Anda di halaman 1dari 54

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati paling tinggi
di dunia meliputi 12% jenis mamalia dunia, 7,3% jenis reptil dan amfibi, serta 17% jenis
burung dari seluruh dunia (WWFI, 2007). Reptil merupakan salah satu fauna yang terdapat di
wilayah Indonesia. Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara yang memiliki
kekayaan jenis reptil paling tinggi di dunia, lebih dari 600 jenis reptil terdapat di Indonesia
(Bappenas, 1993). Pulau Sumatera memiliki 300 jenis reptil dan amfibi serta 23% jenis
endemik lainnya. Reptil merupakan hewan veterbrata yang berdarah dingin, suhu tubuhnya
akan menurun jika suhu lingkungan menurun.
Reptil merupakan tetrapoda (hewan dengan empat tungkai) dan menelurkan telur yang
embrionya diselubungi oleh membran amniotik. Reptil terdiri dari empat Ordo yaitu Ordo
Crocodilia (buaya, garhial, caiman, dan alligator), Ordo Sphenodontia (tuatara Selandia
Baru), Ordo Squamata (kadal, ular dan amphisbaenia), Ordo Testudinata (kura-kura, penyu,
dan terrapin). Ordo Squamata yang tergolong kadal besar yaitu biawak atau suku biawak-
biawakan (Varanidae). Spesies biawak yang terkenal adalah Varanus komodoensis dan
Varanidae dari Varanus salvator yang merupakan spesies dengan penyebaran paling luas
diantara seluruh anggota Varanidae (Koch, 2013). Beberapa spesies biawak yang ada di
Indonesia selain biawak air yaitu biawak Timor (Varanus timorensis), biawak Kalimantan
(Varanus borneensis), biawak abu-abu (Varanus nebulosus), biawak coklat (Varanus gouldi)
dan biawak hijau (Varanus prasinus).
Biawak disebut sebagai binatang “pemulung” karena biawak akan memakan daging
yang membusuk dari hewan yang sudah mati seperti burung nasar yang hidup di hutan-hutan
Afrika dan memiliki peran yang sama seperti biawak di hutan Indonesia. Biawak air menjadi
spesies yang memiliki peran penting dalam proses “pembersihan” hutan maupun lingkungan
(Mardiastuti, 2003). Biawak dapat ditemukan mulai dari pemukiman sampai ekosistem hutan,
dengan ketergantungan terhadap air, biawak memilih tempat hidup yang berdekatan dengan
sumber air seperti sepanjang sungai, rawa, hutan payau, sekitar danau dan lain-lain (Robi,
2001). Indonesia menyediakan kondisi lingkungan yang baik bagi kehidupan biawak dan
tersebar luas di setiap daerah di Indonesia, karena selain air, habitat biawak harus memiliki
kondisi lingkungan yang hangat atau lembab. Kondisi lingkungan seperti ini banyak terdapat
2

di berbagai tipe hutan di Indonesia yang beriklim tropis. Habitat yang nyaman bagi biawak
merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai salah satu cara untuk melestarikan
biawak.
Keberadaan biawak di Indonesia pada beberapa tahun terakhir mulai mengalami
penurunan akibat aktifitas manusia berupa perburuan dan perusakan lingkungan yang
merupakan tempat hidup biawak. Biawak yang dapat bertahan hidup melakukan perpindahan
untuk mencari habitat yang lebih baik. Biawak yang tidak dapat berkompetisi, sedikit demi
sedikit mengalami penurunan populasi sehingga keberadaan biawak terancam punah. Biawak
air dapat ditemukan hampir diseluruh kawasan Universitas Bengkulu dengan ukuran yang
beragam dan hidup secara liar di kawasan tersebut. Gangguan dari aktifitas manusia di
kawasan kampus Universitas Bengkulu memiliki pengaruh yang kecil untuk biawak sehingga
populasi biawak air diperkirakan meningkat setiap tahun. Biawak air dapat menjadi konsumen
tingkat satu karena potensi bagi satwa lain sangat kecil jika dibandingkan dengan potensi
biawak air di kawasan tersebut.
Penelitian mengenai populasi dan preferensi habitat biawak belum banyak dilakukan,
terutama di Provinsi Bengkulu. Penelitian mengenai spesies Varanus sp. pernah dilakukan
oleh Koch et al (2007), Robi (2001), Auffenberg dan Walter (1981), Faidiban dan Iyai (2003)
serta Pianka (1994). Upaya untuk mendapatkan informasi yang lebih rinci mengenai populasi
dan preferensi habitat biawak maka penelitian ini penting untuk dilakukan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui populasi dan preferensi habitat biawak di kawasan kampus
Universitas Bengkulu.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada penelitian biawak di kawasan kampus Universitas
Bengkulu sebagai berikut :
1. Bagaimana populasi dan struktur populasi biawak air di kawasan kampus Universitas
Bengkulu.
2. Adakah preferensi lokasi oleh biawak air di kawasan kampus Universitas Bengkulu.

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian biawak di kawasan kampus Universitas Bengkulu ini dilakukan dengan tujuan
sebagai berikut :
3

1. Memperkirakan populasi dan struktur populasi biawak air (Varanus salvator) di kawasan
kampus Universitas Bengkulu.
2. Mengetahui preferensi lokasi biawak air (Varanus salvator) di kawasan kampus Universitas
Bengkulu.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat yang diharapkan dari penelitian tentang populasi dan habitat dari biawak
diberbagai tipe habitat ini adalah sebagai berikut:
1. Melengkapi data dan informasi mengenai spesies-spesies dan populasi biawak serta
karakteristik habitatnya di kawasan kampus Universitas Bengkulu.
2. Memberikan masukan bagi pengelola lahan, terutama dalam pengambilan keputusan
tentang pengelolaan satwa liar pada kawasan kampus di Universitas Bengkulu.
4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Biawak


Klasifikasi ilmiah dari biawak air (Laurenti, 1768) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Reptilia
Ordo : Squamata
Famili : Varanidae
Genus : Varanus
Spesies : Varanus salvator

2.2 Morfologi
Biawak merupakan spesies kadal terbesar. Salah satu spesies biawak terbesar yang
dapat ditemukan di Indonesia adalah komodo (Varanus komodoensis). Famili biawak yang
termasuk spesies biawak yang berukuran besar yaitu Varanus komodoensis dan biawak
terbesar yang pernah ada Varanus Megalinia prisca (Bennett, 1998). Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Auffenberg, 1981 mengatakan bahwa biawak terkecil yang pernah ditemukan
adalah Varanus brevicauda dengan ukuran panjang kurang lebih 23 cm dan berat 20 g. Spesies
biawak air Asia (Varanus salvator) terpanjang di Sri Lanka dengan panjang 321 cm. Ukuran
tubuh biawak menunjukkan variasi yang banyak dibanding famili dari satwa lain
Biawak air merupakan spesies biawak besar selain komodo dimana panjangnya bisa
mencapi 2,5 meter bila di ukur dari ujung kepala hingga ekor. Populasi dari biawak air ini
masih sangat banyak di Indonesia. Hewan ini memiliki kulit dengan sisik yang tebal dan
berwarna hitam pada bagian dorsal dilengkapi dengan corak bulatan atau garis kuning.
Sementara kulit bagian ventral juga dilengkapi sisik yang tebal dengan warna kuning. Kulit
biawak air ini berfungsi untuk penyerapan cahaya matahari di siang hari dimana radiasi
matahari diserap pada kulit daerah dorsal. Sekitar 85% digunakan sebagai energi dan 15%
sisanya dipantulkan kembali pada kulit daerah os sacrum sebagai emisi yang digunakan untuk
mempertahankan suhu di kulitnya. Ini merupakan kontrol fisiologis dari biawak air untuk
mengatur suhu tubuhnya. Biawak air juga mempunyai kelopak mata serta bentuk
kepala lonjong dan dilengkapi dengan rahang yang kuat serta lidah yang panjang dan
bercabang dua. Biawak memiliki kaki yang kokoh serta kuku yang tajam yang biasanya
5

digunakan hewan ini untuk memanjat pohon, menggali sarang di bawah tanah dan
mempertahankan diri. Biawak air juga dilengkapi dengan ekor yang panjang dan sangat kuat
dan kokoh dimana biasanya digunakan untuk memecut dalam rangka mempertahankan diri
dari serangan juga untuk mendukung pergerakan ketika berenang dalam air.
Varanus salvator merupakan spesies yang umum terdapat di Indonesia dan terdiri atas
empat subspesies yaitu: V. s. macromaculatus, V. s. bivittatus, V. s. celebensis, dan V. s.
ziegleri (Koch et all, 2007). V. s. macromaculatus merupakan subspesies yang memiliki
persebaran terluas di antara subSpesies V. salvator yang ada. Subspesies ini selain terdapat di
wilayah Sumatera (Pulau Sumatera dan pulau-pulau satelitnya, misalnya Nias, Siberut,
Simeulue, Bangka, dan Belitung) dan Kalimantan, juga tersebar di India, China bagian selatan
(Hainan), Myanmar, Laos, Vietnam, Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaysia, dan Borneo
(Koch et all. 2007). Oleh karena sebaran geografiknya yang begitu luas, V. s. macromaculatus
diduga memiliki lebih banyak variasi morfologi.

2.3 Habitat
Habitat adalah suatu daerah yang merupakan kawasan yang terdiri dari berbagai
komponen fisik dan biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat
hidup dan berkembangbiak (Alikodra, 1990). Biawak melakukan aktivitas di hutan rawa,
karena pada tipe habitat ini biawak lebih mudah menjumpai mangsa yang sedang melakukan
aktivitas mencari makan dan minum di sekitar daerah perairan (Iyai, 2005). Kondisi
lingkungan dan habitat sangat berpengaruh terhadap populasi dan perilaku biawak. Menurut
Wildlife Associates (1999) dalam Pah (2003), habitat biawak air memiliki kondisi lingkungan
yang panas atau lembab dengan kisaran suhu lingkungan di siang hari 29-32°C dan pada
malam hari adalah 26-28°C. Pulau Biawak memiliki suhu rata–rata di pagi hari berkisar antara
24,30–26,40°C , di siang berkisar antara 29,60–33,8°C dan di malam hari berkisar antara
27,40–29,8°C. Biawak merupakan reptil berdarah dingin yang membutuhkan keseimbangan
suhu dan kelembaban untuk menjaga metabolisme tubuhnya ditunjukkan dengan perilaku
berjemur biawak di pagi dan sore hari. Suhu dan kelembaban yang cukup juga dibutuhkan
biawak dalam membentuk persarangannya. Persarangan biawak dibuat dalam bentuk
kubangan dan tertutup semak serta ranting pepohonan merupakan bentuk pengaruh kondisi
lingkungan terhadap perilaku biawak. Beberapa tipe habitat yang diduga sebagai tempat V.
indicus melakukan aktifitas hariannya (daily activities) terdiri dari hutan rawa, hutan kelapa
dan persarangan burung gosong.
6

Biawak melakukan aktivitas pada hutan rawa karena pada tipe habitat ini biawak lebih
mudah menjumpai mangsa yang sedang melakukan aktivitas mencari makan dan minum pada
perairan dan pada habitat ini pula dijumpai beberapa insek yang terbang dan berjalan ditepi
perairan yang menjadi sumber pakan dari biawak. Spesies biawak ini juga menyukai habitat
perairan seperti yang dikemukakan oleh Rahayu (2001). Biawak melakukan aktivitas pada
hutan kelapa karena pada tipe habitat seperti ini biawak dapat menjumpai pakannya berupa
kumbang kelapa dan spesies reptil lain dari bangsa kadal-kadalan (Sauria). Hasriani (2004)
mengamati biawak di Pulau Soop sedang mengkonsumsi kumbang kelapa pada tanaman ini.
Biawak melakukan aktivitas pada sarang Maleo karena pada habitat sarang Maleo biawak
dapat memperoleh sumber pakan yang cukup seperti telur maleo, anak burung yang baru
menetas dan induk Maleo. Selain itu, biawak diduga juga memanfaatkan sarang Maleo untuk
meletakkan telurtelurnya. Berdasarkan pernyataan Iyai (2003) bahwa biawak di Pulau
Mansinam biawak memanfaatkan sarang burung Maleo sebagai sarang untuk meletakkan
telurnya.

