Anda di halaman 1dari 24

2.1.

Geografis

Gambar 2.1.1. Peta wilayah kabupaten Cirebon


Kabupaten Cirebon merupakan dataran dengan ketinggian antara 0 – 130 meter diatas
permukaan laut, terletak pada posisi antara 108o 40’ – 108o 48’ Bujur Timur dan 6o 30’ – 7o
00’ Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Cirebon, adalah berupa daratan seluas 1.070,29
km2. Tahun 2018, wilayah administrasi Kabupaten Cirebon terdiri dari 40 Kecamatan dengan
424 Desa/Kelurahan.Luas wilayah kecamatan terluas adalah Kecamatan Kapetakan (66,89
km2) diikuti Kecamatan Gegesik (63,83 km2), sedangkan kecamatan dengan luas terkecil
adalah Kecamatan Weru (9,15 km2).
Letak daratan Kabupaten Cirebon memanjang dari Barat Laut ke Tenggara. Dilihat dari
permukaan tanah/daratannya dapat dibedakan menjadi dua bagian, pertama daerah dataran
rendah umumnya terletak di sepanjang pantai utara Pulau Jawa, yaitu Kecamatan Gegesik,
Kaliwedi, Kapetakan, Arjawinangun, Panguragan,Klangenan, Gunungjati, Tengah Tani, Weru,
Astanajapura, Pangenan, Karangsembung, Waled, Ciledug, Losari, Babakan, Gebang,
Palimanan, Plumbon, Depok dan Kecamatan Pabedilan. Sedangkan sebagian lagi termasuk
pada daerah dataran tinggi.
Wilayah Kabupaten Cirebon bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Indramayu,
Kota Cirebon dan Laut Jawa; bagian selatan dengan Kabupaten Kuningan dan Kabupaten
Majalengka; bagian barat dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Indramayu; bagian
timur dengan Provinsi Jawa Tengah utara (Badan Pusat Statistik, 2019).
Tabel 2.1.1. Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kabupaten Cirebon, 2018
2.2. Sejarah

