia malar,
yang cenderung mengenai lipatan nasolabial

2. Ruam diskoid Makula eritematosa yang meninggi dengan skala keratotik


adheren dan sumbatan folikel (jaringan parut atrofik dapat
terjadi pada lesi lama)

3. Fotosensitif Ruam kulit akibat reaksi sinar matahari yang tidak biasa,
berdasarkan anamnesis pasien atau pengamatan dokter

24
4. Ulserasi oral Ulserasi oral atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, yang
diamati oleh dokter

5. Radang sendi Arthritis non-erosive yang melibatkan ≥2 sendi perifer, yang


ditandai oleh nyeri, bengkak, atau efusi

6. Serositis (A) Pleuritis: Pastikan riwayat berhubunga dengan nyeri


pleuritik atau bunyi menggosok oleh dokter atau adanya bukti
efusi pleura
ATAU

(B) Perikarditis: Terdokumentasi dari EKG atau bunyi


menggosok atau bukti efusi perikardial

7. Gangguan ginjal (A) Persistent proteinuria >0,5 g/hari atau >3+ jika tidak
dilakukan kuantisasi
ATAU

(B) Cellular cast: Mungkin sel darah merah, hemoglobin,


granular, tubular, atau campuran

8. Gangguan saraf (A) Kejang: Tanpa adanya konsumsi obat-obatan atau


kekacauan metabolik misalnya, uremia, ketoasidosis, dan
ketidakseimbangan elektrolit
ATAU

(B) Psikosis: Tanpa adanya konsumsi obat-obatan atau


kekacauan metabolik misalnya, uremia, ketoasidosis, dan
ketidakseimbangan elektrolit

9. Gangguan darah (A) Hemolytic anemia: Dengan retikulositosis


ATAU

(B) Leukopenia: <4000/mm3 pada ≥ 2 kali pemeriksaan


ATAU

(C) Limfopenia: <1500/mm3 pada ≥ 2 kali pemeriksaan


ATAU

(D) Trombositopenia: <100.000/mm3 tanpa adanya obat-


obatan

10. Gangguan (A) Anti-DNA: Antibodi untuk DNA asli dalam titer abnormal
imun ATAU

(B) Anti-Sm: Adanya antibodi terhadap antigen Sm nuklear


ATAU

(C) Temuan positif antibodi antifosfolipid berdasarkan: (1)


tingkat IgG serum abnormal atau antibodi IgM anticardiolipin,
25
(2) hasil tes positif untuk antikoagulan lupus dengan
menggunakan metode standar, atau (3) sero-positif palsu untuk
tes sifilis positif paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan imobilisasi Treponema pallidum atau tes penyerapan
fluorensens terhadap antibodi treponemal

11. Ab antinuklear Suatu titer antibodi antinuclear yang abnormal berdasarkan


pemeriksaan immunofluorescence pada setiap titik waktu dan
tidak ada obat yang diketahui terkait dengan sindroma lupus
yang diinduksi obat

Seseorang dapat didiagnosis dengan SLE jika ada 4 atau lebih dari 11 kriteria di
atas, secara serial atau bersamaan, selama interval pengamatan.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki

sensitifitas 85% dan spesi•isitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah

satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada

pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES.

Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum

tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.

Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai 2 atau lebih keterlibatan organ

sebagaimana terantum dibawah ini, yaitu :

1. Jender wanita pada usia rentang reproduksi

2. Gejala konstitusional : kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan

penurunan berat badan.

3. Muskuloskeletal : artritis, artralgia, miositis.

4. Kulit : ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, SLE

membranamukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria,

vaskulitis.

5. Ginjal : hematuria proteinuria, sindroma nefrotik.

26
6. Gastrointestinal : mual, muntah, nyeri abdomen.

7. Paru-paru : pleurysi, hipertensi pulmonal, SLEi parenkim paru

8. Jantung : perikarditis, endokarditis, miokarditis.

9. Retikulo-endotel : organomegali (limfadenopati, splenomegali,

hepatomegali).

10. Hematologi : anemia, leukopenia, dan trombositopenia.

11. Neuropsikiatri : psikosis, kejang, sindroma otakorganik, mielitis

transversal, neuropati kranial dan perifer.

3.7 Derajad Penyakit SLE 5.10

Penyakit LES dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa

1. Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:

a. Secara klinis tenang

b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa

c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,

susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit. Contoh SLE dengan

manifestasi arthritis.

