Anda di halaman 1dari 5

Tiga bulan silam sembari menyeruput secangkir kopi, Wien Iskandar menawarkan

bioetanol produksinya kepada sopir angkutan kota. Hasilnya para pemilik angkot di
Sukabumi, Jawa Barat, kini rutin membeli bioetanol bikinannya. Lima ratus liter
bioetanol produksinya sehari, habis mengisi tangki-tangki angkot itu. Alumnus
Universitas Tarumanagara itu meraup omzet Rp111-juta sebulan dari perniagaan
bioetanol.

Wien Iskandar menjual bioetanol kepada pemilik angkot dalam 2 bentuk. Dari produksi
500 liter bioetanol per hari, 400 liter dijual langsung dengan harga Rp8.000-Rp10.000
per liter. Sopir-sopir angkot membeli beberapa liter dan mencampurkannya sendiri
dengan premium di tangki mobil. Sedangkan 100 liter lainnya, ia oplos dengan premium
dan dijajakan Rp5.000 per liter. Porsi bioetanol hanya 10% alias E10. Campuran itu
juga disebut gasohol kependekan dari gasolin alkohol.

Saat ini tercatat 600 angkot di Sukabumi yang rutin ‘mengkonsumsi’ bioetanol bikinan
Wien. ‘Tadinya banyak pemilik angkot curiga, saya mencampur dengan minyak tanah
dan ukurannya tidak pas,’ kata pria 49 tahun itu mengenang. Untuk meyakinkan
konsumen, pemilik PT Panca Jaya Raharja itu memberikan bioetanol gratis selama 2
hari. Karena merasa lebih enak, mereka akhirnya menjadi pelanggan bioetanol produksi
Wien Iskandar.

‘Tarikan mesin jadi lebih ringan. Saya akan terus memakai bioetanol,’ kata H. Sapari,
pemilik angkot. Dua bulan terakhir sejak November 2007, ia melanggani bioetanol untuk
bahan bakar 3 angkotnya jurusan Cidahu-Cicurug, keduanya di Kabupaten Sukabumi.
Setiap angkot menghabiskan 25 liter bahan bakar E10 per hari. Bioetanol yang
digunakan oleh Sapari dan pemilik angkot lain itu berbahan baku singkong dan molase
alias limbah tetes tebu.
Tak harus berkebun
Menurut Wien, untuk menghasilkan 1 liter bioetanol berkadar 99,6% diperlukan 6,5 kg
singkong. Dengan biaya produksi Rp3.000, laba bersih Pemilik PT Panca Jaya Raharja
itu minimal Rp2-juta per hari atau Rp60-juta sebulan. Yang juga memasarkan bioetanol
sebagai bahan bakar adalah Johan Susilo. Produsen di Balikpapan, Kalimantan Timur,
yang mengolah nira itu rutin memasok 500 liter bioetanol 99,5% per bulan kepada 5
pelanggannya.

Alumnus Teknik Elektro Universitas Kristen Petra Surabaya itu menjualnya dengan
harga Rp7.500 per liter sehingga pendapatannya mencapai Rp3,7- juta per bulan.

Bioetanol adalah etanol alias alkohol yang diproses dari bagian tertentu tumbuhan. Dr
Arif Yudiarto, periset bioetanol di Balai Besar Teknologi Pati, mengatakan sumber
bioetanol adalah tanaman mengandung pati seperti umbi singkong, gula (batang tebu),
dan serat selulosa (rumput dan jerami).

Baik Wien Iskandar maupun Johan Susilo merupakan produsen skala rumahan yang
menghasilkan kurang dari 10.000 liter per hari. Menurut Arif Yudiarto produksi bioetanol
skala rumahan layak dikembangkan di Indonesia. Sebab, Indonesia terdiri atas pulau-
pulau kecil yang tak terjangkau distribusi Pertamina. Dengan produksi bioetanol skala
kecil, kebutuhan akan sumber energi dapat tercukupi.

‘Pengolahan limbah pada skala kecil juga lebih mudah dan lebih murah,’ ujar pria
kelahiran Rembang 19 Agustus 1959 itu. Setahun terakhir, produsen skala rumahan
seperti mereka marak di berbagai kota. Lahan yang tersita untuk menempatkan mesin
penyuling dan fermentasi tak lebih dari 20 m2.

