Anda di halaman 1dari 15

CEDERA MEDULA SPINALIS

CEDERA MEDULA SPINALIS


1. Anatomi
Tulang belakang manusia adalah pilar atau tiang yang berfungsi sebagai penyangga
tubuh dan melindungi sumsum tulang belakang. Pilar itu terdiri atas 33 ruas tulang belakang
yang tersusun secara segmental yang terdiri atas 7 ruas tulang servikal (vertebra servikalis),
12 ruas tulang torakal (vertebratorakalis), 5 ruas tulang lumbal (vertebra lumbalis), 5 ruas
tulang sakral yang menyatu (vertebra sakral), dan 4 ruas tulang ekor (vertebra koksigea).
Setiap ruas tulang belakang dapat bergerak satu dengan yang lain oleh karena adanya dua
sendi di postero lateral dan diskus intervertebralis di anterior. Pada pandangan dari samping
pilar tulang belakang membentuk lengkungan atau lordosis di daerah servikal, torakal dan
lumbal. Keseluruhan vertebra maupun masing-masing tulang vertebra berikut diskus
intervertebralisnya bukanlah merupakan satu struktur yang mampu melenting, melainkan satu
kesatuan yang kokoh dengan diskus yang memungkinkan gerakan antar korpus ruas tulang
belakang. Lingkup gerak sendi pada vertebra servikal adalah yang terbesar. Vertebra torakal
berlingkup gerak sedikit karena adanya tulang rusuk yang membentuk toraks, sedangkan
vertebra lumbal mempunyai ruang lingkup gerak yang lebih besar dari torakal tetapi makin
ke bawah lingkup geraknya makin kecil.
Secara umum struktur tulang belakang tersusun atas dua kolom yaitu:
1. Kolom korpus vertebra beserta semua diskus intervetebra yang berada diantaranya
2. Kolom elemen posterior (kompleks ligamentum posterior) yang terdiri atas lamina , pedikel,
prosesus spinosus, prosesus transversus dan pars artikularis, ligamentum-ligamentum
supraspinosum dan intraspinosum, ligamentum flavum, serta kapsul sendi.
Setiap ruas tulang belakang terdiri atas korpus di depan dan arkus neuralis dibelakang
yang terdapat sepasang pedikel kanan dan kiri, sepasang lamina, dua pedikel, satu prosesus
spinosus, serta dua prosesus transversus. Beberapa ruas tulang belakang mempunyai bentuk
khusus, misalnya tulang servikal pertama yang disebut atlas dan ruas servikal kedua yang
disebut odontoid. Kanalis spinalis terbentuk antara korpus di bagian depan dan arkus neuralis
dibagian belakang. Kanalis spinalis ini di daerah servikal berbentuk segitiga dan lebar,
sedangkan di daerah torakal berbentuk bulat dan kecil. Bagian lain yang menyokong
kekompakan ruas tulang belakang adalah komponen jaringan lunak yaitu ligamentum
longitudinal anterior, ligamentum longitudinal posterior, ligamentum flavum, ligamentum
interspinosus, dan ligamentum supraspinosus.
Stabilitas tulang belakang disusun oleh dua komponen, yaitu komponen tulang dan
komponen jaringan lunak yang membentuk satu struktur dengan tiga pilar. Pertama yaitu satu
tiang atau kolom di depan yang terdiri atas korpus serta diskus intervertebralis. Kedua dan
ketiga yaitu kolom di belakang kanan dan kiri yang terdiri atas rangkaian sendi
intervertebralis lateralis. Secara keseluruhan tulang belakang dapat diumpamakan sebagai
satu gedung bertingkat dengan tigatiang utama, satu kolom di depan dan dua kolom di
samping belakang, denganlantai yang terdiri atas lamina kanan dan kiri, pedikel, prosesus
transverses dan prosesus spinosus. Tulang belakang dikatakan tidak stabil bila kolom vertikal
terputus pada lebih dari dua komponen.
Sumsum tulang belakang berjalan melalui tiap-tiap vertebra dan membawa saraf yang
menyampaikan sensasi dan gerakan dari dan ke berbagai area tubuh. Semakin tinggi
kerusakan saraf tulang belakang, maka semakin luas trauma yang diakibatkan. Misalnya, jika
kerusakan saraf tulang belakang di daerah leher, halini dapat berpengaruh pada fungsi di
bawahnya dan menyebabkan seseorang lumpuh pada kedua sisi mulai dari leher ke bawah
dan tidak terdapat sensasi di bawah leher. Kerusakan yang lebih rendah pada tulang sakral
mengakibatkan sedikit kehilangan fungsi.
2. Definisi
Spinal Cord Injury (SCI) adalah kerusakan atau trauma pada sumsum tulang
belakang yang mengakibatkan kerugian atau gangguan fungsi yang menyebabkan mobilitas
berkurang. Penyebab umum dari kerusakan adalah trauma (kecelakaan mobil,
tertembak, jatuh, cedera olahraga, dll) atau penyakit (myelitis melintang, Polio,
spina bifida, dll). Pada kebanyakan orang dengan SCI, sumsum tulang belakang