2. Kriteria SLE Derajat Sedang adalah:

a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)

b. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)

c. Serositis mayor

27
3. Kriteria SLE derajat berat dan dapat membahayakan jiwa:

a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,

tamponade jantung, hipertensi maligna.

b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru,

infark paru, fibrosis interstisial, shrinking lung.

c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.

d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.

e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).

f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,

mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi. 14

g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),

trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,

trombosis vena atau arteri.

28
3.7 Terapi

Alogaritma tatalaksana SLE

Keterangan :
TR : tidak respon
RS : respon sebagian,
RP : respon penuh
OAINS : obat anti inflamasi non steroid,
CYC : siklofosfamid,
NPSLE : neuropsikiatri SLE.
KS : kortikosteroid setara prednison
AZA : azatioprin
MP : metilprednisolon

● Edukasi

Penyuluhan dan intervensi psikososial, membentuk kelompok penderita

yang bertemu secara berkala.

Pada umumnya pasien SLE mengalami fotosensitifitas, sehingga harus

selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari.

Selalu menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang,


29
topi atau payung jika akan berjalan siang hari. Pekerjaan dimana pun harus

selalu dilindungi terhadap sinar matahari dari jendela.

● Terapi konservatif

✓ Artritis, artralgia dan mialgia.

Keluhan yang ringan : analgetik sederhana atau obat antiinflamasi

nonsteroid. Perhatikan efek samping penggunaan obat-obatan yang

diberikan, agar tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek

samping terhadap gastrointestinal, ginjal dan hepar harus diperhatikan,

misalnya dengan memeriksa kadar kreatinin serum secara berkala.

Bila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak memberikan respon

yang baik , dapat mempertimbangkan pemberian obat antimalaria,

misalnya hidroksiklorokuin 400mg/hari. Bila dlam 6 bulan obat ini tidak

memberikan efek yang baik, harus segera distop. Pemberian klorokuin <3

bulan dan hidroklorokuin >6 bulan memerlukan evaluasi oftalmologik,

karena mempunyai efek toksik terhadap retina.

Pada pasien yang tidak menunjukkan respon adekuat terhadap analgetik

atau anti-inlamasi non-steroid dan antimalaria maka dipertimbangkan

pemberian kortikosteroid dosis rendah, dengan dosis tidak lebih kurang

dari 15mg, setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15mg/minggu),

dapat dipertimbangkan untuk mengatasi artritis. Nyeri pada 1 atau 2 sendi

yang menetap pada penderita SLE yang tidak menunjukkan bukti

tambahan peningkatan aktivitas penyakitnya, harus dipikirkan

kemungkinan adanya osteonekrosis, apalagi jika pasien mendapat terapi

kortikosteroid.

30
✓ Lupus kutaneus

Penggunaan suncreen topikal berupa krem, minyak , lotio atau gel yang

mengandung PABA dan esternya, benzonfenon salisilat dan sinamat yang

dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B. Pemilihan preparat topikal harus

diperhatikan, karena glukokortikoid topikal, terutama yang berdifat

diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi, telengaiektasis

dan fragilitas.

Untuk wajah dianjurkan penggunaan preparat steroid lokal berkekuatan

rendah dan tidak diflorinasi, misalnya hidrokortison, sedangkan kulit

badan dan lengan dapat digunakan steroid topikal berkekuatan sedang

misalnya betametason valerat dan triamsinolon asetonid. Untuk lesi-lesi

hipertrofik , misalnya, daerah palmar dan plantar pedis dapat digunakan

steroid topikal berkekuatan tinggi misalnya betametason dipropionat.

Penggunaan krem glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi harus dibatasi

selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang berkekuatan lebih

rendah.

Obat-obat anti malaria sangat baik karena memiliki efek sunblocking ,

antiinflamasi dan imunosupresan.

● Terapi Agregasif

Bila timbul manifestasi SLE yang mengancam nyawa, misalnya vaskulitis,

lupus kutaneus yang berat, poliartritis, poliserositis, miokarditis

pneumonitis lupus, glomerulonefritis (bentuk ploriferatif), anemia

hemolitik, trombositopenia, sindrom otak organik, defek kognitif yang

31
berat , mielopati, neuro perifer dan krisis lupus ( demam tinggi dan

prostrasi) harus segera dimulai pemberian glukokortikoid dosis tinggi.

Prednison 0,5mg/kgBB/hari dapat diberikan pada pasien yang mengalami

gejala minor SLE seperti artritis dan gejala konstitusional. Pada

manifestasi mayor dapat diberikan prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari.

Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15mg/kgBB

selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid

oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan dosis oral prednison 1-1,5

mg/kgBB/hari.

Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 250 ml, NaCl 0,9%

selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah

pemberian obat. Siklofosfamid diindkasikan untuk :

1. Penderita SLE yang membutuhkan steroid dosis tinggi

2. Penderita SLE yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi

3. penderita SLE kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama

atau berulang.

4. Glomerulonefritis difus awal

5. SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid

6. penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum

tanpa adanya faktor-faktor ekstrarenal

7. SLE dengan manifestasi saraf pusat.

Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis

siklofospamid diturunkan sampai sampai 500-750 mg/m2. , jumlah leukosit

harus dipantau. Bila leukosit mencapai 1500ml, maka dosis berikutnya

32
diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml

menunjukkan dosis harus ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya.

Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian

tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid, dosis

steroid diturunkan secara perlahan dengan memperhatikan aktivitas

lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi nausea dan vomitus, alopesia,

sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan

azoospermia.

Obat sitotoksik lain dan efektifitasnya lebih rendah dari siklofosfamid

adalah azatioprin. Azatioprin merupakan analog purin yang dapat

digunakan sebagai alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3

mg/kgBB/hari diberikan secara per oral. Dapat diberikan 6-12 bulan.

Terapi hormonal yang banyak digunakan adalah danazol, suatu androgen,

yang bermanfaat untuk mengatasi trombositopenia pada SLE dengan dosis

300-400 mg/kgBB/hari, diberi selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis

pemeliharaan setiap bulan untuk mencegah kekambuhan. Kontraindikasi

:defisiensi IgA.

● Penatalaksanaan Keadaan Khusus

✓ Trombosis pada SLE

Trombosis sering kali merupakan manifestasi dari SLE dan sering

berhubungan dengan adanya antibodi antifodfolipid. Dalam

keadaan ini antikoagulan merupakan obat pilihan untuk

mengatasinya, misalnya warfarin dan mempertahankan nilai INR (

International Normalization Ratio) 3-3,5. Hal terutama sangat

33
penting untuk arteri karotis interna. Antikoagulan lupus, biasanya

mempunyai respon yang baik terhadap glukokortikoid dosis tinggi,

sedangkan antibodi antikardiolipin sangat resisten baik terhadap

glukokortikoid dosis tinggi maupun imunosupresan lain.

✓ Abortus berulang pada SLE

Untuk menekan aktifitas SLE, glukokortikoid cukup aman dan

tidak mempengaruhi janin, kecuali betametason dan dexametason

karena dapat mencapai janin dalam bentuk yang aktif. Pada

penderita dengan antifosfolipid yang belum pernah mengalami

abortus, dapat dipertimbangkan untuk tidak memberikan terapi

apapun.

✓ Trombositopeni

Pada pasien SLE yang mengalami trombositopenia, harus

dievaluasi kemungkinan penyebab trombositopenianya. Berikan

prednison 0,5-1 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu, bila jumlah

trombosit <50.000/ml, kemudian dosis diturunkan secara bertahap.

Target terapi ini adalah jumlah trombosit >50.000/ml. Bila

prednison tidak memberikan efek perbaikan, dapat

dipertimbangkan pemberian danazol 400-800 mg/hari,

imunoglobulin atau splenektomi.

✓ Lupus Nefritis1,9

Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada pasien dengan LES.

Lebih dari 70% pasien LES mengalami keterlibatan ginjal sepanjang perjalanan

penyakitnya. Lupus nefritis memerlukan perhatian khusus agar tidak terjadi


34
perburukan dari fungsi ginjal yang akan berakhir dengan transplantasi atau cuci

darah.

Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontra indikasi, maka

seyogyanya biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis, evaluasi

aktivitas penyakit, klasifikasi kelainan histopatologik ginjal, dan menentukan

prognosis dan terapi yang tepat. Klasifikasi kriteria World Health Organization

(WHO) untuk lupus nefritis sudah diperbaharui oleh International Society of

Nephrolog dan Renal Pathology Society (ISN/RPS) tahun 2003 Klasfikasi WHO

dinilai berdasarkan pola histologi dan lokasi dari imun kompleks, sementara klasi

ikasi ISN/RPS juga membagi menjadi lesi fokal, difus, aktif, tidak aktif, dan

kronis.

