Anda di halaman 1dari 2

am 7 Desember enam tahun silam, di Pondok Natal Bukit Merah, Kampung Ipakiye, Kabupaten

Paniai, Papua, tiga pemuda menegur seorang TNI yang mengendarai motor dari Enarotali
menuju ke Madi tanpa menyalakan lampu. Imbasnya, pertengkaran terjadi. Anggota TNI itu
kembali ke pos dan membawa serta temannya, kemudian mereka diduga menyiksa pemuda
yang tadi menegurnya hingga pingsan, demikian tulis Pusaka, lembaga nirlaba yang fokus
mempromosikan hak-hak masyarakat adat. Keesokan harinya, masih menurut sumber yang
sama, masyarakat mendatangi kantor Polsek Paniai dan Koramil 1705-02/Enarotali untuk
meminta penjelasan peristiwa tadi malam. Mereka protes dengan cara menyanyi dan menari.
Situasi memanas lantaran ada lemparan batu. Aparat merespons dengan tembakan. Akibatnya,
empat orang berusia 17-18 tahun tewas akibat luka tembak dan luka tusuk. 21 orang lain
mengalami luka penganiayaan. Peristiwa itu kelak dikenal dengan nama Tragedi Paniai
Berdarah. Orang tua korban terus-menerus menuntut kejelasan peristiwa ini, terutama terkait
siapa yang membunuh anak-anak mereka. Mereka hanya ingin itu. Mereka bahkan pernah
menolak uang kompensasi sebesar Rp4 miliar dari pemerintah. Butuh sampai enam tahun
sampai peristiwa ini dikategorikan sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat. Hal ini diputuskan
Komnas HAM dalam sidang paripurna yang digelar pada 3 Februari lalu. Ketua Komnas HAM
Ahmad Taufan Damanik menyatakan keputusan paripurna berdasarkan hasil penyelidikan oleh
Tim Ad Hoc. Menurut dia, penyelidikan pelanggaran HAM berat di Paniai ini berdasarkan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. “Tim bekerja selama lima
tahun sejak 2015,” ucap Taufan dalam keterangan tertulis. Menurut dia, kejadian itu memenuhi
unsur kejahatan kemanusiaan, dengan element of crimes adanya tindakan pembunuhan dan
tindakan penganiayaan; sistematis atau meluas dan ditujukan pada penduduk sipil dalam
kerangka kejahatan kemanusiaan. Artinya prasyarat utama terpenuhi. Tim memeriksa 26 saksi,
meninjau dan mengecek tempat kejadian perkara di Enarotali, pemeriksaan berbagai dokumen,
diskusi ahli dan berbagai informasi yang menunjang pengungkapan peristiwa. Baca juga:
Mahfud MD Klaim Belum Dapat Surat Resmi soal Kasus HAM Paniai Moeldoko Sebut Tragedi
Paniai Berdarah Bukan Pelanggaran HAM Berat Berdasarkan hasil penyelidikan disimpulkan
anggota TNI yang bertugas pada medio peristiwa itu, baik dalam struktur komando Kodam XVII/
Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali diduga sebagai pelaku yang
bertanggung jawab. Peristiwa itu terjadi ketika Moeldoko menjabat sebagai Panglima TNI, kini
dia berposisi sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP) dalam rezim Presiden Joko Widodo. Ia
mengklaim tragedi Paniai bukan pelanggaran HAM berat karena yang dilakukan aparat lakukan
merupakan reaksi tak terencana. “Apa yang dilakukan oleh satuan pengamanan saat itu adalah
sebuah tindakan yang kaget, tiba-tiba, karena dia diserang masyarakat. Tidak ada upaya
sistematis,” ujar dia di Kantor Staf Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/2/2020). Moeldoko
menegaskan kejadian itu tidak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM karena aparat
tidak melakukan kekerasan secara struktur dan sistematis. "Tidak ada kebijakan [untuk]
melakukan hal seperti itu. Tidak ada," sambung Moeldoko. Tak lupa ia meminta masyarakat
melihatnya dengan cermat agar tidak muncul kesimpulan yang salah. Kejaksaan Agung pun
telah menerima hasil investigasi Komnas HAM pada Jumat (14/2/2020). Berkas diterima di
Direktorat Penanganan Pelanggaran HAM yang Berat pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana
Khusus. “Tentu akan diteliti, apakah sudah memenuhi syarat formal dan material,” kata
Kapuspenkum Kejaksaan Agung Hari Setiyono, ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa
(18/2/2020). Jika telah memenuhi syarat dan dinyatakan lengkap, kata dia, maka akan
dilanjutkan dengan tahap penyidikan. Bila berkas masih kurang lengkap, maka akan