Untuk menjadi produsen bioetanol, tak harus mempunyai kebun sendiri. Banyak
produsen yang tak mempunyai kebun, tetapi kontinuitas pasokan bahan baku tetap
terjaga. Contoh Sabaryono yang 2 bulan terakhir rutin menjual 1.000 liter seharga
Rp11.000 per liter. Produsen di Bekonang, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, itu
memanfaatkan ‘limbah’ pabrik gula yang dibeli Rp650 per kg.

Ia memfermentasi bahan berkadar gula hingga 70% itu dan kemudian menyulingnya.
Dari 3 liter molase ia memperoleh seliter bioetanol. Orang-orang seperti Sabaryono,
produsen tanpa kebun, jumlahnya ratusan. Menurut Arif Yudiarto, pola seperti
Sabaryono sangat mungkin untuk diterapkan produsen berbahan baku lain seperti
singkong, gaplek, dan sorgum.

Jika enggan membudidayakan, idealnya harga beli bahan baku Rp350 untuk singkong,
Rp700 (gaplek), dan Rp1.000 (sorgum) per kg. Itu bila harga jual bioetanol minimal
Rp5.500 per liter. Kalau harga jual bioetanol lebih tinggi-saat ini di pasaran harganya
Rp7.500-Rp11.000 per liter-kenaikan harga bahan baku pada level tertentu dapat
ditolerir.

Pada tingkat harga itu, pekebun pun memetik laba. Apalagi sekarang terdapat varietas
unggul dengan produksi menjulang. Singkong, umpamanya, berproduksi hingga 130
ton per ha. Padahal, sebelumnya produktivitas rata-rata cuma belasan ton. Tersedianya
bahan baku, teknologi sederhana, dan pasar yang terbentang merangsang produsen
menggeluti bisnis bioetanol skala rumahan.

Menurut Dr Unggul Priyanto, peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, bila
ingin mengembangkan bahan bakar nabati, sebaiknya bioetanol yang didorong lebih
dahulu. ‘Kalau mau realistis yang kompetitif terhadap premium sekarang ini bioetanol,’
ujar Unggul. Sebab, bahan baku bioetanol beragam dan biaya produksinya tergolong
murah.
Campur bioetanol
Program pemerintah untuk mengalihkan penggunaan premium beroktan 88 ke oktan 90
kian membuka peluang pasar bioetanol. ‘Angka oktan adalah sifat ketahanan bahan
bakar untuk tidak terbakar sendiri karena tekanan atau suhu,’ kata Drs Mardono MM
dari Lembaga Minyak dan Gas. Donny Winarno dari PT Molindo Raya, produsen
bioetanol, mengatakan peralihan itu lantaran besarnya subsidi pemerintah untuk
premium. Jika kebutuhan premium nasional 17-miliar liter, total subsidi Rp34- triliun per
tahun.
Untuk meningkatkan nilai oktan dapat menambahkan methil tersier buthil ether (MTBE)
beroktan 100 atau tetra ethil lead (TEL). Namun, penggunaan keduanya berdampak
buruk sehingga dilarang pemerintah. TEL, misalnya, bersifat karsinogenik alias memicu
kanker. Mardono mengatakan semakin tinggi nilai oktan, kian rendah emisi. Hasil uji
emisi gas buang premium 88 mencapai 1,22% karbondioksida dan 175 ppm
hidrokarbon. Bandingkan dengan emisi gas buang biopertamax hanya 0,44%
karbondioksida dan 143 ppm hidrokarbon.

Untuk meningkatkan nilai oktan, salah satu cara termudah adalah memberi campuran
bioetanol beroktan 117. Dengan menambahkan 10% bioetanol, angka oktan E10
mencapai 91 hampir setara pertamax. ‘Pemerintah tak perlu membangun kilang khusus
untuk menghasilkan bahan bakar beroktan 90,’ ujar Arif.