Klasifikasi lupus nefritis


International Society of Nephrology/Renal Pathology Society 2003
(ISN/RPS)12 Kelas I Minimal mesangial lupus nefritis
Kelas II Mesangial proliferative lupus nefritis
Kelas III Fokal lupus nefritis
III(A) : Lesi aktif : fokal proliferatif lupus nefritis
III (A/C) : Lesi aktif dan kronis : fokal proliferatif dan sklerosing lupus
nefritis
III (C) : Lesi kronis tidak aktif dengan skar
Kelas IV Difuse lupus nefritis
IV-S(A) : Lesi aktif : difus segmental proliferatif lupus nefritis
IV-G(A) : Lesi aktif: difus global prolifertif lupus nefritis
IV-S (A/C) : Lesi aktif dan kronis
IV-G (A/C) : Lesi aktif dan kronis
IV-S (C) : Lesi kronis tidak aktif dengan skar
IV-G (C) : Lesi kronis tidak aktif dengan skar
Kelas V Membranous lupus nefritis
Kelas VI Advanced sklerotik lupus nefritis

Pemeriksaan penepis lupus nefritis penting dilakukan karena gejala sering

tidak diketahui oleh pasien, misalnya terdapat hematuria, proteinuria atau

hipertensi. Pemeriksaan penepis dan pemantauan lupus nephritis tersebut adalah

35
pemeriksaan urin analisis, proteinuria, serum kreatinin, serologi anti dsDNA dan

C3.

36
Terdapat beberapa variabel klinis yang dapat mempengaruhi prognosis.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil akhir buruk tersebut adalah ras

hitam, azotemia, anemia, sindroma antiphospholipid, gagal terhadap terapi

imunosupresi awal, kambuh dengan fungsi ginjal yang memburuk. Tatalaksana

Lupus Nefritis9

a. Semua pasien lupus nefritis seyogyanya menjalani biopsi ginjal bila tidak

terdapat kontra indikasi (trombositopeni berat, reaksi penolakan terhadap

komponen darah, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi) dan tersedianya

dokter ahli dibidang biopsi ginjal, oleh karena terapi akan sangat berbeda pada

kelas histopatologi yang berbeda. Pengulangan biopsi ginjal diperlukan pada

pasien dengan perubahan gambar klinis dimana terapi tambahan agresif

diperlukan.

b. Pemantauan aktivitas ginjal melalui pemeriksaan urin rutin terutama sedimen,

kadar kreatinin, tekanan darah, albumin serum, C3 komplemen, anti-ds DNA,

proteinuria dan bersihan kreatinin. Monitor tergantung situasi klinis. Pada

penyakit rapidly progressive glomerulonephritis diperlukan pemeriksaan

kreatinin serum harian, untuk parameter lain diperlukan waktu 1 sampai 2

minggu untuk berubah.

c. Obati hipertensi seagresif mungkin. Target tekanan darah pada pasien dengan

riwayat glomerulonefritis adalah < 120/80 mmHg. Beberapa obat antihipertensi

banyak digunakan untuk pasien lupus, tetapi pemilihan angiotensin-converting

enzim (ACE) inhibitor lebih diutamakan terutama untuk pasien dengan

proteinuria menetap. Pemberian ACE inhibitor saja atau dengan kombinasi.

Diet rendah garam direkomendasikan pada seluruh pasien hipertensi dengan


37
lupus nefritis aktif. Bila diperlukan loop diuretik dipakai untuk mengurangi

edema dan mengontrol hipertensi dengan monitor elektrolit yang baik.

d. Hiperkolesterolemia harus dikontrol untuk mengurangi risiko prematur

aterosklerosis dan mencegah penurunan fungsi ginjal. Asupan lemak juga

harus dikurangi bila terdapat hiperlipidemia atau pasien nefrotik. Target

terapi menurut Guidelines American Heart Association (AHA) adalah

kolesterol serum < 180 mg/dL, risiko kardiovaskular pada pasien dengan LES

masih meningkat pada kolesterol serum 200 mg/dL. Pasien lupus dengan

hiperlipidemia yang menetap diobati dengan obat penurun lemak seperti

HMG Co-A reductase inhibitors.

e. Deteksi dini dan terapi agresif terhadap infeksi pada pasien lupus, karena

infeksi merupakan penyebab 20% kematian pada pasien LES

f. Pasien lupus yang mendapat kortikosteroid, diperlukan penilaian risiko

osteoporosis. Pemberian kalsium bila memakai kortikosteroid dalam dosis

lebih dari 7,5 mg/hari dan diberikan dalam jangka panjang (lebih dari 3 bulan).

Suplemen vitamin D, latihan pembebanan yang ditoleransi, obat-obatan seperti

calcitonin bila terdapat gangguan ginjal, bisfosfonat (kecuali terdapat

kontraindikasi) atau rekombinan PTH perlu diberikan.

g. Memonitor toksisitas kortikosteroid, dan agen sitotoksik dengan parameter

berikut : tekanan darah, pemeriksaan darah lengkap, trombosit, kalium, gula

darah, kolesterol, fungsi hati, berat badan, kekuatan otot, fungsi gonad, dan

densitas massa tulang. Hal ini dimonitor sesuai dengan situasi klinis dimana

dapat diperkirakan dampak buruk dari kortokosteroid.