Kisah asal-usul Cirebon dapat ditemukan dalam historiografi tradisional yang


ditulis dalam bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19. Naskah-
naskah tersebut dapat dijadikan pegangan sementara sehingga sumber primer ditemukan.
Diantara naskah-naskah yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Carita Purwaka
Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad Walangsungsang,
dan lain-lain. Yang paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis
pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah
diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723.
Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah
“sarumban”, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini
mengalami proses perubahan lagi menjadi “Carbon”, berubah menjadi kata “Cerbon”, dan
akhirnya menjadi kata “Cirebon”. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai
“Pusat Jagat”, negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat
setempat menyebutnya “Negeri Gede”. Kata ini kemudian berubah pengucapannya
menjadi “Garage” dan berproses lagi menjadi “Grage”.
Menurut P.S. Sulendraningrat, penanggung jawab sejarah Cirebon, munculnya
istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Pangeran
Cakrabumi alias Cakrabuana. Kata “Cirebon” berdasarkan kiratabasa dalam Bahasa Sunda
berasal dari “Ci” artinya “air” dan “rebon” yaitu “udang kecil” sebagai bahan pembuat
terasi. Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu hingga sekarang,
Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik.
Berbagai sumber menyebutkan tentang asal-usul Sunan Gunung Jati, pendiri
Kesultanan Cirebon. Dalam sumber lokal yang tergolong historiografi, disebutkan kisah
tentang Ki Gedeng Sedhang Kasih, sebagai kepala Nagari Surantaka, bawahan Kerajaan
Galuh. Ki Gedeng Sedhang Kasih, adik Raja Galuh, Prabu Anggalarang, memiliki puteri
bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, putra
Prabu Anggalarang.
Karena Raden Pamanah Rasa memenangkan sayembara lalu menikahi puteri Ki
Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subanglarang, dari Nagari Singapura, tetangga Nagari
Surantaka. Dari perkawinan tersebut lahirlah tiga orang anak, yaitu Raden
Walangsungsang, Nyai Rara Santang dan Raja Sangara. Setelah ibunya meninggal, Raden
Walangsungsang serta Nyai Rara Santang meninggalkan Keraton, dan tinggal di rumah
Pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih.
Puteri Ki Gedeng Danuwarsih yang bernama Nyai Indang Ayu dinikahi Raden
Walangsungsang, serta berguru Agama Islam kepada Syekh Datul Kahfi. Raden
Walangsungsang diberi nama baru, yaitu Ki Samadullah. Atas anjuran gurunya, Raden
Walangsungsang membuka daerah baru yang diberi nama Tegal Alang-alang atau Kebon
Pesisir. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi orang Sunda, Jawa,
Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban”, artinya campuran. Bukan hanya
etnis yang bercampur, tapi agama juga bercampur.
Atas saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama adiknya,
Nyai Rara Santang. Di Tanah Suci inilah, adiknya dinikahi Maulana Sultan Muhammad
bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim. Nyai Rara Santang
berganti nama menjadi Syarifah Mudaim.
Dari perkawinan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan
Gunung Jati. Dilihat dari Genealogi, Syarif Hidayatullah yang nantinya menjadi
salahseorang Wali Sanga, menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad.
Sesudah adiknya kawin, Ki Samadullah atau Abdullah Iman pulang ke Jawa.
Setibanya di tanah air, mendirikan Masjid Jalagrahan, dan membuat rumah besar yang
nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela meninggal Ki Samadullah
diangkat menjadu Kuwu Caruban dan digelari Pangeran Cakrabuana. Pakuwuan ini
ditingkatkan menjadi Nagari Caruban Larang. Pangeran Cakrabuana mendapat gelar dari
ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai Sri Mangana, dan dianggap sebagai cara untuk
melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana.
Setelah berguru di berbagai negara, kemudian berguru tiba di Jawa. Dengan
persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk menyebarkan agama
Islam di Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke Caruban Larang dan bergabung dengan
uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati
kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar
Agama Islam, menggatikan Syekh Datul Kahfi.
Syekh Jati juga mengajar di dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya
dengan Nyai Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya meninggal, Syekh Jati
kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati, puteri Pangeran Cakrabuana,
disamping menikahi Nyai Rara Bagdad, puteri sahabat Syekh Datul Kahfi.
Syekh Jati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam di sana.
Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga masuk
Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari perkawinan dengan Nyai
Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingking, kelak dikenal sebagai Maulana
Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten. Sementara itu Pangeran Cakrabuana meminta Syekh
Jati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullah pun kembali ke Caruban. Di
Cirebon ia dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati
atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sejak tahun 1479 itulah, Caruban Larang dari sebuah
nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan namanya diganti menjadi
Cerbon.
Pada awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai kota perdagangan terutama untuk
komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke Malaka. Seorang sejarawan Portugis,
Joao de Barros dalam tulisannya yang berjudul Da Asia bercerita tentang hal tersebut.
Sumber lainnya yang memberitakan Cirebon periode awal, adalah Medez Pinto yang pergi
ke Banten untuk mengapalkan lada. Pada tahun 1596, rombongan pedagang Belanda
dibawah pimpinan Cornellis de Houtman mendarat di Banten. Pada tahun yang sama orang
Belanda pertama yang datang ke Cirebon melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu
merupakan kota dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah
aliran sungai.
Sejak awal berdirinya, batas-batas wilayah Kesultanan Cirebon termasuk
bermasalah. Hal ini disebabkan, pelabuhan Kerajaan Sunda, yaitu Sundakalapa berhasil
ditaklukan. Ketika Banten muncul sebagai Kesultanan yang berdaulat ditangan putra
Susuhunan Jati, yaitu Maulana Hasanuddin, masalahnya timbul, apakah Sunda Kalapa
termasuk kekuasaan Cirebon atau Banten?
Bagi Kesultanan Banten, batas wilayah ini dibuat mudah saja, dan tidak pernah
menimbulkan konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan 1681, Cirebon pernah mengklaim
daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura yang saat itu dipengaruhi Banten,
sebagai wilayah pengaruhnya.
Pada masa Panembahan Ratu, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan
kehidupan keagamaan. Kedudukannya sebagai ulama, merupakan salah satu alasan Sultan
Mataram agak segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah taklukan. Wilayah
Kesultanan Cirebon saat itu meliputi Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kabupaten dan
Kotamadya Cirebon sekarang. Ketika Panembahan Ratu wafat, tahun 1649 ia digantikan
oleh cucunya Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II. Dari perkawinannya dengan
puteri Sunan Tegalwangi, Panembahan Girilaya memiliki 3 anak, yaitu Pangeran
Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Sejak tahun 1678,
Kesultanan Cirebon terbagi tiga, yaitu pertama Kesultanan Kasepuhan, dirajai Pangeran
Martawijaya, atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kedua Kesultanan Kanoman, yang
dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan Sultan Anom I dan ketiga
Panembahan yang dikepalai Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I.
Kota Cirebon tumbuh perlahan-lahan. Pada tahun 1800 Residen Waterloo mencoba
membuat pipa saluran air yang mengalir dari Linggajati, tetapi akhirnya terbengkalai. Pada
tahun 1858, di Cirebon terdapat 5 buah toko eceran dua perusahaan dagang. Pada tahun
1865, tercatat ekspor gula sejumlah 200.000 pikulan (kuintal), dan pada tahun 1868 tiga
perusahaan Batavia yang bergerak di bidang perdagangan gula membuka cabangnya di
Cirebon. Pada tahun 1877, di sana sudah berdiri pabrik es, dan pipa air minum yang
menghubungkan sumur-sumur artesis dengan perumahan dibangun pada tahun 1877. Pada
awal abad ke-20, Cirebon merupakan salahsatu dari lima kota pelabuhan terbesar di Hindia
Belanda, dengan jumlah penduduk 23.500 orang. Produk utamanya adalah beras, ikan,
tembakau dan gula (Lubis. Nina H.2000).

