Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan salah satu tanaman obat tradisional yang tergolong rempah-rempah dan sudah
dikenal oleh kalangan masyarakat luas (Hidajati, dkk, 2009). Kencur merupakan tanaman tropis yang banyak tumbuh di kebun
dan pekarangan, digunakan sebagai bumbu dapur dan termasuk salah satu tanaman obat tradisional Indonesia. Ekstrak dari rimpang
kencur mempunyai kandungan antioksidan, anti-inflamasi dan analgesik (Putra,2014).
Salah satu kandungan metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak kencur yaitu etil p-metoksisinamat. Etil p-metoksisinamat
ini merupakan komponen utama yang terdapat pada ekstrak kencur karena kadarnya yang cukup tinggi. Senyawa etil p-metoksisinamat
ini dapat digunakan sebagai inhibitor kanker, pada industri banyak digunakan dalam kosmetika dan dimanfaatkan sebagai obat asma
dan anti jamur (Putra,2014).
Etil para metoksi sinamat (EPMS) ini termasuk ke dalam golongan senyawa ester yang mengandung cincin benzena dan gugus
metoksi yang bersifat nonpolar dan juga gugus karbonil yang mengikan etil yang bersifat sedikit polar (Utami, 2016). Kadar Etil p-
metoksisinamat (EPMS) dalam kencur cukup tinggi (tergantung spesiesnya) bisa sampai 10%, karena itu EPMS dapat dengan mudah
diisolasi dan dimurnikan (Putra,2014).
Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan isolasi senyawa etil para-metoksi sinamat (EPMS) dari rimpang kencur untuk
mengetahui banyaknya senyawa etil p-metoksisinamat yang terdapat pada rimpang kencur. Dalam isolasi Etil p-metoksisinamat (EPMS)
yang pertama kali dilakukan adalah penyiapan simplisia, lalu ekstraksi yang dilakukan dengan cara maserasi yang dilanjutkan dengan
mengentalkan ekstrak menggunakan rotary evaporator, lalu identifikasi senyawa etil p-metoksisinamat dengan menggunakan
kromatografi lapis tipis (KLT) dan spetrofotometri UV-Vis.
1.2 Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah yang terdapat pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana proses isolasi senyawa etil p-metoksisinamat pada rimpang kencur ?
2. Berapa persentase senyawa etil p-metoksisinamat yang dapat diisolasi dari rimpang kencur?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui proses isolasi senyawa etil p-metoksisinamat pada rimpang kencur.
2. Mengetahui persentase senyawa etil p-metoksisinamat yang dapat diisolasi dari rimpang kencur.
1.4 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia (STFI) Jalan Soekarno Hatta No.354
Bandung. Penelitian mengenai isolasi senyawa etil p-metoksisinamat dilakukan pada bulan September 2019 sampai dengan Desember
2019
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kencur (Kaempferiae galanga L.)
Gambar 2.3 Hasil KLT Isolasi etil p-metoksisinamat (Sumber: Wardiyah, 2015)
2.6 Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom merupakan kromatografi yang paling awal yang digunakan untuk pemisahan sampel dalam jumlah yang
besar. Ekstrak yang berasal dari bahan alam biasanya mengandung berbagai jenis senyawa yang berbeda dan akan sangat sulit untuk
mengisolasi senyawa murni dari campuran senyawa tersebut jika hanya dengan menggunakan satu jenis teknik pemisahan saja. Oleh
karena itu, pada tahap awal campuran senyawa tersebut harus dipisahkan terlebhi dahulu menjadi beberapa fraksi yang mengandung
senyawa dengan nilai kepolaran atau ukuran yang sama (Fahmi, 2015).
Pada hasil penelitian kromatografi kolom oleh Fahmi Mida (2015) menggunakan fase diam silika gel 60 dan fase gerak dengan
sistem gradien dengan kepolaran meningkat menghasilkan fraksi etil p-metoksisinamat di perbandingan antara n-heksana dengan etil
asetat. Hasil fraksi tersebut diuji dengan KLT dan menghasilkan Rf 0,8 pada fase gerak n-heksana : etil asetat (3:2).
