Anda di halaman 1dari 3

RESIKO PERUSAHAAN DALAM PENANGANAN DAN SOLUSI

Disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Manajemen Resiko Islam

Disusun oleh :

Alliza Nur Shadrina 1710116036

Reska Prihatini 1710116049

Nur Azizah 1710116055

Program Studi Ekonomi Syariah

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

2019
Risiko Kepatuhan

1. PT. Pharos Indonesia


PT. Pharos Indonesia didirikan sejak 30 September 1971 saat berulang tahun ke-35 tahun
dan bergabung dimulai produksi obat-obatan pada September 1974 oleh Ong Joe San (Eddie
Lembong) dengan nama Pharos Indonesia Ltd. Nama Pharos diambil dari satu nama Mercusuar
yang terletak di kawasan Teluk Alexandria, Mesir. Perusahaan berstatus PMDN (Penanaman
Modal Dalam Negeri) dan merupakan perusahaan farmasi pertama di Indonesia yang
mendapatkan sertifikat CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dari BPOM (Badan Pengawas
Obat dan Makanan) pada 30 Juni 1990. Didukung dengan lebih dari 2000 SDM, yang sebagian
besar personel terdiri dari tenaga muda yang dinamis dan energik. PT Pharos Indonesia sendiri
merupakan perusahaan farmasi nasional yang selama 45 tahun telah berkontribusi pada
pembuatan dan penyediaan obat-obat dan suplemen kesehatan bagi masyarakat Indonesia. PT
Pharos Indonesia mengklaim telah menerapkan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dalam
seluruh rangkaian produksi, mulai dari pengujian bahan baku hingga produk jadi yang
dihasilkan.
PT Pharos Indonesia, produsen suplemen makanan merek Viostin DS membenarkan ada
kandungan kontaminan pada produknya. Kontaminan adalah zat yang muncul bukan pada
tempatnya dan dapat membahayakan kesehatan. Yang sebelumnya telah beredar pada isi surat
tertanggal 5 Desember 2017 itu menyebutkan, bahwa produk tersebut mengandung DNA babi.
Dalam pengembangan kasus tersebut, Badan POM RI telah memberikan sanksi berupa
peringatan keras kepada PT Pharos Indonesia serta memerintahkan untuk menarik kedua produk
tersebut dari peredaran serta menghentikan proses produksi. Badan POM RI juga telah mencabut
nomor izin edar produk tersebut.
Badan POM RI akan terus mengupayakan perbaikan sistem dan peningkatan kinerjanya
dalam melakukan pengawasan obat dan makanan untuk memastikan produk yang dikonsumsi
oleh masyarakat yang harus memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu. Sebagai
langkah antisipasi dan perlindungan konsumen, Badan POM RI menginstruksikan Balai
Besar/Balai POM di seluruh Indonesia untuk terus memantau dan melakukan penarikan produk
yang tidak memenuhi ketentuan, termasuk yang terdeteksi positif mengandung DNA babi,
namun tidak mencantumkan peringatan 'MENGANDUNG BABI'. Begitu juga dengan
masyarakat, jika masih menemukan produk Viostin di peredaran, agar segera melaporkan kepada
Badan POM RI.
Sementara itu PT Pharos Indonesia mengatakan sebenarnya tidak benar Viostion DS
mengandung babi. Menurutnya, Viostin DS dibuat dengan menggunakan chondroitin sulfate dari
sapi sebagai bahan baku utamanya. Bahan baku chondroitin sulfate ini kami peroleh dari
pemasok di luar negeri yang telah memiliki sertifikat halal dari Halal Certification
Services/HCS. HCS merupakan organisasi sertifikasi halal yang telah diakui oleh MUI.
Pada bulan November 2017, Badan POM melakukan post-market test terhadap produk
Viostin DS dengan nomor bets tertentu dan menemukan adanya DNA babi. “Dari hasil uji
internal menggunakan mesin uji yang sama dengan yang dimiliki Badan POM, kami menemukan
bahwa chondroitin sulfate pada bets tertentu tersebut telah tercemar dengan DNA babi. Jadi
sekali lagi kami tegaskan bahwa Viostin DS tidak mengandung babi dan tidak pernah
menggunakan bahan baku dari babi. Yang terjadi adalah bahan baku yang berasal dari sapi, yang
dipasok oleh pemasok yang telah memiliki sertifikat halal, ternyata tercemar oleh DNA babi. ada
perbedaan mendasar antara “mengandung” dan “tercemar” yang kami ingin agar dapat dipahami
oleh masyarakat,” ujar Ida saat ditemui dalam acara Press briefing bersama PT Pharos Indonesia,
di Hotel Century, Jakarta Pusat.
Ketika ditemukan DNA Babi pada Viostin DS, PT. Pharos telah melakukan tindakan
penarikan produk sejak akhir November 2017. Hal ini dilakukan agar masyarakat yang
mengonsumsi tidak resah. Pada tanggal 30 November PT Pharos Indonesia melakukan penarikan
seluruh produk Viostin DS secara bertahap dari seluruh wilayah Indonesia. Mengingat luasnya
peredaran Viostin DS, PT Pharos Indonesia memperkirakan proses penarikan seluruh produk
dari market akan memakan waktu sekitar 6 bulan. Selain menarik dari pasaran, PT. Pharos
menghentikan seluruh proses produksi, promosi dan penjualan. Lalu, produk yang telah ditarik
ini akan dimusnahkan sesuai instruksi BPOM dan proses. Pemusnahannya juga akan disaksikan
oleh BPOM. Selain menarik produknya dari pasaran, Pharos Indonesia juga berjanji akan segera
menunjuk pemasok bahan baku Chondroitin Sulfate yang baru dari luar negeri, yang sudah
bersertifikat halal dan telah lulus uji PCR (Polymerase Chain Reaction).

Anda mungkin juga menyukai