masih utuh, tetapi kerusakan selular untuk itu mengakibatkan hilangnya fungsi.
SCI sangat berbeda dari cedera punggung stenosis tulang belakang atau saraf terjepit.
Tingkat kerusakan sangat membantu untuk memprediksi bagian tubuh mana yang
mungkin terpengaruhi oleh kelumpuhan dan hilang fungsi. Apabila benturan di bagian
tengkuk (leher) maka kelumpuhan yang terjadi disebut sebagai Quadriplegia atau tetraplegia.
Kata “Quad”, berarti “empat”, berhubungan dengan anggota tubuh (lengan/kaki). “Plegia”
berarti kelumpuhan. Jika benturan pada bagian dada, Lumbar atau Sacral, lengan tidak akan
terpengaruhi. Dalam kasus ini digunakan istilah Paraplegik. Pengaruh-pengaruh SCI tidak
hanya tergantung pada tingkat luka, tapi juga pada tingkat kerusakan. Hal ini sering
dijelaskan sebagai luka menyeluruh atau luka tidak menyeluruh (complete or incomplete
injury).
3. Patofisiologi
Sumsum tulang belakang terdiri atas beberapa traktus atau jalur saraf yang membawa
informasi motorik (desenden) dan sensorik (asenden). Traktus kortiko spinal adalah jalur
motorik desenden yang terletak di anterior sumsum tulang belakang.
Kolumna dorsal adalah traktus sensorik asenden yang membawa informasi raba, propriosepsi
dan vibrasi ke korteks sensorik. Traktus spinotalamikus lateral membawa sensasi nyeri dan
suhu. Traktus spinotalamikus anterior membawa sensasi raba. Fungsi otonom dibawa oleh
traktus interomedial anterior.
Suplai darah sumsum tulang belakang terdiri atas 1 arteri spinalis anterior dan 2 arteri
spinalis posterior. Arteri spinalis anterior mensuplai dua pertiga anterior sumsum tulang
belakang. Trauma iskemik pada arteri ini berdampak terjadinya disfungsi traktus
kortikospinal, spinotalamikus lateral, dan interomedial anterior. Sindrom arteri spinalis
anterior meliputi paraplegia, hilangnya sensasi nyeri dan suhu dan disfungsi otonom. Arteri
spinalis posterior mensuplai kolumna dorsalis. Trauma vaskular dapat menyebabkan lesi
sumsum tulang belakang pada level segmen yang lebih tinggi daripada level trauma tulang
belakang. Trauma vascular mengakibatkan iskemik pada servikal yang tinggi. Trauma
hiperekstensi servikal dapat menyebabkan trauma iskemik sumsum tulang belakang.
Trauma traktus kortikospinal atau kolumna dorsal berakibat terjadinya paralisis
ipsilateral atau hilangnya sensasi raba, propriosepsi, dan getar. Sedangkan trauma pada
traktus spinotalamikus lateral menyebabkan hilangnya sensasi suhu dan nyeri kontralateral.
Trauma sumsum tulang belakang anterior menyebabkan paralisis dan hilangnya sensasi raba.
Fungsi otonom dijalankan melalui traktus interomedial anterior. Saraf simpatis keluar
dari sumsum tulang belakang di antara C7-L1, sedangkan saraf parasimpatis keluar di antara
S2 dan S4. Oleh karena itu lesi atau trauma sumsum tulang belakang dapat menyebabkan
disfungsi otonom.
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari komosio sementara (dimana pasien sembuh
sempurna) sampai kontusio, laserasi, dan kompresi substansi medulla (baik salah satu atau
dalam kombinasi), sampai transeksi lengkap medulla (yang membuat pasien paralisis
dibawah tingkat cedera).
Bila haemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke
ekstradural, subdural atau daerah subarachnoid pada kanal spinal. Henoragi tersebut
menyebabkan inflamasi, yang menimbulkan gejala seperti syok spinal, pembengkakan atau
edema, dan reaksi anestetik. Syok spinal menyebabkan seseorang mengalami nyeri hebat dan
akut. Segera setelah terjadi kontusion atau robekan akibat cedera, serabut-serabut saraf mulai
membengkak dan hancur. Pembengkakan atau edema tersebut menekan saraf dan pembuluh
darah sehingga terjadi penurunan perfusi jaringan. Dari inflamasi juga menimbulkan reaksi
anastetik yang menyebabkan gangguan pada Ikus paralitik, gangguan rektum dan kandung
kemih yang pada akhirnya berujung pada gangguan eliminasi. Cedera Medulla Spinalis juga
menyebabkan rusaknya jalur desending dan memblok saraf parasimpatik. Rusaknya jalur
desending Kehilangan kontrol vasomotor persarafan simpatis ke jantung menyebabkan
Reflek spinal mengaktivasi sistim saraf simpatis yang menyebabkan Kontriksi pembuluh
darah yang berpotensi terjadinya infark miokard. Rusaknya jalur desending menyebabkan
terputus jaringan saraf medula spinalis