2.7 Spektrofotometer UV-Vis
Metode yang digunakan untuk uji kemurnian senyawa isolasi adalah alat spektrofotometer UV-Vis. Spektrofotometer sesuai
dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan
panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorbsi (Khopkar,
1990).
Spektrofotometri UV-vis merupakan metode yang digunakan untuk menguji sejumlah cahaya yang diabsorbsi pada setiap
panjang gelombang di daerah UV dan tampak. Pada instrumen ini suatu sinar cahaya terpecah sebagian cahaya diarahkan melalui sel
transparan yang mengandung suatu larutan senyawa tetapi mengandung pelarut. Ketika radiasi elektromagnetik dalam daerah UV-Vis
melewati suatu senyawa yang mengandung ikatan-ikatan rangkap, sebagian dari radiasi biasanya diabsorbsi oleh senyawa. Beberapa
radiasi yang diabsorbsi tergantung pada panjang gelombang dari radiasi dalam struktur senyawa (Khopkar, 1990).
Hasil penelitian oleh Agustina et al (2018) mendapatkan hasil pola spektrum Uv-Vis pada senyawa etip p-metoksisinamat dengan
2 puncak senyawa yaitu pada panjang gelombang 223 nm dan 309 nm.
2.8 Uji Titik Leleh
Uji titik leleh dilakukan terhadap kristal hasil isolasi untuk memastikan kemurnian dari kristal tersebut. Rentang titik leleh dimulai
dari suhu awal dimana kristal mulai melebur hingga seluruhnya melebur. Parameter kemurnian suatu senyawa dapat dinilai dari rentang
titik leleh awal hingga melebur sempurna tidak lebih dari 2°C. Rentang titik leleh yang di dapat dari pengujian oleh Sry Wardiyah (2015)
yaitu 49°-50° C.
BAB III
TATA KERJA
3.1 Alat
Alat yang digunakan yaitu: Maserator, kertas saring, corong, piipet tetes, cawan penguap, water bath, corong pemisah, showcase,
plat KLT, chamber, kuvet, dan spektrofotometer UV-Vis.
3.2 Bahan
Bahan yang digunakan yaitu: Rimpang kencur, n-heksana, etil asetat, etanol, metanol, dan silika GF254.
3.3 Pembuatan Simplisia
Kencur sebanyak 300 g dibersihkan, dicuci dengan air yang mengalir dan dirajang setelah itu dijemur ditempat yang tidak terkena
sinar matahari, setelah kencur kering dilakukan sortasi kering dan proses penghalusan dengan menggunakan blender, dihasilkan
simplisia serbuk lalu ditimbang menggunakan timbangan (Utami, 2016).
3.4 Parameter Simplisia (Penetapan Kadar Abu)
Lebih kurang 2 gram simplisia yang telah digiling dan ditimbang seksama, dimasukan kedalam krus silikat yang telah dipijarkan
dan ditarakan. Krus yang berisi simplisia dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, didinginkan dan ditimbang (Farmakope Herbal,
2010)
berat abu (gr)
% kadar abu total= ×100%
berat simplisia (gr)
3.5 Skrining Fitokimia
3.5.1 Alkaloid
Sejumlah sampel dalam mortir, dibasakan dengan amonia sebanyak 1 mL, kemudian ditambahkan kloroform dan digerus
kuat. Cairan kloroform disaring, filtrat ditempatkan dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan HCl 2 N, campuran dikocok,
lalu dibiarkan hingga terjadi pemisahan. Dalam tabung reaksi terpisah:
Filtrat 1 : Sebanyak 1 tetes larutan pereaksi Dragendorff diteteskan ke dalam filtrat, adanya alkaloid ditunjukkan dengan
terbentuknya endapan atau kekeruhan berwarna hingga coklat.
Filtrat 2 : Sebanyak 1 tetes larutan pereaksi Mayer diteteskan ke dalam filtrat, adanya alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya
endapan atau kekeruhan berwarna putih.
Filtrat 3 : Sebagai blangko atau kontrol negatif (MMI V, 1989).
3.5.2 Flavonoid
Sejumlah sampel digerus dalam mortir dengan sedikit air, pindahkan dalam tabung reaksi, tambahkan sedikit logam
magnesium dan 5 tetes HCl 2 N, seluruh campuran dipanaskan selama 5–10 menit. Setelah disaring panas–panas dan filtrat
dibiarkan dingin, kepada filtrat ditambahkan amil alkohol, lalu dikocok kuat–kuat, reaksi positif dengan terbentuknya warna
merah pada lapisan amil alkohol (MMI V, 1989).
