Anda di halaman 1dari 5

PEMBAGIAN AHLI WARIS DUDA DAN JANDA

Status hukum janda dan duda dipertegas kembali dalam pasal 852 a KUHPerdata
yang berbunyi sebagai berikut : “Dalam hal ini mengenai warisan seorang suami atau istri
yang meninggal terlebih dahulu, si istri atau si suami yang hidup terlama, dalam melakukan
ketentuanketentuan dalam hal ini, dipersamakan dengan seorang anak yang sah dari 1
meninggal dengan pengertian, jika perkawinan suami istri itu adalah kedua kalinya atau
atau selanjutnya dari perkawinan terdahulu ada anak-anak atau keturunan anak-anak itu, si
istri atau si suami yang baru tidak akan mendapat bagian warisan yang lebih besar dari
bagian daripada bagian warisan yang kecil yang akan di terima oleh salah seorang anak
tadi, atau dalam hal bilamana anak-anak itu telah meninggal lebih dahulu dan sekalian
keturunan pengganti, sedangkan dalam bagaimanapun juga, tidak boleh si istri atau suami
itu lebih dari seperempat peninggalan si peninggal”.
Oleh karena status hukum janda terhadap warisan yang di tinggalkan oleh almarhum
suaminya sama dengan status hukum seorang anak yang sah, maka kosenkuensinya
yuridisnya apabila ternyata almarhum suami janda tersebut meninggalkan anak berarti
janda yang bersangkutan merupakan satu-satunya ahli waris yang menerima seluruh
warisan pewaris, karena keberadaan janda akan menjadi penghalang bagi ahli warispada
golongan kedua dan seterusnya untuk tampil menerima warisan.
Dalam ketentuan UndangUndangNomor 1 1974 tantang perkawinan (UUP), pasal 35
ayat (1) menyatakan bahwa harta benda yang selama perkawinan menjadi harta bersama.
Harta bawaan dari masingmasing suami atau istri dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Harta bersama dikuasai oleh suami
dan istri. Suami dan istri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua
belah pihak (pasal 36 ayat (1) UUP). Terhadap harta bersama suami dan istri mempunyai
hak dan kewajiban yang sama. Menurut ketentuan pasal 37 UUP, apabila perkawinan putus
karna perceraian, harta bersama diatur menuruthukumnya masing-masing. Yang di maksud
dengan hukumnya masing-masing adalah Hukum Agama, Hukum Adat, Hukum islam, dan
hukum-hukum lain. Mengenai harta bersama, suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (pasal 36 UUP).
Penjelasan undang-undang tidak membedakan antara ahli waris laki-laki dan
perempuan, tidak juga membedakan urutan kelahiran hanya ada ketentuan bahwa ahli waris
golongan pertama jika masih ada maka akan menutup kemungkinan bahwa ahli waris
golongan pertama jikajika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya
dalam garis lurus ke atas dan kesamping sehingga tampak anggota keluarga yang lebih
dekat menutup haknya anggota keluarga yang lebih jauh.
Lain halnya seseorang yang mendapat harta warisan yang melalui surat wasiat atau
testament, jumlahnya tidak tentu karna orang yang memperoleh harta tersebut tergantung
kehendak pemberi wasiat. Suatu surat wasiat biasanya berisi penunjukan seseorang atau
beberapa orang ahli warsi yang akan mendapat seluruh atau sebagaian harta warisan.
Berdasarkan aturan yang termuat dalam BW tentang surat wasiat, dapat disimpulkan bahwa
yang di utamakan adalah ahli waris menurut undang-undang. Hal ini di maksud terbukti
beberapa peraturan yang membatasi kebebasan seseorang untuk membuat surat wasiat agar
tidak sekehendak hatinya.
PEMBAGIAN ANAK ANGKAT

