Anda di halaman 1dari 5

BAB III

ANALISIS KASUS

1. Bagaimana penegakan diagnosa pada kasus ini ?


Pasien Tn. PS usia 79 Tahun, didiagnosis sebagai TB Paru dengan pneumonia.
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.

 Pada anamnesis didapatkan bahwa:


Seorang pasien laki-laki datang ke IGD RS Pertamina Bintang Amin dengan
keluhan sesak nafas sejak 3 hari lalu. Sesak dirasakan semakin hari semakin
memberat dan tidak membaik saat beristirahat. Selain itu pasien juga mengalami
batuk berdahak, demam, keringat malam, nafsu makan berkurang, dan BB terasa
semakin menurun sejak 4 bulan yang lalu. Ayah dan kakak pasien menderita TB
paru. Pasien memiliki kebiasaan merokok 2 bungkus per hari. Hal tersebut
merupakan gejala klinis dan faktor resiko dari TB paru dan pneumonia. Sesuai pada
teori, Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari satu bulan.
faktor risiko TB yaitu kontak erat dengan pasien TB, tinggal di daerah padat
penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja dengan
bahan kimia yang berisiko menimbulkan paparan infeksi paru.

 Pada pemeriksaan fisik, ditemukan bahwa:


Tanda-tanda vital didapatkan frekuensi napas 32 x/menit, suhu 37,5 ºC,
fremitus taktil meningkat dikedua lapang paru, sonor (+/+) berkurang, vesikuler
(↓/↓) rhonki (+/+). Hal tersebut sesuai dengan teori yaitu pada inspeksi terlihat
bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras,
pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai
bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki
basah kasar pada stadium resolusi.

23
 Pada pemeriksaan penunjang, ditemukan bahwa:
Pada pasien ini pemeriksaan laboratorium menunjukan peningkatan pada
leukosit yaitu sebesar 17.400 dan BTA mendapatkan hasil negatif serta rontgen
thorax yang menunjukan TB aktif dan pneumonia. Hal tersebut sesuai dengan teori
yaitu BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil BTA negatif.
Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif, maka penegakan
diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis
dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan
ditetapkan oleh dokter. Peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul
kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED serta foto thorax dapat digunakan
sebagai penegakan diagnosis pada pneumonia.

2. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini?


Pasien akan ditatalaksana sebagai berikut:
Non-Medikamentosa
 Rawat inap
Medikamentosa
 O2 3 liter/menit (nasal kanul)
 IVFD RL 20 tpm makro
 Nebulizer combivent : pulmicort /8 jam
 Paracetamol 3x1 (Bila perlu)
 Inj. Levofloxacin 750 mg /24 jam
 Azithromycin 1x1 tab
 Racikan batuk II. 3x1
 Rifampicin 1x450 mg (pagi)
 INH 1x300 mg (siang)
 Etambutol 500 mg 1x2 tab (Sore)
 Pirazinamid 500 mg 1x2 tab (malam)
 Curcuma 3x1 tab

24
Sesuai dengan teori penatalaksanaan TB di Indonesia yaitu:

1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).


2. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.
3. Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.
Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu
Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin,
PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat TB baru lainnya serta
OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.

Pada teori, penatalaksanaan pneumonia untuk pasien rawat inap adalah sebagai berikut :

- Tanpa faktor modifikasi :

Golongan beta laktam + anti beta laktamase i.v atau

Sefalosporin G2,G3 i.v atau

Fluorokuinolon respirasi

- Dengan faktor modifikasi :

Sefalosporin G2,G3 i.v atau

Fluorokuinolon respirasi i.v

- Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik ditambah

makrolid baru

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan


Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta. Hal 19 – 93.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis. Hal 1 – 71.
3. World Heatlh Organization, 2017. Global Tuberculosis Report 2017, Jenewa.

4. Dahlan Z. Pneumonia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta. 2006. IV: 964-
971.
5. Ebell MH. Outpatient vs. Inpatient Treatment of Community Acquired Pneumonia.
Family Practice Management. April 2006:41-44.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti. 2003.
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial. 2003.
8. Soedarsono. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR.
Surabaya. 2004.
9. Bartlett John G., Dowell Scott F., Mandell Lionel A., File Thomas M., Jr., Musher
Daniel M. and Fine Michael J., 2000, Practice Guidelines for the Management of
Community-Acquired Pneumonia in Adults, Clinical Infectious Diseases, 31, 347-
382.
10. Brooks G.F., Butel J.S. and Morse S.A., 2005, Jawetz, Melnick, & Adelberg’s
Mikrobiologi Kedokteran, Edisi I, Diterjemahkan oleh Bagian Mikrobiologi Fakultas
Kedoktersan Universitas Airlangga, Salemba Medika, Jakarta, pp. 260-372.
11. Chung D.R. et al., 2011, High Prevalence of Multidrug-Resistant Nonfermenters in
Hospital-acquired Pneumonia in Asia, American Journal Of Respiratory And Critical
Care Medicine, 184, pp.1409-17.
12. CLSI., 2013, M100-S23 Performance Standards for Antimicrobial Susceptibility
Testing; Twenty-Third Informational Supplement, Clinical and Laboratory Standard
Institute, USA, 34 (1), 27-93.

26
13. Dairo M.T., 2014, Pola Kuman Berdasarkan Spesimen Dan Sensitivitas Terhadap
Antibiotik Pada Penderita Community-Acquired Pneumonia (CAP) Di RSUP Dokter
Kariadi Semarang, Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
14. Depkes RI., 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

27

Anda mungkin juga menyukai