2.4. Populasi
Populasi adalah sekelompok individu sespesies yang terdapat di suatu daerah tertentu.
Populasi dapat didefinisikan pada berbagai skala ruang. Bahkan seluruh individu sespesies
dapat dipandang sebagai sebuah populasi. Beberapa karakteristik populasi di antaranya adalah
kepadatan, ukuran, dispersi, rasio kelamin, struktur atau komposisi umur, dan dinamika.
Bennet (1995) menyebutkan bahwa kepadatan populasi yang cukup baik untuk biawak adalah
0,07 ind/ha pada suatu kawasan. Menurut Robi (2001) tingkat populasi biawak air yang tinggi
diakibatkan oleh kurangnya faktor pengendali populasi seperti adanya satwa lain yang menjadi
predator bagi biawak air, sumber makanan yang melimpah, tingkat persaingan rendah,
produktifitas tinggi, pengaruh manusia yang minim dan kemungkinan double counting.
Tingginya populasi dapat disebabkan karena minimnya pengaruh manusia karena aksesibilitas
yang cukup jauh dari daratan dengan kegiatan ekowisata yang juga rendah, luasan kawasan
yang cukup luas dibandingkan dengan pulau lain sehingga memicu rendahnya persaingan dan
tingginya produktivitas serta biawak itu sendiri yang menjadi predator puncak di suatu
kawasan.
7

2.4.1. Struktur Populasi


Jumlah individu di dalam kelompok-kelompok umur yang berbeda dalam sebuah
populasi disebut struktur umur populasi atau distribusi umur populasi. Individu-individu
hewan dari kelompok umur tertentu memiliki kontribusi yang berbeda terhadap pertumbuhan
populasi. Karakteristik populasi dapat digambarkan secara grafik dengan menampilkan
piramida populasi nya. Populasi yang terus menerus tumbuh dengan laju kelahiran dan laju
kematian spesifik umur yang konstan akan menuju distribusi umur stabil, yaitu rasio setiap
kelompok umur dalam populasi tetap dan jika laju kelahiran sama dengan laju kematian dan
populasi bersifat tertutup, maka populasi mencapai ukuran yang konstan serta mencapai
distribusi umur stasioner (Rasidi, 2006).
Rasio kelamin adalah proporsi jantan terhadap betina dalam sebuah populasi. Rasio
kelamin primer (rasio pada pembuahan) cenderung 1:1. Rasio kelamin sekunder (rasio pada
kelahiran) di antara mamalia seringkali lebih berat ke arah jantan, tetapi berpindah ke arah
betina pada kelompok umur yang lebih tua. Tergantung pada sistem perkawinan spesies
hewan, perubahan dari rasio kelamin 1:1 dapat mempengaruhi dinamika populasi (Rasidi
2006). Struktur populasi akan diketahui dengan menghitung persentase total individu yang
tertangkap berdasarkan kelompok umur. Menentukan kelompok umur biawak berdasarkan
ukurannya menurut Bennett (1995) sebagai berikut :
1. Muda : Panjang badan total (dari ujung kepala sampai ujung ekor) kurang dari 1,3
meter. Biawak muda, biasanya berwarna dasar cokelat gelap dengan bercak
bercak pucat seperti induknya.
2. Dewasa : Panjang badan total antara 1,3 meter lebih. Warna tubuhnya hitam atau
indigo dengan bercak bercak tutul dan bulatan berwarna kuning pucat dari bagian atas
kepala, punggung, hingga pangkal ekor. Bagian perut dan leher berwarna lebih
pucat dengan bercak-bercak agak gelap. Ekor berwarna dasar sama dengan tubuh dan
dihiasi belang-belang samar berwarna kuning pucat yang berbaur dengan warna dasar.
Populasi biawak komodo (Varanus komodoensis) di kawasan konservasi laut di Pulau
Biawak, Indramayu sebanyak 240 individu dimana kepadatan populasinya adalah 2 ind/ha.
Berdasarkan kelompok umur, populasi muda memiliki rata–rata populasi 100 ind/ha dengan
kisaran populasi 13,2–180 ind/ha dan kepadatan populasinya 0,83 ind/ha, sedangkan dewasa
memiliki rata–rata populasi 140 ind/ha dengan kisaran 52,8–228 ind/ha dan kepadatan
populasinya 1,17 ind/ha. Berdasarkan struktur populasi ditemukan 12 individu di antaranya 5
8

individu kelompok umur muda dan 7 individu kelompok umur dewasa, sedangkan pada
kelompok umur anak tidak ditemukan dalam jalur pengamatan (Dwyer, 2007).

2.5. Perilaku
Biawak merupakan karnivora liar yang biasanya mencari makan di lingkungan sekitar
sungai atau danau. Hewan ini mempunyai kemampuan berenang yang baik dengan cara
menggerakan tubuh berserta ekornya yang panjang ke arah lateral. Kemampuan ini digunakan
biawak untuk mencari mangsa di dalam air terutama ikan. Hewan ini lebih aktif berburu dan
berenang di siang hari. Biawak biasanya menjadi kurang aktif dan cenderung diam dalam
sarangnya pada saat cuaca mendung. Hewan ini membuat sarang dengan cara menggali tanah
dengan kukunya yang kuat dan pada biawak kecil biasanya membuat sarang dengan cara
melubangi batang pohon (Dwyer, 2007). Perilaku merupakan salah satu ekspresi yang
ditunjukkan oleh satwa, terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya baik itu internal
maupun eksternal. Terdapat beberapa perbedaan sifat perilaku pada satwa yang dipelihara dan
satwa liar. Perilaku di kelompokkan menjadi beberapa pola perilaku utama yaitu:
1 Perilaku makan dan minum (ingestive behaviour)
2 Perilaku mencari tempat berlindung (shelter behaviour)
3 Perilaku bertentangan (agonistic behaviour)
4 Perilaku memelihara (epimeletic behaviour)
5 Perilaku ingin dipelihara (et-epimeletic behaviour)
6 Perilaku meniru (allelomimetic behaviour)
7 Perilaku membuang kotoran (eliminative behaviour)
8 Perilaku memeriksa (investigate behaviour)
Bentuk perilaku biawak yang sudah menjadi rutinitas harian adalah berjemur
(basking). Basking dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.30-10.00 WIB dan menjelang
sore hari pada pukul 15.30-17.30 WIB dengan lama waktu rata-rata berjemur 87 menit (Koch
et. all, 2013). Biawak biasanya tidak bersosialisasi dengan binatang lain. Biawak mempunyai
kemampuan untuk mendeteksi kehadiran biawak lain dengan mencium bau yang ditinggalkan.
Kegiatan berkelahi dapat juga merupakan suatu cara untuk menguji kekuatan antar biawak
tanpa menimbulkan cedera yang serius terutama akibat dari gigitan saat berkelahi. Biawak
cenderung berkubang ketika gerhana matahari sedangkan kura-kura justru mengurangi
aktivitas berkubangnya. Biawak memulai grooming setelah hari gerhana, sedangkan kura-kura
menunjukkan aktivitas tersebut ketika gerhana terjadi (Henro, 2017)..Biawak mempunyai
9

jantan yang lebih dominan pada setiap habitat yaitu jantan dengan ukuran terbesar pada
populasi itu. Jantan dominan selalu memberikan tanda untuk menandai wilayah kekuasaannya
sehingga apabila ada pejantan yang ukurannya lebih kecil melewati daerah yang telah ditandai
itu, maka pejantan yang lebih kecil akan menyingkir. Tanda itu biasanya dibuat pada batang
pohon dengan cara menggesekan tubuhnya terutama pada daerah leher.

Gambar 1. Cara biawak dominan menandai wilayahnya (Bennet, 1995).

2.5.1 Perilaku Seksual dan Reproduksi


Aktifitas reproduksi dan perkawinan biawak air sangat dipengaruhi oleh musim.
Biawak air melakukan perkawinan (mating) pada musim hujan karena apabila musimnya
berbeda (bukan musim hujan) akan mempengaruhi perubahan hormonal pada biawak air
jantan dan betina. Cara biawak air melakukan perkawinan adalah biawak jantan akan
mendekati biawak betina sisi sebelah kiri atau sisi sebelah kanan. Biawak betina menolak
untuk kawin maka akan menunjukan aksi pertahanan. Aksi pertahanan ditunjukan dengan
biawak betina mengeluarkan suara keras dari kerongkongan dengan membuka mulut sangat
lebar, menggerakan tubuhnya menjauhi jantan, berdesis atau membalikan kepalanya pada
pejantan yang datang. Biawak betina menerima untuk kawin ditandai dengan menurunkan
tubuhnya sehingga menekan ketanah, menurunkan lehernya, setelah itu memejamkan matanya
dan tidak berontak.
Saat melakukan perkainan biawak jantan akan mendekati betina dari arah samping
(dari sisi kanan atau kiri). Setelah jarak antara keduanya berdekatan jantan akan mengangkat
kaki belakangnya sehingga berada di atas ekor sibetina sehingga ekor jantan dan betina jadi
bersebelahan. Pejantan akan bergerak kearah anterior sambil menjulurkan lidahnya sampai
10

leher jantan tepat sejajar di atas leher betina. Jantan mendekatkan tulang pelvisnya ketulang
pelvis betina pada sisi kanan atau sisi kiri. Setelah itu jantan akan mengangkat tulang kaki
belakangnya dan mencoba mengangkat ekor betina dengan kakinya itu. Ketika ekor betina
terangkat jantan akan memasukan salah satu hemi-penisnya tergantung dari sisi mana dia
berada. Pejantan akan mengalami ejakulasi dari hemi-penis saat akan melakukan kawin saja
(Cota, 2011).

A B

C D
Gambar 2. A,B,C,D Biawak air melakukan perkawinan (Cota, 2011).