3.5.3 Tanin dan Polifenol
Sebanyak 1 gram sampel ditambahkan 100 mL air panas, dididihkan selama 5 menit kemudian saring. Filtrat sebanyak 5
mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan pereaksi besi (III) klorida, timbul warna hijau biru kehitaman, dan
ditambahkan gelatin akan timbul endapan putih, bila ada tanin (MMI V, 1989).
3.5.4 Monoterpen dan seskuiterpen
Serbuk digerus dengan eter, kemudian fase eter diuapkan dalam cawan penguap hingga kering, pada residu ditetesi
pereaksi larutan vanilin sulfat atau anisal dehid sulfat. Terbentuknya warna-warni menunjukkan adanya senyawa monoterpen
dan sesquiterpen (MMI V, 1989).
3.5.5 Steroid dan Triterpenoid
Serbuk simplisia digerus dengan eter, kemudian fase eter diuapkan dalam cawan penguap hingga kering, pada residu
ditetesi pereaksi Lieberman-Burchard. Terbentuknya warna ungu menunjukkan kandungan triterpenoid sedangkan bila terbentuk
warna hijau biru menunjukkan adanya senyawa steroid (Farnworth, 1966).
3.5.6 Kuinon
Sampel ditambahkan dengan air, dididihkan selama 5 menit kemudian disaring dengan kapas. Pada filtrat ditambahkan
larutan NaOH 1 N. Terjadinya warna merah menunjukkan bahwa dalam bahan uji mengandung senyawa golongan kuinon
(Farnworth, 1966).
3.5.7 Saponin
Sampel ditambahkan dengan air, dididihkan selama 5 menit kemudian dikocok. Terbentuknya busa yang konsisten selama
5-10 menit ± 1 cm, berarti menunjukan bahwa bahan uji mengandung saponin (MMI V, 1989)
3.6 Ekstraksi (Maserasi)
Serbuk simplisia yang telah ditimbang sebanyak 298,72 gram, dimaserasi dengan menggunakan pelarut etanol 96% sebanyak
800mL. Maserasi (perendaman) dilakukan selama 3 hari dengan sesekali diaduk, setelah itu dilakukan penyaringan dengan
menggunakan kertas saring, sehingga didapatkan filtrat dan ampas. Ampas yang didapat dimaserasi kembali dengan etanol 96%
sebanyak dua kali, sedangkan filtratnya dipekatkan dengan water bath dengan suhu 60C. Setelah didapat ekstrak kental maka dilakukan
uji parameter mutu ekstrak (skrining fitokimia).
3.7 Pemantauan Senyawa Etil p-metoksisinamat Hasil Ekstrak
Senyawa etil p-metoksisinamat dianalisa dengan kromatografi lapis tipis (KLT), dengan plat silika gel F254 sedangkan eluen yang
digunakan n-heksan:etil asetat (1:4), n-heksan:etil asetat (4:1), dan n-heksan:toluen (0,5:9,5). Spot yang terbentuk kemudian dihitung
nilai Rf nya dan dibandingkan dengan nilai Rf etil p-metoksisinamat murni (Wardiyah, 2015).
3.8 Fraksinasi Ekstraksi Cair-Cair (ECC)
Ekstrak kental ditimbang 9,5 gram, dilarutkan dalam 100 mL air panas kemudian disaring. Setelah itu, dimasukkan ke dalam
corong pisah dan ditambahkan n-heksan 100 mL di dalam corong pisah untuk dilakukan ECC. ECC dilakukan sampai hilangnya gas
yang terdapat dalam corong pisah. Fase n-heksan tersebut di tampung dalam botol. Dilakukan hal yang sama sebanyak 3 kali. Setelah
itu, fase air yang terdapat dalam corong pisah ditambahkan etil asetat 100 mL dan dilakukan kembali seperti yang dilakukan pada n-
heksan. Hasil ditampung dalam masing–masing botol kemudian diuapkan dengan waterbath. Hasil penguapan dipantau kembali dengan
KLT.
