Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan adalah suatu kebutuhan biologis yang harus dipenuhi oleh
manusia. Namun dalam proses pelaksanaannya hukum melakukan interpretasi
dalam hal tersebut. Dan hukum yang dianut guna melaksanakan prosesi pernikahan
tersebut adalah hukum nenek moyang leluhur mereka yang telah berakar dalam
lingkungan masyarakat setempat. Namun, adat istiadat di suatu daerah dengan
daerah lainnya berbeda-beda. Sehingga apabila suatu adat diterapkan dalam
lingkup masyarakat yang berbeda, maka bisa jadi adat tersebut bertentangan
dengan adat yang lainnya. Hal ini disebabkan karena kebiasaan maupun hukum
kebiasaan disamakan dengan hukum adat, sehingga hukum kebiasaan di suatu
daerah berbeda dengan kebiasaan maupun hukum kebiasaan yang lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Hukum Perkawinan Adat ?
2. Bagaiamakah Sistem Perkawian di Indonesia ?
3. Bagaimana pengaruh agama dalam perkawinan adat ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Perkawinan Adat


Menurut hukum adat Indonesia, perkawinan bukan saja sebagai perikatan
perdata melainkan juga perikatan adat sekaligus merupakan perikatan kekerabatan
dan ketetanggaan, atau dengan sahuta (batak).1
Menurut Prof.Dr. Barend Ter Haar, B.Zn. disebutkan
“Perkawinan adalah suatu usaha atau peristiwa hukum yang menyebabkan terus
berlangsungnya golongan dengan tertibnya dan merupakan suatu syarat yang
menyebabkan terlahirnya angkatan baru yang meneruskan golongan itu tersebut”
Sedangkan menurut Djaren Saragih,S.H dinyatakan sebagai berikut :
“Hukum Perkawinan adat adalah keseluruhan kaidah hukum yang menentukan
prosedur yang harus ditempuh oleh dua orang yang bertalian kelamin dalam
menciptakan kehidupan bersama dalam suatu rumah tangga dengan tujuan untuk
meneruskan keturunan”
Prof. Hilman Hadikusuma, S.H menyebutkan pula bahwa :
“ Hukum Adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatutentang
bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan
putusnya perkawinan di Indonesia”.
Hukum perkawinan adat juga di maknai sebagai aturan tentang prosedur
perkawinan berdasarkan adat yang telah turun temurun, bentuk-bentuk perkawinan,
prosesi peminangan, sampai pada prosesi putusnya hubungan perkawinan. Hukum
mengenai perkawinan adat di Indonesia turut andil faktor agama dan kepercayaan-
kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat. Hukum perkawinan adat
daerah satu dengan daerah lainnya akan berbeda dalam wilayah Indonesia.
Pasalnya tergantung pada suku,ras, dan agama mereka, sehingga akan muncul
berbagai bentuk perkawinan adat, diantaranya :

1 Djamat, Samosir. Hukum Adat Indonesia. ( Bandung : Nuansa Aulia, 2014) hal. 279.

2
1. Bentuk Perkawinan Masyarakat Patrilineal
Bentuk perkawinan ini disebut juga sebagai bentuk perkawinan jujur.
Perkawinan jujur adalah perkawinan dengan pemberian/pembayaran perkawinan
(jujur,belis) oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.2[3] Adapun maksud
pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan tersebut adalah
diputuskannya hubungan antara calon mempelai perempuan dengan orang
tuanya, sanak-saudara, dan masyarakat sekitarnya.
Tujuan dari bentuk perkawinan patrilineal ini adalah untuk memindahkan
kekerabatan calon istri dari keluarganya yang semula menujukekekerabatan
dalam lingkaran keluarga calon suami. Tak hanya itu, anak-anak yang dilahirkan
dari hasil perkawinan tersebut nantinya juga akan mengikuti kekerabatan
ayahnya, serta menjadi masyarakat hukum dari garis keturunan ayahnya.
Dengan demikian, bahwa pemberian jujur dapat berfungsi :
a. Secara yuridis, pemberian jujur adalah untuk mengubah status keanggotaan
calon pengantin wanita.
b. Secara ekonomi, membawa pergeseran dalam harta kekayaan, dan
c. Secara social, penyerahan jujur mempunyai arti pihak siwanita mempunyai
kedudukan yang dihormati
Di Indonesia, berikut daerah-daerah yang menganut sistem hukum
perkawinan patrilineal diantaranya Gayo, Batak, Nias, Lampung, Bali, Timor, dan
Maluku. Pada masyarakat Tapanuli (Batak) pembayaran jujur disebut istilah boli,
tuho, parunjuk, pangali sinamot; di Nias: beuli aiha; Gayo: unjuk; Lampung:seroh;
Timor:belis; Maluku: beli atau wilin; dan Bali : patunkuh – luh.
2. Bentuk Perkawinan Masyarakat Hukum Matrilineal
Pada dasarnya, bentuk perkawinan matrilineal adalah mempertahankan
garis kekerabatan dari pihak ibu. Perkawinan Matrilineal disebut juga perkawinan
Semendo. Semendo berarti laki-laki, dari luar.