2.3. Pemantauan Lingkungan Pembangunan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi


(SUTET)
2.3.1. Sistem tenaga listrik
Gambar 2.3.1. Alur sistem tenaga listrik

Tenaga listrik dibangkitkan pada dalam pusat-pusat pembangkit listrik (power


plant) seperti PLTA, PLTU, PLTG, dan PLTD lalu disalurkan melalui saluran transmisi
setelah terlebih dahulu dinaikkan tegangannya oleh transformator step-up yang ada dipusat
listrik. Saluran transmisi tegangan tinggi mempunyai tegangan 70kV, 150kV, atau 500kV.
Khusus untuk tegangan 500kV dalam praktek saat ini disebut sebagai Saluran Udara
Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET). Setelah tenaga listrik disalurkan, maka sampailah
tegangan listrik ke gardu induk (G1), lalu diturunkan tegangannya menggunakan
transformator step-down menjadi tegangan menengah yang juga disebut sebagai tegangan
distribusi primer. Kecenderungan saat ini menunjukan bahwa tegangan distribusi primer
PLN yang berkembang adalah tegangan 20kV. Setelah tenaga listrik disalurkan melalui
jaringan distribusi primer atau jaringan Tegangan Menengah (JTM), maka tenaga listrik
kemudian diturunkan lagi tegangannya dalam gardu-gardu distribusi menjadi tegangan
rendah, yaitu tegangan 380/220 volt, lalu disalurkan melalui jaringan Tegangan Rendah
(JTR) ke rumah-rumah pelanggan (konsumen) PLN (Pramono, dkk. 2010).

2.3.2. Lokasi Pembangunan SUTET

Gambar 2.3.4. Peta Wilayah Administrasi Jaringan Transmisi SUTET 500 kV dari PLTU Cirebon
1.000 MW ke GITET PLN 500 kV Mandirancan Kabupaten Kuningan
PT Cirebon Energi Prasarana (CEPR) sebagai pemrakarsa akan membangun
Jaringan Transmisi Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 kV dari PLTU
Cirebon 1.000 MW yang berlokasi di Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon ke
Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (GITET) PLN 500 kV Mandirancan yang berlokasi
di Kecamatan Pancalang, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat.
Pembangunan Jaringan Transmisi SUTET 500 kV dari PLTU 1.000 MW ke
GITET PLN 500 kV Mandirancan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan
efisiensi dan keandalan sistem interkoneksi tenaga kelistrikan Jawa – Bali, yang
diupayakan oleh CEPR dengan panjang transmisi ± 18 km yang melintasi 15 Desa, 5 (lima)
Kecamatan dan 2 (dua) Kabupaten. Wilayah administrasi yang berada di Kabupaten
Cirebon terdiri atas 12 (dua belas) Desa yaitu Desa Kanci dan Desa Buntet (Kecamatan
Astanajapura), Desa Sinarrancang (Kecamatan Mundu), Desa Gemulung Tonggoh, Desa
Gemulung Lebak, Desa Lebak Mekar, Desa Nanggela, Desa Jatipancur, Desa Durajaya
(Kecamatan Greged), Desa Kondangsari, Desa Beber dan Desa Cipinang (Kecamatan
Beber). Sedangkan yang berada di wilayah Kabupaten Kuningan terdiri dari 3 (tiga) Desa
yaitu Desa Sarewu, Desa Danalampah dan Desa Pancalang dan (Kecamatan Pancalang)
(Dewanto, Heru. .2016).

2.3.3. Penilaian Kondisi Lingkungan


Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2012 Tentang Rencana Usaha atau Kegiatan yang wajib memiliki Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan, pada pembangunan jaringan transmisi Saluran Udara
Tegangan Tinggi >150 kV aspek yang harus ditinjau adalah:
a. Keresahan masyarakat karena pembebasan tanah, bangunan dan tanaman.
b. Adanya medan magnet dan medan listrik.
c. Aspek fisik-kimia, biologi, sosial, ekonomi dan budaya terutama pada pembebasan
lahan dan keresahan masyarakat.
Dari semua aspek tersebut akan dinilai berdasarkan skala 1 sampai 5. Setelah semua
aspek dinilai berdasarkan skala tersebut kemudian akan disimpulkan perizinan
pembangunannya (Tamam., dkk. 2017).

