Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PEGADAIAN SYARIAH
“Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas kelompok dalam mata kuliah
Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Non Bank”
Dosen Pengampu
Nur Hidayah Al-Amin, M. E.SY.
Disusun Oleh:
MANAJEMEN BISNIS SYARIAH 4C
1. WAHYU SAPUTRA (185211087)
2. SANDY ANJAR PUSPITA L. (185211088)
3. CHERILA NOVA CRISTALIA (185211104)
4. EVI NUR AINI (185211110)
5. ADELIA CHANDRA PUSPITA (185211112)
6. ALVIYAN ANGGI FALANTANA (185211117)
1
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah bank dan
lembaga keuangan non bank ini tentang pegadaian syariah.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah makalah bank dan lembaga keuangan non
bank tentang pegadaian syariah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap
pembaca.
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak di Indonesia, tidak
terkecuali pegadaian. Perum pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah yang
disebut dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah
memliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena
riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang
diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau
bagi hasil.
Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam mengoperasiaannya
menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau mudharabah (bagi hasil). Karena
nasabah dalam mempergunakan marhum bih (UP) mempunyai tujuan yang berbeda-
beda misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah, atau tambahan modal kerja,
penggunaan metode mudharabah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya,
pegadaian menggunakan metode Fee Based Income (FBI).
B. Rumusan Masalah
1) Apa itu gadai dan pegadaian syariah?
2) Bagaimana sejarah pegadaian?
3) Apa dasar hukum gadai dan pegadaian syariah?
4) Apa tujuan dan fungsi pegadaian syariah?
5) Apa tugas pokok dan manfaat pegadaian?
6) Bagaimana struktur oorganisasi pegadaian syariah?
7) Apa kegiatan usaha pegadaian?
8) Apa barang jaminan gadai syariah?
9) Dari mana pendanaan pegadaian?
10) Akad apa yang digunakan pegadaian syariah?
11) Bagaimana berakhirnya hak gadai syariah?
C. Tujuan Penulisan
1) Untuk memenuhi tugas perkuliahan dan bahan diskusi.
2) Untuk mengetahui konsep dan fungsi kebijakan fiskal dalam ekonomi syariah.
3) Untuk lebih memahami tentang permasalahan tersebut dan hal-hal yang berkaitan
dengannya.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
A. Pengertian Gadai Syariah (Rahn)
Dalam fiqh muamalah dikenal dengan kata pinjaman dengan jaminan yang
disebut ar-rahn, yaitu menyimpan suatu barang sebagai tanggungan utang. Ar-Rahn
(gadai) menurut bahasa berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan.
Secara etimologi, rahn berarti tetap dan lama yakni tetap atau berarti
pengekangan dan keharusan, sedangkan menurut terminologi, rahn artinya penahanan
terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari
barang tersebut.
Menurut istilah syara’ ar-rahn terdapat beberapa pengertian diantaranya:
1. Gadai adalah akad perjanjian pinjam meminjam dengan menyerahkan barang
sebagai tanggungan utang.
2. Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan
dalam utang piutang.
3. Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin
diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.
Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong menolong
dan tidak untuk mencari keuntungan. Dalam hukum Islam tidak dikenal “bunga uang”,
dengan demikian dalam transaksi rahn (gadai syariah) pemberi gadai tidak dikenakan
tambahan pembayaran atas pinjaman yang diterimanya. Namun demikian masih
dimungkinkan bagi penerima gadai untuk memperoleh imbalan berupa sewa tempat
penyimpanan marhun (barang jaminan/agunan).
Dengan demikian, ar-rahn (gadai) merupakan suatu akad utang piutang dengan
menjadikan barang yang memiliki nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai
jaminan marhun bih, sehingga rahin (penggadai) boleh mengambil marhun bih.
(Sutedi, Adrian. 2011. Hukum Gadai Syariah. Bandung: Alfabeta)
Pegadaian syariah merupakan sebuah lembaga gadai yang dalam menjalankan
operasionalnya berpegang kepada prinsip syariah. Konsep operasi pegadaian syariah
mengacu pada sistem administrasi modern yaitu asas rasionalitas, efisiensi, dan
efektivitas yang diselaraskan dengan nilai Islam.
Mekanisme operasional pegadaian syariah melalui akad rahn, nasabah
menyerahkan barang bergerak dan kemudian pegadaian menyimpan dan merawatnya di
tempat yang telah disediakan oleh pegadaian. Akibat yang timbul dari prroses
penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat
penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini
6
dibenarkan bagi pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang
disepakati oleh kedua belah pihak. Pegadaian syariah akan memperoleh keuntungan
hanya dari biaya sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa
modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.
Secara umum, perbandingan gadai syariah dengan gadai konvensional dapat
dilihat pada tabel berikut:
B. Sejarah Pegadaian
a) Sejarah Pegadaian Konvensional
Pegadaian atau pawn shop merupakan lembaga perkreditan dengan sistem
gadai. Lembaga semacam ini pada awalnya berkembang di Italia yang kemudian
di praktekan di wilayah-wilayah Eropa lainnya. Sistem gadai mulai memasuki
7
Indonesia dibawa dan dikembangkan oleh orang Belanda (VOC) yaitu sekitar
abad ke-19. (Sutedi, 2011)
Sejarah pegadaian dimulai pada abad XVII, ketika Vereenigde Oos
Compagine (VOC) suatu maskapai perdagangan dari Belanda, datang ke
Indonesia dengan tujuan berdagang. Dalam memperlancar kegiatan
perekonomiannya VOC mendirikan bank dan leening yaitu lembaga kredit, yang
memberikan kredit dengan sistem gadai. Bank Leening didirikan pertama di
Batavia pada tanggal 20 Agustus 1746 berdasarkan keputusan Gubernur Jenderak
Van Imhoff. (Sutedi, 2011)
Ketika Inggris mengambil alih kekuasaan Indonesia dari tangan Belanda
(1811-1816), Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles memutuskan untuk
membubarkan Bank leening milik Belanda dan mengeluarkan peraturan yang
menyatakan bahwa setiap orang boleh mendirikan Usaha Pegadaian dengan ijin
dari pemerintah daerah setempat (licentie stelsel). Dari penjualan lisensi ini
pemerintah mendapatkan tambahan pendapatan. Namun metode tersebut
berdampak buruk bagi pemegang lisensi yang menjalankan praktik renternir atau
lintah darat, yang dirasakan kurang menguntungkan pemerintah Inggris. Maka
dari itu metode licentie stelsel diganti dengan patch stelsel yakni pendirian
pegadaian diberikan kepada umum yang mampu membayarkan pajak yang tinggi
kepada pemerintah. (Sutedi, 2011)
Kemudian pada saat Belanda berkuasa kembali di Indonesia, menerapkan
sistem cultur stelsel dimana dalam kajian ini tentang pegadaian saran yang
dikemukakan adalah sebaiknya kegiatan pegadaian ditangani sendiri oleh
pemeritah agar dapat memberikan perlindungan dan manfaat yang lebih besar bagi
masyarakat. Berdasarakan penelitian oleh lembaga penelitian yang dipimpin oleh
De Wilf Van Westerrode pada tahun 1900 yang hasilnya sesuai dengan
pernyataan diatas, maka kemudian pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan
Staatsblad (stbl) 1901 No. 131 tanggal 12 Maret 1901 yang mengatur bahwa
usaha pegadaian merupakan monopoli pemerintah dan pada tanggal 1 April 1901
didirikan Pegadaian Negara pertama di Sukabumi, Jawa Barat. Selanjutnya setiap
tanggal 1 April diperingati sebagai hari ulang tahun Pegadaian. (Sutedi, 2011)
Pada waktu bangsa Jepang menduduki Indonesia, yaitu mulai tanggal 8 Maret
1942, Pemerintah Jepang melalui bala tentara Dai Nippon, memutuskan agar
barang-barang jaminan perhiasan emas, permata, tidak dilelangkan dan diambil
8
oleh Jepang. Pada tahun 1942 Gedung Kantor Pusat Jawatan Pegadaian di Jakarta
di Jalan Kramat Raya 162, dijadikan tempat tawanan perang dan kantor pusat
JawatanPegadaian dipindahkan ke jalan Kramat Raya No. 132. Tidak banyak
perubahan yang terjadi pada masa pemerintahan Jepang baik dari sisi kebijakan
maupun struktur organisasi Jawatan Pegadaian. Jawatan Pegadaian dalam bahasa
Jepang ‘Sitji Eigeikyuku’, pimpinan Jawatan Pegadaian dipegang oleh orang
Jepang yang bernama Ohno-San dengan wakilnya orang pribumi yang bernama
M. Saubari. (Sutedi, 2011)
Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia kantor Jawatan Pegadaian sempat
pindah ke Karanganyar, Kebumen. Karena situasi perang kian terus memanas.