Biawak betina yang bunting melakukan penggalian sarang di pagi sampai sore hari.
Ketika telah mencapai kedalaman yang cukup biawak betina yang sedang mengandung
(bunting) akan mengeluarkan telurnya pada lubang sarang yang telah dibuat tersebut.
Biasanya proses pengeluaran telur ini dilakukan oleh biawak betina di pagi hari. Biawak
betinaakanbergerak ke atas lubang (di rumput atau semak) lalu mulai mengeluarkan telur.
Kedalaman lubang biasanya mencapai 30cm. Suhu di dalam lubang kurang lebih harus
mencapai 25-26oC, apabila kurang dari suhu itu telur akan gagal menetas. Biawak betina ini
membuat tanah menekan telurnya agar suhu tetap terjaga. Biawak betina tidak
memperhitungkan produksi telur dengan iklim yang ada. Telur biasanya akan menetas dalam
kurun waktu 240 hari (Dwyer, 2007). Frekuensi reproduksi biawak tergantung pada kondisi
11

lingkungan dan nutrisi biawak tersebut. Biawak bersifat ovipar dan dapat menghasilkan telur
lebih dari satu kali dalam setahun. Bila kopulasi terjadi sebelum ovulasi, sperma akan
disimpan oleh biawak betina. Hal ini menyebabkan biawak betina mampu untuk menghasilkan
telur tanpa adanya kopulasi.

2.5.2 Perilaku makan dan minum (ingestive behaviour)


Biawak merupakan satwa predator, yaitu satwa pemangsa atau pemakan daging
(karnivora). Biawak muda memakan serangga, kerang, dan sisa-sisa ikan dari biawak dewasa,
sedangkan biawak dewasa memakan ular, penyu, telur dan anak buaya, burung, katak, tikus,
kera, rusa kecil, bangkai hewan dan bangkai manusia (Bennet, 1995). Biawak juga memangsa
spesies-spesies vertebrata seperti kucing, tikus, ayam dan spesies invertebrata seperti serangga
dan kepiting. Biawak merupakan karnivora liar yang biasanya mencari makan di lingkungan
sekitar sungai atau danau. Hewan ini mempunyai kemampuan berenang yang baik dengan cara
menggerakan tubuh berserta ekornya yang panjang ke arah lateral. Kemampuan ini digunakan
biawak untuk mencari mangsa di dalam air terutama ikan. Hewan ini lebih aktif berburu dan
berenang di siang hari. Pada saat cuaca mendung, biawak biasanya menjadi kurang aktif dan
cenderung diam dalam sarangnya.
12

III. METODELOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Gambar 3. Peta lokasi penelitian


13

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai April 2019. Eksplorasi dilakukan
pada lokasi penelitian bertempat di kawasan kampus Universitas Bengkulu. Secara
administratif kawasan ini masuk ke dalam wilayah Kecamatan Muara Bangka Hulu, Kota
Bengkulu, Provinsi Bengkulu. Habitat biawak dibagi atas empat area yaitu Danau Kedokteran,
Rawa Perpustakaan, Danau Inspirasi Ilmu dan Persawahan Universitas Bengkulu.
Berdasarkan hasil survey awal yang telah dilakukan, keempat area tersebut merupakan
area yang paling banyak ditemukannya biawak dan juga jejak-jejak dari biawak di kawasan
kampus Universitas Bengkulu. Masing-masing area memiliki karakteristik habitat antara lain:
a. Danau Kedokteran : Danau yang terletak di depan gedung Fakultas Kedokteran dan lebih
tepatnya di sebelah Stadion Universitas Bengkulu dan memiliki luas 0,7 ha serta vegetasi
dominan yaitu berupa semak belukar.
b. Rawa Perpustakaan : Rawa ini terletak di samping gedung Perpustakaan Universitas
Bengkulu dan memiliki luas 1,02 ha. Vegetasi dominan pada area ini adalah semak belukar
dan rawa.
c. Danau Inspirasi Ilmu : Luas Danau Inspirasi Ilmu Universitas Bengkulu adalah 1,13 ha.
Danau ini menjadi tempat terjadinya interaksi antara manusia dan biawak secara langsung
karena danau ini bersebelahan dengan banyak gedung-gedung belajar dan lahan praktikum
untuk mahasiswa contohnya Gedung Belajar 1 dan 2, Lab. Kehutanan, Lab. Agronomi dan
Gedung Rektorat.
d. Persawahan Unib : Persawahan Universitas Bengkulu memiliki luas 4,18 ha dan merupakan
habitat dari biawak yang paling luas di kawasan kampus Universitas Bengkulu dan terdiri dari
pepohonan, semak belukar serta sungai-sungai kecil.

3.2 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan meliputi Trapping/Perangkap, Telur, ikan asin, daging
ayam, meteran gulung roll meter fiber Jason 50m/165 feet, timbangan gantung 25 kg, kamera
dan gunting.
14

3.2.1 Perangkap Bambu.

Gambar 4. Perangkap Bambu

Perangkap ini digunakan untuk menangkap biawak yang berukuran kecil karena lebih
efisien. Cara membuat jebakan dengan bambu adalah dengan cara memotong bambu dengan
ukuran panjang 40 cm dan diameter bambu sebesar 10 cm. Perangkap ini diberi umpan berupa
daging ayam, dan ikan asin agar biawak tertarik untuk masuk ke dalam perangkap.

3.2.2 Perangkap Jerat

Gambar 5. Jerat Biawak.

Perangkap ini digunakan untuk menangkap biawak dengan ukuran yang lebih besar
dan perangkap ini juga cukup efektif karena biawak bisa langsung terjerat, biawak akan
terjerat pada bagian yang masuk kedalam lingkaran senar atau tali. Biawak terjerat pada bagian
leher atau perut sehingga membuat biawak akan kesusahan untuk melepaskan diri dari jeratan.
15

Cara pembuatan :
 Siapkan tali tambang sepanjang 1-1,5 m untuk jerat biawak.
 Potong kayu seukuran panjang 1-2 m.
 Ikat tambang kebagian kayu yang panjang tadi, bagian tengah senar diberi ikatan kayu
kecil sebagai pemicu jerat.
 Buat 2 buah kayu seukuran 30 cm untuk ditancapkan ditanah, ini berfungsi sebagai
tempat area penjebakan biawak, nantinya biawak akan masuk area ini.
 Potong 1 buah kayu sekitar 30 cm atau 40 cm, ini akan berguna sebagai tempat
menghubungkan pemicu ke senar yang tadi telah dibuat.
 Tutupi area sekitar jerat dengan kayu ukuran 30 cm yang ditancapkan ke tanah dan
membentuk persegi, gunanya agar biawak masuk melalui jerat bagian depan dan tidak
lewat dari sisi jerat bagian belakang.
 Potong 1 buah kayu sepanjang 50-100 cm sebagai tempat menaruh umpan jebakan,kayu
tersebut akan ditancapkan pada bagian tengah area jebakan.

3.2.3 Pemasangan perangkap


Pemasangan perangkap disesuaikan dengan luas area dan tanda-tanda keberadaan
biawak berupa jejak, bekas kibasan ekor, dan sisa makanan dari biawak, sehingga jerat tidak
harus dipasang di sekeliling area dan seluruh luasan area. Jumlah pemasangan jerat pada
masing-masing area yaitu pada lokasi Danau Kedokteran sebanyak 15 perangkap jerat dan 20
perangkap bambu, lokasi Rawa Perpustakaan sebanyak 20 perangkap jerat dan 30 perangkap
bambu, lokasi Danau Inspirasi Ilmu sebanyak 20 perangkap jerat dan 30 perangkap bambu,
dan pada lokasi Persawahan Universitas Bengkulu sebanyak 35 perangkap jerat dan 40
perangkap bambu.

3.3 Jenis Data


1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan dengan teknik
pengamatan langsung dengan melakukan pemasangan perangkap pada daerah
seperti persawahan, danau, dan rawa-rawa yang dijadikan lokasi penelitian.
2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari literatur–literatur yang ada sertadari
instansi pemerintahan maupun instansi lain yang terkait dengan penelitian.

3.4 Tahapan Penelitian


Tahapan kegiatan yang dilakukan peneliti sebagai berikut:
16

1. Melakukan survei pendahuluan untuk mengetahui keberadaan biawak dan


menentukan lokasi habitat.
2. Mengidentifikasi biawak yang telah tertangkap dengan menggunakan studi
taksonomi Varanus salvator (Koch et al. 2007).
Tabel 1. Takrif karakter morfologi karakter morfometrik
Pmk Panjang moncong-kloaka, yaitu jarak antara ujung moncong dan bagian
tengah kloaka.
PE Panjang ekor, jarak antara bagian tengah kloaka dan ujung ekor.

PK Panjang kepala, jarak antara ujung moncong dan tepi anterior telinga.
LK Lebar kepala, lebar maksimum antara dua mata dan dua telinga, yang
diukur melewati kepala.
TK Tinggi kepala, jarak antara rahang bawah dan bagian atas mata.
Jmtn Jarak mata-nostril, jarak antara tepi anterior mata dan tengah nostril.
Jnm Jarak nostril-moncong, jarak antara bagian tengah nostril dan ujung
moncong.

Tabel 2. Karakteristik meristik (hitungan sisik)


P Sisik melintasi kepala bagian dorsal dari ujung mulut ke ujung mulut
yang lain.
Q Sisik kontinyu pertama mengelilingi pangkal ekor.
R Sisik yang mengelilingi ±1/3 bagian pangkal ekor.
S Sisik yang mengelilingi bagian tengah tubuh (bagian antara dua
ekstremitas).
T Baris sisik ventral dari lipatan gular ke sisipan kaki belakang.
N Baris sisik ventral dari ujung moncong ke lipatan gular.
TN Baris sisik ventral dari ujung moncong ke sisipan kaki belakang
X Baris sisik dorsal melintang dari tepi belakang timpanum ke lipatan
gular.
Y Baris sisik dorsal melintang dari lipatan gular ke sisipan kaki belakang.

XY Baris sisik dorsal melintang dari tepi timpanum belakang ke sisipan kaki
belakang.
17

C Sisik supralabial kecuali satu sisik bagian tengah yang paling besar
(rostral).
M Sisik mengelilingi anterior leher dekat lipatan gular.

U Sisik supraokular yang membesar.

3. Melakukan pengamatan dan pencatatan (dokumentasi) pada lokasi habitat biawak.

3.5 Analisis Data


Pengumpulan data dilakukan setiap hari dengan melakukan pengecekan perangkap di
setiap lokasi pemasangan. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Maret sampai April
dengan total pengamatan selama 30 hari pada beberapa lokasi yang ada di kawasan Universitas
Bengkulu. Biawak yang terjerat kemudian dilakukan pengukuran panjang, berat dan
mengidentifikasi spesies kelaminnya lalu diberi tanda berupa pemotongan kuku pada masing-
masing biawak yang tertangkap dan di bedakan pada masing-masing area (Gambar 6).
Identifikasi biawak dilakukan dengan menggunakan buku studi taksonomi Varanus salvator
(Koch et al. 2007).