2.3.4. Dampak Pembangunan SUTET Di Indonesia

a. Sosial Masyarakat
Terjadinya keresahan dan ketakutan yang disebabkan dari munculnya rasa tidak aman
terhadap bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan dari jaringan tersebut yaitu
kecelakaan yang dapat ditimbulkan dari jaringan tersebut yaitu kecelakaan yang
disebabkan adanya sambaran petir, putusnya kabel atau gangguan fondasi menara
akibat perubahan struktur tanah sehingga menimbulkan masalah terkait pembebasan
lahan dan pemindahan penduduk ke area di luar jalur SUTET. Selain itu munculnya
kekhawatiran kesehatan secara terus menerus yang disebabkan oleh radiasi gelombang
elektromagnetik.
b. Ekonomi
Secara makro mungkin pembangunan SUTET berimplikasi pada kesejahteraan rakyat
karena mampu meningkatkan aktivitas industri di Indonesia sehingga GDP meningkat.
Namun di satu sisi pembangunan jaringan tegangan tinggi tersebut dapat menyebabkan
“ kematian Perdata” bagi nilai tanah yang di lintasi SUTET, sehingga apabila pemilik
tanah berniat menjual tanahnya, maka harga jual tanah tersebut akan jatuh dan berada
di bawah harga jual yang tidak dilewati jalur tersebut (itupun bila ada yang mau
membelinya), atau juga pemilik tanah mau mengoptimalisasi tanahnya dengan
mendirikan bangunan bertingkat ia akan mempunyai masalah dengan perijinan
pendirian bangunan, atau bila ia ingin menanam pohon ia akan dilarang menanam
dalam batas ketinggian tertentu.
c. Kesehatan
WHO berkesimpulan bahwa tidak banyak pengaruh yang ditimbulkan oleh medan
listrik sampai 20 kV/m pada manusia dan medan listrik sampai 100 kV/m tidak
memengaruhi kesehatan hewan percobaan. Selain itu, percobaan beberapa sukarelawan
pada medan magnet 5 mT hanya memiliki sedikit efek ada hasil uji klinis dan fisik.
d. Budaya
Menciptakan budaya self-injury (menyakiti diri sendiri) dikalangan masyarakat akibat
hak-hak para korban SUTET belum terpenuhi. Beberapa aksi self-injury yang
dilakukan masyarakat pada tanggal 30 Januari 2006, yaitu: aksi jahit mulut, mogok
makan, dan cap jempol darah yang berlangsung di Posko Selamatkan Rakyat Indonesia
di Jalan Diponegoro – Jakarta Pusat. Puluhan orang sudah melakukan aksi tersebut dan
sudah berjatuhan korban dari aksi tersebut, bahkan ibu-ibu rela meninggalkan keluarga
dan anak-anak mereka tercinta demi melakukan aksi tersebut (Tamam., dkk. 2017).

2.4. Analisis Demografi


2.4.1. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk
Penduduk Kabupaten Cirebon berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2018 sebanyak
2.176.213 jiwa yang terdiri atas 1.115.296 jiwa penduduk laki-laki dan 1.060.917 jiwa
penduduk perempuan. Dibandingkan dengan proyeksi jumlah penduduk tahun 2017,
penduduk Kabupaten Cirebon mengalami pertumbuhan sebesar 0,77 persen dengan
masing-masing persentase pertumbuhan penduduk laki-laki sebesar 0,75 persen dan
penduduk perempuan sebesar 0,79 persen. Sementara itu besarnya angka rasio jenis
kelamin tahun 2018 penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan sebesar 1,05.
Kepadatan penduduk di Kabupaten Cirebon tahun 2018 mencapai 2.033 jiwa/km2.
Kepadatan Penduduk di 40 kecamatan cukup beragam dengan kepadatan penduduk
tertinggi terletak di Kecamatan Tengahtani dengan kepadatan sebesar 6.076 jiwa/km2 dan
terendah di Kecamatan Pasaleman sebesar 658 jiwa/Km2 (Badan Pusat Statistik, 2019).
Tabel 2.4.1. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan, 2010, 2017 dan 2018
2.4.2. Struktur Umur

Komposisi penduduk salah satunya dapat dilihat berdasarkan umur, dimana penduduk
usia produktif dan penduduk usia nonproduktif yang digambarkan dalam bentuk piramida
penduduk.
Gambar 2.4.2. Piramida Penduduk Kabupaten Cirebon, 2018