3
Berbeda halnya dengan perkawinan patrilineal, bentuk perkawinan
semendo ini tidak memberikan jujur dari satu pihak ke pihak yang lainnya. Sejak
perkawinan dilangsungkan, baik istri maupun suami tetap berada dalam
kekerabatannya masing-masing. Hanya saja ketika anak lahir, maka garis
kekerabatannya mengikuti keturunan ibu, dan ayah tidak memiliki kewenangan
terhadap anak-anaknya.
3. Bentuk perkawinan Masyarakat hukum Bilateral
Berlainan dengan kedua bentuk perkawinan diatas, bentuk perkawinan ini
adalah bebas/mandiri. Setelah perkawinan suami dan istri memisahkan diri dari
kekuasaan tua dan kerabat masing-masing untuk membangun keluarga/rumah
tangga sendiri. Bentuk perkawinan ini terdapat di Jawa, Aceh, Kalimantan, dan
Sulawesi. Akibat hukum dari bentuk perkawinan ini adalah suami dan istri
masing-masing mempunyai dua kekeluargaan, yaitu kerabat suami di satu pihak.
4. Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran menurut hukum adat adalah perkawinan yang
terjadi diantara suami dan istri yang berbeda suku bangsa, adat budaya, dan
/atau berbeda agama yang dianut. Di Batak, apabila diselenggarakan perkawinan
campuran antarsuku, adat dan agama yang berbeda, maka dilaksanakan dengan
“marsileban”, yaitu pria atau wanita yang bukan warga adat Batak harus diangkat
dan dimasukkan lebih dulu sebagai warga adat Batak dalam lingkup “dalihan na
tolu” jika calon suami adalah orang dari luar, maka ia harus diangkat masuk ke
dalam warga adat “namboru”. Sehingga perkawinan adat itu tetap didalam jalur
“assymmetrish connobium”.
Dalam hal perbedaan agama antara calon suami dan istri, agar
perkawinan yang mereka langsungkan sah, maka salah satu dari mereka harus
mengalah, memasuki agama suami atau istri. Menurut agama Islam, perkawinan
campuran antar-agama dimana calon suami istri tidak bersedia meninggalkan
agama yang dianutnya, maka Islam hanya membolehkan pria Islam kawin
dengan wanita beragama lain. Jika sebaliknya, suami beragama lain dari Islam
sedangkan istri beragama Islam dilarang.
5. Perkawinan Lari

4
Sistem perkawinan lari dapat dibedakan antara “perkawinan lari bersama”
dan “perkawinan lari paksaan”. Perkawinan lari paksaan”. Perkawinan lari
bersama (Belanda :vlucht, Bengkulu :selarian, Lampung : Sebambungan,
metudau, nakat, cakak lakei; Bali :ngerorod, merangkat ; Bugis : silariang, dan
Ambon :lari bini. 3[4]adalah perbuatan berlari untuk melaksanakan perkawinan
atas persetujuan si gadis. Cara melakukan berlarian tersebut ialah bujang gadis
sepakat melakukan lari bersama, atau si gadis secara diam-diam diambil atau si
gadis dating sendiri ketempat kediaman si bujang .
C. Sistem perkawian
Sistem perkawinan,dilihat dari asal suami atau istri dibedakan atas tiga (3)
macam, yaitu sebagai berikut:
1. Sistem endogomi, yaitu perkawiaan yang diperbolehkan hanya dari suku sendiri
seagama, desa dan lapisan masyarakat. Sisitem perkawian yang terdapat di
Toraja, Folres Nusan Tenggara Timur. Pada waktu yang lampau, pada
masyarakat Ngadhu-bahaga , Folres Nusan Tenggara Timur berlaku ketentuan
endogomi, yaitu ketentuan bahwa gadis dari kalangan bangsawan (gae meze)
dilarang kawin dengan yang bukan dari kalangan bangsawan. Tetapi laki-laki gae
meze boleh menikahi dengan gae kisa, anak-anak yang lahir tidak masuk dalam
kedudukan sosial Ayahnya melainkan mengikuti setatus sosial Ibunya.
Pelanggaran terhadap ketentuan.
2. Sistem eksogami, perkawinan denga orang diluar suku keluarganya atau diluar
marganya (eksogami desa klan/marga), sistem perkawinan eksogami terdapat
pada masyarakat Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatra Selatan, Buru,
dan Seram. Pada masyarakat Batak terdapat ketentuan larang kawin yang
semarga. Karena mereka adalah satu saudaradari leluhur bapak. Pelanggaran
terhadap ketentuan eksogami adalah adalah merupakan perbuatan sumbang
(incest). Terdapat juga kebiasaan yang sangat menganjurkan kawin dengan
“periban”, yaitu anak sudara laki-laki dari ibunya, yang dinamakan “tulang”.