4. Klasifikasi Derajat Kerusakan Medula Spinalis Menurut American Spinal Injury Association
(Asia)
A = Complete, fungsi motorik dan sensorik tidak berfungsi sama sekali
B= incomplete, fungsi motoris hilang sama sekali tetapi sensorik masih tersisa.
C= incomplete, fungsi motoris dan sensoris masih terpelihara tetapi tidak fungsional.
D= incomplete, fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara dan fungsional.
E= normal, fungsi sensorik dan motorisnya normal tanpa deficit neurologisnya.
5. Holdsworth membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut:
1. Cedera fleksi: cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior,
kemudian dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra sehingga
mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera seperti ini dapat dikategorikan
sebagai cedera yang stabil;
2. Cedera fleksi-rotasi: beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior
(terkadang juga dapat melukai prosesus artikularis) lalu, cedera ini akan mengakibatkan
terjadinya dislokasi fraktur rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture korpus
vertebra. Cedera ini digolongkan sebagai cedera yang paling tidak stabil;

3. Cedera ekstensi: cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan
menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolumna vertebra
dalam posisi fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil; Cedera kompresi vertikal
(vertical compression): cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus
vertebra dan dapat menimbulkan burst fracture;
d. Cedera robek langsung (direct shearing): cedera robek biasanya terjadi di daerah torakal dan
disebabkan oleh pukulan langsung pada punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser,
fraktur prosesus artikularis serta ruptur ligamen.
6. Jenis Cedera Tulang Belakang
Cedera tulang belakang mengacu pada jenis cedera yang
mengakibatkan hilangnya fungsi yang lengkap , sementara tidak lengkap cedera tulang
belakang adalah mereka y a n g m e n g h a s i l k a n s e n s a s i f u n g s i s e b a g i a n . T i n g k a t
d a n d e r a j a t fungsi dalam luka yang tidak lengkap sangat individu, dan
tergantung pada kerusakan pada tulang belakang.
a. Cedera Spinal Cord Lengkap
Cedera lengkap berarti bahwa tidak ada fungsi, tidak ada sensasi dan tidak ada
gerakan secara otonom. Kedua sisi tubuh sama -sama terpengaruh. Cedera tulang
belakang lengkap menyebabkan paraplegia lengkap atau tetraplegia lengkap.
Paraplegia lengkap digambarkan sebagai hilang permanen fungsi motoric dan
saraf pada tingkat T1 atau bawah, yang mengakibatkan hilangnya sensasi dan
gerakan di kaki, usus, kandung kemih, dan wilayah seksual. Lengan dan tangan
mempertahankan fungsi normal. Cedera tulang belakang yang lengkap berarti tidak ada
gerakan atau sensasi di bawah tingkat ciedera. Dalam cedera yang lengkap, keduasisi tubuh
sama-sama terpengaruh. Cedera tulang belakang lengkap jatuh di bawah lima klasifikasi yang
berbeda:
1. Sindrom saraf anterior: dicirikan oleh kerusakan pada bagian depan tulang belakang.
Mengakibatkan gangguan suhi, sentuhan, dan sensasi nyeri di titik bawah cedera. Beberapa
gerakan nantinya dapat dipulihkan.
2. Sindrom saraf pusat: paling sering dijumpai setelah suatu cedera hiperekstensi servikal.
Karena sebab tertentu seperti keadaan mekanik dan catu vaskuler dari kord, bagian sentral
dapat mengalami kontusi walau bagian lateral hanya mengalami cedera ringan. Khas pasien
mengeluh disestesi rasa terbakar yang berat pada lengan, mungkin karena kerusakan serabut
