Anda di halaman 1dari 147

ALIRAN RIFA’IYAH

DI KABUPATEN TEMANGGUNG
(KAJIAN TENTANG IMPLEMENTASI AJARAN TASAWUF K.H. AHMAD
RIFA’I)

TESIS

Diajukan sebagai Persyaratan

Untuk Memperoleh Gelar Magister

dalam Ilmu Agama Islam

Oleh:

MUSLICH
NIM : 520163

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2006
PROF. DR. H. ABDUL JAMIL MA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
PROGRAM PASCA SARJANA
Jl.Raya Ngaliyan (Kampus 3) Semarang 50185 Telpon / Fax. (024) 614454

NOTA PEMBIMBING

Dengan ini menerangkan bahwa tesis Muslich, NIM; 520163 yang berjudul:

ALIRAN RIFA’IYAH DI KABUPATEN TEMANGGUNG (KAJIAN

TENTANG IMPLEMENTASI AJARAN TASAWUF K.H. AHMAD RIFA’I)

telah memenuhi syarat untuk diujikan sebagai tesis pada konsentrasi Etika Tasawuf,

Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang tahun akademik 2006/2007.

Semarang, 4 Desember 2006

PROF. DR. H. ABDUL DJAMIL M.A.


NIP: 150208253

2
iINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
PROGRAM PASCA SARJANA
Jl.Raya Ngaliyan (Kampus 3) Semarang 50185 Telpon / Fax. (024) 614454
INDONESIA _________________________________________

PENGESAHAN

Tesis berjudul : ALIRAN RIFA’IYAH DI KABUPATEN


TEMANGGUNG (KAJIAN TENTANG
IMPLEMENTASI AJARAN TASAWUF
K.H. AHMAD RIFA’I)

Ditulis oleh : MUSLICH


NIM : 520163
Program Studi : Etika Tasawuf

Telah dapat diterima sebagai syarat


memperoleh gelar
Masgister dalam Ilmu Agama Islam.

Semarang, 1 Agustus 2005

Direktur,

Prof. Dr. H. Abdurrahman Mas’ud, M.A.


NIM: 150240107

3
DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa tesis yang
berjudul: ALIRAN RIFA’IYAH DI KABUPATEN TEMANGGUNG (KAJIAN
TENTANG IMPLEMENTASI AJARAN TASAWUF K.H. AHMAD RIFA’I) tidak
berisi material yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian
juga tesis ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang
terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.

Semarang, 4 Desember 2006

Yang mendeklarasikan

MUSLICH
NIM : 520163

4
Abstraksi

Islam way of live, mengenal tiga asas yakni; Iman, Islam, dan Ihsan.
Ketiganya merupakan kesatuan yang utuh, dimana manusia dapat mencipta dirinya
menjadi insan kamil.. Secara ringkas dalam Islam dikenal ilmu dhohir dan ilmu batin
yang terinci dalam ilmu; syari’ah, tariqah, haqiqah dan ma’rifah. Kumpulan dari
pengetahuan tentang syari’ah, dengan melalui tariqah untuk mencapai haqiqah, dan
ma’rifah. Maksudnya seseorang yang menjalani tariqah yang seimbang dengan
syari’ah secara lahir dan batin, untuk menuju kepada tujuan tertentu dalam tasawuf,
insyallah tercapailah kondisi mental yang menciptakan insan kamil.
Tasawuf merupakan istilah khusus mistisisme Islam, bertujuan memperoleh
hubungan khusus langsung dengan Tuhan, ber-asensi hidup dan berkembang dari
bentuk ke-zuhudan dengan bentuk tasawuf amali dan falsafi. Pandangan kaum sufi
ibadah formal belum memenuhi kebutuhan spiritual, melainkan harus melalui proses
takhalli, tahalli dan tajalli. Tasawuf amali merupakan pancaran dari cahaya Allah
pada hati muslim, yang ter-interprestasikan dalam pengamalan kehidupan.
Walaupun dalam tasawuf dikenal adanya istilah maqam (sikap hidup) dan hal
(sikap mental). Namun, dalam kehidupan sehari-hari yang dapat diketahui adalah
sikap hidup, ter-realisasi dalam kehidupan dan tingkah laku, dalam hidup
bermasyarakat dan berhubungan dengan lingkungan kita.
Kyai H. Rifai adalah seorang tokoh Islam, pengikut aliran faham Sunni dan
bermadzhab Syafi’i, penganut ajaran Al-Ghazali, ajarannya merupakan basic ajaran
Islam, yakni; syariah, usul ad-din dan tasawwuf, ia mencipta kitab syair berbahasa
arab/jawa pegon, sebagai pedoman ajaran bagi umatnya, agar memudahkan
pemahaman dan penerapan ajaran Islam, penganutnya membentuk dirinya dengan
nama golongan “Islam Tarojumah”. Dikabupaten Temanggung terkenal dengan
istilah “ Umat nglakoni printah ngedohi cegah”, umat yang mendukungnya sekitar
berjumlah 70.000 anggota yang tersebar di daerah kelahirannya, Kalisalak,
Wonosobo, Temanggung, bahkan sampai di Sulawesi dan Ambon.
Dengan dalih beberapa hal tersebut diatas, kami mengangap penting untuk
mendalami ajaran kyai dan implementasi para umat pengikutnya, dengan tujuan;
selain memenuhi tugas akademis, juga mengetahui perkembangan khazanah Islam.
Fokus penelitian ini pada; mengetahui dengan sebenarnya ajaran Rifaiyah dan
memahami implementasi ajaran itu pada umatnya, mengambil sampel di daerah
Kabupaten Temanggung khususnya daerah Kecamatan Wonoboyo, dengan
menggunakan metode penelitian kwalitatif, deskriptif, reflektif, induktif dan
menggunakan sistem groundeed research agar dapat memahami posisi dan praktek
pengikutnya dalam kehidupan sehari- hari. Kenyataan yang diperoleh; sampai
sekarang jati-diri umatnya masih bersikukuh, dengan kemurnian ajarannya, baik