Agresi militer Belanda yang kedua memaksa kantor Jawatan Pegadaian dipindah
lagi ke Magelang. Pasca perang kemerdekaan, kantor Jawatan Pegadaian kembali
lagi ke Jakarta dan pegadaian kembali dikelola oleh pemerintah Republik
Indonesia. Dalam masa ini pegadaian sudah beberapa kali berubah status, yaitu
sebagai Perusahaan Negara (PN) sejak 1 Januari 1961 kemudian berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 menjadi Perusahaan Jawatan
(PERJAN), selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1990
(diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000) berubah lagi
menjadi Perusahaan Umum (PERUM). Kemudian pada 2011, perubahan status
kembali terjadi yakni dari Perum menjadi Perseroan yang telah ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah (PP) No. 51/2011 yang ditandatangani pada tanggal 13
Desember 2011. Namun perubahan tersebut efektf setelah anggaran dasar
diserahkan ke pejabat berwenang yaitu pada 1 April 2012. (Sutedi, 2011)
b) Sejarah Pegadaian Syariah
Pekembangan lembaga-lembaga ekonomi Islam semakin marak pada akhir
dasawarsa abad 20 ini. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang
No 7 tahun 1992 dan penyempurnaannya menjadi UU No. 10 tahun 1992 tentang
pokok-pokok perbankan beserta semua ketentuan pelaksanaannya baik berupa
Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, maupun Surat Edaran Bank
Indonesia. (Sutedi, 2011)
Pemerintah telah memberi peluang berdirinya lembaga keuangan syariah yang
beroperasi berdasarkan sistem bagi hasil. Kondisi ini telah dimanfaatkan sebaik-
baiknya oleh umat Islam dengan berdirinya perbankan Islam yang diberi nama
Bank Muamalah Indonesia (BMI) pada bulan Mei 1992 dan menjamurnya Bank
9
Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah, kemudian disusul dengan asuransi yang
berdasarkan syariat Islam atau takaful. (Sutedi, 2011)
Berkembangnya perbankan dan lembaga keungan syariah, merupakan peluang
pasar baru bagi pegadaian yang masih menggunakan sistem konvensional, yaitu
sistem bunga. Perum pegadaian yang merupakan lembaga keuangan non bank
sekitar tahun 2000 mengadakan studi banding ke Malaysia, untuk mempelajari
kemungkinan berdirinya lembaga gadai syariah di Indonesia, di Malaysia nama
lembaga tersebut adalah Ar-Rahmu, beroperasi sudah lama dan milik pemerintah.
(Sutedi, 2011)
Pegadaian syariah merupakan salah satu unit layanan syariah yang
dilaksanakan oleh Perum Pegadaian. Berdirinya unit layanan syariah ini
didasarkan atas perjanjian Musyarakah dengan sistem bagi hasil antara Perum
Pegadaian dengan Bank Muamalah Indonesia untuk melayanai nasabah Bank
Muamalat Indonesia maupun nasabah Perum Pegadaian yang ingin memanfaatkan
jasa dengan menggunakan prinsip syariah. Dalam perjanjian musyarkah ini, BMI
yang memberikan modal bagi berdirinya pegadaian syariah, karena untuk
mendirikan lembaga keuangan syariah modalnya juga harus diperoleh dengan
prinsip syariah pula. Sedangkan Perum Pegadaian yang menjalankan
operasionalnya, dan penyedia sumber daya manusianya dengan pertimbangan
pengalaman Perum Pegadaian dalam pelayanan jasa gadai. Perjanjian antara BMI
dan Perum Pegadaian tentang Gadai Syariah disepakati pada tanggal 20
Desember 2002, dengan nomor 446/SP300.233/2002 dan
015/BMI/PKS/XII/2002. (Sutedi, 2011)
Bank syariah selain mem-back-up dana juga memfasilitasi ke Dewan Syariah
yang mengawasi operasional apakah sesuai dengan prinsip syariah atau tidak.
Gadai syariah atau unit layanan gadai syariah untuk pertama kalinya didirikan di
Jakarta tanggal 1 Januari 2003, kemudian kota Jogjakarta, Semarang, Solo,
Bandung, Padang, Denpasar, Balikpapan, Medan dan kota-kota besar lainnya.
(Sutedi, 2011)
C. Dasar Hukum Gadai dan Pegadaian Syariah
Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syariah adalah ayat-ayat Alquran, hadits
Nabi Muhammad saw, ijma ulama, dan Fatma MUI. hal dimaksud diungkapkan
sebagai berikut:
1. Al-Quran
10
Surat al-baqarah ayat 283 yang digunakan sebagai dasar dalam membangun atau
konsep gadai adalah sebagai berikut:
11
Fungsi barang gadai atau marhun pada ayat di atas adalah untuk menjaga
kepercayaan masing-masing pihak, sehingga penerima gadai atau murtahin
meyakini bahwa pemberi gadai beritikad baik untuk mengembalikanpinjamannya
dengan cara menggadaikan barang atau benda yang dimilikinya, serta tidak
melalaikan jangka waktu pengembalian utang itu.