Gambar 6. Penandaan biawak

3.5.1 Estimasi Populasi


Ukuran populasi tertutup dapat diperkirakan dengan teknik Capture Mark Release
Recapture (CMRR) yaitu menangkap dan menandai individu yang diambil pada pengambilan
sampel pertama, melepaskan kembali sampel yang sudah ditandai ke populasi dan menangkap
kembali sampel secara acak dari populasi pada waktu selanjutnya. Teknik Capture Mark
Release Recapture (CMRR) menggunakan metode Schnabel. Pengertian Metode Schnabel
Metode Schnabel secara konseptual merupakan penyempurnaan dari metode Licoln-
Petersen yang menggabungkan informasi dari sejumlah pengambilan sampel berturut-turut
untuk mengestimasi jumlah populasi. Metode Lincoln-Petersen hanya mengandalkan estimasi
18

populasi berdasarkan pengambilan sampel sebanyak dua kali dan sangat mudah dilakukan.
Metode Licoln-Petersen mempunyai kelemahan yaitu metode ini cenderung menaksir terlalu
tinggi jumlah anggota populasi.
Untuk memperoleh estimasi yang tepat, ahli ekologi sering menggunakan teknik
dengan penandaan dan penangkapan sampel berulang. Salah satu metode yang digunakan
pada teknik penandaan dan penangkapan sampel berulang adalah metode Schnabel yang tidak
jauh berbeda dengan metode Lincoln-Petersen. Perbedaannya hanya terletak pada jumlah
pengambilan sampel yaitu metode Lincoln-Petersen hanya melakukan pengambilan sampel
sebanyak 2 kali, sedangkan metode Schnabel melakukan pengambilan sampel lebih dari 2 kali.
 Prosedur Metode Schnabel
Prosedur metode Schnabel dalam mengestimasi jumlah anggota populasi adalah sebagai
berikut:
1. Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan tempat dan menentukan hewan apa
yang akan di estimasi jumlah anggota populasinya.
2. Langkah kedua, yang dilakukan adalah menangkap atau mengambil sampel dari populasi.
Hal ini dilakukan sebagai langkah awal dalam mengestimasi jumlah anggota populasi hewan.
Setelah sampel diperoleh, selanjutnya yaitu menghitung jumlah sampel yang ditangkap pada
pengambilan sampel pertama.
3. Langkah ketiga ini yaitu setelah melakukan pengambilan sampel pertama, tandai semua
sampel yang ditangkap. Pemberian tanda pada hewan dapat dilakukan dengan cara apapun,
syarat utama pemberian tanda ini adalah tanda tidak mudah hilang. Pengambilan sampel kedua
dan seterusnya, tandai hewan yang belum diberi tanda, artinya hewan yang sudah ditangkap
sebelumnya atau hewan yang sudah diberi tanda tidak perlu diberi tanda kembali.
4. Langkah keempat ini yang dilakukan yaitu melepaskan kembali sampel yang sudah diberi
tanda ke dalam populasi.
5. Langkah kelima yaitu pada hari berikutnya, melakukan kembali penangkapan sampel secara
acak. Setelah itu, kemudian kembali ke langkah ketiga dan seterusnya, Pemberian tanda hanya
untuk sampel yang belum ditandai. Lakukan prosedur tersebut diatas sampai ke i-kali.
Perhitungan Statistik untuk menentukan estimasi jumlah populasi hewan dengan
menggunakan perumusan yang telah ditentukan. Kemudian menentukan varians Estimasi
jumlah populasi dengan Metode Schnabel. Estimasi populasi dilakukan dengan menggunakan
metode Schnabel dengan pendekatan tangkap-lepas (Ogle, 2013):
19

Rumus:
𝑀ᵢ𝑛ᵢ
N=
𝑚ᵢ

Tabel 3. Contoh cara perhitungan pada tabel.

Penandaan
Penangkapan
Mi ni mi dan pelepasan ni.Mi
hari ke-n
biawak

1 0 1 0 1 0
2 1 0 0 0 0
3 1 2 1 1 2
4 2 0 0 0 0
5 2 2 1 1 4
Total 2 6

Keterangan:
N = Perkiraan populasi
Mᵢ = Jumlah total individu yang ditandai pada waktu t-i
𝑛ᵢ = Jumlah individu yang tertangkap
𝑚ᵢ = Jumlah individu yang baru ditandai

3.5.2 Struktur populasi


3.5.2.1 Ukuran dan kepadatan populasi
Berdasarkan jumlah populasi, dapat diketahui kepadatan populasi dengan rumus
sebagai berikut:
Populasi
D=
Luas area
Keterangan:
D : Kepadatan populasi
P : Populasi
A : Luas habitat
20

3.5.2.2 Kelompok umur


Struktur umur dapat diketahui dengan mengelompokkan individu biawak ke dalam
kelompok umur muda, dan dewasa. Data tersebut kemudian dijumlahkan dan disajikan dalam
bentuk grafik. Untuk menentukan kelompok umur biawak berdasarkan ukurannya menurut
Bennett (1995) sebagai berikut :
1. Muda: Panjang badan total (diukur dari ujung kepala sampai ujung ekor) kurang dari 1,3 m.
Untuk biawak muda, biasanya berwarna dasar cokelat gelap dengan bercak-bercak pucat
seperti induknya.
2. Dewasa: Panjang badan total antara 1,3 m lebih di ukur dari ujung mulut hingga ujung ekor.
Warna tubuh hitam atau indigo dengan bercak bercak tutul dan bulatan berwarna kuning pucat
dari bagian atas kepala, punggung, hingga pangkal ekor.
3.5.2.3 Sex ratio
Sex ratio merupakan perbandingan antara jumlah individu jantan dan betina.
Penghitungan persentase dan nisbah kelamin dilakukan dengan menggunakan rumus Zairin
(2002) :
Rumus: Jumlah Jantan
𝑆𝑅 =
Jumlah Betina

3.6 Preferensi Lokasi


Metode yang digunakan yaitu metode Chi-square untuk mengetahui kebenaran ada
tidaknya pemilihan suatu lokasi habitat tertentu oleh biawak dari area yang telah dibagi dengan
persamaan sebagai berikut:
Rumus :

(O − E)
Preferensi Lokasi =
E

O = Jumlah biawak yang tertangkap


E = Jumlah biawak yang diharapkan tertangkap
Rumus:

Luas area
E= 𝑥 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐵𝑖𝑎𝑤𝑎𝑘
Luas Total area
21

Hipotesis yang dibangun yaitu;


Ho = semua lokasi digunakan dalam proporsi ketersediaannya (tidak ada seleksi).
H1 = tidak semua lokasi digunakan dalam proporsi ketersediaannya (ada seleksi).
Keputusan yang diambil yaitu:
1. Jika X2 hit > X2 (0.01, n-1), maka Ho ditolak artinya tidak terdapat pemilihan/seleksi lokasi
habitat.
2. Jika X2 hit ≤ X2 (0.01, n-1), maka Ho diterima artinya terdapat pemilihan/seleksi lokasi
habitat. (Johnson & Bhattacharyya 1992).
22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Spesies Biawak di Kawasan Kampus Universitas Bengkulu


Spesies biawak yang terdapat di kawasan kampus
Universitas Bengkulu merupakan spesies dari biawak air.
Penentuan spesies dilakukan dengan melakukan identifikasi
karakter yaitu sisik yang melintasi kepala dari ujung mulut
ke ujung mulut yang lain (P) dan sisik yang mengelilingi
pangkal ekor (Q) untuk membedakan spesies biawak air
dengan spesies lainnya. Kedua parameter tersebut sudah
mewakili untuk menentukan spesies biawak. Biawak air
memiliki jumlah P sebesar 53 buah dan Q 96 buah. Biawak
Gambar 7. Varanus salvator air (Varanus salvator) memiliki ciri fisik yaitu bentuk
kepalanya meruncing, berkulit kasar dan berbintik-bintik kecil agak menonjol, Warna
tubuhnya hitam atau indigo dengan bercak bercak tutul dan bulatan berwarna kuning pucat
dari bagian atas kepala, punggung, hingga pangkal ekor. Bagian perut dan leher berwarna
lebih pucat dengan bercak-bercak agak gelap. Ekor berwarna dasar sama dengan tubuh dan
dihiasi belang-belang samar berwarna kuning pucat yang berbaur dengan warna dasar. Untuk
biawak muda, biasanya berwarna dasar cokelat gelap dengan bercak-bercak pucat seperti
induknya.

4.2. Ukuran Populasi Biawak


Berdasarkan hasil pengambilan data biawak selama 30 hari di kawasan kampus
Universitas Bengkulu diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 4. Jumlah tangkapan biawak per minggu


Jumlah tangkapan per minggu
Lokasi Jumlah
Pertama Kedua Ketiga Keempat
DK 4 2 0 0 6
RP 5 2 0 0 7
DII 8 0 1 0 9
PU 7 3 1 1 12
Total 34
Keterangan : DK : Danau Kedokteran, DII : Danau Inspirasi ilmu, RP : Rawa
Perpustakaan, PU : Persawahan Unib,
23

Penangkapan biawak pada minggu pertama dan minggu kedua pada setiap area
memiliki jumlah tangkapan baru yang lebih banyak dibandingkan dengan minggu ke tiga dan
empat, hal tersebut terjadi karena pada penangkapan minggu ketiga dan keempat biawak telah
merasa terganggu akibat dari kegiatan penangkapan yang dilakukan selama dua minggu
terakhir, selain itu pada area Danau Inspirasi Ilmu serta Rawa Perpustakaan biawak sering
berpindah lokasi kearah Persawahan dan Kebun Sawit depan Gedung Belajar Fakultas MIPA
untuk mencari makanan dan juga untuk berlindung. Faktor utama perpindahan biawak pada
lokasi tersebut karena banyaknya gangguan dari aktivitas mahasiswa di kawasan kampus.
Berpindahnya biawak cenderung dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dan juga
dipengaruhi oleh predator (Hendro, 2017). Penelitian yang dilakukan terhadap beberapa satwa
seperti yang dilakukan terhadap Microtus californicus menunjukkan bahwa pola penggunaan
ruang dan perilaku sosial betina sangat dipengaruhi oleh keterbatasan dan distribusi dari
makanan dan cover, khususnya habitat yang heterogen. Demikian juga dengan pola
penggunaan ruang dan perilaku sosial dari jantan, yang terpengaruh oleh jumlah dan
penyebaran spasial dari betina tersebut (Hendro, 2017). Pergerakan menurut Jessop (2007),
mencerminkan penggunaan wilayah aktifitas, dan dapat menunjukkan tipe pengembangan
tingkah laku dalam wilayah tertentu serta sebagai representasi kemampuan dispersal
(menyebar). Pengamatan pada minggu keempat di area Danau Inspirasi Ilmu, tidak ditemukan
biawak karena pada habitat tersebut telah rusak karena pembersihan yang dilakukan oleh pihak
Universitas dan juga pada area Danau Kedokteran dan Rawa Perpustakaan tidak mendapatkan
biawak baru yang tertangkap.