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) maupun aturan


hukum Agama Islam yang lazim digunakan untuk menjelaskan soal waris, disebutkan
bahwa anak angkat tidak termasuk dalam daftar ahli waris seseorang.
Menurut Pasal 852 ayat 1 KUHPerdata, ahli waris ialah:
Anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan
sekali pun mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek, atau semua keluarga sedarah
mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki atau
perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dulu.
Sementara itu berdasarkan Pasal 171 huruf C Kompilasi Hukum Islam (KHI), ahli
waris dijabarkan sebagai:
Adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris.
Dari kedua pasal di atas, ditekankan bahwa ahli waris merupakan mereka yang
memiliki hubungan darah/sedarah dengan pewaris.
Inilah dasar hukum yang menegaskan bahwa anak angkat tidak bisa dikatakan
sebagai ahli waris.
1. Hibah dan Wasiat untuk Anak Angkat
Ada dua cara yang dapat ditempuh orang tua untuk memberikan pemenuhan hak
anak angkat mengenai harta waris.
Cara tersebut ialah dengan memberikan hibah sesuai KUHPer maupun KHI atau
wasiat.
2. Hibah
Hibah merupakan praktik yang sudah lazim dilakukan untuk memberikan benda atau
harta tertentu dari penghibah pada penerima hibah.
Sementara itu, hibah yang dilakukan antara orang tua angkat dengan anak angkat,
lazimnya disebut sebagai hibah wasiat.
Menurut Pasal 957 KUHPerdata, hibah wasiat ialah:
Suatu penetapan wasiat yang khusus dengan mana si yang mewariskan kepada
seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu seperti
misalnya segala barang-barangnya bergerak atau tak bergerak atau memberikan hak pakai
hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya.
Pemberian hibah wasiat sebagai pemenuhan hak anak angkat terhadap harta waris
harus dilakukan secara adil.
Maksudnya, bila pemberian hibah tersebut memiliki nilai yang terlalu besar sehingga
mengurangi hak dari ahli waris sah, maka nominalnya harus dikurangi.
Di sisi lain, apabila orang tua angkat yang merupakan penghibah telah mewasiatkan
ketentuan lain, maka pemberian harta berjumlah besar dapat dilakukan.
Pengaturan mengenai hal ini telah tertuang pada Pasal 972 KUHPerdata yang
menyebutkan:
Apabila warisan tidak seluruhnya atau untuk sebagian diterimanya, atau apabila
warisan diterimanya dengan hak istimewa akan pendaftaran harta peninggalan, dan yang
ini tidak mencukupi guna memenuhi akan segala wasiat, maka hibah-hibab itu dalam
keseimbangan dengan besarnya, harus dikurangi, kecuali yang mewariskan tentang hal ini,
telah menetapkan ketentuan-ketentuan lain dalam surat wasiatnya.
Sebelum membuat akta hibah, pejabat yang berwenang akan meminta surat
persetujuan pemberian hibah dari calon ahli waris penghibah, dalam hal ini ialah orang tua
angkat.
Bila orang tua angkat memiliki anak kandung, makan ialah yang akan dimintai surat
persetujuan, namun jika tidak maka saudara sedara penghibahlah yang menjadi pihak
terminta. Surat persetujuan tersebut pun harus dilegalisir oleh notaris.
Hak anak angkat terhadap harta orang tua angkatnya pun telah diatur dalam aturan
Islam yang tertuang pada HKI yang disebut sebagai wasiat wajibah.
Pemenuhan hak anak angkat terhadap harta orang tua angkat dalam hukum Islam
sebenarnya tidak memerlukan wasiat lisan maupun tertulis.
Ketika orang tua angkat meninggal, maka anak angkat wajib diberikan wasiat
wajibah yang besarnya tidak lebih dari 1/3 harta peninggalan.
Hal ini pun dijelaskan pada Pasal 209 ayat 1 HKI yang berbunyi:
Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Sebagai catatan, sebelum harta tersebut diberikan pada anak angkat, hak dari para
ahli waris yang sah harus diberikan terlebih dulu.

Anda mungkin juga menyukai