Sekalipun Ayat tersebut, secara literal mengindikasikan bahwa rahn dilakukan
oleh seseorang ketika dalam keadaan musafir titik Hal ini bukan berarti dilarang
bila dilakukan oleh orang yang menetap atau bermukim. sebab keadaan musafir
ataupun menetap bukanlah merupakan suatu persyaratan keabsahan transaksi
rahn. apalagi terdapat sebuah hadits yang mengisahkan bahwa Rasulullah
menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi untuk mendapatkan makanan
bagi keluarganya pada saat beliau tidak melakukan perjalanan. (Soemitra, 2009)
2. Hadits Nabi Muhammad SAW
Dasar hukum yang kedua untuk dijadikan rujukan dalam membuat rumusan gadai
syariah adalah hadits Nabi Muhammad SAW yang antara lain diungkapkan
sebagai berikut :
Hadits Aisyah ra,yang diriwayatkan oleh imam muslim“sesungguhnya nabi
Shallallahu'alaihi Wasallam membeli bahan makanan dari seorang Yahudi
dengan cara berhutang dan beliau menggadaikan baju besinya” ( hadits
riwayat Al Bukhari nomor 25 13 dan Muslim nomor 1603)
Hadits dari Anas bin Malik Ra yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang
berbunyi:“telah meriwayatkan kepada kami nashr bin Ali Al jahdhami, aku
telah meriwayatkan kepadaku meriwayatkan kepada kami Hisyam bin qatadah
dari Anas berkata: Sungguh Rasulullah SAW menggadaikan baju besinya
kepada seorang Yahudi di Madinah dan menukarnya dengan gandum untuk
keluarganya”.( HR. Ibnu Majah)
Hadits Dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, yang
berbunyi“telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin muqatil,
mengabarkan kepada kami Abdullah bin Mubarak, mengabarkan kepada kami
Zakaria dari Syabi Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
kendaraan dapat digunakan dan hewan ternak dapat pula diambil manfaatnya
apabila digadaikan titik penggadai wajib memberikan nafkah dan penerima
gadai boleh mendapatkan manfaatnya”.( HR Al Bukhari)
12
Hadits riwayat Abu Hurairah Ra yang berbunyi“barang gadai tidak boleh
disembunyikan dari pemilik yang menggadaikan, baginya risiko dan
hasilnya”.( HR. As Syafi'i dan ad daruquthni)
Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Apabila ada ternak
digadaikan punggungnya boleh dinaiki oleh orang yang menerima gadai
karena ia telah mengeluarkan biaya untuk menjaganya. apabila ternak itu
digadaikan, air susunya yang deras boleh diminum oleh orang yang menerima
gadai karena ia telah mengeluarkan biaya. kepada orang yang naik dan minum
ia harus mengeluarkan biaya perawatannya”.( HR. jamaah kecuali muslim dan
Nasa'i)
Dalam hadits lain dari Abu Hurairah ra Nabi SAW bersabda“tidak hilang
suatu gadaian dari pemiliknya, keuntungannya dan kerugiannya juga buat dia
atau pemiliknya.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan berasal dari Ibnu Abbas RA dinyatakan
bahwa“Ketika Nabi SAW wafat baju besinya masih dalam keadaan menjadi
tanggungan utang 20 sha’ atau au 50 kg bahan makanan yang dibelinya
untuk nafkah keluarganya”.( HR. Tirmidzi).
3. Ijma Ulama
Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksud
Berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad SAW yang menggadaikan baju besinya
untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. para ulama juga mengambil
indikasi dari contoh Nabi Muhammad tersebut, ketika Beliau beralih dari yang
biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seorang Yahudi
bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi Muhammad SAW yang tidak mau
memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga
yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada mereka. (Soemitra, 2009)
4. Ijtihad Ulama
Perjanjian gadai yang diajarkan dalam al-quran dan al-hadits itu dalam
pengembangannya selanjutnya dilakukan oleh para fuqoha dengan jalan ijtihad,
dengan kesepakatan para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama tidak
pernah mempertentangkan kebolehannya demikian juga dengan landasan
hukumnya. Namun demikian perlu dilakukan pengkajian ulang yang lebih
mendalam bagaimana seharusnya Pegadaian menurut lasndasan hukumnya.
13
As Syafi'i mengatakan Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan barang
berkriteria jelas dalam serah terima.jika kriteria tidak berbeda dengan aslinya
maka wajib tidak ada keputusan. mahzab Maliki berpendapat, gadai wajib dengan
akad ( Setelah akad) orang yang menggadaikan dipaksakan untuk menyerahkan
borg ( jaminan) untuk dipegang oleh yang memegang gadaian atau murtahin. jika
jaminan sudah berada di tangan pemegang Pegadaian orang yang menggadaikan
mempunyai hak memanfaatkan, berbeda dengan pendapat Imam Syafi'i yang
mengatakan, hak memanfaatkan berlaku selama tidak merugikan Atau
membahayakan pemegang gadaian. (Soemitra, 2009)
5. Fatwa Dewan Syariah Nasional
Fatwa dewan Syariah nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN- MUI) menjadi
salah satu rujukan yang berkenaan gadai Syariah di antaranya Kemukakan sebagai
berikut:
fatwa dewan Syariah nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 25/ DSN
MUI/III/2002, tentang rahn
Fatwa dewan Syariah nasional 25/ DSN MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002
yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai
jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai
berikut:
I. Ketentuan Umum
1. murtahin mempunyai hak untuk menahan barang jaminan sampai
semua utang rahim dilunas.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. pada prinsipnya
marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali Izin rahin,
dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu
sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.
3. pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi
kewajiban rahin namun dapat dilakukan juga oleh murtahin
sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi
kewajiban rahin.
4. besar biaya administrasi dan Penyimpanan marhun tidak boleh
ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
II. Penjualan Marhun
14
1. apabila jatuh tempo murtahin harus memperingatkan rahin untuk
segera melunasi hutangnya.
2. apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya maka marhun dijual
paksa atau dieksekusi.
3. hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan.
4. kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya
menjadi kewajiban rahin.
III. Ketentuan Penutup
1. Jika satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaian nya
dilakukan melalui badan arbitrase Syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di
kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan
sebagaimana mestinya.