5
dalam ajaran fiqh, tauhid maupun tasawuf-nya, walaupun dalam perkembangan areal
umatnya masih lamban karena hanya didukung oleh faktor hubungan keluarga
melalui tali perkawinan dan arus perpindahan penduduk.

6
HALAMAN PERSEMBAHAN

UNTUK ISTRIKU TERCINTA DAN ANAK- ANAKKU

7
MOTTO

ALLAH MAHA BESAR

8
TRANSLITERASI

Sistim transliterasi yang digunakan penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
ARAB INDONESIA ARAB INDONESIA

‫ا‬ , ‫ض‬ dl
‫ب‬ b ‫ط‬ th
‫ت‬ t ‫ظ‬ dh
‫ث‬ ts ‫ع‬ ‘
‫ج‬ j ‫غ‬ gh
‫ح‬ h ‫ف‬ f
‫خ‬ kh ‫ق‬ q
‫د‬ d ‫ك‬ k
‫د‬ dz ‫ل‬ l
‫ر‬ r ‫م‬ m
‫ز‬ z ‫ن‬ n
‫س‬ s ‫و‬ w
‫ش‬ sy ‫ﻩ‬ h
‫ص‬ sh ‫ي‬ y

Keterangan ;
1. Hamzah (`) yang terletak diawal kata mengikuti vokalnya, tanpa diberi tanda
apapun. Jika terletak ditengah atau akhir, maka ditulis dengan tanda (‘)
2. Vokal dan diftong.
a. Vokal atau bunyi (a), (i) dan (u) ditulis dengan ketentuan sebagai berikut :
Harakat Pendek Panjang
Fathah a aa
Kasrah i ii
Dlammah u uu

b. Diftong yang sering dijumpai dalam transliterasi adalah (ai/ay) dan (au/aw)
misalnya bain/bayn (‫ )ﺑﻴﻦ‬dan qaul/qawl (‫)ﻗﻮل‬
c. Syiddah dilambangkan dengan konsonan ganda.
d. Kata sandang al-( alif lam ma’rifah) ditulis dengan huruf kecil, kecuali jika

9
terletak diawal kalimat.
e. Ta’ Marbuthah ( ‫ ) ة‬ditraansliterasikan dengan hutuf t, tetapi jika ia terletak
di akhir kalimat, maka ia ditransliterasikan dengan huruf h.
f. Lafdh al-Jalalah ( ‫ ) اﷲ‬yang didahului partikel, seperti huruf jar dan huruf
lainnya atau berkedudukan sebagai mudlof ilaihi ditransliterasikan tanpa

huruf hamzah.

