Anda di halaman 1dari 5

Emha Ainun Nadjib

‘kan yang punya kendaraan. Bensin ngirit membuat temperatur mesin


panas, oli kurang membuat onderdil gampang rusak. Siapakah peng­
urus perusahaan yang menginginkan mesin kepanasan dan rusak se­
perti itu?”
Mungkin kemudian ada yang menyahut: “Dan kalau panasnya dan
rusaknya keterlaluan, akhirnya mesin ‘kan mogok!”—tetapi pasti tidak
ada juga yang meneruskan: “Padahal, kami sama sekali tidak suka
mogok ....”
“Benar! Kami tidak suka mogok! Kami ingin bekerja baik-baik dan
memaksimalkan hasil perusahaan, sehingga dengan demikian penghi­
dupan kami pun menjadi baik. Sekali lagi, kami tidak menginginkan
suatu mekanisme kerja sama bisnis yang adil yang tidak memaksa
mesin menjadi mogok.”
“Ya, Pak,” demikian kira-kira yang lainnya lagi meneruskan. “Kalau
Bapak punya mesin, tanyakan kepadanya apakah ia suka mogok, pasti
jawabnya tidak. Tapi, kenapa terkadang mesin itu mogok? Ya, karena
keadaannya mogok, karena realitasnya mogok. Ia dipaksa oleh kenya­
taan dirinya untuk hanya bisa mogok, meskipun ia sama sekali tidak
senang mogok.”
Ketidaksukaan mereka untuk mogok itu jika sudah ditatar akan
lebih dilandasi oleh filosofi dan cara berpikir yang benar, di samping
oleh kesadaran untuk memelihara ketenteraman sosial. Mereka men­
jadi paham hakikat mogok. “Hakikat mogok itu sama dengan hakikat
macetnya lalu lintas. Apakah bisa dibuat undang-undang yang mela­
rang jalanan macet?”
Karena kecerdasan buruh meningkat, maka mungkin akan ada
yang membuka wawasan lain, “Bagaimana kalau jalan yang ditempuh
bukan pemogokan, melainkan suatu cara yang lebih bijak?”
“Apa misalnya?”
“Musyawarah, diplomasi perundingan ....”
Kecil kemungkinan akan ada yang menjawab begini: “Ah. Mas ini!
Ya, buruh pasti kalah dan diakali saja kalau pakai diplomasi segala.
Kami ini makan sekolahan hanya sedikit, sedangkan bos-bos kami

360
Surat kepada Kanjeng Nabi

orang pandai semua. Kalau kami ini pandai, mosok ya menjabat sebagai
buruh to Maaas ...!”
Insya Allah tidak begitu. Kecuali, kalau kaum buruh memang di­
sengaja diperbodoh, dibiarkan bodoh, dan dibodohi.[]

361
Menatar Diri Sendiri
(Si Komo 3)

A khirnya teman-teman pekerja itu mengetahui para juragannya


amat sangat sibuk untuk punya waktu menatar buruh-buruhnya.
Untuk itu, saya menyarankan agar mereka iseng-iseng membuat aktivi­
tas “drama”.
Maksud saya, daripada kalau nganggur-nganggur hanya diisi de­
ngan joget dangdut atau ngramal buntutan, mungkin bisa mendayagu­
na­kan proses teater untuk menatar diri mereka sendiri. Bisa kumpul-
kumpul di Balai RK atau di asrama atau tempat kos mereka. Tidak
untuk membuat sandiwara seperti Rendra yang besar-besar, tetapi
sekadar untuk proses penataran diri. Ini perlu karena proyek penataran
pemerintah tidak bisa menjangkau semua lapisan masyarakat. Jadi,
kaum buruh harus tahu bagaimana menatar diri mereka sendiri.
Apa yang penting dalam drama itu bukan pementasannya, melain­
kan proses pembuatannya. Misalnya dalam menentukan lakon, mereka
bisa mendiskusikannya, menggali dari pengalaman-pengalamannya
sebagai buruh. Mereka menginventarisasi, menganalisis, mendiskusi­
kan, dan menentukan artikulasinya.
Drama itu tak memerlukan naskah sampai tahap skenario, tetapi
cukup sinopsis atau paling jauh treatment saja. Para aktor tak usah
disediakan kalimat demi kalimat, kata per kata, sebab mereka cukup