Pada tahun 2018 sebagian besar penduduk Kabupaten Grobogan adalah kelompok usia
produktif (usia 15‐64 tahun), yang mencapai 1.478.798 jiwa, kemudian kelompok usia non
produktif (usia 0‐14 tahun dan 65 tahun keatas) mencapai 697.415 jiwa, sehingga Angka
rasio ketergantungan adalah 47%, artinya setiap 100 orang berusia produktif di Kabupaten
Cirebon menanggung 47 orang yang non produktif (Badan Pusat Statistik, 2019).
Tabel 2.4.2. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di
Kabupaten Cirebon, 2018

2.5. Analisis Derajat Kesehatan


2.5.1. Angka Kematian (Mortilitas)

Tingkat kematian secara umum berhubungan erat dengan tingkat kesehatan,


walaupun penyebab kematian itu dapat dibedakan sebagai penyebab secara
langsung maupun tidak langsung, namun sebenarnya terjadi kematian merupakan
akumulasi proses interaksi dari berbagai faktor. Indikator yang paling sensitif
untuk mengukur keberhasilan program kesehatan diantaranya angka kematian
bayi, angka kematian ibu melahirkan, dan angka kelahiran hidup (Dinkes
Bengkulu, 2017), berikut tabel yang mencakup Jumlah Kelahiran Bayi, Kematian
Bayi dan Kematian Ibu Maternal berdasarkan Badan Pusat Statistik tahun 2019.

Tabel 2.5.1. Jumlah Kelahiran Bayi, Kematian Bayi dan Kematian Ibu Maternal Menurut
Kecamatan di Kabupaten Cirebon, 2018

2.5.2. Angka Kesakitan (Morbiditas) dan Prevalensi


Angka kesakitan (morbiditas) dapat berupa angka insidensi maupun angka
prevalensi dari suatu penyakit. Morbiditas menggambarkan kejadian penyakit
dalam suatu populasi pada kurun waktu tertentu. Tingkat kesakitan suatu daerah
akan mencerminkan situasi derajat kesehatan masyarakat yang ada di dalamnya
(Dinkes Sumatera Utara, 2018). Angka kesakitan pada kecamatan Astanajapura,
Beber dan Greged ditunjukkan pada tabel di bawah ini:
Tabel 2. Angka Kesakitan Penyakit TBC di Kecamatan Astanajapura, Beber dan
Greged pada Tahun 2018
Angka
Jumlah Penduduk
Jumlah Penduduk Kesakitan/
Kecamatan yang Sakit TBC
Prevalensi
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan (%)
76 55 39.151 37.098
Astanajapura 0,17
131 76.249
53 18 21.708 20.167
Beber 0,17
71 41.875
36 24 28.537 26.621
Greged 0,11
60 55.158
(Badan Pusat Statistik, 2019)

2.5.3. Kondisi Fisik dan Lingkungan


Wilayah kecamatan di Kabupaten Cirebon yang berada di sepanjang jalur
pantai utara (Pantura) merupakan daerah pantai dengan ketinggian antara 0 - 10
meter di atas Permukaan Laut (dpl), sedangkan wilayah kecamatan yang terletak
di bagian Selatan merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 11 – 130
meter dpl (Dinkes Kab. Cirebon, 2017).
Kabupaten Cirebon bercuaca panas, kondisi ini dipengaruhi oleh keadaan
alamnya yang sebagian besar merupakan daerah pantai, hanya sebagian kecil di
bagian selatan merupakan daerah perbukitan. Keadaan hidrografi, dilalui 18 aliran
sungai, semuanya berhulu di bagian selatan dan bermuara ke Laut Jawa. Sungai –
sungai yang ada di Kabupaten Cirebon yang tergolong besar antara lain
Cisanggarung, Ciwaringin, Cimanis, Cipager, Pekik, dan Kalijaga. Sebagian besar
sungai–sungai ini dipergunakan masyarakat untuk keperluan pengairan,
persawahan dan masih ada sebagian kecil untuk keperluan mandi, cuci dan buang
air besar (Dinkes Kab. Cirebon, 2017).