spinotalamik, mungkin saat ia menyilang komisura anterior. Pemeriksaan fisik menunjukkan
kelemahan lengan, dengan utuhnya kekuatan ekstremitas bawah. Sebagai tambahan, sensasi
nyeri dan suhu hilang dalam distribusi seperti tanjung. Semua lesi yang menyebabkan cedera
primer terhadap kord spinal sentral dapat menimbulkan gambaran defisit serupa, seperti
siringo- mielia, tomor kord spinal intrinsik, dan hidromielia. Sindroma ini secara jarang dapat
terjadi pada kord spinal bawah (konus medularis).
3. Sindrom saraf posterior, ditandai oleh kerusakan bagian belakang sumsum tulang belakang,
sehingga kekuatan otot, rasa sakit dan sensasi suhu baik, tetapi koordinasi buruk.
4. Sindrom brown-sequard, dicirikan oleh kerusakan pada satu sisi tulang belakang,
mengakibatkan hilangnya sensasi pada satu sisi tubuh, gerakan ada tetapi hilangnya sensasi di
sisi lain tubuh.
5. Sindrom cauda equine, ditandai dengan cedera pada saraf yang terletak antara wilayah
lumbalis pertama dan kedua tulang belakang, mengakibatkan hilangnya sensasi sebagian atau
lengkap. Dalam beberapa kasus, saraf tubuh tumbuh kembali. Paraplegia lengkap adalah
suatu kondisi yang menyebabkan kerugian permanen gerakan dan sensasi di tingkat T1 atau
bawah. Pada tingkat T1 ada fungsi tangan yang normal, dan sebagai tingkat bergerak ke
bawah kolom tulang meningkatkan kontrol perut, fungsi pernafasan, dan keseimbangan
duduk. Beberapa orang dengan paraplegia lengkap memiliki gerakan batang parsial, yang
memungkinkan mereka untuk berdiri atau berjalan jarak pendek dengan alat bantu. Pada
kebanyakan kasus, paraplegics lengkap memilih untuk mendapatkan kursi roda.
b. Cedera Spinal Cord tidak Lengkap
Delam cedera tidak lengkap, pasien sering dapat memindahkan satu anggota gerak lebih
dari pada yang lain, mungkin memiliki fungsi yang lebih pada satu sisi dari yang lain, atau
mungkin memiliki beberapa sensasi di bagian tubuh yang tidak dapat dipindahkan. Efek dari
cedera tidak lengkap tergantung pada bagian yang terpengaruh.
7. Efek dari Spinal Cord Injury
Cedera di wilayah dada biasanya mempengaruhi bagian dada dan kaki dan
mengakibatkan kelumpuhan. Vertebra di punggung bawah antara vertebra toraks,
dimana tulang rusuk melekat, dan pelvis (tulang pinggul), adalah vertebra lumbal.Vertebra
sakralis bergeser dari Pelvis ke akhir kolom tulang belakang. Cedera vertebra (L-
1 sampai L-5) dan juga dengan vertebra (S-1 sampai S-5) umumnya mengakibatkan
hilangnya beberapa fungsi di bagian pinggul dan kaki. Efek dari SCI tergantung pada jenis
cedera dan tingkat cedera.
8. Tingkat Spinal Cord Injury
Tingkat cedera sangat membantu dalam memprediksi apa bagian tubuh
yang mungkin akan terpengaruh oleh kelumpuhan dan hilangnya fungsi.Servikal
(leher) luka biasanya menghasilkan quadriplegia.
1. Cedera diatas level C-4 mungkin memerlukan ventilator bagi orang untuk bernapas.
2. C-5 sering mengakibatkan cedera bahu (deltoid) dan kontrol bisep, tetapi tidak ada kontrol
di pergelangan tangan atau tangan.
3. C-6 cedera pergelangan umumnya memberi kontrol(ekstensor pergelangan tangan), tetapi
tidak ada fungsi jari tangan.
4 . C7 dan T-1 cedera masih dapat meluruskan lengan mereka (trisep) tetapi mungkin masih
memiliki masalah ketangkasan dengan tangan dan jari. Cedera pada tingkat dada dan bawah
mengakibatkan paraplegia, dengan tangan tidak terpengaruh.
5. T-1 sampai T-8 yang paling sering ada kendali dari tangan, tetapi kontrol batang otak sebagai
akibat dari kurangnya kontrol otot perut
6. T-9 ke T12 memungkinkan kontrol tubuh yang baik dan kontrol otot perut yang baik. Duduk,