Tabel 5. Estimasi populasi biawak

Kepadatan
Luas area
Lokasi populasi BA N BB Varian
(ha)
(individu/ha)

DK 0,7 8,57 5,4 7,5 12,2 0,0007


RP 1,02 6,86 5,4 7,1 10,4 0,0005
DII 1,13 7,96 6,9 9,8 16,5 0,0004
PU 4,18 2,87 8,3 11,5 18,4 0,0003
Total 7,03 4,84 7,4 8,7 10,7 0,0001
Keterangan : DK : Danau Kedokteran, DII : Danau Inspirasi Ilmu, RP : Rawa Perpustakaan, PU :Persawahan
Unib, ni : Jumlah hewan yang ditangkap pada periode ke-I, ke-I, Mi : Jumlah total hewan yang
bertanda, BA : Batas atas, BB : Batas bawah, N : Estimasi populasi
24

Hasil inventarisasi yang telah dilakukan selama satu bulan menunjukan nilai estimasi
populasi biawak sebesar 8,7 ekor per ha dan batasan 7,4-10,7 ekor/ha dengan total luas
pembagian area habitat pengamatan 7,03 ha dan untuk kepadatan populasi sebesar 4,84
ekor/ha (Table 3). Jumlah ini terbilang tinggi jika dibandingkan dengan penelitian yang serupa
oleh Robi (2001) dengan populasi biawak air di SM Pulau Rambut hanya mencapai 1,90-5,60
ekor/ha dengan kepadatan rata-rata 3,75 ekor/ha dengan luas area 90 ha dan pada penelitian
Fakhruddin (1998) di Pulau Rinca menunjukkan nilai populasi sebesar 5 ekor/ha dengan
kepadatan 4,17 ekor/ha. Kepadatan populasi di kawasan kampus Universitas Bengkulu
tergolong masih sangat tinggi bila mengacu pada penelitian Bennett (1995) yang menyebutkan
bahwa kepadatan populasi yang cukup baik untuk biawak air adalah 0,07 ekor/ha. Keragaman
populasi pada kawasan Universitas Bengkulu memiliki nilai 0,0001 artinya bahwa dalam
populasi tersebut tidak memiliki variabilitas.
Kepadatan populasi yang dianggap sangat tinggi kemungkinan diakibatkan oleh
kurangnya faktor pengendali populasi seperti adanya satwa lain yang menjadi predator
biawak, sumber makanan melimpah, tingkat persaingan rendah, dan faktor pengaruh manusia
seperti perburuan. Tingkat perburuan biawak di kawasan Universitas Bengkulu tergolong
sangat tinggi, namun hal tersebut tidak mempengaruhi jumlah kepadatan populasi biawak
untuk saat ini, akan tetapi jika tetap dibiarkan maka populasi biawak akan menurun untuk
kedepannya. Kondisi pertumbuhan biawak air yang baik ini dapat didukung oleh ketersediaan
bahan makanan yang berlimpah baik itu jenis ataupun jumlah di kawasan kampus Universitas
Bengkulu. Fauna yang hidup di kawasan kampus sebagian besar merupakan makanan bagi
biawak. Keanekaragaman jenis makanan yang tinggi ini, menyebabkan biawak air tidak perlu
bersaing untuk mendapatkan makanan. Persaingan dalam wilayah jelajah jarang terjadi
kecuali pada masa kawin. Wilayah jelajah yang cukup luas di kawasan kampus Universitas
Bengkulu memungkinkan biawak air dapat bergerak bebas dalam mencari sumber makanan
yang melimpah.
Jumlah telur yang dihasilkan oleh biawak betina per tahun sekitar 6-17 butir (Shine et
al. 1998) menyebabkan populasi biawak air akan cepat bertambah dan terjadi ledakan populasi
bila telur-telur yang dihasilkan menetas dan hidup seluruhnya. Daya dukung habitat yang tidak
dapat mengimbangi pertumbuhan populasi yang begitu cepat, populasi biawak sendiri akan
menurun drastis karena persaingan yang tinggi antar biawak. Kawasan kampus Universitas
Bengkulu ditemukan reptil dan hewan lain seperti tikus dan ular (Ular Sanca dan Ular Cincin
25

Emas) yang juga merupakan pemangsa bagi satwa-satwa yang lain namun persaingan antara
biawak air dan reptil-reptil tersebut tidak terlalu tinggi. Dalam masalah ruang dan makanan,
biawak air dan ular tidak saling berebut karena masing-masing membutuhkan ruang yang
berbeda seperti pada area berjemur biawak air di kawasan Persawahan Universitas Bengkulu
yang juga merupakan tempat hidup dari ular Sanca.
Berdasarkan penelitian Robi (2001) menyatakan bahwa biawak air tidak akan
terpengaruh oleh spesies reptil lainnya seperti ular dalam hal ruang dan makanan karena
spesies ular akan tidur selama beberapa hari untuk mencerna makanan. Berbeda dengan
biawak air yang kebutuhan makannya setiap hari, jumlah konsumsinya lebih besar
dibandingkan ular namun dengan adanya masa istirahat dari ular maka biawak air dapat
berburu mangsa tanpa bersaing dengan spesies lain. Ular juga merupakan mangsa bagi biawak
air sehingga kecil kemungkinan bagi reptil lain untuk memenangkan persaingan dengan
biawak air.

4.3 Struktur Populasi


Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan selama satu bulan di empat area yaitu
Danau Kedokteran dengan luas 0,7 ha, Rawa Perpustakaan dengan luas 1,02 ha, Danau
Inspirasi Ilmu dengan luas 1,13 ha, dan Persawahan Universitas Bengkulu dengan luas 4,18
ha didapatkan hasil tangkapan biawak dengan total 34 ekor yang dituangkan kedalam bentuk
grafik (Gambar 8).

40
34
35
30
Jumlah (ekor)

25
20
15 12
9
10 6 7
5
0
Danau Rawa Danau Inspirasi Persawahan Total
Kedokteran Perpustakaan Ilmu Unib

Area
Gambar 8. Jumlah biawak yang tertangkap.
26

Biawak dengan jumlah tangkapan terbanyak berada pada area Persawahan Universitas
Bengkulu dengan jumlah 12 ekor dan terdiri dari kelompok umur muda sebanyak 5 ekor dan
dewasa 7 ekor. Biawak dengan spesies kelamin jantan mendominasi di area Persawahan
Universitas Bengkulu dengan jumlah 8 ekor. Banyaknya jumlah populasi di area Persawahan
dengan luas 4,18 ha merupakan habitat terluasdan juga di area ini mengindikasikan bahwa ada
beberapa faktor lain yang mempengaruhi antara lain, sumber makanan yang melimpah, tingkat
persaingan rendah, produktifitas tinggi, dan pengaruh manusia yang minim. Hasil tersebut
terbilang banyak jika dibandingkan dengan penelitian Muhammad (2008) yang hanya terdiri
dari struktur populasi 12 individu di antaranya 5 individu kelompok umur muda dan 7 individu
kelompok umur dewasa, sedangkan pada kelompok umur anak tidak ditemukan dalam jalur
pengamatan.

4.3.1. Seks rasio


Jumlah biawak yang didapatkan digolongkan sesuai jenis kelamin pada masing-
masing area. Hasil pegamatan dapat dilihat pada (Gambar 9).

9
8
8
7
6
Jumlah (ekor)

6
5
4 4 4
4
3 3
3
2
2
1
0
Danau Kedokteran Rawa Danau Inspirasi Persawahan Unib
Perpustakaan Ilmu
Area

Jenis Kelamin Jantan Jenis Kelamin Betina

Gambar 9. Jumlah biawak berdasarkan jenis kelamin

Hasil penangkapan biawak pada empat area di kawasan kampus Universitas Bengkulu
menunjukkan bahwa biawak dengan jenis kelamin jantan lebih banyak ditemukan
dibandingkan dengan biawak betina, tercatat bahwa pada setiap area di kawasan kampus
Universitas Bengkulu jumlah biawak jantan yang tertangkap juga mendominasi pada setiap
areanya kecuali di area Rawa Perpustakaan yang terdapat jumlah biawak betina yang lebih
27

banyak dibandingkan dengan biawak jantan. Perbandingan seks rasio pada masing-masing
area disajikan dalam bentuk Tabel 4.

Tabel 6. Seks rasio biawak


Jenis kelamin Jumlah Seks
Lokasi
Jantan Betina biawak rasio
DK 4 2 6 2:1
RP 3 4 7 0,8:1
DII 6 3 9 2:1
PU 8 4 12 2:1
Total 21 13 34 1,6:1
Keterangan : DK : Danau Kedokteran, DII : Danau Inspirasi Ilmu,
RP : Rawa Perpustakaan, PU :Persawahan Unib,

Berdasarkan Tabel 6. terlihat bahwa dari ke empat lokasi diperoleh hasil seks rasio
dari total jantan 21 ekor dan betina 13 ekor dengan perbandingan sebesar 1,6:1, menunjukan
bahwa jumlah ini tergolong setabil namun memungkinkan terjadinya ledakan populasi pada
kawasan kampus Universitas Bengkulu. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya
mengenai sex ratio pada komodo, Hasil penelitian Muhammad (2008) di Pulau Rinca,
menunjukkan nilai sex ratio komodo sebesar 4,2:1 dan Hidayat (2014) di Pulau Rambut
sebesar 3,4:1 yang menunjukkan bahwa persaingan antar pejantan sangat tinggi. Jumlah
tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil pengamatan untuk seks rasio berdasarkan kelompok
umur dewasa pada (Tabel 7).

Tabel 7. Seks rasio biawak berdasarkan kelompok umur.


Ukuran populasi
Seks rasio
Lokasi Jantan Betina
muda Dewasa Muda Dewasa Muda Dewasa
DK 3 1 1 1 3:1 1:1
RP 3 0 3 1 1:1 0:1
DII 3 3 3 0 1:1 0:1
PU 2 6 3 1 0,7:1 6:1
Total 11 10 10 3 1:1 3:1
Keterangan : DK : Danau Kedokteran, DII : Danau Inspirasi Ilmu, RP : Rawa
Perpustakaan, PU : Persawahan Unib,
28

Hasil pengamatan yang dilakukan menunjukkan perbandingan sebesar 3:1 dengan


jumlah tersebut maka dapat dipastikan bahwa akan terjadi persaingan yang cukup tinggi dalam
memperebutkan individu betina oleh individu jantan pada saat musim kawin. Kondisi tersebut
merupakan kondisi alami yang terjadi pada biawak untuk menghindari ledakan populasi
sehingga populasinya dapat stabil. Berbeda dengan perbandingan populasi pada kelompok
umur dewasa, perbandingan kelompok umur muda menunjukkan nilai perbandingan sebesar
1:1 yang menunjukkan bahwa populasi tergolong stabil. Populasi biawak pada kelompok
umur muda terjadi keseimbangan jumlah populasi antara jantan dan betina, karena pada
kelompok umur muda, persaingan antar individu masih sangat kecil dibandingkan biawak
dengan kelompok umur dewasa. Biawak muda yang dapat bertahan dan tumbuh besar dengan
jumlah yang sama seperti pada keadaan sekarang akan menyebabkan terjadinya ledakan
populasi pada kawasan Universitas Bengkulu di masa yang akan datang.

