Anda di halaman 1dari 9

Judul : The neurobiology of the emotional adolescent: From the insideout

Jurnal : Neuroscience and Behavioral reviews, Articel in press

Volume, Halaman, Tahun : 2016

Penulis : Amanda E. Guyer , Jennifer S. Silk , Eric E. Nelson

A.Tujuan

Membahas mekanisme neurobiologis pada perilaku afektif remaja, khususnya


perbedaan dalam individu dan lingkungan sosial dalam mempengaruhi emosionalitas remaja.

B. Hasil

Pada remaja dapat ditandai sebagai masa dengan tingkat emosionalitas yang tinggi,
pada masa ini substansial meningkat dalam psikopatologis yang mana dapat berpengaruh pada
tingkat disfungsional. Meskipun perbedaan individu ada dalam tingkat emosionalitas remaja,
tetapi semua remaja mengalami urutan perubahan dalam masa pubertas dan perkembangan
otak. Belajar untuk mengelola salahsatu reaksi emosional orang lain adalah tugas utama remaja
yang berhubungan dengan perkembangan sosial dan kognitif. Proses sosial dan kognitif ini
didukung oleh perubahan pada koneksi struktur otak yang terlibat dalam fungsi-fungsi seperti
ketahanan mental, penilaian diri, pembelajaran sosial dan regulasi emosi. Perilaku afektif
remaja juga terkait dengan faktor lain yang dapat mengubah pengalaman emosional, contonya
pengangalaman masalalu dapat menjadi dasar saraf kognisi dan emosi untuk memodifikasi
pengalaman saat ini. Perkembangan dan pematangan otak, berperan dalam perilaku afektif
selama masa remaja. Pada masa remaja peningkatan, frekuensi emosi sebagian besar paling
kuat dialami ketika remaja ada pada lingkungan sosialnya.