keseimbangan yang baik. Lumbalis dan sakraliscedera menyebabkan penurunan kontrol dari
fleksor pinggul dan kaki, kelumpuhan, juga efek lain serta hilangnya fungsi sensorik atau
motorik. Individu dengan S C I j u g a m e n g a l a m i p e r u b a h a n n e u r o l o g i s l a i n n ya .
Sebagai contoh, seseorang mungkin mengalami disfungsi usus dan kandung kemih.Fungsi
seksual yang sering terkena pada pria dengan SCI, karena mereka mungkin memiliki
kesuburan mereka terpengaruh, sementara kesuburan perempuan umumnya tidak
terpengaruh. C - 1 , C - 2 d a p a t mengakibatkan hilangnya banyak fungsi tubuh, termasuk
kemampuan untuk bernapas.
7. Efek lain dari SCI mungkin termasuk tekanan dara rendah postural (Hipotensi postural),
ketidakmampuan untuk mengatur tekanan darah dengan efektif, kontrol penurunan suhu
tubuh (poikilothermik), ketidakmampuan untuk berkeringat di bawah tingkat cedera, dan rasa
sakit kronis.
9. Tanda dan Gejala Paraplegi Akibat Spinal Cord Injury
a. Gangguan Motorik
Cedera medulla spinalis bersifat komplit dan terjadi kerusakan sel-sel saraf pada medulla
spinalis yang menyebabkan gangguan arcus reflek dan flaccid paralisis dari otot yang disarafi
sesuai dengan segmen-segmen medulla spinalis yang cedera. Pada awal kejadian akan
mengalami syok spinal yang berlangsung sesaat stelah kejadian atau bahkan sampai 6
minggu. Syok spinal ditandai dengan hilangnya reflek. Apabila lesi terjadi di mid thorakal
maka gangguan refleknya lebih sedikit tetapi apabila terjadi di lumbal beberapa otot-otot
anggota gerak bawah akan mengalami flaccid paralisis ( B r o m l e y , 2 0 0 1 ) . M a s a
s p i n a l s h o c k b e r l a n g s u n g beberapa jam bahkan sampai 6 minggu kemudian
akan berangsur-angsur pulih dan menjadi spastik. Cedera pada medula spinalis pada
level atas bisa pula flaccid karena disertai kerusakan vaskuler yang dapat
menyebabkan matinya sel-sel saraf
b. Gangguan Sensorik
pada kondisi paraplegi salah satu gangguan sensoris yaitu adanya paraplegi pain
dimana nyeri tersebut merupakan gangguan saraf tepi atau sistem saraf pusat yaitu sel-sel
yang ada di saraf pusat mengalami gangguan ( C r o s b i e , 1 9 9 3 ) . Selain itu kulit dibawah
akan mengalami anaesthes, karena terputusnya serabut-serabut saraf sensoris.
c. Gangguan Bladder dan Bowel
Efek gangguan fungsi bladder tergantung pada level cedera spinalis, derajat
kerusakan, dan waktu setelah terjadinya injury di medulla spinalis. Paralisis bladder terjadi
pada hari pertama seteklah injuri selama periode syok spinal. Seluruh reflek bladder dan
aktivitas otot-ototnya hilang.Pasien akan mengalami gangguan retensi diikuti dengan pasif
incontinensia. Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik membangkitakan kontraksi
otot polos sigmoid dan rectum serta relaksasi otot spingter internus. Kontraksi otot polos
sigmoid dan rectum itu berjalan secara reflektorik. Impuls afferentnya
d i c e t u s k a n o l e h g a n g g l i o n ya n g b e r a d a d i d a l a m d i n d i n g s i g m o i d d a n
r e c t u m akibat peregangan, karena penuhnya sigmoid dan rectum dengan tinja.
Defekasi adalah kegiatan volunter untuk mengosongkan sigmoid dan rectum.
Mekanisme d e f e k a s i d a p a t d i b a g i d a l a m d u a t a h a p . P a d a t a h a p p e r t a m a ,
t i n j a d i d o r o n g kebawah sampai tiba di rectum kesadaran ingin buang air besar
secara volunter, karena penuhnya rectum kesadaran ingin buang air besar timbul. Pada
tahap keduasemua kegiatan berjalan secara volunter.Spincter ani dilonggarkan dan
sekaligusdinding perut dikontraksikan, sehingga tekanan intra abdominal yang
