Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Nilai budaya adalah prinsip-prinsip yang sidah tertanam pada diri


seseorang maupun kelompok yang dijadikan pedoman hidup. Ia menjadi
pegangan yang bersifat ideologis di dalam menjalani kehidupan di muka
bumi ini. Al-Qur’an sebagai kitab hidayah dan pembentuk kebudayaan
mendapat tempatnya di sini. Ia menjadi sumber inspirasi bagi umat Islam.
Hasilnya, seluruh kebudayaan di dunia memiliki corak Islami yang khas,
salah satunya adalah Indonesia. Banyak kebudayaan Indonesia yang
melebur dengan kebudayaan Islam, seperti wayang, sarung, masjid, dan
lain-lain.

Selain Al-Qur’an, Sunnah menjadi penguat pengembangan budaya


Islam di Indonesia. Berbagai perilaku, adat istiadat, dan kebiasaan
masayarakat Indonesia terbentuk melalui ajaran yang disampaikan
Rasullah SAW dalam bentuk Sunnah dan Hadits. Seiiring dengan waktu,
implementasi Sunnah mengalami pengembangan dari abad ke abad.

Terkadang, kebudayaan juga dibentuk melalui Ijtihad para ulama.


Ijtihad menjadi sangat penting seiiring kemajuan ilmu, apalagi perubahan
kebudayaan akibat globalisasi semakin marak. Ijtihad dikeluarkan ketika
budaya tersebut tidak dapat dikulturkan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Maka dari itu, makalah yang kami susun ini berjudul “Konsep Al-Qur’an,
Sunnah, dan Ijtihad dalam Membangun Kebudayaan Islam di Indonesia”.

1.2. RUMUSAN MASALAH


Makalah ini membahas beberapa rumusan masalah, yaitu :

1
1. Mengapa Al-Qur’an dapat menjadi inspirasi perkembangan
kebudayaan Islam di Indonesia ?
2. Mengapa as-Sunnah dijadikan penguat pengembangan budaya
Islam di Indonesia setelah Al-Qur’an ?
3. Mengapa Ijtihad membentuk mekanisme kontekstualisasi Al-
Qur’an dan Sunnah ?

1.3. TUJUAN
Tujuan dari makalah ini adalah :
1. Menganalisis Al-Qur’an sebagai inspirasi kebudayaan Islam di
Indonesia.
2. Menganalisis Sunnah sebagai penguat pengembangan budaya
Islam di Indonesia.
3. Menganalisis ijtihad sebagai mekanisme kontekstualisasi Al-
Qur’an dan Sunnah.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.
2.1. DEFINISI AL-QUR’AN

Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam. Umat islam percaya
bahwa Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup Wahyu Allah yang
diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman yang disampaikan
kepada Nabi Muhammad SAW, melalui perantara Malaikat Jibril. Dan
sebagai Wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW, sebagaimana
terdapat dalam surat Al-Alaq ayat 1-5. Al-Qur’an merupakan salah satu
kitab yang mempunyai sejarah panjang yang dimiliki oleh umat Islam dan
sampai sekarang masih terjaga keasliannya.

Ada beberapa pendapat mengenai pengertian Al-Qur’an. Menurut


ejaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Al-Qur’an adalah kitab suci agama
Islam. Manna’al-Qathan , ia mendefenisikan Al-Qur’an adalah kalam Allah
yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dan beribadah dalam
membacanya. Ali Ashabuni, Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang
mengandung mukjizat yag diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan
Rasul dengan perantara malikat jibril. Mukjizat adalah sesuatu yang
membuat orang lemah atau membujuk agar orang untuk beriman.

Al-Qur’an sebagai wahyu dan mukjizat terbesar Rasulullah SAW.


Mempunyai dua pengertian, yaitu pengertian secara Etimologi ( bahasa )
dan pengertian menurut terminology ( istilah ). Al-Qur’an menurut
Etimologi ( bahasa ) yaitu bacaan atau yang dibaca. Kata Al-Qur’an adalah
bentuk mashddar dari fi’il qara’a yang diartikan dengan arti isim maf’ul,
yaitu ( yang dibaca atau bacaan ).