Doktor Bioengineering alumnus Tokyo University of Agriculture and Technology itu


mengatakan dengan E10 pemilik mobil dapat menghemat Rp1.000 per liter. Sebuah
mobil berkapasitas 45 liter pertamax memerlukan Rp326.250. Bandingkan bila pemilik
mengisi tangki mobil itu dengan bahan bakar E10, hanya memerlukan Rp281.250.
Artinya, terdapat selisih Rp45.000. Dengan begitu, ‘Orang pasti akan cari bioetanol
sehingga peluang pasar semakin besar,’ tutur Arif.

Soal melonjaknya nilai oktan? Itu justru berdampak positif meski digunakan oleh
kendaraan bermesin yang mestinya didesain untuk memanfaatkan bahan bakar
beroktan 88. Itulah sebabnya Chris Andri Tjahyono merancang alat konversi pengganti
karburator. ‘Alat itu nantinya dapat digunakan oleh motor merek apa pun sehingga bisa
diisi bioetanol 100%,’ kata alumnus Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember
itu.

Dengan alat konversi itu, pemilik tetap dapat mengisi tangki dengan premium 100%.
Motor yang dilengkapi alat konversi itu dapat diisi bioetanol bisa, berbahan bakar
premium pun tak masalah. Chris yang 7 tahun terakhir bekerja di perusahaan otomotif
menargetkan alat konversi itu siap dipasarkan pada Februari 2008. Jika alat itu
tersedia, pemilik motor tentu dapat menghemat belanja premium.

Soekaeni, produsen bioetanol di Sukabumi, Jawa Barat, pada 16 Desember 2007


membuktikannya. Ia mengisi 1 liter masing-masing E10 di sebuah motor dan premium
di motor yang lain. Motor E10 mampu menempuh jarak 47 km; motor premium, 40 km.
Pasar industri

Dr Unggul Priyanto mengatakan kelebihan bioetanol dapat digunakan untuk bahan


bakar sekaligus industri. ‘Potensi produsen bioetanol untuk rugi lebih kecil, karena
serapan pasarnya luas,’ ujar doktor alumnus Kyushu University, Jepang. Edmond Ch
Mononutu, produsen di Maumbi, Kabupaten Minahasa Utara, memasok 240-300 liter
bioetanol ke apotek dan puskesmas per bulan. ‘Itu hanya untuk batu loncatan,’ ujarnya.
Pasokan itu akan ditinggalkan akhir Januari 2008.
Maklum, penghujung Januari 2008 ia berkonsentrasi pada permintaan 9 perusahaan
kosmetik dan farmasi di Makassar, Kendari, serta Palu yang minta total pasokan rutin
100 ton bioetanol per bulan. Edmond sudah meneken nota kesepahaman dengan ke-9
perusahaan itu. Setelah berkali-kali berselancar di jagat maya, sulung 8 bersaudara itu
yakin prospek bisnis bioetanol sangat bagus.

‘Sekarang sudah terjadi globalisasi. Bioetanol digunakan di dunia, pasti akan terjadi
juga di sini. Kita hanya tunggu waktu,’ kata Edmond. Ia merintis pasar dengan
mendatangi, melobi langsung, dan akhirnya mengirim sampel bioetanol berkadar 90%
sejak Maret 2007.

Selain itu Edmond juga meneken kontrak dengan pemerintah daerah Kabupaten
Minahasa Selatan. Jika tak ada aral, Maret 2008 semua mobil operasional kabupaten
yang beribukota di Amurang itu bakal menggunakan bioetanol sebagai bahan bakar.
Untuk melayani tingginya permintaan, pria 42 tahun itu mendirikan koperasi di Pinilih,
Minahasa Utara, dan Kotamenara, Minahasa Selatan. Sejak ratusan tahun silam, warga
kedua desa itu memproduksi bioetanol 30% yang sohor sebagai cap tikus untuk
minuman.