meningkatmempermudah dikeluarkannya tinja.Jika terjadi inkontinensia maka defekasi
tak terkontrol oleh keinginan (Sidharta, 1999).
d. Gangguan Fungsi Seksual
Gangguan seksual pada pria dengan lesi tingkat tinggi untuk beberapa jam
atau beberapa hari setelah cedera. Seluruh bagian dari fungsi sexual mengalami
gangguan pada fase spinal shock. Kembalinya fungsi seksual tergantung padalevel cidera dan
komplit/tidaknya lesi.Untuk dengan lesi komplet diatas pusat reflex pada conus,
otomatisasiereksi terjadi akibat respon lokal, tetapi akan terjadi gangguan sensasi
selamaaktivitas seksual. Pasien dengan level cidera rendah pusat reflek sakral masih
m e m p u n ya i r e f l e x e r e k s i d a n e r e k s i p s yc h o g e n i c j i k a j a l u r s i m p a t i s
t i d a k mengalami kerusakan, biasanya pasien mampu untuk ejakulasi, cairan
akan m e l a l u i uretra ya n g kemudian k e l u a r n ya cairan diat ur oleh
kontraksi d a r i internal bladder sphincter.Kemampuan fungsi seksual sangat
bervariasi pada pasien dengan lesitidak komplit, tergantung seberapa berat kerusakan
pada medula spinalisnya.Gangguan sensasi pada penis sering terjadi dalam hal ini. Masalah
yang terjadi b e r h u b u n g a n dengan locomotor dan aktivitas otot
secara v o l u n t e e r . Dapat dilakukan tes untuk mengetahui potensi sexual dan
fertilitas.Selain itu b a n y a k p a s a n g a n ya n g m e m e r l u k a n b a n t u a n u n t u k b e l a j a r
t e k n i k - t e k n i k keberhasilan untuk hamil (Hirsch, 1990; Brindley, 1984).
Gangguan seksual pada wanita, gangguan siklus menstruasi banyak terjadi
pada wanita dengan lesikomplit atau tidak komplit. Gangguan ini dapat terjadi
untuk beberapa bulanatau lebih dari setahun. Terkadang siklus menstruasinya akan
kembali normal. Pada pasien wanita dengan lesi yang komplit akan mengalami gangguan
sensasi pada organ genitalnya dan gangguan fungsi seksual. Pada paraplegi dan tetraplegia,
wanira dapat hamil dan mempunyai anak yang normal dengan lahir normal atau Caesar (SC).
Kontraksi uterus akan terjadi secara normal untuk cidera diatas level
Th6,kontraksi uterus yang terjadi karena reflek otonom. Pasien dengan lesi complet pada
Th6 dan dibawahnya akan mengalami nyeri uterus untuk pasien denganlesi komplet Th6,
Th7, Th8 perlu mendapatkan pengawasan khusus biasanyaoleh rumah sakit sampai proses
kehamilan.
e. Autonomic Desrefleksia
Autonomic desrefleksia adalah reflek vaskuler yang terjadi akibat respon stimulus
dari bladder, bowel atau organ dalam lain dibawah level cedera yang tinggi, fisioterapi harus
tanggap terhadap tanda-tanda terjadinya autonomik defreksia antara lain:
1. Keluar banyak keringat pada kepala, leher, dan bahu,
2. Naiknya tekanan darah
3. HR rendah
4. Pusing atau sakit kepala
5. Overdistension akibat terhambatnya kateter dapat meningkatkan aktivitas dari reflek ini jika
tidak cepat ditanggulangi dapat menyebabkan pendarahan pada otak bahkan kematian. Dapat
juga disebabkan oleh spasme yang kuat dan akibat perubahan posisi yang tiba-tiba.
10 Penatalaksanaan Cedera Medula Spinalis (Fase Akut)
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medulla spinalis lanjut dan
mengobservasi gejala penurunan neurologik. Pasien diresusitasi bila perlu, dan stabilitas
oksigenisasi dan kardiovaskuler dipertahankan.
a . Farmakoterapi. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi, khususnya metilprednisolon, telah
dipertemukan untuk memperbaiki prognosis dan mengurangi kecacatan bila di berikan dalam