1. Emosionalitas yang meningkat pada masa remaja: bentuk dan fungsi.


Masa Remaja adalah saat dimana remaja mencoba mencari pengalaman emosional,
dalam hal ini dapat mendorong reaktivitas otak remaja untuk berperilaku afektif,
penghindaran – ancaman, penghargaan-ambisi dalam pematangan proses pubertas. Hiper-
emosionalitas remaja berkaitan dengan perilaku yang melibatkan interaksi sosial seperti
dengan teman sebaya dan orang tua. Misalnya pengalaman emosional terkait dengan
keintiman, cinta, romantis, kecemburuan, penolakan penerimaan yang dialami pertama
kali oleh remaja dampat meningkatkan dampak emosi. Impuls yang meningkay, sensasi
pencarian, dan penghargaan dapat mendorong remaja untuk mencari pengalaman baru dan
interaksi sosial, membantu membangun identitas, dan mengembangkan perilaku di
lingkungan baru.
a) Dampak jangka panjang dari meningkatnya emosi
Reaksi emosional dapat menjadi tidak adaptif ketika jenis, kekuatan, atau
koordinasi dalam sistem neurofisiologis tidak optimal untuk konteks tertentu.
Mulainya gangguan kejiwaan selama tahun-tahun remaja sangat tinggi, khususnya
untuk gangguan mood, ansietas, dan penggunaan narkoba. Masa remaja adalah masa
hipersensitivitas terhadap pengalaman emosional yang membangkitkan keinginan,
minat dan ketidaksukaan, terutama ketika peristiwa-peristiwa penting terjadi dalam
konteks sosial. Data epidemiologis menunjukkan bahwa remaja adalah individu yang
paling rentan terhadap mortalitas dan morbiditas karena perilaku yang berhubungan
langsung dengan pengalaman emosional.
Fungsi hiper-emosionalitas remaja juga dapat berpengaruh terhadap
pembentukan perilaku jangka panjang dan pendek pada remaja. Emosi berfungsi
penting untuk mengarahkan, melibatkan, dan memberi suatu pengajaran kepada
remaja. Keinginan untuk mencoba hal-hal baru, adalah kebutuhan untuk meningkatkan
keadaan emosional seseorang yang mana juga dapat meningkatkan perasaan khawatir
tentang hubungan secara sosial dimana remaja dapat terdorong untuk melakukan
perilaku maladaptif secara jangka panjang. Contohnya percobaan menggunaan zat
berbahaya, hal ini dapat mengubah sirkuit saraf yang mendasari proses afektif dan
kognitif sehingga menjadi kebiasaan dan dapat mengarah pada gangguan penggunaan
narkoba jangka panjang.
b) Mekanisme peningkatan emosi
Selain perkembangan otak, perubahan remaja dalam pematangan pubertas, dan
hubungan sosial juga dapat mempengaruhi mekanisme saraf dalam membentuk
perilaku afektif.. Perubahan mendasar ini sesuai dengan urutan yang dapat diprediksi,
namun variabilitas yang terlihat pada permulaanya, tingkat perubahan atau pola
interaksi individu satu dengan yang lain dapat menunjukkan bahwa masa remaja
ditandai dengan emosionalitas yang meningkat. Contohnya pada penelitian terdahulu
gaya pengasuhan orang tua yang ditaktor, keras dan membatasi mengendalikan anak
pada waktu masa awal remaja/pubertas kemudian lingkungan yang tidak mendukung
misal anak tidak diasuh oleh orang tua kandung dapat mengubah perkembangan saraf.
Masa pubertas juga dapat disebut sebagai efek organisasi dari hormon gonad,
dimana hormon ini berkembang pada periode perinatal dan akhir kehamilan, yang
kemudian juga muncul kembali pada masa pubertas selain itu efek hormon lainnya
juga dapat mempengaruhi fungsi otak dan berkaitan dengan peningkatan emosi.
Lonjakan hormon gonad selama masa remaja juga dapat berkaitan dengan
perubahan perilaku. Perubahan yang terlihat dalam emosi, interaksi sosial, dan
pengambilan risiko selama masa remaja setidaknya sebagian dimediasi oleh perubahan