Edmond membeli semua produksi bioetanol mereka dan memurnikan hingga mencapai
kadar etanol 90%. Gebrakan itu disambut baik oleh warga setempat dan bupati
Minahasa Selatan, Ramoy Markus Luntungan. Harap mafhum, produsen skala
rumahan di sana bakal memperoleh harga lebih tinggi dan stabil. Saat ini harga
disepakati Rp3.000 per liter berkadar 70%. Setiap kenaikan 1 strip atau setara 5%,
harga beli meningkat Rp76. Bandingkan jika mereka menjual cap tikus kepada
tengkulak, harga berkisar Rp1.000-Rp1.500 per liter. Dengan memasarkan bioetanol
untuk industri dan bahan bakar, diharapkan kebiasaan minum cap tikus berkurang.
Nomor cukai
Meski pasar terbuka lebar, bukan berarti tanpa kendala. Menurut Himawan Adiyoso,
produsen skala rumahan di Cilegon, Provinsi Banten, banyak peraturan menghambat
pemasaran. Himawan menunjuk peraturan Bea Cukai berupa kewajiban produsen
untuk membuat pagar tinggi dan mempunyai tangki penyimpanan 2.000 liter. Untuk
pengawasan, Bea Cukai menempatkan pegawainya di lokasi produksi.

‘Itu tak mungkin untuk industri skala kecil. Undang-undang tentang cukai hanya cocok
diterapkan untuk industri besar,’ tutur alumnus Teknik Kimia Universitas Diponegoro itu.
Boleh jadi lantaran belum memperoleh nomor cukai, seorang produsen-sebut saja
Antoni-hanya memasarkan bioetanol ke pabrikan tertentu yang tak mensyaratkan
nomor cukai. Ia memasarkan 2.000 liter per hari ke pabrik parfum dan kosmetik. Harga
jual Rp7.000-Rp10.000 per liter berkadar 90-95%.

Padahal, jika mengantongi nomor cukai, harga jual membubung hingga Rp17.000-
Rp20.000 per liter. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan No 89/2006
menetapkan besarnya cukai etanol Rp10.000 per liter. Cukai itu hanya ditetapkan untuk
bioetanol industri dengan produksi lebih dari 1.000 liter per bulan. Sedangkan bioetanol
untuk bahan bakar, hingga saat ini bebas cukai.
Sulitkah mengurus nomor cukai? Nomor itu dapat diurus di Kantor Pelayanan Bea
Cukai Daerah. Calon produsen hanya mengisi formulir, tanpa dikenakan biaya sepeser
pun. Antoni sudah mengisi formulir itu 2 tahun lalu, tapi hingga kini nomor belum keluar.
Petugas Bea Cukai juga sudah menginspeksi lokasi produksi. Saat itu ia baru
berproduksi 500 liter per hari. Menurut Antoni petugas itu bingung untuk mengeluarkan
nomor cukai lantaran kecilnya skala usaha Antoni. Selama ini nomor cukai memang
hanya diberikan untuk produsen besar.

Akibat belum mempunyai nomor cukai, Antoni tak dapat memasok 100 ton per hari
permintaan sebuah pabrik di Jakarta Utara. ‘Banyak permintaan belum terlayani,’
katanya. Beragam industri seperti rokok, makanan, farmasi, kosmetik, dan parfum
membutuhkan bioetanol. Menurut Novi Wahyuning Wuri SSi Apt, Riset dan
Pengembangan PT Romos Inti Cosmetics Industries, etanol digunakan sebagai pelarut
bibit wangi pada parfum dan pelarut triklosan pada cairan kumur. Perusahaan itu
menghabiskan 1.500 liter bioetanol berkadar 96% per bulan.

Beragam produk minuman juga memanfaatkan bioetanol sebagai bahan campuran,


walau kadarnya beragam. PT Dima yang memproduksi minuman bermerek Guinness,
umpamanya, membutuhkan 10-juta liter minuman per bulan. Perusahaan itu
memproduksi 20-miliar liter per bulan untuk memasok pasar domestik dan
mancanegara. Berapa kebutuhan bioetanol untuk industri di pasar domestik? Hingga
saat ini belum ada data memadai.

Begitu besarnya peluang bisnis bioetanol sehingga PG Kebon Agung, Malang, Jawa
Timur, berencana memproduksinya. Ir Didid Taurisianto, direktur perusahaan itu
mengatakan selama ini perusahaan gula yang berdiri pada 1905 itu menjual 60.000
molase per tahun. Padahal, jika diolah menjadi bioetanol Didid menuai minimal 20.000
liter. Tak hanya produsen besar, produsen skala rumahan yang kini menjamur mampu
memetik laba dari perniagaan bioetanol. Mereka membangun kilang-kilang hijau di
halaman rumah

Anda mungkin juga menyukai