Pengertian diatas dapat kita baca dalam surah Al-Qiyamah ayat 17-18 yang
artinya: "Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan

3
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah
bacaannya itu.“(Q.S. Al- Qiyamah, 17-18). Menurut imam syarii Al-
Qur’an bukan berasal dari qara’a karena Al-Qur’an berasal dari sang
pencipta atau allah yang menamai ciptaannya.

Al-Qur’an menurut terminology ( istilah ) adalah nama bagi


kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang ditulis
dalam mushhaf. Secara lengkap Dr.Bakhri Syaikh Amin mendefenisikan
Al-Qura’an sebagai berikut Artinya: “Al-Qur’an adalah kalam
Allah SWT yang mengandung kemukjizatan, yang diturunkan kepada
penutup para nabi dan rasul, melalui perantaraan malaikat Jibril, ditulis
dalam mushaf, dihafal di dalam dada, disampaikan kepada kita secara
mutawatir, membacanya memiliki nilai ibadah, (disusun secara sistematis)
mulai dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nas”.

Al-Quran adalah mukjizat Nabi Muhammad SAW. Maka tidak ada


seorangpun manusia atau jin, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
yang sanggup membuat yang serupa dengan Al-Qur’an. mereka tidak akan
mampu membuatnya. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Tidak hanya untuk memperkuat kerasulannya dan sebagai
kemukjizatannya yang abadi, telah diturunkannya itu mempunyai fungsi
dan tujuan bagi umat manusia.

2.2. DEFINISI SUNNAH

Sunnah berasal dari bahasa arab yang secara etimologis berarti’ jalan
yang biasa dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan“ , atau “kebiasaan
yang selalu dilaksanakan”, apakah kebiasaan atau cara itu sesuatu
kebiasaan yang baik atau buruk.

Secara terminologis(dalam istilah sari’ah), sunnah bisa dilihat dari


tiga bidang ilmu, yaitu dari ilmu hadist, ilmu fiqh dan ushul fiqih. Sunnah

4
menurut para ahli hadist identik dengan hadist, yaitu: seluruh yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan,
maupun ketetapan ataupun yang sejenisnya (sifat keadaan atau himmah).
Sunnah menurut ahli ushul fiqh adalah “ segala yang diriwayatkan dari
Nabi Muhammad SAW, berupa perbuatan, perkataan , dan ketetapan yang
berkaitan dengan hukum”.

Sedangkan sunnah menurut para ahli fiqh , di samping pengertian


yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan
sebagai salah satu hukum taqlifih, yang mengandung
pengertian”perbuataan yang apabila dikerjakan mendapat pahaladan
apabila ditinggalkan tidak medapat siksa (tidak berdosa).” Atau terkadang
dengan perbuatan, beliau menerangkan maksudnya, seperti pelajaran shalat
yang beliau ajarkan kepada mereka (para sahabat) secara praktek dan juga
cara-cara ibadah haji. Dan kadang para sahabatnya brbuat sesuatu di
hadiratnya atau sampai berita-berita berupa ucapan atau tindakan mereka
kepada beliau, tetapi hal ini tidak di ingkarinya, bahkan didiamkannya saja,
padahal beliau sanggup untuk menolaknya(kalau tidak dibenarkan) atau
nampak padanya setuju dan senang, sebagai mana diriwayatkan bahwa
beliau tidak mengingkari orang yang makan daging biawak di tempat
makan beliau.

2.3. DEFINISI IJTIHAD

Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd,yang berarti al-thaqah


(daya,kemampuan,kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-
masyaqqah (kesulitan,kesukaran). Dari itu,ijtihad menurut pengertian
kebahasaannya “badzl al-wus’wa al-majhud” (pengerahan daya dan
kemampuan),atau pengerahan daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas
dari aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar.