Dewan Syariah nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 25/ DSN
MUI/III/2002 tentang rahn emas, tanggal 14 Muharram 1423 h ( 28 Maret
2002 m) ketentuan pokok dalam Fatma dsni sebagai berikut:
a. Rahn emas dibolehkan berdasarkan prinsip rahn
b. Ongkos dan biaya penyimpanan barang yang ditanggung oleh penggadai
c. Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada
pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan
d. Biaya penyimpanan barang dilakukan berdasarkan akad Ijarah
Fatwa dewan Syariah nasional Majelis Ulama Indonesia nomor
09/DSNMUI/IV/2000 pembiayaan Ijarah 32 ketentuan hukum dan Fatwa DSN
MUI nomor 09/DSNMUI/IV/2000 pembiayaan ijarah ini sebagai berikut:
1. Rukun dan Syarat Ijarah
a. Ijab dan qobul, berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad
baik secara verbal atau dalam bentuk lain
b. Pihak pihak yang berakad terdiri atas pemberi sewa dan penyewa
15
c. Akad ijarah adalah manfaat barang dan sewa atau manfaat jasa dan
upah
2. Ketentuan Objek Ijarah
a. Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan jasa
b. Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan
dalam kontrak
D. Tujuan Pegadaian Syariah
Pegadaian Syariah sebagai lembaga keuangan syariah non bank yang
berdiri di tengah-tengah masyarakat diharapkan mampu menyelesaikan segala
jenis masalah yang muncul dalam masyarakat tersebut terutama masalah ekonomi.
Adapun tujuan berdirinya Pegadaian syariah adalah:
1. Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah
kebawah melalui penyediaan dan atas dasar hokum gadai dan jasa di bidang
ekonomi lainnya berdasarkan ketentuan perundang-undangan lainnya.
2. Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap ijon praktik riba dan pinjaman
tidak wajar lainnya. Pegadaian Syariah juga memegang nilai-nilai prinsip dasar
dalam pengelolaan usaha yaitu kejujuran keadilan dan kesesuaian dengan
syariah. (Sutedi,2011)
3. Pemanfaatan gadai bebas bunga padagadai Syariah memiliki efek jarring
pengaman sosial karena masyarakat yang butuh dana mendesak tidak lagi di
jerat pinjaman atau pembiayaan berbasis bunga
4. Membantu orang-orang yang membutuhkan pinjaman dengan syarat mudah.
(Soemitra,2009)
E. Fungsi Pegadaian Syariah
Sebagai lembaga keuangan non bank milik pemerintah yang berhak
memberikan pinjaman kredit kepada masyarakat atas dasar hokum gadai yang
bertujuan agar masyarakat tidak dirugikan oleh lembaga keuangan non bank
formal yang cenderung memanfaatkan kebutuhan dan mendesak dari masyarakat,
maka pada dasarnya lembaga Pegadaian tersebut mempunyai fungsi yaitu:
1. Mengelola penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai dengan cara
mudah cepat aman dan hemat
2. Menciptakan dan mengembangkan usaha-usaha lain yang menguntungkan
bagi Pegadaian maupun masyarakat
3. Mengelola keuangan perlengkapan kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan
16
4. Melakukan penelitian dan pengembangan serta mengawasi pengelolaan
Pegadaian
Untuk dapat menjalankan tugas pokok tersebut, maka unit layanan gadai
Syariah mempunyai fungsi sebagai unit organisasi Perum Pegadaian yang
bertanggung jawab mengelola usaha kredit gadai secara Syariah agar mampu
berkembang menjadi institusi yang mandiri dan menjadi pilihan utama masyarakat
yang membutuhkan pelayanan gadai secara Syariah. Untuk dapat mewujudkan
tercapainya tugas pokok dan fungsi tersebut, maka dibentuk struktur
kepemimpinan dari pusat hingga cabang layanan Syariah. (Sutedi,2011)
F. Tugas Pokok Pegadaian
Unit layanan gadai Syariah dibentuk sebagai unit bisnis yang mandiri
dengan maksud untuk menjawab tantangan kebutuhan masyarakat yang
mengharapkan adanya pelayanan pinjam-meminjam yang bebas dari unsur riba
yang dilarang menurut syariat Islam. Dalam kenyataannya di lapangan, sudah ada
institusi lain yang menjawab tantangan ini dengan mengeluarkan produk gadai
berprinsip Syariah atau rahn.
Dengan demikian tidak ada pilihan lain bagi Pegadaian, apabila eksisluas
terutama terhadap benda, maka harus mampu menjawab tuntutan kebutuhan pasar
ini. Meningkat menyingkap perkembangan tersebut, maka dibentuklah unit
layanan gadai Syariah sebagai Cikal bakal anak perusahaan yang dikemudian hari
menjadi institusi Layanan Syariah Mandiri yang terpisah dari Pegadaian. Oleh
karena itu, dibentuknya unit layanan gadai Syariah ini adalah untuk mengemban
tugas pokok melayani kegiatan pemberian kredit kepada masyarakat luas atas
penerapan prinsip-prinsip gadai yang dibenarkan secara Syariah Islam.
(Sutedi,2011)
G. Manfaat Pegadaian
1. Bagi nasabah, Tersedianya dana dengan prosedur yang relatif lebih sederhana
dan dalam waktu itu yang lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan atau
kredit perbankan. Disampingitu, nasabah juga mendapat manfaat penaksiran
nilai suatu barang yang bergerak secara profesional. Mendapatkan fasilitas
penitipan barang bergerak yang aman dan dapat dipercaya.
2. Bagi perusahaan Pegadaian:
17
a. Penghasilan yang bersumber dari sewa modal yang dibayarkan oleh
peminjam dana atau gadai konvensional sedangkan bagi gadai Syariah
penghasilan bersumber dari sewa tempat penyimpanan barang gadai.
b. Penghasilan yang bersumber dari ongkos yang dibayarkan oleh nasabah
memperoleh jasa tertentu. Bagi bank syariah yang mengeluarkan produk
gadai Syariah dapat mendapat keuntungan dari pembebanan biaya
administrasi dan biaya sewa tempat penyimpanan emas.