reaktivitas saraf di daerah termasuk thestriatum, amygdala, dan PFC yang dihasilkan
oleh lonjakan hormon gonad. Reaktivitas striatal yang rendah dapat dikaitkan dengan
penurunan waktu tidur, dimana hal ini jika dikombinasikan dengan lonjakan hormon
gonad maka dapat berkontribusi pada perilaku berisiko dan masalah emosional.
Kesimpulannya perkembangan pada masa pubertas berhubungan dengan respons
syaraf khususnya dalah isyarat reward, yang mana dapat berkontribusi pada perilaku
afektif remaja. Remaja ditahap pubertas pertengahan atau akhir versus awal
menunjukkan berkurangnya reaktifitas amygdala terhadap versus rangsangan non
sosial dan berkurangnya reaktivitas PFC ventrolateral terhadap ekspresi ketakutan,
pola ini terkait dngan pengaruh negatif dan depresi. Pada masa pubertas reaktivitas
amigdala, hippocamus dan kutub temporal terhadap ekspresi emosional lebih kuat
terjadi pada masa remaja awal dari pada masa anak-anak akhir.
2. Kontrol dan regulasi pada perilaku afektif: bentuk dan fungsi.
a) Mementingkan dan mengambil perspektif
Perkembangan kognitif-sosial yang penting berkaitan dengan mentalitas dan
kemampuan dalam pengambilan perspektif untuk memahami keadaan mental dan
emosional dari perspektif individu lain. Misalnya memahami kondisi mental oranglain
untuk mengetahui tujuan, perilaku mereka sehingga dapat menyesuaika perilaku kita.
Kapabilitas perubahan PFC terus berkembang selama masa remaja, hal ini terlihat dari
perspektif sosial-afektif dimana terlihat peningkatan TPJ dan PFC dorsolateral pada
remaja yang lebih tua berbeda dengan perekrutan daerah pengolahan sendiri seperti
PFC medial anterior (mPFC) pada remaja yang lebih muda. Selain itu, relatif terhadap
anak-anak, remaja lebih baik dalam menggabungkan konteks sosial ke dalam membuat
keputusan yang berdampak pada orang lain. Secara khusus, remaja yang lebih tua
menunjukkan lebih banyak perilaku prososial terhadap teman daripada teman sebaya,
teman netral, dan antagonis (dikategorikan berdasarkan sosiometrik kelas), efek yang
juga dimediasi oleh kemampuan mengambil perspektif yang lebih besar.
b) Self-Apprasial
Mekanisme sosial-kognitif yang menjadi sangat penting dan berpengaruh pada
perilaku afektif remaja adalah penilaian diri self apprasial. Penilainan diri adalah salah
satu tugas perkembangan dimana remaja mengeksplorasi diri sendiri sehingga
membangun identitas diri sendiri. Masa remaja adalah masa ketika individu
memperdalam dan memperluas nilai-nilai, minat, dan kemampuan yang secara unik
mendefinisikan diri mereka sebagai individu dan mempertimbangkan bagaimana
definisi diri mereka dibandingkan dengan orang lain di sekitarnya. Individu pada awal
masa remaja, lebih berintegrasi dengan kelompok teman sebaya lainnya dan secara
individuasi diri dari orang tua menjadi lebih sering dan menonjol. Penilaian diri
berkaitan dnegan perkembangan kognitif dan otak dan sebagiannya berkaitan dengan
perubahan afektif dan motivasi.
Kapasitas untuk secara kognitif mewakili pemahaman yang lebih bernuansa
tentang perspektif orang lain (mis., mentalisasi) b dengan kecenderungan untuk terlibat
dalam penilaian diri atau untuk melihat diri dari perspektif individu lain. Menariknya,
remaja menunjukkan aktivitas yang lebih besar daripada orang dewasa di daerah otak
yang menyuburkan kognisi sosial selama refleksi diri, menunjukkan bahwa remaja
sangat bergantung pada bagaimana mereka percaya orang lain dalam konteks sosial
memandang mereka ketika mereka membangun persepsi diri mereka sendiri. Proses
penilaian diri dipengaruhi oleh faktor sosial-kontekstual dan afektif selama masa
remaja.