5
Dengan kata lain,ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan
seorang faqih (pakar fiqih islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang
hukum sesuatu melalui dalil syara’. Sedangkan ijtihad menurut istilah
ulama’ ushul adalah mengerahkan segala daya untuk menghasilkan hukum
syara’ dari dalilnya yang rinci diantara dalil syara’.

Ijtihad adalah suatu usaha yang sungguh-sungguh yang sebenarnya


bisa dilakukan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk
memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun
hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad
sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam. Tujuan ijtihad yaitu
untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam
beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu
tertentu.

Pengertian ijtihad menurut bahasa adalah bersungguh-sungguh


dalam mencurahkan pikiran. Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah
adalah mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh
dalam menetapkan hukum syariat. Jadi, Ijtihad bisa terjadi jika pekerjaan
yang dilakukan terdapat unsur-unsur kesulitan. Orang yang melakukan
ijtihad disebut dengan mujtahid. Orang yang melakukan ijtihad (mujtahid)
harus benar-benar orang yang taat dan memahami benar isi Al-Qur’an dan
hadis.

2.4. AL-QUR’AN SEBAGAI INSPIRASI PERKEMBANGAN


KEBUDAYAAN ISLAM DI INDONESIA

Kebudayaan Islam merupakan kebudayaan yang dihasilkan oleh


orang-orang muslim yang berdasar kepada pedoman Islam yaitu Al-Qur’an
dan Al-Hadith. Kebudayaan Islam berpegang teguh kepada sisi keimanan
yang selalu berbanding lurus dengan sisi kemanusiaan. Kebudayaan Islam

6
bukan hanya di Negara Arab yang notabene tempat penyebaran pertama,
namum kebudayaan Islam terpencar ke seluruh dunia dimana ada pemeluk
Islam di dalamnya.

Anggapan orang Barat bahwa kebudayaan Islam adalah kebudayaan


Arab adalah sebuah kesalahan. Fakta berbicara bahwa tidak semua orang
Arab adalah Muslim dari mulai masa kehidupan nabi Muhammad saw
sampai sekarang. Kebudayaan Islam dimulai dengan pengesahan nabi
Muhammad saw sebagai rasul yang bertugas menyampaikan risalah kepada
seluruh umat manusia. Dan kebudayaan Islam berlangsung selama di dunia
ini masih ada muslim yang hidup.

Kebudayaan Islam yang berasas Al-Qur’an dan Hadith dalam


sejarahnya telah banyak meluruskan kebudayaan Arab yang masih
dipengaruhi semangat pagan. Seperti halnya membunuh anak perempuan,
memperbudak manusia, mengawini berpuluh-puluh istri, peperangan antar
suku karena masalah sepele dan lain sebagainya.

Di Indonesia, kebudayaan Islam merekontruksi budaya Jawa yang


banyak dipengaruhi ajaran Hindu dan Budha. Wali Songo sebagai motor
penggerak kebudayaan Islam di Jawa mengislamkan penduduk dengan
pendekatan budaya. Sebagai contoh Sunan Bonang yang menggunakan
gamelan sebagai media dakwah. Beliau banyak merubah syair Jawa yang
identik dengan pemujaan Dewa, menjadi lagu-lagu bernuansa Islam seperti
Tombo Ati. Sunan Kali Jaga menggunakan wayang kulit sebagai alat
dakwah dengan merubah karakter para lakonnya. Bahkan Bapak dari para
wali, Sunan Maulana Malik Ibrahim mengadopsi system pendidikan di
kuil-kuil Budha untuk kemudian dijadikan system pendidikan berbasis
pesantren.

Al-Qur`an yang hidup di tengah kehidupan sehari-hari manusia


biasa mewujud dalam bentuk yang beraneka ragam, yang bagi sebagian

7
pemeluk Islam mungkin malah telah dianggap menyimpang dari ajaran-
ajaran dasar agama Islam itu sendiri. Misalnya, adalah kegiatan Yâsinan,
yaitu pembacaan surat Yâsin pada malam Jum`at oleh kelompok-kelompok
pengajian tertentu, atau membacanya di rumah seseorang yang salah
seorang keluarganya telah meninggal. Wujud lainnya adalah penulisan
ayat-ayat al-Qur`an menjadi seni kaligrafi atau lukisan kaligrafis.