38
h. Pasien dianjurkan untuk menghindari obat anti inflamasi non steroid, karena

dapat mengganggu fungsi ginjal, mencetuskan edema dan hipertensi serta

meningkatkan risiko toksisitas gastrointestinal (apalagi bila dikombinasi

dengan kortikosteroid dan obat imunosupresan lainnya). Bila sangat

diperlukan, maka diberikan dengan dosis rendah dan dalam waktu singkat,

dengan pemantauan yang ketat.

i. Kehamilan pada pasien lupus nefritis aktif harus ditunda mengingat risiko

morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin, termasuk kejadian gagal ginjal

juga meningkat.

✓ Neuropsikiatri Lupus Eritematosus (NPSLE) 4,9,10

Manifestasi klinis NPSLE sangat beragam mulai dari disfungsi saraf pusat sampai

saraf tepi dan dari gejala kognitif ringan sampai kepada manifestasi neurologik dan

psikiatrik yang berat seperti stroke dan psikosis.

Sindrom neuropsikiatrik pada SLE menurut ACR (American Chollege of Rheumatologi)


Tabel 4. Sistem saraf pusat Sistem saraf perifer
Acute confusional state Polineuropati
Disfungsi kognitif pleksopati
psikosis Mononeuropati (tunggal/ multi pleks)
Gangguan mood Sindrom guillain-Barre
Gangguan cemas Gangguan otonom
Nyeri kepala (termasuk migrain dan Mistenia gravis
hipertensi intrakranial ringan)
Penyakit serebrovaskular
Mielopati
Gangguan gerak
Sindrom demielinisasi
Kejang
Meningitis aseptik
Neuropati kranial

39
3.8 Prognosis

Prognosis untuk SLE bervariasi dan bergantung pada keparahan gejala,

organ-organ yang terlibat, dan lama waktu remisi. SLE tidak dapat disembuhkan,

penatalaksaan ditujukan untuk mengatasi gejala prognosis berkaitan dengan

sejauh mana gejal-gejala dapat diatasi.3,5

40
BAB IV
KESIMPULAN

Systemik Lupus Erytematosus (SLE) yaitu penyakit jaringan ikat

autoimun yang diperantarai oleh autoantibodi dan kompleks imun dengan

menimbulkan inflamasi dan cedera terutama pada persendian, kulit, darah dan

organ-organ internal. Ratio wanita dan perempuan yang mengalami penyakit ini

9-14:1 .

Penyakit lupus ditandai oleh interaksi yang simultan dan sekuensial yang

melibatkan :

- Sel-sel T, sel-sel B dan antigen-presenting cells

- Sitokin

- (Auto) antibodi

- (Auto) antigen

- Kompleks imun

- Komplemen

Lupus Eritematosus Sistemik merupakan saalah satu penyakit yang tidak

mudah didiagnosa dikarenakan banyaknya variasi dari manifestasi klinis yang

ditimbulkannya. Dalam melakukan penegakan diagnosa LES dibutuhkan adanya

pengamatan klinis yang baik serta pemeriksaan Antibodi Antinuklear (ANA),

yang keduanya harus menunjukan hasil yang positif.

Penatalaksanaan pada LES dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non

farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non farmakologis diantaranya

edukasi dan program rehabilitasi, sedangkan terapi farmakologis meliputi terapi

konservatif dan terapi agresif.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Alwi, I. et al 2014. ‘Imunopatogenesis Lupus Eritematosus Sistemik’,


dalam: Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi VI , Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-UI, Jakarta.

2. Kendall,K, 2013. Muskulusekeletal. Tangerang Selatan: Karisma


Publishing Group.

3. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS.2006. Epidemiology of systemic


lupus rythematosus: a comparison of worldwide disease burden

4. Carter, MA.,2006. Patofisiologi. Volume 2. Jilid 6. Jakarta : EGC

5. Rosani, S dan Isbagio H., 2014. Kapita Selekta. Jilid II. Edisi IV.
Jakarta : Media Aesculapius.

6. Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus


page. J Clin Pathol; 481-490.

7. D’Cruz D, Espinoza G, Cervera R. 2010. Systemic lupus


erythematosus: pathogenesis, clinical manifestations, and diagnosis

8. Hanh B., 2014. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.


Volume 4. Jilid 13. Yogyakarta : EGC.

9. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. Diagnosis dan


Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta

10. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic


lupus erythematosus guidelines .

42

Anda mungkin juga menyukai