3.9 Pemantauan Senyawa Etil p-metoksisinamat Hasil Kolom
Senyawa etil p-metoksisinamat dianalisa dengan kromatografi lapis tipis (KLT), dengan plat silika gel F254 sedangkan eluen yang
digunakan n-heksan:etil asetat (4:1), n-heksan:etil asetat (49:1), n-heksan:etil asetat (95:5), n-heksan:etil asetat (29:1) dan aseton:etanol
(1:1). Spot yang terbentuk kemudian dihitung nilai Rf nya dan dibandingkan dengan nilai Rf etil p-metoksisinamat murni(Wardiyah,
2015).
3.10 Kromatografi Kolom
Hasil penguapan ECC yang n-heksan dipisahkan kembali dengan kromatogafi kolom. Fase diam yang digunakan yaitu silika gel
60 (silika gel dilarutkan dengan n-heksan kemudian dimasukan ke dalam kolom dan ditambahkan pelarut n-heksan sampai silika gel
dalam keadaan konstan di dalam kolom). Dimasukan sampel yang telah dicampurkan dengan silika gel sebelumnya ke dalam kolom
dan ditambahkan eluen n-heksan:etil asetat (10:0 – 0:10) ditampung per 10 mL akan menghasilkan 21 vial. Hasil fraksi kromatografi
kolom diuapkan, kemudian dilakukan pemantauan dengan pengujian KLT.
3.11 Kristalisasi
Hasil penguapan ECC yang etil asetat dilarutkan dengan n-heksan kemudian dimasukkan ke dalam showcase.
3.12 KLT Preparatif
Larutan fraksi dari kolom ditotolkan membentuk pita, kemudian dikembangkan dengan pengembang etanol:aseton (1:1)
kemudian dimasukan tegak lurus pada bejana KLT. Pita yang terbentuk dikerok yang terdapat noda yang ingin diamati dengan
spektrofotometer UV-Vis kemudian direndam dengan metanol sebanyak 5 mL selama 24 jam.
3.12 Spektrofotometer Uv-Vis
Pita yang sudah dikerok kemudian dilarutkan dengan 5 mL metanol dan didekantasi. Filtrat kemudian diuji pada alat
spektrofotometer UV-Vis. Kemudian disimpulkan senyawa yang terkandung dengan mengamati spektrum yang terbentuk (Padam,
2013).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 4.1 Persamaan Reaksi Alkaloid dengan Pereaksi Dragendorf (Sumber: Riska, 2014)
Sedangkan bagian kedua ditambahkan pereaksi mayer, dimana alkaloid akan membentuk ikatan kompleks dengan ion logam dari
pereaksi Mayer yang menghasilkan endapan putih. Hasil menunjukan bahwa simplisia mengandung senyawa alkaloid. Persamaan reaksi
dapat dinyatakan sebagai berikut:
Gambar 4.2 Persamaan Reaksi Alkaloid dengan Pereaksi Mayer (Sumber: Riska, 2014)
Pengujian fenolat dan tannin dilakukan pemanasan serbuk simplisia dengan air mendidih. Hal ini karena tannin dan fenolat
memiliki gugus hidroksil yang dapat larut di dalam air, pemanasan dilakukan agar proses pelarutan tannin dan fenolat semakin cepat
dan banyak yang larut di air mendidih. Kemudian dilakukan penambahan pereaksi besi (III) klorida yang akan menghasilkan warna
hijau kehitaman. Hasil yang diperoleh tidak menghasilkan perubahan warna padahal seharusnya gugus fenolik pada senyawa tanin dan
fenolat akan berikatan dengan ion Fe3+ dari FeCl3 sehingga membentuk senyawa kompleks yang akan memberi perubahan warna hijau
kehitaman. Terjadinya pembentukan warna hijau ini karena terbentuknya senyawa kompleks antara logam Fe dan tanin. Senyawa
kompleks terbentuk karena adanya ikatan kovalen koordinasi antara ion atau atom logam dengan atom nonlogam. Terjadinya warna
biru kehitaman menunjukkan adanya tanin galat sedangkan warna hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin katekol. Pada
penambahan larutan FeCl3 diperkirakan larutan ini bereaksi dengan salah satu gugus hidroksil yang ada pada senyawa tanin. Pereaksi
FeCl3 digunakan secara luas untuk mengidentifikasi senyawa fenol termasuk tannin.