2.5. SUNNAH SEBAGAI PENGUAT PENGEMBANGAN BUDAYA


ISLAM DI INDONESIA

Telah diketahui bahwa sunnah rasul itu adalah segala tindakan dan
ucapan Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dalam menjalani hidupnya
yang patut dicontoh oleh seluruh umat Islam. Namun faktanya, dalam
kehidupan sehari-hari, sunnah rasul sering identik dengan aktivitas di hari
Kamis malam atau malam Jumat saja. Parahnya lagi, istilah sunnah rasul
ini lebih populer atau sering diartikan hanya sebatas hubungan suami istri
pada kedua hari tersebut.

Padahal, tidak ada hadits shahih atau ayat Alquran yang mengatakan
sunnah rasul malam Jumat identik dengan melakukan hubungan suami istri.
Pendapat yang kuat justru menganjurkan untuk melakukan hubungan intim
di hari Jumat. Yaitu sebelum berangkat shalat Jumat di siang hari, bukan
malam Jumat. Karena batas awal waktu mandi untuk shalat Jumat adalah
setelah terbit fajar hari Jumat.

Ustadz Ammi Nur Baits, menambahkan, ada hadits shahih namun


tidak mengatakan secara gamblang bahwa sunnah rasul malam Jumat
adalah hubungan seks suami istri. Berikut hadits tersebut: “ Barang siapa
yang mandi pada hari Jumat dan memandikan, dia berangkat lebih pagi dan
mendapatkan awal khotbah, dia berjalan dan tidak berkendaraan, dia
mendekat ke imam, diam, serta berkonsentrasi mendengarkan khotbah
maka setiap langkah kakinya dinilai sebagaimana pahala amalnya

8
setahun.” (H.R. Ahmad, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh
Imam An-Nawawi dan Syekh Al-Albani)

2.6. IJTIHAD SEBAGAI MEKANISME KONTEKSTUALISASI AL-


QUR’AN DAN SUNNAH

Permasalahan yang ada di sekitar kita sangat mungkin untuk


dikritisi, apalagi hal-hal yang berhubungan dengan hukum syara atau
ibadah. Untuk itu, dalam mencari suatu kunci dalam pemecahan masalah,
ulama biasanya menggunakan alat yang bisa memecahkan masalah tersebut
antara lain dengan menggunakan al-Qur’an, sunnah, ijma dan qiyas. Di
samping itu, mereka juga harus melakukan ijtihad untuk memecahkan
sebuah problematika tersebut. Maka dari itu, para ulama membuat
terobosanterobosan atau langkah-langkah untuk melakukan ijtihad sebagai
solusi penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi umat Islam.

Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan mazhab dalam


hukum Islam yang disebabkan dari ijtihad. Misalnya, muncul aliran seperti
Islam liberal, fundamental, ekstremis, moderat dan lain sebagainya. Itu
semua tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing
mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan
ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel sesuai dengan dinamika
zaman. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam
menghadapi problematika kehidupan yang kian kompleks.

Oleh karena itu, sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk


mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama, yaitu al-Qur’an dan
al-hadis dengan jalan istinbat. Adapun mujtahid itu ialah ahli fikih yang
menghabiskan atau mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Oleh
karena itu, sudah sepatunya kita berterima kasih kepada para mujtahid yang
telah mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk menggali hukum

9
tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang sudah
lama terjadi di zaman Rasullullah maupun yang kekinian.

Dengan melihat perkembangan zaman di era sekarang terutama


kaum Muslimin yang ada di Indonesia atau di dunia ini, sangat sulit untuk
mencari orang yang ahli dalam masalah ijtihad jika mengikuti aturan baku
ijtihad zaman dahulu. Namun jika kita melalui lajur yang benar, yaitu
mencari hukum baru atau menggali permasalahan yang belum
terselesaikan, dengan tetap berpedoman pada kaidah-kaidah yang benar
bisa jadi pintu ijtihad masih terbuka lebar. Sebab jika tidak, hukum Islam
akan menjadi bisu dan kaku lantaran tidak mampu mengimbangi dinamika
zaman.