c) Social-emotional learning
Jaringan saraf yang mendasari emosi remaja memainkan peran penting dalam
pembelajaran sosial dan keinginan, hal itu untuk membentuk perilaku selama masa
remaja. Memahami mekanisme saraf terkait dapat membantu untuk memahami
bagaimana perilaku afektif remaja yang dipengaruhi oleh pengalaman sosial yag
berharga. Data terbaru menunjukkan bahwa sinyal prediksi kesalahan berbasis hadiah
di puncak striatum selama masa remaja, mungkin berkontribusi terhadap
hipersensitivitas terhadap penghargaan pada masa remaja (Cohen et al., 2010).
Investigator telah mengembangkan tugas untuk memeriksa kesalahan prediksi dalam
menanggapi imbalan sosial daripada moneter (Poore et al., 2012). Dalam satu tugas
kesalahan prediksi sosial, kami menemukan konektivitas disfungsional antara striatum
dan mPFC pada remaja yang cemas secara sosial, sebuah pola yang berhubungan
dengan defisit memori spesifik untuk imbalan sosial (Jarcho et al., 2015). Khususnya,
kesalahan prediksi sosial terkait dengan peningkatan aktivitas striatal dan konektivitas
fungsional fronto-striatal negatif ketika remaja yang cemas secara sosial menerima
umpan balik positif yang tak terduga dari teman sebaya yang mereka nilai secara positif
(mis. Peserta yang paling ingin diajak ngobrol). Temuan ini menunjukkan bahwa
membentuk koneksi fungsional antara striatum dan PFC mungkin merupakan aspek
penting dari pembelajaran sosial di masa remaja.
d) Regulating emotions
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk terlibat dalam proses yang mengubah
cara seseorang mengalami atau mengekspresikan emosi. Regulasi emosi sangat
penting dalam menavigasi dan mengelola interaksi seseorang dengan individu lain, dan
dengan demikian mencerminkan tugas penting bagi remaja dalam lanskap dan peran
sosial mereka yang baru diperluas. Salah satu strategi regulasi emosi yang menjadi
lebih disempurnakan selama masa remaja adalah penilaian ulang kognitif. Penilaian
kembali melibatkan perubahan emosi dengan mengubah pikiran seseorang dan
membutuhkan upaya kognitif untuk membingkai ulang stimulus atau pengalaman.
Penipisan kortikal yang lebih besar dari PFC dorsolateral dan ventrolateral pada
remaja awal dikaitkan dengan penggunaan yang lebih besar dari strategi penilaian
kembali kognitif pada remaja akhir. Selain itu, remaja yang lebih muda yang sangat
sensitif terhadap penolakan sosial kurang berhasil dalam regulasi emosi ketika
menanggapi konteks sosial vs non-sosial.
3. Perkembangan Otak pada emosionalitas remaja.
Perilaku afektif selama masa remaja tidak terjadi dalam ruang hampa. Faktanya,
bukti menunjukkan bahwa sirkuit saraf yang mendukung respons afektif sangat sensitif
terhadap pengaruh kontekstual, terutama selama masa remaja. Crone dan Dahl (2012),
misalnya, berpendapat bahwa otak remaja sangat selaras dengan input sosial, yang
memfasilitasi respons yang fleksibel di antara konteks sosial yang sangat menonjol dan
berubah. Ini konsisten dengan Nelson et al. (2005) konseptualisasi remaja sebagai
periode perkembangan saraf yang sesuai dengan reorientasi sosial, di mana interaksi
sosial sebaya semakin meningkatkan arti-penting, dan hipotesis Nelson and Guyer
(2011) bahwa pengembangan PFC ventral yang berlarut-larut tersedia untuk
mengakomodasi kebutuhan anak-anak. dan remaja untuk mengembangkan fleksibilitas
sosial.
a) Pengaruh kontekstual sosial jangka pendek pada sirkuit saraf sosial-afektif
Pengaruh sosial pada pemrosesan rangsangan afektif dan situasi otak dapat
beroperasi dalam kerangka waktu yang relatif singkat atau dalam situasi diskrit atau