Pengujian saponin dilakukan dengan simplisia ditambah air panas dan dikocok kuat sampai terbentuk busa. Hasil menunjukkan
bahwa simplisia tidak mengandung saponin karena tidak terbentuk busa. Terbentuknya busa/buih dikarenakan senyawa saponin
memiliki sifat fisik yang mudah larut dalam air dan akan menimbulkan busa ketika dikocok. Timbulnya busa menunjukkan adanya
glikosida yang mempunyai kemampuan membentuk buih dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa lainnya. Saponin
memiliki gugus polar dan nonpolar bersifat aktif permukaan, sehingga saat dikocok dengan air, saponin dapat membentuk misel. Apabila
hasil positif maka buih yang dihasilkan akan ditambahkan HCl yang berfungsi untuk menguji kestabilan busa.
Pada uji flavonoid dilakukan penambahan serbuk Mg dan HCl pekat. Hasil yang didapat tidak terjadi perubahan warna. Simplisia
dilarutkan dalam air karena flavonoid bersifat polar sehingga lebih larut dalam pelarut polar, kepolaran tersebut dikarenakan flavonoid
yang merupakan senyawa polihidroksi. Penambahan HCl berfungsi untuk menghidrolisis flavonoid menjadi aglikonnya, yaitu
menghidrolisis O-glikosil, sedangkan penambahan Mg untuk proses reduksi yang menghasilkan senyawa kompleks. Flavonoid yang
tereduksi menyebabkan terjadinya perubahan warna menjadi warna merah, kuning, atau jingga.
Pada uji steroid dan triterpenoid dilakukan penambahan pereaksi Libermann-Burchard. Ketika senyawa triterpenoid ditetesi
pereaksi Lieberman-Burchard melalui dindingnya akan memberikan reaksi terbentuknya warna cincin kecoklatan, sedangkan steroid
akan menghasilkan warna hijau kebiruan. Reaksi yang terjadi antara steroid dengan asam asetat anhidrat adalah reaksi asetilasi gugus
OH pada steroid yang akan menghasilkan kompleks asetil steroid. Sedangkan pada senyawa triterpenoid akan terjadi reaksi esterifikasi
yang akan menghasilkan senyawa ester antara senyawa triterpenoid dengan anhidrida asetat. Namun, hasil yang didapat negatif karena
tidak terjadi perubahan warna pada penambahan pereaksi Libermann-Burchard.
Pengujian senyawa kuinon dengan penambahan NaOH yang akan menghasilkan warna merah. Penambahan NaOH berfungsi untuk
mendeprotonasi gugus fenol pada kuinon sehingga terbentuk ion enolat. Ion enolat ini yang dapat menyerap cahaya tertentu dan
memantulkan warna. Hasil yang didapatkan negatif karena tidak terjadi perubahan warna
Terakhir dilakukan uji monoterpen dan seskuiterpen dimana ada penambahan pereaksi vanilin sulfat yang akan membentuk warna
warni jika hasilnya positif. Hasil yang didapat negatif yang menunjukkan simplisia tidak mengandung monoterpen dan seskuiterpen.
4.2 `Ekstraksi
Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode dengan cara dingin yaitu maserasi. Pemilihan metode maserasi dipilih karena
dengan perendaman simplisia akan mengalami pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di
luar sel sehingga metabolit sekunder yang berada di dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik, dan ekstraksi senyawa akan
sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Simplisia sebanyak 298,72 gram dimaserasi dengan pelarut etanol 96%.
Pelarut etanol 96 % digunakan karena etanol termasuk pelarut universal bersifat polar maupun semipolar yang dapat menarik senyawa
atau metabolit yang terkandung dalam simplisia. Setelah selesai proses ekstraksi, ekstrak yang dihasilkan diuapkan untuk memperoleh
ekstrak kental, yang dilakukan dengan waterbath. Hal ini dilakukan untuk menguapkan etanol yang terdapat dalam filtrat sehingga
diperoleh ekstrak kental yang diharapkan tidak mengandung lagi pelarut. Setelah diperoleh ekstrak kental, kemudian dihitung
rendemennya.