4.3.2 Kelompok Umur


Menurut Bennet (1998) panjang tubuh dari biawak air dapat dijadikan indikator
penentu kelompok umur dan jenis kelamin dengan ketentuan panjang total biawak jantan
dewasa mencapai 1,3 m sedangkan biawak betina dewasa memiliki panjang 1,2 m. Populasi
biawak di kawasan kampus Universitas Bengkulu didominasi oleh biawak dengan kelompok
umur muda dengan jumlah 21 ekor dan untuk biawak dewasa hanya 13 ekor. Hampir di semua
habitat yang telah dibagi memiliki populasi yang didominasi biawak muda dan hanya di area
persawahan yang memiliki dominan biawak dewasa. Hasil penangkapan disajikan dalam
bentuk grafik (Gambar 10) sebagai berikut :
8
7
7
6 6
6
Jumlah (ekor)

5
5
4
4
3
3
2
2
1
1
0
Danau Kedokteran Rawa Perpustakaan Danau Inspirasi Ilmu Persawahan Unib
Area

Kelompok Umur Muda Kelompok Umur Dewasa

Gambar 10. Jumlah total biawak jantan dan betina berdasarkan kelompok umur biawak
29

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa populasi biawak di kawasan kampus


Universitas Bengkulu tergolong tidak stabil jika mengacu pada penelitian Shine et al. (1998)
yang menyatakan bahwa jika dalam suatu kawasan jumlah anakan biawak yang hidup lebih
sedikit, maka populasi akan relatif stabil mengingat umur biawak air dapat mencapai 15 tahun,
karena dengan jumlah telur yang mencapai 6-17 butir/tahun populasi biawak air akan cepat
bertambah dan terjadi ledakan populasi bila telur-telur yang dihasilkan menetas dan hidup
seluruhnya. Sehingga bila daya dukung habitat tidak dapat mengimbangi pertumbuhan
populasi yang begitu cepat, populasi biawak akan mengalami ledakan populasi yang tinggi.
Biawak muda yang tertangkap lebih banyak dibandingkan dengan biawak dewasa ini
terjadi karena perburuan biawak dewasa di kawasan kampus Universitas Bengkulu tergolong
sangat tinggi sehingga mengurangi populasi dari biawak air dewasa. Biawak muda yang
berhasil ditangkap dan berukuran paling kecil memiliki berat 0,77 kg dan panjang total 0,4 m
di ukur dari ujung mulut hingga ujung ekor. Biawak ini ditangkap di area Danau Inspirasi Ilmu
dan berjenis kelamin jantan, sedangkan untuk berat rata-rata biawak muda sebesar 1,574 kg
dengan panjang rata-rata 0,865 m dan untuk biawak dewasa terbesar yang berhasil ditangkap
memiliki berat sebesar 5,7 kg dengan panjang total 1,59 m di ukur dari ujung mulut hingga
ujung ekor dan berjenis kelamin jantan. Ukuran rata-rata untuk biawak dewasa yaitu sebesar
4,766 kg dan panjang 1,465 m diukur dari ujung mulut hingga ujung ekor.
6
4,766
5
Jumlah (kg) (m)

Muda Dewasa
4

2 1,574 1,465
0,865
1

0
Berat (kg) Panjang (m)

Ukuran

Gambar 11. Ukuran rata-rata biawak berdasarkan kelompok umur

Biawak di kawasan kampus Universitas Bengkulu memiliki ukuran rata-rata yaitu


untuk biawak jantan dewasa sebesar 4,832 kg dan panjang rata-rata sebesar 1,483 m,
sedangkan untuk biawak betina dewasa memiliki berat rata-rata sebesar 4,557 kg dan panjang
rata-rata sebesar 1,407 m.
30

4,823
5 4,577

4
Muda Dewasa
Jumlah (kg) (m)
3

1,789
2 1,483
1,378 1,407
0,798 0,939
1

0
berat (kg) Panjang (m) berat (kg) Panjang (m)
Jantan Betina

Ukuran
Gambar 12. Ukuran rata-rata tubuh biawak berdasarkan kelompok umur.

Ukuran biawak dengan spesies kelamin jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar
dibandingkan dengan ukuran tubuh biawak betina baik itu muda maupun dewasa, karena
ukuran biawak air jantan dewasa bisa mencapai 1,5-2 meter. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Shine et al. (1998) yang mengatakan bahwa berdasarkan ukuran tubuh, ukuran tubuh individu
jantan lebih besar dari pada betina pada umur yang sama karena setiap populasi biawak pada
semua habitat akan selalu memiliki jantan dominan yaitu jantan dengan ukuran terbesar pada
habitatnya sehingga ukuran tubuh biawak jantan akan selalu lebih besar ukurannya di
bandingkan dengan biawak betina. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bennet (1995)
panjang tubuh biawak air dewasa di Jawa dapat mencapai 2,1 m, di Sri Lanka panjang tubuh
biawak dapat mencapai 2 m dan di Flores panjang tubuh biawak hanya memiliki panjang
maksimal 1,5 m.

4.4 Habitat Biawak


Kondisi lingkungan dan habitat sangat berpengaruh terhadap populasi dan perilaku
biawak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wildlife Associates (1999) umumnya
habitat biawak air memiliki kondisi lingkungan yang panas atau lembab dengan kisaran suhu
lingkungan pada siang hari adalah 29-32ºC dan pada malam hari adalah 26-28ºC dan juga
biawak melakukan aktivitas pada area persawahan, rawa dan danau. Keberadaan danau dan
sungai-sungai kecil, rawa-rawa dan persawahan yang berada di kawasan Universitas Bengkulu
merupakan sumber air dan area berjemur serta mencari makan bagi biawak air. De Lisle
(2007) menyatakan bahwa di Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara, biawak hidup di sekitar
31

laguna. Biawak merupakan reptil berdarah dingin yang membutuhkan keseimbangan suhu dan
kelembaban untuk menjaga metabolisme tubuhnya dengan menunjukkan perilaku berjemur di
pagi dan sore hari. Suhu dan kelembaban yang cukup juga dibutuhkan biawak dalam
membentuk persarangannya. Persarangan biawak dibuat dalam bentuk kubangan dan tertutup
semak serta ranting pepohonan, ini merupakan bentuk pengaruh kondisi lingkungan terhadap
perilaku biawak.
Biawak melakukan aktivitas pada area persawahan, rawa dan danau karena pada tipe
habitat ini biawak lebih mudah menjumpai mangsa yang sedang melakukan aktivitas mencari
makan dan minum pada perairan. Habitat tersebut biawak dapat menjumpai beberapa serangga
yang terbang dan berjalan ditepi perairan yang menjadai sumber pakan dari biawak. Biawak
juga sering melakukan aktivitas pada area yang terdapat pepohonan karena pada tipe habitat
seperti ini biawak dapat menjumpai pakannya berupa kumbang kelapa dan spesies reptil lain
dari bangsa kadal-kadalan (Sauria).
Hasriani (2004) mengamati biawak di pulau Soop sedang mengkonsumsi kumbang
kelapa pada tanaman kelapa. Selain itu biawak melakukan aktivitas pada sarang-sarang
burung karena pada habitat sarang biawak dapat memperoleh sumber pakan yang cukup
seperti telur burung, anak burung yang baru menetas dan induk burung. Biawak diduga juga
memanfaatkan sarang burung untuk meletakkan telur-telurnya. Berdasarkan pernyataan
Faidiban (2003) bahwa biawak di pulau Mansinam memanfaatkan sarang burung Maleo
sebagai sarang untuk meletakkan telurnya.

4.4.1 Preferensi Lokasi Biawak


Pengujian terhadap indeks pemilihan lokasi perlu dilakukan menggunakan uji chi-
square (X2 (hit)) dengan tujuan untuk mengetahui kebenaran akan ada tidaknya pemilihan
lokasi tertentu di kawasan kampus Universitas Bengkulu. Kriteria uji yang digunakan adalah
jika X2 (hit) < X2 (0,01), maka terdapat pemilihan lokasi dan jika X2 (hit) > X2 (0,01), maka
tidak terdapat pemilihan lokasi yang dilakukan oleh biawak air tersebut. Hasil pengujian dapat
dilihat pada Table 8.
32

Tabel 8. Uji chi-square preferensi lokasi biawak pada empat area habitat.
(𝑂−𝐸)2
Areal Jumlah biawak (O) Luas area (ha) E 𝐸

DK 6 0,7 3,385 2,019


RP 7 1,02 4,933 0,866
DU 9 1,13 5,465 2,286
PU 12 4,18 20,216 3,339
Total 34 7,03 8,511
Keterangan: DK : Danau Kedokteran, RP : Rawa Perpustakaan, DII : Danau Inspirasi
Ilmu, PU : Persawahan Unib.

Berdasarkan Tabel 8 hasil pengujian menunjukkan nilai X2 (tabel) sebesar 8,511 dan
X2 (0,01) sebesar 11,4, sehingga dikatakan bahwa terdapat pemilihan terhadap tipe lokasi
tertentu bagi biawak untuk digunakan sebagai lokasi habitatnya yaitu pada area persawahan
Universitas Bengkulu. Berdasarkan hasil tersebut, diketahui bahwa biawak melakukan seleksi
terhadap beberapa area habitat yang ada di kawasan kampus Universitas Bengkulu yaitu
terjadi pemilihan lokasi pada area Persawahan Universitas Bengkulu dengan nilai uji sebesar
3,339. Seleksi tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan kondisi yang optimal bagi biawak
untuk mencari makan, beristirahat dan juga bertelur agar telur dapat menetas dengan aman
dari predator dan faktor dari luar seperti perburuan biawak.
Area Rawa Perpustakaan memiliki nilai uji yang terkecil dibandingkan dengan ketiga
area lainnya meskipun memiliki luas area sebesar 1,02 ha. Jumlah biawak yang terdapat pada
lokasi tersebut sangat sedikit dibandingkan dengan area Danau Kedokteran yang hanya
memiliki luas area sebesar 0,7 ha. Hasil tersebut terjadi karena pada area ini jumlah sumber
makanan dan tempat untuk bersarang biawak tidak tercukupi sehingga biawak sering
berpindah tempat ke kawasan Persawahan depan Gedung Belajar Fakultas MIPA karena pada
area ini biawak memiliki area jelajah yang lebih luas untuk melakukan perburuan, perkawinan,
bertelur dan membuat sarang untuk proses bertelur.
Pemilihan lokasi pada area Persawahan Universitas Bengkulu terjadi karena pada area
initerdapat rawa, pepohonan dan sungai-sungai kecil serta tanaman berupa padi yang pada
dasarnya akan menyimpan sumber makanan berupa hewan-hewan kecil, tikus dan ular yang
merupakan makanan dari biawak dan juga menjadi tempat yang sesuai untuk berkembangbiak
biawak. Menurut Hidayat (2014) memanjat pohon merupakan usaha untuk melindungi diri,
karena sifat biawak yang kanibal antara biawak dewasa dan biawak muda. Biawak mampu
33