c. Pelaksanaan misi PT Pegadaian sebagai BUMN yang bergerak di bidang
pembiayaan berupa pemberian bantuan kepada masyarakat yang
memerlukan dana dengan prosedur yang relatif sederhana. (soemitra,2009)
H. Struktur Organisasi Pegadaian Syariah
Berdasarkan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 103 tahun
2000, tentang Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian, bahwa “Perum Pegadaian
dipimpin oleh seorang Direktur, yaitu Direktur Operasi dan Pengembangan, Direktur
Keuangan, serta Direktur Umum yang seluruhnya berfungsi sebagai Staf Direktur
Utama. (Sutedi, 2011)
Selanjutnya dalam melaksanakan tugas teknis operasional penyaluran uang
pinjaman kepada masyarakat, dilakukan hubungan struktural teknis operasional
dengan para Pimpinan Wilayah, serta Pimpinan Wilayah melakukan hubungan
struktural teknis operasional dengan para Manajer Kantor Cabang.(Sutedi, 2011)
Sesuai dengan struktural organisasi tersebut, bentuk organisasi Perum
Pegadaian adalah bentuk Line dan Staff dengan tata kerja sebagai berikut :(Sutedi,
2011):
a. Setiap manajer kantor cabang dalam melaksanakan tugas operasionalnya
bertanggung jawab langsung kepada pimpinan wilayah
b. Setiap pimpinan wilayah dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab
langsung kepada direktur utama
c. Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari direktur utama dibantu oleh para
direktur yang berfungsi sebagai staf direktur utama
d. Setiap pimpinan wilayah dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari dibantu
oleh para manajer serta inspektur wilayah yang seluruhnya berfungsi sebagai
staf pimpinan wilayah
e. Setiap manajer kantor cabang dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari
dibantu oleh para asisten manajernya
18
Unit layanan gadai syariah merupakan suatu unit cabang dari Perum
Pegadaian yang berada dibawah binaan divisi usaha lain. Unit ini merupakan unit
bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai secara
konvensional. Dengan adanya pemisahan ini, maka konsekuensinya perlu dibentuk
kantor cabang yang terpisah dan mandiri dari usaha gadai secara konvensional, namun
masih dalam binaan pimpinan wilayah pegadaian sesuai dengan tempat kedudukan
kantor cabang tersebut.(Sutedi, 2011)
Dewan Pengawas Syariah (DPS) yaitu badan independen yang ditempatkan
oleh Dewan Syariah Nasional, yang terdiri dari ahli di bidang fiqih muamalah dan
memiliki pengetahuan dalam bidang perbankan. Adapun persyaratan anggota
ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional, dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari,
DPS wajib mengikuti fatwa Dewan Syariah Nasional yang merupakan otoritas
tertinggi dalam mengeluarkan fatwa produk dan jasa.(Sutedi, 2011)
Fungsi Dewan Pengawas Syariah Nasional antara lain adalah sbb :(Sutedi,
2011)
1. Sebagai penasihat dan pemberi saran kepada direksi unit usaha syariah dan
pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
syariah
2. Sebagai mediator antara bank dan Dewan Syariah Nasional dalam
mengkomunikasikan usul dan saran untuk pengembangan unit usaha syariah
yang diawasinya
3. Sebagai perwakilan Dewan Syariah Nasional yang ditempatkan pada unit
usaha syariah dan wajib melaporkan kegiatan usaha Bagian Gudang
Penaksiran Kasir Keamanan serta perkembangan unit usaha syariah yang
diawasinya ke Dewan Syariah Nasional-MUI
Sedangkan fungsi direksi antara lain adalah sebagai berikut :(Sutedi, 2011)
1. Sebagai penanggung jawab keberhasilan seluruh unit usaha bisnis perusahaan,
baik usaha inti maupun usaha non inti
2. Sebagai penentu kebutuhan strategis sekaligus mengendalikan kegiatan bisnis
agar tercapai tujuan yang telah ditetapkan
Fungsi General Manager usaha lain dalam pembinaan Unit layanan Gadai
Syariah adalah sebagai pengatur kebijakan umum operasional gadai syariah dan
mengintegrasikan kegiatan Unit layanan Gadai Syariah dengan unit bisnis lain
sehingga membentuk sinergi menguntungkan perusahaan.(Sutedi, 2011)
19
Fungsi Pimpinan Wilayah dalam pembinaan Unit layanan Gadai Syariah
adalah bertanggung jawab dari mulai merintis pembukaan kantor maupun penanganan
administrasi keuangan seluruh kantor cabang gadai syariah di wilayah masing-
masing.(Sutedi, 2011)
Fungsi manajer unit layanan gadai syariah pusat adalah :(Sutedi, 2011)
1. Sebagai koordinator teknis pengoperasian unit layanan gadai syariah hingga
sampai pembuatan laporan keuangan unit layanan gadai syariah konsolidasi se
Indonesia
2. Bertanggung jawab terhadap seluruh operasional unit layanan gadai syariah
agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan
dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan maupun rencana jangka panjang
3. Membuat kebijaksanaan serta petunjuk operasional yang wajib ditaati oleh
Pimpinan Cabang Unit layanan Gadai Syariah
Fungsi Manajer Kantor Cabang Unit layanan Gadai Syariah adalah sebagai
berikut :(Sutedi, 2011)
1. Sebagai pimpinan pelaksanaan teknis dari perusahaan yang berhubungan
langsung dengan masyarakat. Secara organisatoris manajer kantor cabang unit
layanan gadai syariah bertanggung jawab langsung kepada pimpinan wilayah,
selanjutnya pimpinan wilayah akan melaporkan hasil kegiatan binaannya
kepada direksi. Sedangkan direksi akan membuat kebijakan pengelolaan unit
layanan gadai syariah dan memberikan respon atau tindak lanjut atas laporan
pimpinan wilayah dengan dibantu oleh jendral manajer usaha lain dan manajer
unit layanan gadai syariah pusat. Dalam melaksanakan fungsi tersebut diatas
manajer kantor cabang mengkoordinasi kegiatan pelayanan peminjaman uang
menggunakan prinsip atau akad rahn (gadai syariah), ijaroh (sewa tempat)
untuk penyimpanan barang jaminan (agunan)
2. Membantu kelancaran pelaksanaan tugas di kantor cabang unit layanan gadai
syariah, pimpinan cabang dibantu sejumlah pegawai dengan masing-masing
bagian sebagai berikut :
a. Penaksir; bertugas menaksir barang jaminan untuk menentukan mutu dan
nilai barang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam rangka
mewujudkan penetapan taksiran dan uang pinjaman yang wajar serta citra
baik perusahaan
20
b. Kasir bertugas melakukan tugas penerimaan, penyimpanan, dan
pembayaran serta pembelian sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk
kelancaran pelaksanaan operasional kantor cabang unit layanan gadai
syariah
c. Bagian gudang bertugas melakukan pemeriksaan, penyimpanan,
pemeriksaan dan pengeluaran serta pembukuan marhun selain barang
kantor sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam rangka ketetapan dan
keamanan serta keutuhan marhun. (Sutedi, 2011)
I. Kegiatan Usaha
Layanan jasa keuangan PT Pegadaian dibedakan dalam tiga lini bisnis, yakni
pembiayaan, perdagangan emas dan usaha jasa lainnya.
Sejumlah produk pada lini bisnis pembiayaan, antara lain:
1. Kredit Cepat Aman (KCA) adalah kredit dengan sistem gadai yang diberikan
kepada semua golongan nasabah, baik untuk kebutuhan konsumtif maupun
kebutuhan produktif. KCA merupakan solusi terpercaya untuk mendapatkan
pinjaman secara mudah, cepat dan aman.
2. Krasida, kredit (pinjaman) angsuran bulanan yang diberikan kepada Usaha
Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk mengembangkan usaha dengan
sistem gadai. Krasida merupakan solusi terpecaya untuk mendapatkan fasilitas
kredit yang cepat, mudah, dan murah.