Tabel 4.2 Hasil Rendemen ekstrak
Berat simplisia Berat ekstrak (gram) Rendemen %
298,72 gram 12,96 gram 4,34 %
Untuk memantau bahwa senyawa yang diharapkan terdapat di dalam ekstrak maka dilakukan KLT. KLT dilakukan dengan
menggunakan campuran eluen paling sedikit 2 macam pelarut dengan berbagai perbandingan. Tujuannya adalah agar dapat dilihat
pemisahan dari senyawa yang diharapkan dari perpindahan spot pada plat dan memastikan senyawa yang diharapkan terdapat pada
ekstrak. Penotolan sampel pada plat KLT tidak boleh terlalu pekat dan tidak boleh terlalu encer, karena akan mempengaruhi perpindahan
spot dan untuk menghindari adanya tealing/spot berekor. Setelah penotolan, plat dimasukkan ke dalam chamber yang sudah dijenuhkan
dengan campuran eluen untuk menghilangkan uap air atau gas lain. Uap air dan gas lain perlu dihilangkan karena dapat mengisi fasa
penjerap yang akan menghalangi laju eluen. Penjenuhan akan menghentikan penguapan pada eluen dan menyeimbangkan tekanan
atmosfer di dalam dan di luar chamber, menjadikan eluen memenuhi chamber sehingga distribusi fasa diam dapat berjalan dengan
lancar. Posisi plat bagian batas bawah pada bagian penotolan jangan terendam dalam eluen karena akan menganggu pendistribusian
noda yang akan muncul pada plat KLT. Noda penotolan pada plat KLT akan berpindah dengan bantuan fasa gerak dan dihitung Rf-nya
Tabel 4.3 Hasil Nilai Rf Ekstrak Kental
Eluen / Fase Gerak Nilai Rf
n-heksan : etil asetat (1:4) 0,125
n-heksan : etil asetat (4:1) 0,675
n-heksan : toluen (0,5:9,5) 0,25
Selain dipantau menggunakan KLT, dilakukan juga skrining fitokimia untuk mengidentifikasi kandungan kimia yang terkandung
dalam ekstrak kental seperti tanin, saponin, flavonoid, alkaloid, triterpen dan steroid, monoterpen dan seskuiterpen, fenol dan kuinon.
Tabel 4.4 Skrining Fitokimia Ekstrak
Golongan Senyawa Hasil
Tanin -
Saponin -
Flavonoid +
Alkaloid -
Triterpen -
Steroid -
Fenol +
Monoterpen & Seskuiterpen -
Kuinon +
4.3 Fraksinasi dan KLT Hasil Fraksi
Proses fraksinasi ini dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi cair-cair (ECC). Pelarut yang digunakan pada metode
ECC ini adalah air panas, n-heksan dan etil asetat. Pelarut tersebut dipilih karena memiliki kepolaran yang berbeda sesuai dengan prinsip
ECC sendiri yang merupakan pemisahan dengan pelarut yang tidak saling bercampur sehingga senyawa yang dipisahkan akan
berdasarkan kelarutannya. Pelarut n-heksan akan menarik senyawa metabolit sekunder yang bersifat non polar, pelarut etil asetat akan
menarik senyawa yang memiliki sifat semipolar, dan senyawa yang bersifat polar akan tertahan didalam pelarut air. Hasil fraksi
kemudian diuapkan, hal ini dilakukan untuk menghilangkan pelarut dan meningkatkan konsentrasinya. Pada ECC didapat nilai
rendemen dalam setiap pelarut. Setelah masing-masing fraksi diuapkan kemudian dilakukan pemantauan dengan KLT menggunakan
campuran eluen n-heksan:etil asetat (4:1). Hasil KLT ECC menunjukkan bahwa senyawa yang didapatkan belum murni karena pada
fase n-heksan terjadi tailing sehingga dilakukan subfraksinasi dengan kromatografi kolom.
Tabel 4.5 Hasil Rendemen ECC
Fraksi Bobot Ekstrak Rendemen
Fraksi N-Heksan 0,3632 gram 3,823 %
Fraksi EtilAsetat 0,353 gram 3,722 %
Fraksi Air 2,24 gram 23,57 %