8 jam cedera. Dosis pembebanan diikuti dengan infus kontinu telah dikatkan dengan
perbaikan klinis bermakna untuk pasien dengan cedera medulla spinalis akut.Yang masih
dalam penyelidikan adalah pengobatan dengan steroid dosisi tinggi, mannitol (diberikan
untuk menurunkan edema) dan dekstran (diberikan untuk mencegah tekanan darah turun
cepat dan untuk memperbaiki aliran darah kapiler), diberikan dalam kombinasi.Nalokson,
obat yang telah minimal dan dapat meningkatkan perbaikan neurologik pada manusia.
b . Hipotermia. Keefektifan teknik pendinginan atau penyebaran hipotermia ke derah cedera dari
medulla spinalis, untuk mengatasi kekuatan autodestruktif yang mengikuti tipe cedera ini
masih diselidiki.
c . Tindakan pernafasan. Oksigen diberikan untuk pertahanan PO2 arteri tinggi, karena
anoksemia dapat menimbulkan atau memperburuk defisit, neurologik medulla spinalis.
Intubasi endotrakea diberikan bila perlu, perawatan ekstrem dilakukan untuk menghindari
fleksi atau ekstnsi leher., yang menimbulkan tekanan pada cedr servikal. Diaphragm pacing
(stimulasi listrik dengan lesi servikal tinggi tetapi biasanya dilakukan setelah fase akut ).
d . Traksi dan mengurangi pergerakan. Penatalaksanaan cedera medulla spinalis memerlukan
immobilisasi dan reduksi dislokasi (memperbaiki posisi normal) dan stabilisasi kolum
vertebra.
e . Fraktur servikal dikurangi dan spinal servikal disejajarkan dengan beberapa bentuk traksi
skelet seperti tong skelet atau calipers, atau dengan menggunakan alat halo. Berbagai tong
skelet tersedia, semua terlibat dalam fiksasi tengkorak dalam beberapa cara. Tong Gardner-
Wells tidak memerlukan lubang predrilled dalam tengkorak. Tong Crutehfield dan Vinke
dipasang melalui lubang yang dibuat dengan bor khusus dengan menggunakan anastesi local.
Traksi dipasang pada tong sesuai dengan beban berat, jumblahnya bergantung pada ukuran
pasien dan derajat fraktur. Kekuatan traksi yang diberikan sepanjang sumbu longitudinal
badan vertebra dengan leher pasien dalam posinetral. Kemudian traksi ditingkatkan secara
bertahap penambahan beban. Jumlah traksi ditingkatkan, ruang antara diskusintervertebra di
perluas, dan vertebra diposisikan kembali.Rduksi biasanya terjadi setelah koreksi kesejajaran
posisi dicapai.Bila reduksi tercapai, yang dipastikan dengan film tulang servikal dan
pemeriksaan neurologi, beban secara bertahap dikurangi sampai jumlah berat yang
diinginkan untuk mempertahankan kesejajaran diperoleh.Beban ini harus bergantung dengan
bebas sehingga tidak mempengaruhi traksi. Pasien ditempatkan pada kerangka stryker atau
kerngka pembalik lain bila tersedia.
f. Intervensi pembedahan. Pembedahan diindikasika bila:
1. Deformitas pasien tidak dapat tanggulangi dengan traksi
2. Tidak ada kestabilitas tulang sevikal
3. Cedera terjadi pada derah thoraks atau lumbal
4. Status neurologic pasien memburuk.
5. Pembedahan dilakukan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau dekompresi
medulla.
g. Laminektomi (eksisi cabang posterior dan prosessus spinosus vertebra) diindikasikan pada
adannya deficit neurologik progresif, dicurigai adanya hematoma epidural, atu cedera
penetrasi yang memerlukan debridemen pembedahan, atau memungkinkan visualisasi
langsung dn eksplorasi medulla.
11. Penggunaan Halo system
Halo vest (Gambar 2) sering digunakan sebagai alat definitif untuk cedera spina
servikal. Philadelphia collar bersifat semirigid, sintetik foam brace dimana pada dasarnya
membatasi fleksi dan ekstensi tetapi membebaskan rotasi. Miami-J collar bersifat mirip tetapi
lebih kaku dan lebih nyaman untuk sandaran.
Gambar 2. Halo vest