berpindah tempat dari satu pohon ke pohon lainnya dengan merayap. Perilaku arboreal itu
terutama untuk beristirahat dan mencari mangsa seperti tokek, cecak, telur burung, serangga,
tikus atau untuk menghindari sergapan kanibalisme dan pemangsaan biawak lain serta
predator lain, antara lain musang dan burung. Berdasarkan pernyataan Hidayat (2014) yang
mengatakan bahwa biawak menyukai tinggal disekitar air dan menghuni berbagai relung.
Biawak menyukai tempat-tempat dingin dan lembab serta dilengkapi celah-celah (misalnya
ditepi sungai yang berbau, rawa-rawa atau danau), meskipun pada area-area lainnya juga
terdapat beberapa komponen tersebut namun ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi
perbedaan jumlah populasi di masing-masing area diantaranya tingkat perburuan, jumlah
makanan, dan lokasi persarangan, sehingga menyebabkan populasi biawak di Persawahan
Universitas Bengkulu masih sangat banyak.
Faktor yang sangat mempengaruhi pemilihan habitat oleh biawak yaitu perubahan
habitat non alami di kawasan kampus Universitas Bengkulu. Perubahan habitat non alami
yang dimaksudkan seperti pembangunan gedung, penebangan pohon dan pembersihan area
semak belukar dan rawa-rawa yang merupakan habitat dari biawak. Pengaruh tersebut sangat
mempengaruhi kemampuan biawak untuk melangsungkan hidupnya. Perubahan ini dapat
berupa fragmentasi, kerusakan, dan kehilangan habitat yang masing-masing atau secara
bersama memiliki efek negatif terhadap satwa liar, dan memberikan efek yang sama buruknya
dengan perburuan terhadap populasi biawak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Hidayat (2014) menyatakan bahwa perubahan dan kerusakan habitat berupa pengalihan fungsi
kawasan dan lain-lain dapat memberikan efek yang sangat banyak bagi biawak diantaranya
kematian, kekurangan bahan makanan, tempat bernaung dan lain-lain.
Biawak di kawasan kampus sering melakukan perpindahan karena pada dasarnya
biawak memiliki daya jelajah yang luas dan berbeda pada setiap kelas umurnya. Berdasarkan
penelitian pada komodo oleh Usboko (2009) panjang lintasan harian dan luas wilayah jelajah
harian komodo berbeda pada tiap kelas umur. Panjang lintasan terjauh adalah pada komodo
anakan dengan jarak rata-rata 1659,954 ± 628,732 m, kemudian disusul komodo dewasa
sejauh 1427,227 ± 1121,776 m dan remaja sejauh 820,460 ± 391,288 m. Untuk luas wilayah
jelajah, komodo anakan menempati urutan tertinggi dengan luas 12,104 ± 8,227 ha, kemudian
komodo dewasa dan 51 anakan dengan luas wilayah jelajahnya berturut-turut adalah 9,383 ±
9,805 ha dan 3,412 ± 2,048 ha. Penelitian yang serupa juga menyatakan bahwa perpindahan
biawak cenderung dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dan juga dipengaruhi oleh predator.
34

Penelitian yang dilakukan terhadap beberapa satwa seperti yang dilakukan terhadap Microtus
californicus menunjukkan bahwa pola penggunaan ruang dan perilaku sosial betina sangat
dipengaruhi oleh keterbatasan dan distribusi dari makanan dan cover, khususnya habitat yang
heterogen. Hasil tersebut memungkinkan bahwa biawak akan selalu melakukan pergantian
dan pemilihan habitat pada waktu yang akan datang.
Ancaman terhadap habitat biawak akan sangat mempengaruhi kemampuannya untuk
melakukan reproduksi yang akhirnya akan menyebabkan populasi biawak pada suatu habitat
menurun. Daerah semak belukar, rawa-rawa dan area yang dekat dengan sumber air menjadi
bagian penting bagi kehidupan biawak karena pada tipe habitat ini biawak sering melakukan
berbagai aktivitas, seperti berjemur (basking) dan mencari makan. Habitat juga merupakan
salah satu faktor penentu dari populasi biawak karena dengan jumlah telur yang mencapai 6-
17 butir/tahun populasi biawak air akan cepat bertambah dan terjadi ledakan populasi bila
telur-telur yang dihasilkan menetas dan hidup seluruhnya (Shine et al. 1998). Sehingga bila
daya dukung habitat tidak dapat mengimbangi pertumbuhan populasi yang begitu cepat,
populasi biawak akan menurun secara drastis karena kurangnya sumber makanan dan ruang
hidup biawak untuk bertelur dan beraktivitas.
35

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapatkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Estimasi populasi biawak di kawasan kampus Universitas Bengkulu menunjukan nilai
sebesar 8,7 ekor per ha dan batasan 7,5-10,7 ekor/ha dengan total luas pembagian area
habitat pengamatan 7,03 ha, total variannya sebesar 0,0001 dan untuk kepadatan populasi
sebesar 4,84 ekor/ha. Struktur populasi biawak di kawasan kampus Universitas Bengkulu
didominasi oleh biawak dengan umur muda sebanyak 21 ekor dan biawak dewasa sebanyak
13 ekor. Jumlah biawak jantan dewasa sebanyak 10 ekor dan biawak jantan muda sebanyak
11 ekor sedangkan untuk biawak betina dewasa sebanyak 3 ekor dan biawak betina dewasa
sebanyak 10 ekor.
2. Biawak melakukan pemilihan habitat di kawasan kampus Universitas Bengkulu pada area
Persawahan Universitas Bengkulu.

5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa populasi
biawak di kawasan kampus tergolong sangat tinggi, sehingga perlu dilakukan pengurangan
jumlah biawak agar populasinya dapat stabil dan tidak terjadi ledakan populasi di masa yang
akan datang.
36

DAFTAR PUSTAKA

Bennett, D. 1995. A Little Book of Monitor Lizards. Viper Press, Aberdeen, UK Viper
Press, Aberdeen, Inggris. http://www.mampam.50megs.com/monitors/indicus.html.
6 September 2018.
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora CITES.
2016. Trade database of Indonesian about Water Monitor Lizard (Varanus salvator).
Diunduh dari: https://cites.org/eng/resources/quotas/ index.php. Pada 28 oktober 2018.
Cota, M. 2011. Matting dan intra-specific behaviourof Varanus salvator macromaculatus in
an urban population. Biawak 5:17-23.
Das, I. dan A. De Silva. 2005. Snakes and other Reptils of Sri Lanka. UK. London: New
Holland Publishers.
De Lisle. F.H. 2007. Observations on Varanus salvator in North Sulawesi. Biawak. Quarterly
Journal of Varanid Biology and Husbandry 1(2): 59-66.
Dwyer, Q. dan M. Perez. 2007. Husbandry and reproduction of the Black Water Monitor,
Varanus salvator komaini.
Faidiban, O.R. dan D.A. Iyai. 2003. Studi BioEkologi Biawak (Varanus spp.) di Pulau
Mansinam Kabupaten Manokwari. (Laporan Penelitian). Manokwari: Fakultas
Peternakan, Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua.
Hardiansyah. 2010. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Banjarmasin: Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan UNLAM.
Hasriani. 2004. Identifikasi Spesies Pakan Biawak (Varanus indicus) di Pulau Soop Distrik
Sorong Barat Kota madya Sorong. (Skripsi). Manokwari. Jurusan Produksi Ternak.
FPPK. UNIPA.
Henro, K., EP Moro , N. Hanifah., Tanzilla dan Lestariningsih. 2017. Perilaku Reptilia Ketika
Gerhana Matahari Parsial di PASTY Yogyakarta
Hidayat, E. W. 2014. Populasi dan Preferensi Habitat Biawak Air (Varanus salvator) di Suaka
Margasatwa Pulau Rambut, DKI Jakarta (skripsi). Bogor. Fahutan. UNB
Iyai, D.A. dan Freddy Pattiselanno. 2006. Diversitas dan Ekologi Biawak (Varanus indicus)
di Pulau Pepaya Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Irian Jaya Barat. Biodiversitas.
Jasin. 1984, Sistematik hewan (invertebrata dan vertebrata). Sinar Jaya, Surabaya.
Jessop. 2007. Ekologi Populasi, reproduksi, dan spasial biawak. di Taman Nasional Komodo,
Indonesia. BTNK/CRESS-ZSSD/TNC.
Koch, A., M. Auliya., A. Schmitz., Kuch., dan W. Böhme. 2007. Morphological studies on
the systematics of Southeast Asian water monitors (Varanus salvator complex):
nominotypic populations and taxonomic overview. Mertensiella, 16, 109-180.
Koch, A., T. Ziegler., W. Boehme, E. Arida, dan M. Auliya. 2013. Pressing Problems:
Distribution, threats, and conservation status of the monitor lizards (Varanidae:
37

Varanus spp.) Of Southeast Asia and the Indo-Australian Archipelago. Herpetol


Conservation and Biologi.
Lembaga Biologi Nasional. 2014. Sumber Protein Hewani. LIPI. Bogor.
Mardiastuti, A. dan T. Soehartono. 2003. Perdagangan Reptil di Indonesia dalam Pasar
Internasional. Dalam Kusrini MD, Mardiastuti A, Harvey T, editor. Konservasi
Amfibi dan Reptil di Indonesia. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan; 2003 Mei 8; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Muhammad, Y. 2008. Pendugaan Parameter Demografi dan Sebaran Spasial Populasi Biawak
Komodo (Varanus komodoensis) di Pulau Rinca Taman.
Obrien, dan A. James. 2003. Introduction to Information System : Essentials for the E-
business Enterprise. (11th edition). McGraw Hill Inc, New York.
Ogle, D. 2013. Closed Mark-Recapture Abundance Estimates.
Osfeld. R.S., W.Z. Lidicker, dan E.J. Heske. 2007. The Relationship between Habitat
Heterogenity, Space Use and Demography in Population of California Voles. Oikos.
45: 433.
Pah, M.K. 2003. Aktivitas Harian Biawak Air Asia (Varanus salvator) di Suaka Margasatwa
Pulau Rambut, Jakarta (skripsi). Bogor. Fahutan. IPB
Pernetta, A.P. 2009. Monitoring the trade: using the CITES database to examine the global
trade in live monitor lizards (Varanus spp.). Biawak. 3: 37-45.
Rasidi, S., A. Basukriadi, Tb. M. Ischak. 2006. Buku Materi Pokok: Ekologi Hewan. Pusat
Penerbitan UT, Jakarta. Diunduh dari https://staff.blog.ui.ac.id/devita/files/2010/05/
TIGA-BAB.1.pdf. Pada 20 Mei 2019.
Robi, G. 2001. Populasi dan Penyebaran Biawak Air (Varanaus salvator) di Suaka
Margasatwa Pulau Rambut (skripsi). Bogor. Fahutan. IPB.
Shine, R, P.S. Ambariyanto., Harlow, dan Mumpuni. 1998. Ecological Traits of Commercially
Harvested Water Monitor, Varanus salvator, in Northen Sumatera. Wildlife Research
25 437-447.
Shine, R., P.S. Harlow, J.S. Keogh, dan Boeadi. 2011. Commercial harvesting of giant lizards:
The biology of water monitors Varanus salvator in Southern Sumatra. Biological
Conservation. 77(2-3):125-134.
Tim S., Jessop Joanna., H. Sumner., Rudiharto., D. Purwandana., M. Jeri Imansyah., dan J.
Andy Phillips. 2003. Studi Distribusi, Penggunaan dan Pemilihan Tipe Sarang oleh
Biawak Komodo : Implikasi untuk Konservasi dan Manajemen. Zoological Society Of
San Diego The Nature Conservancy Komodo National Park. Varanus Water Monitor.
3:37-45.
Usboko, Edward. 2009. Studi Pola Penggunaan Ruang Berbagai Kelas Umur Biawak Komodo
(Varanus Komodoensis) di Loh Buaya-Pulau Rinca Taman Nasional Komodo, Nusa
Tenggara Timur. Skripsi S1. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
38

World Wildlife Fund Indonesia (WWFI), Kehutanan. Indonesia. 2007. Tentang_wwf_dalam


_upaya_kami/forest_Spesies/tentang_forest_Spesies_kehutanan/.http://www.wwf.or
d. 11 Agustus 2018.
Zairin, M. Jr. 2002. Pengaruh Perendaman Embrio di dalam Larutan 17α- Metiltestosteron
terhadap Nisbah Kelamin Ikan Tetra Kongo (Micralestes interruptus). Jumal Biosains,
Bandung.
39

Lampiran 1. Jumlah Total Biwak yang Tertangkap pada Masing-masing Area.