pertukaran dengan orang lain. Untuk remaja, ini mungkin termasuk bergaul dengan
teman-teman di sebuah pesta di mana ada narkoba, mengetahui bahwa seorang rekan
menyukai Anda atau tidak, dikeluarkan dari permainan di sekolah, atau memiliki
konflik dengan orang tua. Meskipun perhatian yang lebih besar telah diberikan kepada
pengaruh teman sebaya, beberapa pekerjaan baru-baru ini juga telah
mempertimbangkan pengaruh interaksi orang tua-anak yang terpisah pada proses-
proses ini.
(1) Kehadiran teman sebaya
Beberapa dukungan terkuat untuk gagasan bahwa respons otak remaja
terhadap rangsangan afektif dimodulasi oleh konteks sosial berasal dari
tindakan yang menunjukkan bahwa kehadiran teman sebaya meningkatkan
perilaku mengambil risiko dan mempertinggi responsifitas sirkuit reward otak
pada remaja tetapi tidak pada orang dewasa.
Di hadapan teman sebaya, remaja terlibat dalam perilaku prososial yang
lebih besar, diindekskan seolah-olah menyumbangkan lebih banyak uang
kepada orang lain, terutama ketika teman sebaya memberikan umpan balik
prososial. Remaja juga menunjukkan aktivitas yang lebih besar di mPFC, TPJ,
precuneus, dan sulkus temporal superior ketika memilih untuk menyumbang di
hadapan rekan-rekan mereka. Wilayah-wilayah ini jatuh dalam sirkuit deteksi
sosial dan regulasi kognitif yang digariskan dalam jaringan otak sosial
(Blakemore dan Mills, 2014) dan kerangka kerja pengembangan saraf sosial-
reorientasi (Nelson et al., 2005), dengan mPFC diaktifkan selama mentalisasi
dan sebagai respons terhadap pengaruh sosial ( Welborn et al., 2015) dan
peningkatan keterlibatan TPJ terkait dengan tipe pengambilan perspektif yang
lebih maju (van den Bos et al., 2011) pada masa remaja.
(2) Umpan balik teman
Remaja yang berkembang biasanya melaporkan pengaruh yang lebih
positif setelah diterima versus ditolak oleh teman sebaya yang mereka sukai
ketika dalam perbincangan (Guyer et al., 2014b, 2012). Yang menarik, diterima
vs ditolak oleh teman sebaya menghasilkan aktivitas yang lebih besar di kaudat
dan putamen, daerah striatal yang mendukung pendekatan perilaku dan
pemrosesan imbalan sosial. pekerjaan tambahan menunjukkan bahwa remaja,
terutama anak perempuan, menunjukkan peningkatan terkait usia dalam respon
saraf terhadap evaluasi rekan dalam beberapa jaringan afektif dan evaluasi diri
termasuk striatum, insula, dan korteks prefrontal ventromedial (Gunther Moor
et al., 2010; Guyer et al. , 2009) dan bahwa peningkatan respons saraf terhadap
penolakan sebaya mungkin merupakan fungsi dari perkembangan pubertas
(Silket al., 2013).
(3) Interaksi orangtua-anak.
Selama masa remaja, remaja terus peduli apa yang orang tua pikirkan tentang
mereka. Ini ditunjukkan dalam penelitian neuromaging yang menyelidiki
respons saraf terhadap umpan balik negatif dari ibu. Dalam penelitian ini,
remaja mendengarkan klip audio ibu mereka yang mengkritik mereka serta
mendiskusikan topik netral seperti cuaca. Saat mendengarkan komentar kritis,
remaja menunjukkan peningkatan aktivitas otak (relatif terhadap komentar
netral) di daerah subkortikal-limbik, seperti inti lentiform dan posterior insula,
tetapi penurunan aktivitas di daerah otak yang mengurangi kontrol kognitif
emosi, seperti PFC dorsolateral dan ACC ekor. Temuan ini menunjukkan bahwa
kritik ibu diproses secara emosional menonjol selama masa remaja, dan yang
biasanya berkembang remaja gagal merekrut jaringan kontrol kognitif untuk
membantu mereka mengatur emosi ketika secara pasif mendengarkan komentar
kritis dari ibu mereka.
b) Pengaruh kontekstual sosial jangka panjang pada sirkuit saraf sosial-afektif