(a) (b)
Gambar 3. Philadelphia collar (a) dan Miami-J collar (b)

12. Evaluasi Diagnostik


Pengkajian neurologi yang lengkap perlu dilakukan. Diagnostik dengan sinar X (sinar
X pada cervical lateral dan pemindaian CT). suaru riset dilakukan untuk cedera lain karena
trauma spinal sering bersamaan dengan cedera lain, yang biasanya dari kepala dan dada.
Pemantauna EKG continue merupakan indikasi karena bradikardia (perlambatan frekuensi
jantung) dan asistole (standstill jantung) umum terjadi pada cedera servical akut.

13. Proses Keperawatan


a. Pengkajian
- Aktifitas /Istirahat
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi. Kelemahan umum
/kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
- Sirkulasi
Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.
- Eliminasi
Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis berwarna seperti kopi
tanah /hematemesis.
- Integritas Ego
Takut, cemas, gelisah, menarik diri.
- Makanan /cairan
Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)
- Higiene
Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)
- Neurosensori
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok spinal).
Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinal sembuh).
Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon
dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena
pengaruh trauma spinal.
- Nyeri /kenyamanan
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
- Pernapasan
Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat,
sianosis.
- Keamanan
Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
- Seksualitas
Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.
- (Marikyn E. Doengoes, 1999 ; 338-339)

b. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan /paralisis otot-otot
abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.
2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan sesorik.
3. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan immobilitas,
penurunan sensorik.
4. Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih secara spontan.
5. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan autonomik.
6. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan alt traksi
(Diane C. Boughman, 2000 : 90)
c. Perencanaan Dan Implementasi
Tujuan perencanaan dan implementasi dapat mencakup perbaikan pola pernapasan,
perbaikan mobilitas, pemeliharaan integritas kulit, menghilangkan retensi urine, perbaikan
fungsi usus, peningkatan rasa nyaman, dan tidak terdapatnya komplikasi.
d. Intervensi
1. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan /paralisis otot-otot
abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.
Tujuan : Meningkatkan pernapasan yang adekuat
Kriteria hasil : Batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan seket, bunyi napas normal, jalan
napas bersih, respirasi normal, irama dan jumlah pernapasan, pasien, mampu melakukan
reposisi, nilai AGD : PaO2 > 80 mmHg, PaCO2 = 35-45 mmHg, PH = 7,35–7,45

Rencana Tindakan
a. Kaji kemampuan batuk dan reproduksi sekret
R/ Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen berpengaruh terhadap
kemampuan batuk.
b. Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi leher, brsihkan sekret)
R/ Menutup jalan nafas.
c. Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret, lakukan kultur
R/ Hilangnya refleks batuk beresiko menimbulkan pnemonia.
d. Lakukan suction bila perlu
R/ Pengambilan secret dan menghindari aspirasi.
e. Auskultasi bunyi napas
R/ Mendeteksi adanya sekret dalam paru-paru.
f. Lakukan latihan nafas
R/ mengembangkan alveolu dan menurunkan prosuksi sekret.
g. Berikan minum hangat jika tidak kontraindikasi
R/ Mengencerkan sekret
h. Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah
R/ Meninghkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar olsogen dalam darah.
i. Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi
R/ Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi.
2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan sesorik.
Tujuan : Memperbaiki mobilitas
Kriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya
kontraktur,footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit /kompensasi,
mendemonstrasikan teknik /perilaku yang memungkinkan melakukan kembali aktifitas.
Rencana Tindakan
a. Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.
R/ Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4 jam.
b. Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan kenyamanan
pasien.
R/ Mencegah terjadinya dekubitus.
c. Beri papan penahan pada kaki
R/ Mencegah terjadinya foodrop
d. Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits
R/ Mencegah terjadinya kontraktur.
e. Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah cedera 4-5 kali /hari
R/ Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur.
f. Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.
R/ Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan.
g. Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot seperti splints
R/ Memberikan pancingan yang sesuai.
3. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan immobilitas,
penurunan sensorik.
Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulit
Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas dari infeksi pada
lokasi yang tertekan.
Rencana Tindakan
a. Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit
R/ Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder /bowel.
b. Kaji keadaan pasien setiap 8 jam
R/ Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.
c. Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
R/ Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas
d. Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis
R/ Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan
sirkulasi darah.
e. Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.
R/ Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit
f. Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam dengan
gerakan memutar.
R/ Meningkatkan sirkulasi darah
g. Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein
` R/ Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan
h. Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
R/ Mempercepat proses penyembuhan

e. Evaluasi
1. Klien dapat meningkatkan pernafasan yang adekuat
2. Klien dapat memperbaiki mobilitas
3. Klien dapat mempertahankan integritas kulit
4. Klien menyatakan rasa nyaman

14. Masalah Kolaboratif Komplikasi Potensial


1. Thrombosis vena profunda
2. Hipertensi ortostatik

3. Hiperrefleksia autonom

Anda mungkin juga menyukai