Anda di halaman 1dari 3

TERTINDAS KEBENCIAN

Kasus Ahok yang ramai dibicarakan di seluruh antero nusantara adalah contoh sempurna
bagaimana sebuah program masuk ke dalam diri seseorang ataupun masyarakat dan membentuk
nilai tertentu yang memungkinkan menimbulkan luka, trauma dan emosi, tertentu.

Walau artikel ini tidak membahas politik atau dukung mendukung, saya menyadari kemungkinan
hadirnya sebagian sahabat yang masih melekat pada konsep benar-salah dan ingin membahasnya.

“ Apakah sewaktu bapak mendengar pertama kali Ahok mengatakan tentang surat Al Maidah, hati
bapak sakit?”

Bapak pengemudi taksi yang sepanjang jalan tidak berhenti mengeluh tentang kondisi Jakarta dan
pemerintahan Indonesia itu terdiam cukup lama.

“ kita kan umat yang tidak tahu banyak hal, bila ulama mengatakan itu menghina ya kita harus nurut
…”

saya mengulagi lagi pertanyaan yang sama, namun lagi lagi tidak terdengar jawaban yang tegas dari
bapak yang sangat yakin bahwa Ahok mempunyai misi mengacaukan umat Islam.

Dalam kelas-kelas yag membahas tentang mindset, dikatakan bahwa sebuah program masuk
kedalam bawah sadar seseorang dan membentuk value atau nilaii dengan berbagai cara, tiga yang
utama adalah,

- Melalui figur otoritas

- Adanya emosi yang intens dan

- Adanya repetisi atau pengulangan.

Selagi kecil bapak saya yang pedagang pernah mengingatkan saya nanti sewaktu besar untuk tidak
menjalin bisnis dengan suku tertentu. Beberapa pengalaman tidak nyaman yang dilaluinya
membentuk sebuah program yang mengeneralisasi kelompok tertentu adalah curang bila berbisnis.

Karena Bapak saya adalah figur otoritas bagi saya sewaktu saya kecil, maka apa yang diyakini dan
dikatakan terekam kuat dalam diri saya.
Sewaktu besar tatkala saya berhadapan dengan suku yang dimaksud, bawah sadar saya
mengeluarkan perasaan yang tidak nyaman dan menjaga jarak ketika mereka mulai mengajak saya
bisnis.

Walaupun saya tidak pernah mempunyai pengalaman jelek dengan suku tersebut tanpa sadar
tindakan saya tenyata terpengaruh oleh apa yang bapak saya katakan berpuluh tahun lalu, .

Dan sebagai orang dewasa otak sadar saya mengetahui bahwa tindakan menggeneralisasi sebuah
kelompok adalah sesuatu yang tidak benar tapi pengaruh tersebut masih sangat terasa di dalam hati
saya.

Di sekolah beberapa teman baru saya bertanya “kamu orang india ya?” setelah saya jawab “ya” ia
pun mengatakan “orang india itu pelit-pelit”

walaupun mereka mengakui saya adalah orang paling royal di kelas dan mereka hanya mempunyai
satu teman orang india, namun di kepalanya mengendap keyakinan bahwa orang india itu pelit.

saya tidak pernah bermasalah langsung dengan suku yang disebut oleh Bapak saya, dan sahabat di
sekolah saya juga sama, tidak pernah punya teman India lain selain saya namun persepsi curang dan
pelit telah berpengaruh dan menimbulkan emosi.

sering dalam kelas pelatihan saya menegaskan bahwa bukan hanya penyakit saja yang menular, yang
lebih dahsyat penularanya adalah prilaku. ketika mendengar tangisan pilu dari seorang ibu, kita pun
ikut bersedih, begitu juga salah sebut pemenenag miss universe beberapa waktu lalu menular pada
pengumuman film terbaik oscar kemarin.

Dalam workshop TRE (tension and trauma releasing excercises) , seseorang tubuhnya bergetar, akan
memancing tubuh orang lain untuk bergetar.

Nah yang lebih dalam lagi dan sering kita tidak sadari adalah trauma seseorang sangat mungkin
menular pada kita, apalagi yang mengatakan adalah figur otoritas.

Di sekolah saya masih ingat bagaimana saya takut mengangkat tangan untuk bertanya pada guru,
karena teman saya pernah bercerita bahwa dia mendapat olok olok “sok pinter”, “cari muka” dari
teman lainnya.

saya tidak mengalami kejadian di olok olok tersebut, namun teman yang trauma itu bercerita
dengan emosi yang intens dan saya pun tanpa sadar membuat program yang menyebabkan rasa
takut di dalam diri saya.
Tulisan ini tidak menyarankan kita untuk cuek terhadap omongan orang atau menghindar dari
berita yang sedang panas, namun kita perlu menyadari dan mengerti bahwa apapun yang dikatakan
orang lain tentang apapun adalah refleksi dari apa yang ada di bathinnya.

Apa yang dikatakan oleh pengemudi taksi diatas bukanlah realitas yang di luar namun apa yang ada
di dalam dirinya, bila ada luka atau trauma ,maka kepahitan itu akan hadir menyertai apa yang
dikatakan.

Bapak saya menggenggam trauma, teman saya punya trauma, supir taksi memiliki trauma, begitu
juga saya, kita semua menggendong luka-luka itu, pertanyaan besarnya “apa yang kita akan lakukan
dengan luka tersebut?”

Bila kita terus berkoar-koar dan berharap orang lain juga merasakan luka yang ada dalam diri kita
memang terkadang akan menimbulkan kelegaan,apalagi orang yang kita ajak bicara menjadi
pedukung kita, namun ini bukanlah tindakan yang akan menyembuhkan luka-luka di dalam diri ini.

Kebencian tidak akan hilang dengan cara disebar sebaliknya, ia akan semakin bertumbuh di dalam,
sementara bila kita ingin hidup kita ringan, kita perlu berlatih melepas kebencian yang tertanam dari
dalam diri ini..

Bila sewaktu kecil atau sebelumya tanpa sadar kita telah banyak menelan program-program yang
membuat rasa kesal, benci, marah, takut hadir, saatnya sekarang kita bertanggung jawab
membereskan.

Stop menyalahkan orang lain atau situasi, mari ambil waktu untuk merenung dan melepas kekotoran
bathin.

Lakukan sesuatu bila diri tidak setuju, siapapun boleh demo, melapor dan menggugat, namun
penting disadari bahwa semua tindakan kita alangkah baiknya tidak didasari oleh kebencian dan
kemarahan.

Intinya, jangan biarkan diri sejatimu yang mulia menjadi rendah karena kemarahan dan jiwa yang
diciptakan penuh Kasih tertindas oleh kebencian yang kita ciptalkan sendiri

Anda mungkin juga menyukai