3. Kreasi, adalah kredit dengan angsuran bulanan yang diberikan kepada UMKM
untuk mengembangkan usaha dengan sistem Fidusia. Sistem Fidusia berarti
angunan untuk pinjaman cukup dengan BPKB sehingga kendaraan masih bisa
digunakan untuk usaha.
4. Kredit Multi Guna (Kagum) adalah kredit angsuran bulanan dengan fidusia
yang diperuntukkan bagi pegawai atau karyawan suatu instansi yang telah
memiliki penghasilan tetap. (Soemitra, 2009)
Selain menawarkan produk gadai dengan sistem konvensional, PT Pegadaian
juga mengembangakn lini pembiayaan berbasis syariah dengan sejumlah produk,
yakni pembiayaan:
1. Rahn: pembiayaan rahn dari pegadaian syariah adalah solusi tepat kebutuhan
dana cepat yang sesuai syariah. Prosesnya cepat hanya dalam waktu 15 menit
dana cair dan aman penyimpanannya.
21
2. Arrum: pembiayaan arrum pada pegadaian syariah memudahkan para
pengusaha kecil untuk mendapatkan modal usaha dengan jaminan BPKB dan
emas.
3. Amanah: pembiayaan amanah dari pegadaian syariah adalah pembiayaan
berprinsip syariah kepada pegawai negeri sipil dan karyawan swasta untuk
memiliki motor atau mobil dengan cara angsuran.(Soemitra, 2009)
J. Barang Jaminan Gadai Syariah
Jenis barang yang dapat diterima sebagai barang jaminan pada prinsipnya
adalah barang bergerak, antara lain: (Soemitra,2009)
1. Barang-barang perhiasan, yaitu semua perhiasan yang dibuat dari emas, perhiasan
perak, platina, baik yang berhiaskan intan, mutiara;
2. Barang-barang elektronik; laptop, TV, kulkas, radio, tape recorder, vcd/dvd,
radio kaset
3. Kendaraan: sepeda, sepeda motor, mobil
4. Barang-barang rumah tangga
5. Mesin: mesin jahit, mesin motor kapal
6. Tekstil
7. Barang-barang lain yang dianggap bernilai seperti surat-surat berharga baik
dalam bentuk saham, obligasi, maupun surat-surat berharga lainnya.
K. Sumber Pendanaan
Pegadaian sebagai lembaga keuangan tidak diperkenankan menghimpun dana
secara langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan, misalnya giro, deposito, dan
tabungan. Untuk memenuhi kebutuhan dananya, PT Pegadaian memiliki sumber-
sumber dana sebagai berikut: (Soemitra,2009)
1. Modal sendiri
2. Penyertaan modal pemerintah
3. Pinjaman jangka pendek dari perbankan
4. Pinjaman jangka panjang yang berasal dari Kredit Lunak Bank Indonesia
5. Dari masyarakat melalui penerbitan Obligasi
Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan
kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar
terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan pegadaian syariah termasuk
dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri
ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
22
Pegadaian telah melakukan kerjasama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke
depan pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah
lain untuk memback-up modal kerja. (Soemitra,2009)
L. Akad yang Digunakan
1. Akad Rahn
Akad rahn, apabila marhun dapat dimanfaatkan murtahin, seperti sebuah
ruko yang digadaikan dapat disewakan atau buat tempat usaha murtahin yang
hasilnya nanti dapat dibagihasilkan dengan yang punya barang jaminan. Demikian
juga dengan marhun lainnya seperti mobil, rumah dan sebagainya, yang tentu saja
diperhitungkan juga risiko yang mungkin akan ditanggungnya. (Sutedi, 2011)
Dalam teknis pelaksanaan nasabah (rahin) tidak perlu mengadakan
akad dua kali. Sebab, 1 (satu) lembar SBR yang ditandatangani oleh nasabah
(rahin) sudah mencakup kedua akad dimaksud. (Sutedi, 2011)
Pada akad Rahn, nasabah (rahin) menyepakati untuk menyimpan barangnya
(marhun) kepada murtahin di Kantor Pengadaian Syariah sehingga nasabah (rahin)
akan membayar sejumlah ongkos kepada murtahin atas biaya perawatan dan
penjagaan terhadap marhun. (Sutedi, 2011)
Pelaksanaan Akad Rahn ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (Sutedi, 2011)
a. Nasabah (rahin) mendatangi murtahin (kantor pengadaian) untuk
meminta fasilitas pembiayaan dengan membawa marhun yang akan
diserahkan kepada murtahin.
b. Murtahin melakukan pemeriksaan termasuk menaksir harga marhun
yang diberikan oleh nasabah (rahin) sebagai jaminan utangnya.
c. Setelah semua persyaratan terpenuhi, maka murtahin dan nasabah
(rahin) akan melakukan akad.
d. Setelah akad dilakukan, maka murtahin akan memberikan sejumlah
marhunbih (pinjaman) yang diinginkan oleh nasabah (rahin) dimana
jumlahnya disesuaikan dengan nilai taksir barang (di bawah nilai
jaminan).
e. Sebagai penganti biaya administrasi dan biaya perawatan, maka
nasabah (rahin) akan memberikan sejumlah ongkos kepada murtahin.
Apabila menggunakan akad Rahn, maka nasabah (rahin) hanya
berkewajiban untuk mengembalikan modal pinjaman dan menggunakan transaksi
23
berdasarkan prinsip biaya administrasi.Untuk menghindari praktik riba, maka
pengenaan biaya administrasi pada pinjaman dengan cara; (Sutedi, 2011)
a) Harus dinyatakan dalam nominal, bukan persentase;
b) Sifatnya harus nyata, jelas, pasti, serta terbatas pada hal-hal yang
mutlak diperlukan untuk terjadinya kontrak.
Kategori marhun dalam akad ini adalah barang-barang yang tidak dapat
dimanfaatkan/dikelola, kecuali dengan cara menjualnya. Karena itu, termasuk
berupa barang bergerak saja, seperti emas, barang elektronik, dan sebagainya.
Selain itu, tidak ada bagi hasil yang harus dibagikan, sebab akad ini hanya akad
yang berfungsi sosial. Namun dalam akad ini mengharuskan sejumlah ongkos yang
harus dibayarkan oleh pihak nasabah (rahin) kepada murtahin sebagai pengganti
biaya administrasi yang dikeluarkan oleh murtahin. (Sutedi, 2011)
Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa rahn dianggap sah apabila telah
memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu: (Sutedi, 2011)
a. Berupa barang, karena utang tidak dapat digadaikan;
b. Penetapan kepemilikan penggadaian atas marhun tidak terhalang,
seperti mushaf. Namun Imam Maliki membolehkan menggadaikan
mushaf, tetapi murtahin dilarang membacanya; dan
c. Barang gadai dapat dijual manakal sudah tiba masa pelunasan utang.