2.5.4. Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk


- Pengeluaran Per Kapita Sebulan
Dari survey yang dilakukan oleh BAPPEDA diperoleh daya beli masyarakat
Kabupaten Cirebon tahun 2012 adalah Rp 639.330 dan pada tahun 2015 meningkat
menjadi Rp 642.720. Meningkatnya daya beli bukan berarti terjadinya peningkatan
tingkat perekonomian di suatu daerah karena hal ini dipengaruhi juga dengan
besaran nilai inflamasi dan perbedaan nilai harga antar daerah. Menurut data Badan
Pusat Statistik (BPS) persentase penduduk menurut golongan pengeluaran per
kapita sebulan adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Persentase Penduduk menurut Golongan Pengeluaran Per Kapita Sebulan
pada Tahun 2013
Golongan Pengeluaran (Rp) Persentase Penduduk
150.000 – 199.999 0,81
200.000 – 299.999 16,39
300.000 – 499.999 40,75
500.000 – 749.000 20,79
750.000 – 999.999 9,80
1.000.000 + 11,47
Jumlah 100
(Dinkes Kab. Cirebon, 2017)

- Laju Pertumbuhan Ekonomi


Indikator yang menunjukkan naik tidaknya produk yang dihasilkan oleh
seluruh kegiatan ekonomi di daerah disebut Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE).
Indikator ini biasanya digunakan untuk menilai sejauh mana keberhasilan
pembangunan suatu daerah dalam periode waktu tertentu. Laju Pertumbuhan
Ekonomi (LPE) Kabupaten Cirebon tahun 2014 mencapai 5,07 %, tahun 2015
mencapai 4,88, tahun 2016 mencapai 5,62 (Dinkes Kab. Cirebon, 2017).

- Jumlah Angkatan Kerja


Jumlah angkatan kerja Kabupaten Cirebon adalah sebanyak 995.946 orang.
Angkatan kerja ialah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) yang bekerja, punya
pekerjaan namun sementara tidak bekerja, dan pengangguran. Diantara angkatan
kerja tersebut, jumlah yang bekerja ialah sebanyak 890.762 orang dan yang
berstatus sebagai pengangguran ialah sebanyak 105.184 orang. Jumlah penduduk
berumur 15 tahun ke atas yang bekerja berdasarkan lapangan pekerjaannya ialah
sebagai berikut:
Tabel 2. Jumlah Penduduk Usia di atas 15 Tahun yang Sudah Bekerja Berdasarkan
Lapangan Pekerjaannya
Lapangan Pekerjaan Laki-laki Perempuan Jumlah
Pertanian, Kehutanan, 74.262 12.815 87.441
Perburuan, dan Perikanan
Industri Pengolahan 125.452 57.010 182.462
Perdagangan 130.590 157.754 288.344
Jasa Kemasyarakatan, 108.510 67.066 175.576
Sosial, dan Perorangan
Lainnya 149.207 7.732 890.762
(Badan Pusat Statistik, 2019)

Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) daerah Kabupaten Cirebon ialah


sebanyak 12.962 orang, jumlah anggota DPRD sebanyak 35 orang laki-laki dan 15
orang perempuan. Jumlah PNS di Kecamatan Astanajapura ialah sebanyak 19
orang, di Kecamatan Beber sebanyak 15 orang, dan di Kecamatan Greged ialah
sebanyak 16 orang (Badan Pusat Statistik, 2019). Jumlah persentase penduduk
miskin di Kabupaten Cirebon dapat ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
Gambar 2. Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten Cirebon, 2008-2018
(Badan Pusat Statistik, 2019)

2.5.5. Pelayanan Kesehatan


Secara umum jumlah fasilitas kesehatan yang berada di seluruh kecamatan
di Kabupaten Cirebon pada tahun 2018 ialah sebagai berikut; 11 rumah sakit, 60
puskesmas, 71 puskesmas pembantu, 62 puskesmas keliling, dan 2.622 posyandu.
Sedangkan jumlah tenaga kesehatan yang bertugas ialah sebanyak 954 tenaga
keperawatan, 1284 tenaga kebidanan, 146 tenaga kefarmasian, 242 tenaga
kesehatan lainnya, dan 632 dokter yang terdiri dari 264 dokter umum, 299 dokter
spesialis dan 69 dokter gigi (Badan Pusat Statistik, 2019).
Secara spesifik jumlah fasilitas dan tenaga kesehatan yang berada di
Kecamatan Astanajapura, Beber dan Greged ialah sebagai berikut:
Tabel 2. Jumlah Fasilitas Kesehatan Di Kecamatan Astanajapura, Beber dan
Greged Pada Tahun 2018
Rumah Puskesmas Puskesmas
Kecamatan Puskesmas Posyandu
Sakit Pembantu Keliling
Astanajapura 1 2 1 2 46
Beber 0 1 3 1 47
Greged 0 2 1 2 43
(Badan Pusat Statistik, 2019)
Tabel 2. Jumlah Tenaga Kesehatan Di Kecamatan Astanajapura, Beber dan Greged
Pada Tahun 2018
Tenaga
Tenaga Tenaga Tenaga Tenaga
Kecamatan Kesehatan
Medis Kefarmasian Kebidanan Keperawatan
Lainnya
Astanajapura 4 5 23 19 3
Beber 3 3 19 11 4
Greged 2 4 30 7 2
(Badan Pusat Statistik, 2019)