Adapun singkatan- singkatan yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah
sebagai berikut ;

swt ; subhanahu wa ta’ala tp. ; tanpa penerbit


saw ; shalallahu ‘alaihi wasallam H ; tahun hijriyyah
w. ; tahun wafat M ; tahun masehi
ra. ; radliallahahu ‘anhu hlm. ; halaman
tt. ; tanpa tahun dll. : dan lain-lain

10
11
KATA PENGANTAR

Al-Hamdulillahirabbil ‘alamîn’. Puji syukur penulis haturkan kepada Allah

dengan limpahan rakhmat-Nya, taufiq serta hidayah-Nya tesis ini dapat selesai sesuai

dengan target, semata-mata hanya ridha-Nya dan kemurahan-Nya, sehingga dapat

terlaksana dengan baik, semoga dapat bermanfaat bagi semuanya.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi agung Muhammad SAW.,

sebagai rasul terakhir, pembawa risalah ajaran Tuhan, penyelamat umat muslim dari

dunia hingga akhirat kelak.

Penulisan tesis ini dapat diselesaikan bukan dari upaya sendiri, namun sangat

bergantung dari dukungan semua pihak. Oleh karena itu, penulis menghaturkan rasa

terima kasih tak terhingga kepada mereka yang membantu dan mendukung, utamanya

kami haturkan kepada :

1. Direktur Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, Dr. Ahmad

Gunaryo, M.Soc.Sc. atas advis yang melegakan hati saat awal penulisan ini, dari

dorongan semangat yang diberikan.

2. Staf perpustakaan yang membantu tercapainya cita pengajaran

3. Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA, selaku pembimbing, dengan kesabaran dan

pengarahannya, serta dukungan moril, sehingga dalam penulisan tesis ini dapat

terselesaikan dengan baik dan sempurna.

4. Dr. H. Abdul Muhaya, MA, dan Drs. H. M. Darori Amin, MA., selaku team

penasehat akademis, yang tiada kusangka memberi advis yang besar nilainya.

12
5. Para dosen Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, baik dari dalam

maupun dari luar kampus, selaku pembuka wawasan yang luas dalam ilmu

pengetahuan dan pertanggungan jawab intelektual, guna mengembangkan

wawasan ke-Islaman dimasa depan.

6. Ibu tercinta, yang selalu berdo’a siang dan malam agar penulis selamat dan

berhasil dengan ilmu yang bermanfaat.

7. Istri tersayang, selaku pemacu dan pendorong dalam penyelesaian study ini.

8. Drs. Budi Karim, selaku pembuka wawasan pikiran dan kesegaran berpikir

9. Bapak Drs. H. Masyhuri beserta istri, yang membantu, semangat jiwa, dan

memberikan keleluasan waktu dan tempat bermukim.

10. Rekan-rekan dari berbagai pihak yang tidak dapat penulis satu persatu yang telah

memberikan dukungan dan motivasi yang kondusif untuk menyelesaikan

penulisan tesis ini.

11. Semua Kyai, tokoh baik formal maupun non-formal, yang mendukung, dan

menyediakan sarana materil maupun spirituil.

12. Semuanya, penulis sangat menghaturkan banyak terima kasih, semoga semua

banuan yang di berikan dan di aturkan pada penulis mendapat limpahan pahala

yang berlipat ganda.

Akhirnya, dengan segala keterbatasan kemampuan dalam penulisan tesis ini,

penulis menyadari sepenuhnya, atas kekurangan dan kenaifan karya ini.

13
Namun penulis berharap, semoga hasil penulisan tesis ini dapat bermanfaat

dan berkah dapat menjadi sumbangan ilmu pada akademisi, masyarakat dan umat

Islam semuanya.

Amiin, amiin, Ya Rabbal ‘alamiin

Semarang, 4 Desember 2006.

14
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………. i

HALAMAN NOTA PEMBIMBING…………………………………………. ii

HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………… iii

HALAMAN DEKLARASI……………………………………………………..

iv

HALAMAN ABSTRAKSI……………………………………………………. v

HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………….

vii

HALAMAN MOTTO………………………………………………………….