10
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.
3.1. KESIMPULAN

Dalam kebudayaan Indonesia, Islam berperan besar dalam


kulturisasi budaya, seperti kebiasaan, adat istiadat, busana, dan lain-lain.
Islam dan budaya mempunyai wilayah mainnya masing-masing serta
aturannya masing masing, terlebih lagi kedua hal ini berada di Indonesia
yang notabene mempunyai banyak suku, budaya, dan berbagai macam adat
istiadat. Dan semua ini didukung oleh falsafah Negara yang selama ini kita
tanamkan, yakni Bhinneka Tunggal Ika.

Jika islam itu satu sedangkan budaya beragam, maka peletakan dan
pemosisiannya haruslah seimbang dan tidak berselisih. Gusdur dalam
essaynya menuliskan : “Agama islam bersumberkan wahyu dan memiliki
norma-normanya sendiri. Karena bersifat normatif, maka ia cenderung
menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah buatan manusia, karenanya
ia berkembang sesuai dengan keadaan zaman dan cenderung untuk selalu
berubah”. Artinya dalam hal ini ada pertimbangan antara tekstual dengan
kontekstual, dimana pakem islam disesuaikan dengan budaya yang berjalan
di Indonesia.

Islam pun mengajarkan nilai-nilai moral yang demikian, maka sudah


jelas bahwa Islam dan budaya sama sama mengajarkan suatu hal
kedamaian dan ketentraman, islam ke Budaya itu haruslah fleksibel dan
menampung kebutuhan-kebutuhan yang budaya perlukan. Hal ini agar
tidak adanya kesenjangan dan konflik dikarenakan keberagaman yang ada,
padahal nilai-nilai islami juga terdapat dalam nilai nilai kebudayaan.

11
3.2. SARAN
Agama dan budaya di Indonesia, jika dilihat dari konteks Islam yang
berkembang dan hidup di Nusantara ini telah menjadi hubungan simbiosis.
Kedatangan Islam ke Indonesia datang dengan cara damai dan
penyebarannya kepada rakyat umum serta para bangsawan. Para ulama
dalam menyebarkan Islam mempunyai kajian terhadap situasional dimana
setting akan disebarkan Islam itu. Sehingga dengan metode itulah, secara
cepat- meskipun belum sempurna Islamnya dapat menarik masyarakat
untuk memeluk Islam (mungkin baru menyentuh kulitnya). Metode yang
dipergunakan oleh ulama masih harus diperbaiki sampai kepada pegamalan
Islam secara sempurna. Hanya karena dibatasi oleh waktu dan ulama
tersebut meninggal maka untuk melakukan perbaikan tersebut menjadi
mandeg dan hal itu menjadikan metode tersebut sebagai bagian dari Islam
oleh generasi selanjutnya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Agus, Bustanuddin. Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi


Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Assiba’I, Mustafa Husni. Kehidupan Sosial Menurut Islam: Tuntunan Hidup


Bermasyarakat. Terj. M. Abdai Ratomy. Bandung: CV. Diponegoro, 1993.

Djojonegoro, Wardiman. (1996). Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa: Wacana Antar
Agama dan Bangsa. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.

Faruqi, Ismail R al-, dan Faruqi, Louis Lamya al-. Atlas Budaya Islam. Bandung:
Mizan, 2001.

Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 2010.

Suryo, Joko, et al. Agama dan Perubahan Sosial: Studi tentang Hubungan antara
Islam, Masyarakat dan Struktur Sosial-Politik Indonesia. Yogyakarta: Pusat
Antar Universitas-Studi Sosial UGM, 1993.

Suyûthî, Jalal al-Dîn al-. Jâmi’ al-Shaghîr. Juz 1. (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994)

Wijdan SZ, Aden. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Safiria Insania
Press, 2007.

13

Anda mungkin juga menyukai