2.5.6. Perilaku Kesehatan


Perilaku kesehatan dari suatu masyarakat dapat dilihat/dicerminkan dari
persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan dan pergi berobat.
Berikut merupakan tabel persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan
dan berobat jalan pada tahun 2018 dalam durasi 1 bulan:
Tabel 2. Persentase Penduduk yang Mengalami Keluhan Kesehatan dan Berobat
Jalan dalam 1 Bulan pada Tahun 2018
Tempat Berobat Laki-laki (%) Perempuan (%) Jumlah (%)
Rumah Sakit 10,62 14,20 12,39
Praktek Dokter/Bidan 35,71 34,38 35,05
Klinik/Praktek Dokter
12,09 12,86 12,47
Bersama
Puskesmas 42,95 44,70 43,82
Lainnya 3,51 4,77 4,13
(Badan Pusat Statistik, 2019)

Untuk menjaga kesehatan, masyarakat melakukan beberapa upaya kesehatan


seperti pelayanan kesehatan ibu dan anak yang terdiri pelayanan kesehatan ibu
hamil, pelayanan kesehatan ibu bersalin, pelayanan kesehatan ibu nifas, pelayanan
kesehatan neonatal, pelayanan kesehatan bayi, dan pelayanan kesehatan anak
balita; pelayanan keluarga berencana; pelayanan imunisasi; upaya perbaikan gizi
masyarakat yang terdiri dari pengukuran status gizi balita, balita gizi buruk dan
mendapat perawatan, pemberian makanan tambahan (PMT) pada balita, upaya
perbaikan gizi pada ibu hamil, pemberian zat besi pada remaja putri, pemberian
vitamin A, dan pemantauan konsumsi garam beryodium di rumah tangga; upaya
kesehatan gigi dan mulut; upaya kesehatan usia lanjut; serta pelayanan kesehatan
jiwa (Dinkes Kab. Cirebon, 2017).

2.6. Penyakit yang Terjadi pada Daerah Sekitar Sutet


Beberapa penyakit yang terjadi di daerah-daerah dekat sutet yakni di Kecamatan
Astanajapura, Beber, dan Greged ialah sebagai berikut:
Tabel 2. Jumlah Kasus Beberapa Penyakit di Kecamatan Astanajapura, Beber, dan Greged,
2018
Diare DBD TBC
Kecamatan
L P Total L P Total L P Total
Astanajapura 658 863 1521 6 7 13 76 55 131
Beber 526 499 1025 0 0 0 53 18 71
Greged 553 592 1145 1 0 1 36 24 60
(Badan Pusat Statistik, 2019)

Tabel 2. Jumlah Kasus Beberapa Penyakit di Kecamatan Astanajapura, Beber, dan Greged,
2017
Astanajapura Beber Greged
Penyakit
L P Total L P Total L P Total
TBC 27 22 49 40 29 69 20 14 34
Pneumonia
96 75 171 123 112 235 233 241 474
Balita
Diare 806 1.013 1.819 657 606 1.263 1.540 1.678 3.218
Kusta 6 0 6 2 3 5 3 3 6
Campak 2 1 3 8 7 15 7 7 14
DBD 2 2 4 0 1 1 2 0 2
(Dinkes Kab. Cirebon, 2017)

2.7. Penanganan TBC


Pengobatan penyakit TBC terbagi menjadi dua tahap yakni tahap intensif dan tahap
lanjutan. Pada tahap intensif:
- Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
- Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
(Depkes RI, 2005)

Pada tahap lanjutan:

- Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama.
- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
(Depkes RI, 2005)

Regimen pengobatan tuberkulosis menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT).


Obat-obatan yang digunakan ialah isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z),
etambutol (E), dan streptomoisin (S). Penanganan penyakit TBC di Indonesia dilakukan
berdasarkan paduan pengobatan yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
TB oleh Pemerintah Indonesia, yakni sebagai berikut:
- Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
- Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
- Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
- Disamping ketiga kategori ini, disediakan panduan obat sisipan (HRZE)

Kategori 1 diberikan untuk penderita baru TB paru BTA positif, penderita baru TB paru
BTA negatif dengan rontgen positif yang “sakit berat”, dan untuk penderita TB ekstra paru
berat. Kategori 2 diberikan untuk penderita kambuh, penderita gagal, dan penderita dengan
pengobatan setelah lalai. Kategori 3 diberikan untuk penderita baru BTA negatif dan
rontgen positif “sakit ringan” dan penderita TB ekstra paru ringan (Depkes RI, 2005).