Sirkuit saraf yang mendukung perilaku afektif tidak hanya dipengaruhi oleh
konteks sosial saat ini, tetapi juga dibentuk oleh pengalaman sosial sebelumnya.
Sebagaimana dibahas dalam masalah ini, ada bukti bahwa stres ekstrem dan
pengalaman buruk di awal kehidupan memengaruhi fungsi otak remaja di dalam sirkuit
yang mendukung perilaku afektif. Namun, penelitian yang muncul menunjukkan
bahwa variasi dalam konteks sosial dalam rentang pengalaman yang lebih khas dan di
tahun-tahun yang lebih dekat ke masa remaja juga dapat mempengaruhi fungsi otak
remaja.

(1) Paparan terhadap viktimisasi sebaya

Remaja yang berulang kali menjadi korban dari usia 6-12 tahun
menunjukkan aktivasi korteks cingulate anterior dorsal yang lebih besar untuk
pengucilan sosial pada tugas Cyberball pada masa remaja. Hasil ini
menunjukkan bahwa pengalaman sebelumnya dengan teman sebaya memiliki
efek jangka panjang pada korelasi saraf berikutnya dari perilaku afektif.

(2) Kualitas hubungan teman sebaya


Kualitas hubungan teman sebaya telah ditemukan memengaruhi respons
saraf terhadap rangsangan. Bukti menunjukkan bahwa pengambilan risiko pada
pertengahan masa remaja dimodulasi oleh kualitas hubungan sebaya dalam dua
tahun sebelumnya (Telzer et al., 2015). Secara khusus, remaja yang melaporkan
konflik yang lebih besar dengan teman sebaya dalam kehidupan sehari-hari
mereka mengambil risiko lebih besar pada tugas pengambilan risiko yang
terkomputerisasi, dan menunjukkan aktivasi yang lebih besar di daerah
pemrosesan hadiah, seperti striatum dan insula, ketika menyelesaikan tugas.
Selain itu, hubungan antara konflik teman sebaya dan peningkatan pengambilan
risiko, serta insula dan responsif striatal saat terlibat dalam pengambilan risiko,
keduanya dilemahkan untuk remaja yang juga melaporkan tingginya tingkat
dukungan teman sebaya. Secara kolektif, temuan ini memberikan beberapa
bukti pertama yang menunjukkan bahwa kualitas hubungan teman sebaya
berpotensi memodulasi sensitivitas sirkuit hadiah dan ancaman terhadap isyarat
afektif di masa depan. Hasil ini juga dapat memberikan dukungan konsep peran
fungsional untuk hiper-emosionalitas remaja. Pengambilan risiko dapat remaja;
bagi mereka dengan jaringan peer yang sudah mapan dan stabil, imbalan yang
terkait dengan pengambilan risiko dapat berkurang.
(3) Kualitas hubungan orangtua

Otak remaja juga responsif terhadap input sosial dari lingkungan


keluarga. Sebagai contoh, Morgan et al. (2014) menemukan bahwa tingkat
kehangatan ibu yang diamati selama masa remaja awal dikaitkan dengan
aktivasi striatal yang lebih besar selama antisipasi imbalan selama remaja akhir
untuk subset anak laki-laki dengan risiko keluarga untuk depresi. Whittle et al.
(2014) miliki lebih lanjut menunjukkan bahwa pengasuhan hangat pada remaja
awal (usia 12) dikaitkan dengan pola perubahan struktural yang diduga adaptif
di daerah otak limbik-striatal selama empat tahun ke depan. Selain itu,
kehangatan orang tua telah dikaitkan dengan berkurangnya proses referensi diri
dari kritik ibu pada remaja yang sehat (Lee et al., 2015). Temuan ini
menunjukkan bahwa pengasuhan yang hangat dan suportif pada awal masa
remaja mungkin memiliki efek neuroprotektif pada perkembangan otak remaja.
Selanjutnya, dua penelitian terbaru menunjukkan bahwa kualitas pengasuhan
dapat mempengaruhi bagaimana remaja menanggapi umpan balik teman,
dengan pengasuhan negatif yang melemahkan respons striatal terhadap
penerimaan teman sebaya (Tan et al., 2014) dan pengasuhan positif yang
melemahkan reaktivitas striatal terhadap penolakan teman (Guyer et al., 2015).
Temuan ini menunjukkan bahwa, mengingat keliatan berkelanjutan dalam
sirkuit saraf yang mendukung perilaku afektif selama masa remaja, hubungan
dengan orang tua tetap berpengaruh pada bagaimana remaja memproses dan
mengelola pengalaman emosional positif dan negatif.

c) Perbedaan individu dalam fungsi otak dan perilaku afektif.


Individu bervariasi dalam kemampuan mereka untuk memodulasi atau
menyalurkan pengalaman emosional mereka, dan bagi sebagian orang,
kemampuan regulasi emosi yang dikompromikan dapat menyebabkan
peningkatan disfungsi. Emosi seperti ketakutan, kecemasan, atau kesedihan,
misalnya, dapat menjadi disfungsional atau psikopatologis ketika mereka
menggelembung dalam konteks sosial yang tidak pantas, atau ketika valensi
atau rangsangan mereka tidak dapat diprediksi atau ekstrem dan tidak sesuai
dengan tuntutan situasional. Peran outsized yang dimainkan oleh pengalaman
sosial-emosional dalam membentuk perilaku terbukti dalam tingginya
timbulnya gangguan kejiwaan selama tahun-tahun remaja, seperti kecemasan
dan gangguan depresi.

Anda mungkin juga menyukai