362
Surat kepada Kanjeng Nabi

berimprovisasi saja, sepanjang sudah menyepakati batas-batas dan


konteks setiap adegan.
Jadi, sesudah pokok-temanya ditentukan, tokoh-tokohnya dipilih,
penahapan eksposisi, konflik dan solusinya diputuskan, maka ditulis­
kan­lah treatment: adegan itu siapa saja yang tampil, apa yang dibicara­
kan, seberapa takaran unsur-unsurnya, dan seterusnya. Nanti segala
sesuatunya digarap sambil berjalan. Latihan akan dijalankan oleh se­
orang koordinator, tetapi kerja penyutradaraan sesungguhnya dijalan­
kan oleh semua.
Ini jenis teater distribusi alias teater demokrasi. Tidak bergantung
dan berpusat pada satu pimpinan sentral. Ini memenuhi aspirasi dan
ideologi kesenian komunitas: semua berperan untuk semua. Demikian­
lah hakikat dan realitas teater rakyat. Dan mestinya demikianlah pula
yang disebut teater Pancasila, yang bukan hanya sangat mengutama­
kan dan menggali muatan dari sumber nilai keadilan, kesejahteraan
bersama, kerja sama yang seimbang, tetapi juga melandasi seluruhnya
pada nilai kemanusiaan dan religiositas ketuhanan.
Terserah bagaimana alur dan progresi, bahkan juga suspensi, yang
hendak diciptakan. “Tapi yang penting,” kata salah seorang dari mere­
ka, sesudah menyetujui dan langsung merancang-rancang, “realitas
pengalaman sebagian kaum buruh yang masih mengalami ketertin­
das­an diungkapkan di dalamnya. Juga aspirasi dan sikap mereka terha­
dap realitas itu.”
Dirumuskan oleh mereka, misalnya, sejumlah alasan real mengapa
pada suatu hari mereka terpaksa mogok. Ada staf personalia yang
tidak melaksanakan undang-undang perburuhan sebagaimana mesti­
nya.
Ada ketua serikat pekerja yang dinilai terlalu memihak kepada
kepentingan perusahaan, padahal posisi perusahaan cenderung meng­
isap buruh.
Juga belum dipenuhinya hak bagi buruh yang memenuhi syarat
untuk menerima asuransi tenaga kerja. Kurang ada upaya untuk mem­
perbaiki fasilitas kesehatan buruh. Kelebihan jam kerja yang belum

363
Emha Ainun Nadjib

dibayar. Atau juga ketentuan kerja buruh yang belum dirumuskan,


dan menuntut kelayakan dan hak buruh untuk ikut menegosiasikan
ketentuan tersebut. Dipertanyakan juga mengapa perusahaan cende­
rung melecehkan masalah-masalah seperti besarnya uang transportasi,
uang makan, Astek, cuti haid, dan sebagainya.
Para buruh melakukan pemogokan, sebagai satu-satunya instrumen
politik dan bahasa profesional yang mereka miliki. Dan yang merupa­
kan puncak suspensi dramatiknya adalah tindak penangkapan, tekan­
an psikologis-politis, dan kekerasan fisik oknum keamanan tertentu
terhadap tiga orang buruh yang dianggap mewakili keseluruhan­
nya.
Substansi adegan ini bukan sekadar segi negatif dari violence
approach, melainkan juga tradisi kalangan sekuriti untuk cenderung
lebih melakukan pemihakan terhadap pemilikan modal. Sebaiknya
dipaparkan juga perspektif filosofis adegan itu: betapa ekonomisasi,
industrialisasi, profesionalisasi, dan komoditisasi, mencerminkan syirik
umat manusia dalam menyumbang materialisme.
Ending lakon ini adalah imbauan keras kepada Departemen Tenaga
Kerja agar turun tangan menyelesaikan: korsleting antara kepentingan
subjektif perusahaan dan hak-hak wajar kaum buruh. Mempertanya­
kan mengapa Pancasila dengan gampang dilanggar melalui ikut cam­
pur oknum keamanan secara berlebihan tanpa memedulikan rasiona­
litas kasus secara jernih dan adil.
“Permasalahan kita sekarang,” saya menanggapi, “apakah pemen­
tas­an semacam ini akan tidak dianggap mengganggu stabilitas dan
ketenteraman masyarakat umum? Dan apakah itu tidak rawan terha­
dap tuduhan-tuduhan politik dan subversif?”
“Kaum buruh justru adalah rakyat yang selama ini diganggu keten­
teraman hidupnya ...,” jawab mereka.[]

364

Anda mungkin juga menyukai