viii

HALAMAN TRANSLITERASI……………………………………………… ix

HALAMAN KATA PENGANTAR………………………………………….. xi

HALAMAN DAFTAR ISI……………………………………………………. xiv

BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………… 1

A. Latar Belakang…………………………………………………. 1

B. Rumusan dan Ruang Lingkup Masalah………………………… 9

C. Tujuan dan Signifikasi Penelitian………………………………. 9

15
D. Kajian Teoritis……………………………………………...…… 10

E. Telaah Pustaka……………………………………………………12

F. Metode Penelitian……………………………………………….. 14

G. Sistematika Penulisan …………………………………………... 18

BAB II. PERSEPSI TASAWUF K. H. AHMAD RIFA’I……………….. 20

A. Konsep Tasawwuf……………………………………………… 20

B. Biografi dan Karya K.H.Ahmad Rifa’i……………………….. 32

C. Pemikiran Tasawuf K.H. Ahmad Rifa’i………………………. 40

BAB III. PELAKSANANAAN AJARAN RIFA’IYAH DI KABUPATEN

TEMANGGUNG………………………………………………… 59

A. Demografi Komunitas Pengikut Rifa’iyah Kabupaten

Temanggung…………………………………………………… 59

B. Kondisi Sosial Keagamaan Komunitas Pengikut

Rifa’iyah di Kabupaten Temanggung………………………….. 63

C. Jaringan Pengikut Rifa’iyah di Kabupaten Temangggung……… 68

D. Perkembangan Jamaah Pengikut Rifa’iyah di

Kabupaten Temanggung…………………………………………. 75

BAB IV. ANALISA IMPLEMENTASI AJARAN RIFA’IYAH…………. 78

16
A. Ajaran Tasawwuf Kyai Rifa’i………………………………….. 78

B. Penerapan Tasawwuf Kyai Haji Rifa’i………………………… 97

C. Faktor Penghalang dan Penunjang yang Mempengaruhi

Beberapa Ajaran Rifa’iyah…………………………………… 103

BAB V. PENUTUP……………………………………………………….. 106

A. Kesimpulan…………………………………………………… 106

B. Saran- Saran………………………………………………….. 107

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

17
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsep dasar agama Islam adalah Iman, Islam dan Ihsan . Kesempurnaan Islam

hanya dapat dibangun dan ditegakkan melalui tiga konsep itu. Ketiga konsep ini

selain sebagai ilmu, sepatutnya jika dalam kehidupan sehari-hari diterapkan pada

bidang apapun, baik ibadah maupun mu’amalah dalam kehidupan bermasyarakat.

Ihsan adalah satu upaya penghayatan mendalam terhadap suatu ibadah. Konsep ihsan

merupakan landasan kemunculan ilmu tasawuf yang dianggap sebagai suatu ilmu

yang diakui sukar dipelajari, apalagi pengamalan dan pelaksanaannya. Umumnya,

seseorang mengenal tasawuf sebatas istilah, kurang memahami hakikatnya, seperti

yang dapat diperhatikan dalam lembaga tariqat.

Tasawuf disebut juga spiritualisme Islam, atau Islam misticisme, merupakan

ungkapan pengalaman subyektif pada diri seseorang. Yakni pengalaman kerohanian

dan sifat batiniah, berciri individual-subyektif. Sasaran (tujuan) tasawuf ialah sampai

kepada Dzat al-Haqq atau Mutlak (Tuhan) dan bersatu dengan Dia, lazim disebut

ma’rifat al-Allah.

Jalan mencapai ma’rifat dikenal dengan tariqat, kunci pembukanya menenggelamkan

hati dan dzikir pada Allah berakhir dengan fana’ di dalam Allah, melintasi maqamat

dan ahwal dalam mujahadah dan riyadhah yang terus menerus. Perilaku tariqat ini

18
sebenarnya telah dilakukan sejak Rasulullah masih hidup, diikuti oleh para sahabat

yang amat memperhatikan kehidupan kerohanian. Keteladanan kaum sufi bukan

hanya tampak dalam ibadah, tetapi rumah dan pakaian mereka yang amat sederhana

dan pakaian se adanya. Pada masa modern, ajaran tasawuf memiliki daya tarik dan

melahirkan dinamika kaum muslimin, sehingga lebih relevan untuk diamalkan dan

mampu memberikan kontribusi yang konstruktif bagi masyarakat.

Ajaran tasawuf di Indonesia khususnya di Jawa, pada umumnya berbentuk tariqat,

yang berkembang diantaranya; tariqat Satariyah, Naqsabandiyah, Syadziliyah,

Qadariyah, dan lainnya, namun gerakan thariqat di Indonesia zaman awal pada

dasarnya mengasingkan diri dan menyingkir mencari ketenangan di pelosok-pelosok

atau sudut- sudut kota, terutama sewaktu jaman penjajahan, diantaranya; gerakan

tariqat Akmaliyah yang dipimpin Kyai Nurhakim (1866 M), dan gerakan Haji

Akhmad Ripangi di Kalisalak (1855 M). Thariqat KH. Rifa’i inilah yang saat ini

umatnya berkembang di daerah Temanggung. Umatnya menamakan diri dengan

sebutan “Islam Tarojumah” atau dikenal dengan istilah; “Umat nglakoni printah-

ngedohi cegah“. Di dalam melaksanakan ajaran Islam mempunyai perbedaan dengan

ajaran Islam pada umumnya, misalnya: dalam penguburan mayat liang lahad harus

diukur menggunakan kompas dengan arah tepat kiblat, shalat jama’ah imamnya harus

sepaham dan tidak sah makmum mengikut jama’at lain yang tidak sealiran, rukun

Islam hanya satu, yakni “syahadat”, kaum wanita haram menemui tamu pria bukan

19
muhrim, menjalankan kehidupan dengan delapan tabi’at sufi, dan suatu hal yang

menarik adalah dalam bidang tasawuf terjadi kesalah-fahaman.