Kelompok Ukuran Spesies Kelamin


Lokasi Jumlah
umur Berat (kg) Panjang (m) Jantan (J) Betina (B)
0,83 0,46 J
0,95 0,7 J
Muda 4
1,1 0,96 J
Kedokteran
1,95 0,8 B
5,6 1,54 J
Dewasa 2
4,34 1,53 B
1,08 0,8 J
1,83 0,97 J
1,88 0,9 J
Rawa Muda 6
Perpustakaan 0,9 0,78 B
0,78 0,62 B
2,1 1,13 B
Dewasa 5,31 1,33 B 1
0,77 0,4 J
2,2 1,06 J
2,6 1,21 J
Muda 6
Danau 2,55 1,1 B
Inspirasi dan 1,32 1,12 B
Danau Ilmu
2,63 1,2 B
4,34 1,38 J
Dewasa 5,1 1,56 J 3
5,7 1,59 J
0,98 0,67 J
0,94 0,65 J
Muda 1,01 0,7 B 5
0,98 0,77 B
3,67 1,17 B
Persawahan 4,4 1,38 J
Unib 4,3 1,48 J 7
5,74 1,5 J
Dewasa 5,3 1,53 J
4,05 1,42 J
3,7 1,45 J
4,08 1,36 B
Total 21 13 34
40

Lampiran 2. Uji Estimasi Populasi Biawak Per Area

Lokasi Danau Kedokteran


Penandaan
Penangkapan
Mi ni mi dan pelepasan ni.Mi Perhitungan rumus
hari ke-n
biawak
1 0 0 0 0 0 N = (ni.Mi)/mi
2 1 1 0 1 1 N = 202/27
3 2 1 0 1 2 N = 7,481
4 3 0 0 0 0 1/N = 0,134
5 3 1 0 1 3
6 4 2 2 0 8
7 4 1 0 1 4 Alpha = 27/(202)²
8 5 1 0 1 5 (202)² 40804
9 6 3 2 1 18 Alpha = 0,0007
10 7 2 2 0 14 SQRT 0,0257
11 7 0 0 0 0 Alpha = 0,0257
12 7 3 3 0 21 2Alpha 0,0514
13 7 1 1 0 7 BA = 1/N+2Alpha
14 7 1 1 0 7 BB = 1/N-2Alpha
15 7 1 1 0 7 BA = 0,185
16 7 2 2 0 14 BB = 0,082
17 7 2 2 0 14 1/BA = 5,402
18 7 1 1 0 7 1/BB = 12,163
19 7 1 1 0 7
20 7 0 0 0 0
21 7 0 0 0 0
22 7 1 1 0 7
23 7 1 1 0 7
24 7 1 1 0 7
25 7 0 0 0 0
26 7 1 1 0 7
27 7 2 2 0 14
28 7 1 1 0 7
29 7 1 1 0 7
30 7 1 1 0 7
Total 27 202
41

Lokasi Rawa Perpustakaan


Penandaan dan
Penangkapan
Mi ni mi pelepasan ni.Mi Perhitungan rumus
hari ke-n
biawak
1 0 1 0 1 0 N = (ni.Mi)/mi
2 1 2 1 1 2 N = 284/40
3 2 1 0 1 2 N = 7,1
4 3 0 0 0 0 1/N = 0,141
5 3 2 1 1 6
6 4 0 0 0 0
7 4 1 0 1 4 Alpha = 40/(284)²
8 5 3 2 1 15 (284)² 80656
9 6 2 2 0 12 Alpha = 0,0005
10 6 1 1 0 6 SQRT 0,0223
11 6 0 0 0 0 Alpha = 0,0223
12 6 1 0 1 6 2Alpha 0,0445
13 7 1 1 0 7 BA = 1/N+2Alpha
14 7 1 1 0 7 BB = 1/N-2Alpha
15 7 1 1 0 7 BA = 0,185
16 7 2 2 0 14 BB = 0,096
17 7 3 3 0 21 1/BA = 5,394
18 7 5 5 0 35 1/BB = 10,384
19 7 2 2 0 14
20 7 1 1 0 7
21 7 4 4 0 28
22 7 5 5 0 35
23 7 0 0 0 0
24 7 1 1 0 7
25 7 1 1 0 7
26 7 1 1 0 7
27 7 2 2 0 14
28 7 1 1 0 7
29 7 1 1 0 7
30 7 1 1 0 7
Total 40 284
42

Lokasi Spesies
Penandaan dan
Penangkapan
Mi ni mi pelepasan ni.Mi Perhitungan rumus
hari ke-n
biawak
1 0 2 0 2 0 N = (ni.Mi)/mi
2 2 0 0 0 0 N = 234/24
3 2 1 0 1 2 N = 9,75
4 3 0 0 0 0 1/N = 0,103
5 3 1 0 1 3
6 4 3 1 2 12
7 6 2 0 2 12 Alpha = 24/(234)²
8 8 1 1 0 8 (234)² 54756
9 8 0 0 0 0 Alpha = 0,0004
10 8 4 4 0 32 SQRT 0,0209
11 8 0 0 0 0 Alpha = 0,0209
12 8 1 1 0 8 2Alpha 0,0419
13 8 2 2 0 16 BA = 1/N+2Alpha
14 8 0 0 0 0 BB = 1/N-2Alpha
15 8 1 1 0 8 BA = 0,144
16 8 1 1 0 8 BB = 0,061
17 8 1 0 1 8 1/BA = 6,923
18 9 3 3 0 27 1/BB = 16,477
19 9 1 1 0 9
20 9 0 0 0 0
21 9 2 2 0 18
22 9 1 1 0 9
23 9 1 1 0 9
24 9 0 0 0 0
25 9 4 4 0 36
26 9 1 1 0 9
27 9 0 0 0 0
28 9 0 0 0 0
29 9 0 0 0 0
30 9 0 0 0 0
Total 24 234
43

Lokasi Persawahan Universitas Bengkulu


Penandaan dan
Penangkapan
Mi ni mi pelepasan ni.Mi Perhitungan rumus
hari ke-n
biawak
1 0 2 0 2 0 N = (ni.Mi)/mi
2 2 0 0 0 0 N = 321/28
3 2 2 1 1 4 N = 11,464
4 3 1 0 1 3 1/N = 0,0872
5 4 3 1 2 12
6 6 1 1 0 6
7 6 2 1 1 12 Alpha = 28/(321)²
8 7 3 2 1 21 (321)² 103041
9 8 2 2 0 16 Alpha = 0,0003
10 8 0 0 0 0 SQRT 0,0165
11 8 2 2 0 16 Alpha = 0,0165
12 8 2 1 1 16 2Alpha 0,0330
13 9 2 1 1 18 BA = 1/N+2Alpha
14 10 1 1 0 10 BB = 1/N-2Alpha
15 10 4 3 1 40 BA = 0,120
16 11 0 0 0 0 BB = 0,054
17 11 0 0 0 0 1/BA = 8,320
18 11 0 0 0 0 1/BB = 18,430
19 11 1 1 0 11
20 11 1 1 0 11
21 11 1 1 0 11
22 11 1 1 0 11
23 11 1 1 0 11
24 11 3 3 0 33
25 11 0 0 0 0
26 11 1 0 1 11
27 12 1 1 0 12
28 12 2 2 0 24
29 12 0 0 0 0
30 12 1 1 0 12
Total 28 321
44

Lampiran 3. Perhitungan Rumus Schnabel


Kepadatan Penandaan dan
Luas Varian =
Lokasi populasi Mi ni mi pelepasan ni.Mi (ni.Mi)² N BA BB
area (ha) mi/(ni.Mi)²
(individu/ha) biawak
DK 0,7 8,57 175 33 27 6 202 40804 7,5 5,402 12,163 0,00066
RP 1,02 6,86 172 47 40 7 284 80656 7,1 5,394 10,384 0,00050
DI 1,13 7,96 217 33 24 9 234 54756 9,8 6,923 16,477 0,00044
PU 4,18 2,87 260 40 28 2 321 103041 11,5 8,320 18,430 0,00027
Total 7,03 4,84 119 1041 1083681 8,7 7,393 10,712 0,00011
45

Lampiran 4. Kepadatan Populasi

Jumlah Kepadatan
Lokasi Luas area ha
biawak populasi
Danau Kedokteran 0,7 6
Rawa Perpustakaan 1,02 7
4,84
Danau Inspirasi 1,13 9 ekor/ha
Persawahan Unib 4,18 12
Total 7,03 34

Lampiran 5. Jumlah Biawak Jantan dan Betina Berdasarkan Kelompok Umur

Kelompok umur
Jenis kelamin
Muda Dewasa
Jantan 11 10
Betina 10 3
Total 21 13

Lampiran 6. Jumlah Biawak yang Tertangkap Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur

Kelompok
Umur Jenis Kelamin Jumlah
Lokasi
biawak
Muda Dewasa Jantan Betina
Danau Kedokteran 4 2 4 2 6
Rawa Perpustakaan 6 1 3 4 7
Danau Inspirasi 6 3 6 3 9
Persawahan Unib 5 7 8 4 12
Total 21 13 21 13 34

Lampiran 7. Ukuran rata-rata Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur


Rata-rata ukuran
Jenis kelamin
Berat (kg) panjang (m)
Jantan
Muda 1,069 0,798
Dewasa 2,301 1,555
Betina
Muda 1,159 0,939
Dewasa 1,91 1,473
46

Lampiran 8. Ukuran rata-rata Berdasarkan Kelompok Umur

Ukuran rata-rata
Kelompok umur
Berat (kg) Panjang (m)
Muda 1,112 0,865
Dewasa 2,228 1,536

Lampiran 9. Perhitungan Uji Chi-square

Proporsi luas
Jumlah 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑥 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑖𝑎𝑤𝑎𝑘
area E=
Area biawak 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎 O-E (O-E)²
pengamatan ((𝑂−𝐸)²)/𝐸
(O)
(ha)

DK 6 0,7 3,385 2,615 6,836 2,019


RP 7 1,02 4,933 2,067 4,272 0,866
DI 9 1,13 5,465 3,535 12,495 2,286
PU 12 4,18 20,216 -8,216 67,506 3,339
Total 34 7,03 8,511
Keputusan yang diambil
X2tabel = df = n-1
= 4-1
=3
= 11,4
8,511 < 11,4 maka Ho diterima artinya terdapat pemilihan/seleksi habitat pada biawak.
47

Lampiran 10. Biawak Muda.


48
49
50

Lampiran 11. Biawak Dewasa.


51
52

Lampiran 12. Proses Penelitian

Pemasangan perangkap Umpan biawak

Perangkap jerat Perangkap bambu

Biawak yang terperangkap Biawak yang tertangkap


53

Pengukuran badan biawak Penandaan pada kuku

Kenampakan bentuk kelamin jantan Cara menentukan jenis kelamin

Cara menentukan jenis kelamin jantan Cara menentukan jenis kelamin betina

Kenampakan bentuk kelamin betina Sarang biawak


54

Anda mungkin juga menyukai