Imam Maliki berpendapat bahwa menggadaikan apa yang tidak boleh dijual
pada waktu pegadaian dibolehkan, seperti buah-buahan yang belum nampak
kebaikannya. (Sutedi, 2011)
Oleh karena itu, dalam gadai syariah dalam menjalankan operasinya
minimal harus dapat menutupi seluruh biaya operasionalnya. Namun Islam
mengajarkan untuk menjunjung tinggi nilai kemaslahatan agar terhindar dari riba’,
dengan demikian maka manusia akan terhindar dari ketidakadilan dan kedhaliman.
Karenanya, dalam akad gadai, islam menganjurkan supaya kedua pihak rahin dan
murtahin tidak ada yang merasa dirugikan. (Sutedi, 2011)
Oleh karena itu, Pengadaian syariah hendaknya melakukan bisnisnya pada
usaha yang menguntungkan, untuk itu memerlukan 3 elemen dasar, yaitu: (Sutedi,
2011)
a) Mengetahui investasi yang paling baik, terutama dalam rangka mencari
ridha Allah Swt. (Qs. At-Taubah:72)
b) Membuat keputusan yang logis, bijaksana, dan hati-hati
24
c) Mengikuti perilaku yang baik (shidiq, amanah, fathanah, dan tabligh).
Dalam akad rahn ini, selama rahin memberikan izin, maka murtahin dapat
memanfaatkan marhun, yang diserahkan rahin untuk memperoleh pendapatan
(laba) dari usahanya. Namun, bukan berarti murtahin boleh mengambil seluruh
hasil dari marhun tersebut. Karena marhun tersebut bukan miliknya secara
sempurna. (Sutedi, 2011)
2. Akad Mudharabah
Akad mudharabah ini, Pengadaian syariah sebgai shohibul maal
(penyandang dana) dan rahin sebagai mudharib (pengelola dana). Akad
mudharabah hanya dapat diterapkan pada rahin yang menginginkan gadai barang
untuk keperluan produktif, artinya dengan menggadaikan barangnya, rahin tersebut
mengharapkan adanya model kerja. Marhun yang dijaminkan adalah barang yang
dapat dimanfaatkan atau tidak dapat dimanfaatkan (dikelola) oleh rahin dan
murtahin. Rahin akan memberikan bagi hasil (profit loss sharing) berdasarkan
keuntungan usaha yang diperolehnya kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan
sampai modal yang dipinjam terlunasi. (Sutedi, 2011)
Pedoman penaksiran marhun dibagi menjadi 2 kategori, yaitu barang
bergerak dan barang tidak bergerak: (Sutedi, 2011)
a. Barang bergerak
Murtahin/petugas penaksir melihat Harga Pasar Pusat yang telah
berlaku (standar harga yang berlaku);
Murtahin/petugas penaksir melihat Harga Pasar Setempat dari
barang. Harga pedoman untuk keperluan penaksiran ini selalu
disesuaikan dengan perkembangan harga yang terjadi;
Murtahin/penaksir melakukan uji kualitas marhun;
Murtahin/petugas penaksir menentukan nilai taksir.
b. Barang tidak bergerak
Murtahin/penaksir dapat minta sertifikat tanah pada nasabah untuk
mengetahui gambaran umum marhun;
Murtahin/petugas penaksir dapat melihat langsung atau tidak
langsung kondisi marhun ke lapangan;
Murtahin/ penaksir melakukan uji kualitas marhun;
Murtahin/penaksir dapat menentukan nilai taksir.
25
Prosedur untuk memperoleh dana marhun bih bagi masyarakat yang
membutuhkan akan sangat sederhana dan cepat di Pegadaian syariah, tidak sesulit
memperoleh dana pinjaman di bank. Prosedur mendapatkanmarhun bih dari gadai
syariah adalah sebagai berikut; (Sutedi, 2011)
a) Calon rahin datang ke murtahin dan menyerahkan marhun dengan
menunjukkan surat bukti diri, seperti KTP atau surat kuasa apabila
pemilik barang tidak dapat datang sendiri;
b) Marhun diteliti kualitasnya untuk menaksir dan menetapkan hargannya.
c) Setelah nasabah mendapatkan fasilitas marhun bih, maka untuk
mengarahkan agar nasabah berhasil dalam usahanya, murtahin akan
memantau, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada usaha
yang dilakukan oleh rahin;
d) Selanjutnya, pembayaran marhun bih dilakukan murtahin tanpa ada
potongan biaya apapun.
Dalam akad mudharabah, nasabah berkewajiban melakukan pelunasan
marhun bih yang telah diterima. Dalam akad ini, nasabah dapat melunasi
kewajibannya sebelum pada waktu yang telah ditentukan atau harus menunggu
jatuh tempo pelunasan. Pelunasan marhun bih oleh nasabah prosedurnya adalah
sebagai berikut: (Sutedi, 2011)
a. Rahin membayarkan marhun bih kepada murtahin disertai dengan bukti
surat gadai;
b. Barang akan dikeluarkan oleh murtahin;
c. Marhun dikembalikan oleh murtahin kepada nasabah.
Apabila marhun tidak dapat melunasi utangnya kepada murtahin, maka
murtahin berhak untuk melelang/menjual pada saat jatuh tempo. Ini dibolehkan
dengan ketentuan sebagai berikut: (Sutedi, 2011)
a) Penerima gadai harus terlebih dahulu mencari tahu keadaan nasabah
(penyebab belum lunasnya utang)
b) Dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran
c) Apabila murtahin benar butuh uang dan rahin belum melunasi marhun
bih, maka murtahin boleh memindahkan marhun kepada murtahin lain
dengan seizin rahin
26
d) Apabila tidak terpenuhi, maka murtahin boleh menjual marhun dan
kelebihan uangnya dikembalikan pada rahin. Jumlahnya disesuaikan
dengan nilai taksir barang (di bawah nilai jaminan).
e) Sebagai pengganti biaya administrasi dan biaya perawatan, maka pada
saat melunasi marhun bih (pinjaman), maka nasabah (rahin) akan
memberikan sejumlah ongkos kepada murtahin.
Apabila menggunakan Akad Rahn, maka nasabah (rahin) hanya
berkewajiban untuk mengembalikan modal pinjaman dan menggunakan transaksi
berdasarkan prinsip biaya administrasi. (Sutedi, 2011)
3. Akad Ijarah
Akad Ijarah merupakan penggunaan manfaat atau jasa penggantian
kompensasi, yaitu pemilik yang menyewakan manfaat disebut muajjir sedangkan
penyewa atau nasabah disebut dengan mustajir. Sesutu yang diambil manfaatnya
(tempat penitipan) disebut majur dengan kompensasi atau balas jasa yang disebut
dengan ajran atau ujrah. Karena itu, nasabah (rahin) akan memberikan biaya
kepada muajjir karena telah menitipkan barangnya untuk dijaga dan dirawat oleh
mutarhim. Untuk menghindari riba, pengenaan biaya jasa pada barang simpanan
rahin mempunyai ketentuan, yaitu: (Sutedi, 2011)
a. Harus dinyatakan dalam nominal, bukan persentase;
b. Sifatnya harus nyata, jelas, pasti, serta terbatas pada hal-hal yang
mutlak diperlukan untuk terjadinya kontrak
c. Tidak terdapat tambahan biaya yang tidak disebutkan dalam akad awal.