3[4] Dewi, Wulansari. Hukum Adat Indonesia. ( Bandung : Refika Aditama, 2015) hlm. 63

5
Masyarakat Lio di Flores tengah terdapat keutamaan kawin dengan anak laki-laki
saudara dari ayah yang dinamakan eja.
3. Sistem perkawinan eleutrogami, sistem ini tidak mengenal larangan atau
keharusan-keharusan seperti dalam sistem endogami atau eksogami.
Keharusan-keharusn seperti dalam sistem endogami atau eksogami. Larangan-
larangan itu adalah larangan yang berkaitan dengan ikatan kekeluargaan,
misalnya; larangan karena nasab (turunan dekat) dan musyaharah (pepiparan),
kandung, cucu (keturunan garis lurus ke atas dan kebawah, juga dengan saudara
kandung, saudarabapak atau ibu. Contoh musyaharah: kawin dengan ibu tiri
menatu, mertua, atau anak tiri. Sistem eleutrogami terdapat di Aceh, Sumatra
Timur, Bangka, Kalimantan, Minahasa, Sulawesi Selatan, Ternate, Irian Barat,
Timor, Bali, Dan Lombok).
D. Pengaruh Agama Dalam Perkawinan Adat
Pada dasarnya hukum adat tidak mengatur bagaimana seharusnya seorang
suami berlaku adil terhadap istri-istri oleh karena kedudukan istri-istri berbeda, ada
yang disebut Isteri Ratu (Garwa Padmi-Jawa) dan ada Isteri Selir (Do-Amonga-
Pulau Sawu). Begitu pula ada istri yang berkedudukan sebagai Isteri Pembantu. Di
daerah Lampung dikenal pula perbedaan antara Isteri Tua ( Beituhau) dan Isteri
Muda (Bei sanak), ada pula istri yang kedudukannya sejajar (Papak) dan adapula
Isteri Gadis (Beri Mulei) dan Istri Anggau (Bei Semalang). Perbedaan-perbedaan itu
akan membawa akibat hukum dalam kedudukan anak-anak dan perkawinan.4[5]

4[5] Talib, Setiady. Intisari Hukum Adat Indonesia. (Bandung : Alfabeta , 2015) hlm. 233-234

6
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan makalah, maka pemakalah menyimpulkan bahwa


prosedur pernikahan yang telah turun temurun dalam suatu adat tertentu. Adapun
dari segi sistem, sistem perkawinan adat dibagi menjadi 3 yaitu : Endogomi,
Eksogami, dan Eleutrogami. Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan sangat
berkaitan erat dengan pengaruh dari agama yang dianut oleh masyarakat tersebut.
Sehingga dalam upacara adat, dalam hal ini adat Sasak yang terkenal dengan adat
Merariq adalah kontribusi dari adat Bali yang menganut agama Hindu.

7
DAFTAR PUSTAKA

Mustari Pide, Suriyaman. 2015. Hukum Adat .Jakarta : Prenadamedia Group.


Samosir, Djamat. 2014. Hukum Adat Indonesia. Bandung : Nuansa Aulia.
Rahman, Fachrir. 2004. Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusa Tenggara Barat.
Ampenan : Alam Tara Institute.
Setiady, Talib. 2015. Intisari Hukum Adat Indonesia. Bandung : Alfabeta.
Yasin, M. Nur. 2008. Hukum Perkawinan Islam Sasak. Malang : UIN-Malang Press.

Anda mungkin juga menyukai