dikembalikan disertai petunjuk penyidik. Baca juga: Pelanggaran HAM Berat Pertama Rezim
Jokowi: Tragedi Paniai Papua Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI) Muhammad Isnur menyatakan sangat berbahaya kalau pejabat tinggi selevel Kepala
Staf Kepresidenan tidak mengerti dan tidak menghormati undang-undang. "Pak Moeldoko
seharusnya paham ada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999. Yang berwenang melakukan penyelidikan dan mengungkapkan pelanggaran
HAM berat adalah Komnas HAM," ucap Isnur ketika dihubungi Tirto, Selasa (18/2/2020). Ini
sekaligus menunjukkan pejabat-pejabat tingkat tinggi tidak menghargai konstitusi yang
menyatakan Indonesia sebagai negara hukum. “Semua bisa bicara semaunya, maka pantas
presiden membuat kebijakan yang blunder dan salah terus jika dapat input dari orang-orang
terdekatnya,” kata Isnur. Ia juga merespons ihwal perbedaan pandangan antara Moeldoko
dengan Menkopolhukam Mahfud MD soal Paniai. Isnur berpendapat itu menunjukkan
pemerintah sangat buruk dalam koordinasi, bersikap maupun bertindak tidak berdasarkan
kajian dan analisis hukum. Sementara itu, Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua
Socratez Sofyan Yoman berujar, apa pun alasan Moeldoko, aparat yang menembak warga sipil
merupakan pelanggaran HAM. “Langkah yang ditempuh Komnas HAM sudah tepat, itu
lembaga yang independen dan kredibel,” kata dia ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa
(18/2/2020). Negara, kata dia, harus bertanggung jawab atas kejadian Paniai. Seolah
pemerintah melindungi terduga pelaku. Socratez berpendapat Joko Widodo pelindung para
penjahat. "Termasuk Moeldoko, (dia) itu penjahat. Kalau kejahatannya dikorek, maka ia
menghindar dengan berbagai alasan," ujar dia. Socratez meminta agar pemerintah terbuka
untuk menyelesaikan kasus ini dan jangan merusak kredibilitas Indonesia dengan
"mengumpulkan pelaku kriminal di kabinet." Ihwal spontanitas anggota TNI yang menyerang
warga sipil, dia menyatakan hal itu bagian dari pembunuhan orang Papua secara sistematis
sejak tahun 1961. "Sebelum komunitas internasional menghakimi Indonesia, lebih baik
pemerintah menyelesaikan satu per satu kasus. Pemerintah lebih baik bertanggung jawab,
kalau ada rekomendasi sebaiknya diselesaikan secara hukum," tutur Socratez. Baca juga: 100
Hari Kerja Jokowi: Mahfud MD Sesatkan Fakta Pelanggaran HAM Sekretaris Dewan Adat
Papua John Gobai mengatakan demi penegakan HAM di tanah Papua, Paniai Berdarah dapat
dijadikan salah satu substansi agar Kejaksaan Agung mengusut perkara itu. "Jangan ditunda
lagi," ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (18/2/2020). Bila tak rampung, kata John,
maka dapat menjelekkan citra Indonesia di mata internasional, karena negara ini menjadi
anggota Dewan HAM PBB. John berpesan kepada Moeldoko, jangan melindungi terduga
pelaku. "Jangan ada kesan melindungi oknum yang terlibat," kata dia. Lebih baik mantan
panglima TNI itu mengikuti proses dan tunduk kepada keputusan Komnas HAM, kata John.
"Jangan memberikan (informasi ke) orang awam, seakan-akan dia enggan (menyerahkan)
anggotanya ke sebuah proses peradilan HAM berat terkait Paniai," ucap John. Sedangkan
pegiat HAM Veronica Koman berujar, Moeldoko sebagai perwakilan institusi negara berbicara di
luar mandat dan wewenang. “Yang berhak melakukan penyelidikan itu Komnas HAM, bukan
Istana. Tugas Istana justru mendorong dan memastikan Jaksa Agung menindaklanjuti kasus
tersebut," kata dia ketika dihubungi Tirto, Selasa (18/2/2020). Padahal, kata Veronica, di awal
era pertama Presiden Joko Widodo, orang nomor satu di Indonesia itu berulang kali janji
menuntaskan kasus ini di hadapan rakyat Papua. Maka ocehan Moeldoko ia anggap
bertentangan dengan janji presiden. "Korban dan keluarga kasus Paniai itu sudah berhenti
bersedia bicara sekitar dua tahun lalu, apa pun tentang kasus tersebut. Karena mereka sudah
lelah cerita ulang-ulang tanpa hasil, dikasih janji-janji palsu," tutur Veronica.

Baca selengkapnya di artikel "Ketika Moeldoko Bela Pembunuh Bangsa Papua di


Paniai", https://tirto.id/ezMU

Anda mungkin juga menyukai