a) Pengobatan TB pada Anak (2HRZ/4HR)


Prinsip dasar pengobatan TB pada anak tidak berbeda dengan pada orang dewasa, tetapi
ada beberapa hal yang memerlukan perhatian:
- Pemberian obat baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan diberikan setiap
hari.
- Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak
(Depkes RI, 2005)

b) Pengobatan TB pada Wanita Hamil


Pada prinsipnya paduan pengobatan TB pada wanita hamil tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk wanita hamil, kecuali
streptomisin karena dapat menembus barier placenta dan dapat menyebabkan
permanent ototoxic terhadap janin dengan akibat terjadinya gangguan pendengaran dan
keseimbangan yang menetap pada janin tersebut (Depkes RI, 2005).

c) Pengobatan TB pada Ibu Menyusui dan Bayinya


Pada prinsipnya paduan pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu
menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian
OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada
bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus menyusu.
Pengobatan pencegahan dengan INH dapat diberikan kepada bayi tersebut sesuai
dengan berat badannya selama 6 bulan. BCG diberikan setelah pengobatan pencegahan
(Depkes RI, 2005).

d) Pengobatan TB pada Wanita Pengguna Kontrasepsi


Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk
KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang wanita
penderita TB seyogyanya mengggunakan kontrasepsi nonhormonal, atau kontrasepsi
yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg) (Depkes RI, 2005).

e) Pengobatan TB pada Penderita TB dengan infeksi HIV/AIDS


Prosedur pengobatan TB pada penderita dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama
seperti penderita TB lainnya. Obat TB pada penderita HIV/AIDS sama efektifnya
(Depkes RI, 2005).

f) Pengobatan TB pada Penderita TB dengan Hepatitis Akut


Pemberian OAT pada penderita TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana
pengobatan TB sangat diperlukan dapat diberikan SE selama 3 bulan sampai
hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan RH selama 6 bulan, bila hepatitisnya
tidak menyembuh seharus dilanjutkan sampai 12 bulan (Depkes RI, 2005).

g) Pengobatan TB pada Penderita TB dengan Penyakit Hati Kronis


Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan TB. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT
harus dihentikan. Pirazinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan obat yang dapat
dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE atau 9RE (Depkes RI, 2005).

h) Pengobatan TB pada Penderita TB dengan Gangguan Ginjal


Isoniazid, Rifampisin dan Pirazinamid dapat diberikan dengan dosis normal pada
penderita-penderita dengan gangguan ginjal. Hindari penggunaan Streptomisin dan
Etambutol kecuali dapat dilakukan pengawasan fungsi ginjal dan dengan dosis
diturunkan atau interval pemberian yang lebih jarang. Paduan OAT yang paling aman
untuk penderita dengan gangguan ginjal adalah 2RHZ/6HR (Depkes RI, 2005).

i) Pengobatan TB pada Penderita TB dengan Diabetes Melitus


Diabetesnya harus dikontrol. Perlu diperhatikan bahwa penggunaan Rifampisin
akan mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya
perlu ditingkatkan. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena mempunyai
komplikasi terhadap mata (Depkes RI, 2005).

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. 2019. Kabupaten Cirebon dalam Angka: Cirebon Regency In Figure
2019. Cirebon: Badan Pusat Statistik.

Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.

Dinkes Kota Bengkulu. 2017. Profil Kesehatan 2017. Bengkulu: Dinas Kesehatan Kota
Bengkulu
Dinkes Kabupaten Cirebon. 2017. Profil Kesehatan 2017. Cirebon: Dinas Kesehatan
Kabupaten Cirebon.

Dinkes Sumatera Utara. 2018. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017.
Sumatera Utara: Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.

Dewanto, Heru. .2016. ANDAL Rencana Kegiatan Pembangunan Jaringan Transmisi Saluran
Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 kV dari PLTU Cirebon 1.000 MW Di
Kabupaten Cirebon ke GITET Mandirancan Di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
JAKARTA: PT CIREBON ENERGI PRASARANA

Lubis. Nina H.2000.Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat (cet. 1). Bandung: Alqaprint

Pramono., dkk. 2010. Makalah Teknik Tenaga Listrik Transmission of Electrical Energy
(Transmisi Tenaga Listrik). Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia

Tamam., dkk. 2017. Analisa Pembangunan Saluran Transmisi 275 Kv Antara Gi Kiliranjao
Dan Gi Payakumbuh. JURNAL ENERGI & KELISTRIKAN vol. 9 no. 1, januari - mei 2017

Anda mungkin juga menyukai