Menurut Hanafiyah bahwa ijarah adalah akad untuk membolehkan
pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan
imbalan. Syaikh Syihab al-Din dan Syaikkh Umairah mendefinisikan ijarah
sebagai akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan
membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu, dan Hashbi Ash-Shddiqie
memberikan arti ijarah sebagai akad yang obyeknya adalah penukaran manfaat
untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan
menjual manfaat. Berdasarkan definisi di atas, bahwa ijarah adalah akad menukar
sesuatu dengan ada imbalannya, yang diketahui dan disengaja untuk masa tertentu.
(Sutedi, 2011)
Kontrak ijarah merupakan penggunaan manfaat atau jasa dengan ganti
kompensasi. Pemilik menyewakan manfaat disebut muajjir, sementara penyewa
27
(nasabah) disebut mustajir, serta sesuatu yang diambil manfaatnya (tempat
penitipan) disebut majur dengan kompensasi atau balas jasa yang disebut ajran
atau ujrah. Dengan demikian nasabah akan memberikan biaya jasa atau fee kepada
murtahin, karena nasabah telah menitipkan barangnya kepada murtahin untuk
menjaga atau merawat marhun. (Sutedi, 2011)
Oleh karena itu, melalui penggunaan akad ijarah ini, berarti nasabah hanya
akan memberikan fee kepada murtahin, apabila masa akad ijarah telah berakhir
dan murtahin mengembalikan marhun kepada rahin, karenannya Pengadaian
syariah ini media yang tepat untuk dimanfaatkan dan difungsikannya, karena
dengan gadai syariah ini, Pengadaian syariah sebagai media pengaman barang
nasabah. (Sutedi, 2011)
Untuk menghindari dari riba’, maka pengenaan biaya jasa pada barang
simpanan nasabah dengan cara sebagai berikut: (Sutedi, 2011)
a) Harus dinyatakan dalam nominal, bukan persentase
b) Sifatnya harus nyata, jelas, dan pasti, serta terbatas pada hal-hal yang
mutlak diperlukan untuk terjadinya kontrak
c) Tidak terdapat tambahan biaya, yang tidak disebutkan dalan akad awal.
Dalam akad Ijarah, nasabah berkewajiban melakukan pelunasan biaya
simpanan. Dalam akad ini, rahin dapat melunasi kewajibannya sebelum pada
waktu yang telah ditentukan (jatuh tempo). (Sutedi, 2011)
28
Mekanisme Pegadaian Syariah
6. 3. Nasabah
Pembyn A
1.
2. Nasabah Pembyn B
5. 4.
Nasabah Pembyn C
Ket :
1. Nasabah memberikan jaminan
2. Nasabah dan pihak pegadaian syariah (kasir) melakukan akad
3. Penyaluran pembiayaan
4. Pendapatan pegadaian
5. Pegadaian membayar nasabah
6. Nasabah menebus jaminan
M. Berakhirnya Hak Gadai Syariah
Suatu perjanjian tidak ada yang bersifat langgeng, artinya perjanjian tersebut
sewaktu-waktu akan dapat berakhir atau batal. Demikian pula perjanjian gadai, namun
batalnya hak gadai akan sangat berbeda dengan hak-hak yang lain. Menurut Abdul
Aziz Dahlan, bahwa hak gadai dikatakan batal apabila: (Sutedi, 2011)
29
1. Utang-piutang yang terjadi telah dibayar dan terlunasi
2. Marhun keluar dari kekuasaan murtahin
3. Para pihak tidak melaksanakan yang menjadi hak dan kewajibannya
4. Marhun tetap dibiarkan dalam kekuasaan pemberi gadai ataupun yang kembalinya
atas kemauan yang berpiutang
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq bahwa hak gadai akan berakhir apabila: (Sutedi,
2011)
1. Rahin, telah melunasi semua kewajibannya kepada murtahin
2. Rukun dan syarat gadai tidak terpenuhi
3. Baik rahin maupun murtahin atau salah satunya ingkar dari ketentuan syara’ dan
akad yang telah di sepakati keduanya
Sedangkan menurut ulama fiqh menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir,
apabila terjadi hal-hal berikut: (Sutedi, 2011)
1. Berakhir masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu
2. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu mengikat
3. Dalam suatu akad yang bersifat mengikat, akad dapat berakhir apabila:
a. Akad itu fasid
b. Berlaku khiyar syarat, khiyar ‘aib
c. Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad, dan
d. Telah tercapai tujuan akad itu secara sempurna
e. Wafat salah satu pihak yang berakad, namun dapat diteruskan oleh ahli
warisnya, dengan demikian tidak ada pihak yang dirugikan.
30
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pegadaian merupakan suatu lembaga keuangan bukan bank yang memberikan
pinjaman kepada masyarakat dengan ciri yang khusus, yaitu secara hukum gadai bahwa
calon peminjam mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang bergerak miliknya
sebagai agunan kepada perusahaan pegadaian, disertai dengan pemberian hak kepada
pegadaian untuk melakukan penjualan secara lelang.
Pegadaian syariah merupakan sebuah lembaga gadai yang dalam menjalankan
operasionalnya berpegang kepada prinsip syariah. Konsep operasi pegadaian syariah
mengacu pada sistem administrasi modern yaitu asas rasionalitas, efisiensi, dan
efektivitas yang diselaraskan dengan nilai Islam.
Pegadaian syariah dilakukan dengan dua akad yaitu akad rahn dan akan ijarah.
Produk dan jada pegadaian konvensional antara lain: kredit KCA, kreasi, kresiada, jasa
taksiran, gadai gabah, gadai investa, krista. Produk jasa pegadaian syariah antara lain:
gadai syariah (rahn), arrum, dan amanah.
Menurut Abdul Aziz Dahlan, bahwa hak gadai dikatakan batal apabila:
1. Utang-piutang yang terjadi telah dibayar dan terlunasi
2. Marhun keluar dari kekuasaan murtahin
3. Para pihak tidak melaksanakan yang menjadi hak dan kewajibannya
4. Marhun tetap dibiarkan dalam kekuasaan pemberi gadai ataupun yang
kembalinya atas kemauan yang berpiutang
31
DAFTAR PUSTAKA
Latumaerissa, Julius. 2012. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Salemba
Empat.
Soemitra, Andri. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Depok: Kencana.
Sutedi, Adrian. 2011. Hukum Gadai Syariah. Bandung: Alfabeta.
32