Kesalah-fahaman di sini maksudnya, apabila seseorang telah mendalami bidang fiqih

dan tauhid, kemudian mereka masuk kedalam bidang tasawuf, yang lazimnya tasawuf

adalah sarana taqarrub kepada Allah atau jalan mencapai ma’rifat ila al-Allah,

disalahtafsirkan sebagai sarana mempelajari ajaran sesat, dengan tujuan memperteguh

dirinya, agar mereka dapat merubah diri, sesuai dengan kehendaknya, umpamanya:

menjadi hewan, yang dapat mengganggu ketenteraman masyarakat dan sebagai

sarana untuk memenuhi hajat kepentingan kehidupannya, memperdaya seseorang,

atau menyengsarakan kehidupan seseorang melalui ilmu batin mereka. Demikian ini

adalah anggapan dan suatu prasangka masyarakat di luar lingkungan pengikut Islam

Tarajumah. Di daerah ini diakui bahwa seseorang yang mengikuti lembaga Islam

Tarajumah, merupakan sarana menuju ke suatu pengajaran yang keliru dan bertujuan

kearah ajaran negatif.

Hal inilah yang menjadi pemikiran penulis dan berkeinginan untuk memahami

permasalahannya, diantaranya; Benarkah prasangka demikian? Bagaimana ajaran

aslinya ? Seberapa jauh jangkauan pengikutnya serta bagaimanakah implementasi

ajaran tersebut pada umatnya?.

Kemudian setelah mengadakan studi awal, ternyata kelompok ini adalah pengikut

ajaran K.H. Ahmad Rifa’i, kitab ajarannya sejumlah lima puluh dua, isinya terdiri

dari fiqh, tauhid dan tasawuf, umatnya tersebar di kabupaten Temanggung hampir

20
enam dari sejumlah dua-puluh kecamatan. Pada umumnya pengamalan ajaran thariqat

bagi salik, hanya tertumpu pada bentuk amalan menuju ma’rifat ila al-Allah, bahkan

tidak sebatas demikian di dalam kehidupan sosial, umat Tarajumah merelisasikan

ajaran Kyai Haji Ahmad Rifa’i telah menjadi pegangan hidup dan membudaya dalam

kehidupan masyarakat.

Di dalam melaksanakan ajaran fiqih dan tauhid, pengikutnya konsisten dalam

mengamalkannya, walaupun belum optimal, contohnya: seorang wanita tidak

melakukan pertemuan dengan kaum lelaki bukan muhrim sebatas di dalam rumah,

sekalipun kenyataannya dalam urusan mu’amalah, seperti; di pasar, tetap bergaul

dengan lelaki walaupun bukan muhrim, di dalam bidang tauhid, pengakuan dan

pedoman mereka rukun Islam hanya satu, namun di dalam mengajarkan kepada

masyarakat, masih menggunakan dan mengikuti kitab-kitab Syafi’iyah, yang

berpedoman kepada rukun Islam yang berjumlah lima. Bagaimanakah di bidang

tasawuf ?. Diakui oleh mereka, bahwa masalah ini belum dapat menentukan

realisasinya di lapangan, karena fokus ajaran yang diberikan kepada umatnya

sebagian besar adalah bidang fiqh.

Pemikiran Kyai Rifai dalam bidang tasawuf pada dasarnya merupakan bagian dari

gagasan untuk mempertahankan hubungan harmonis antara syariat dan hakikat yang

dirumuskan dengan istilah ushul fiqih, dan tasawuf. Pandangan tasawuf-nya terdiri

dari tiga masalah pokok, yaitu; (1) Keseimbangan antara syariat dan hakikat, (2)

Tasawuf bercorak amali dan falsafi, (3) Tariqat. Syari’at berkaitan dengan hal-hal

21
yang bersifat jasmani yakni; tentang tata cara berhubungan dengan Allah, sedangkan

hakikat lebih banyak berhubungan dengan hal-hal yang bersifat ruhani yang

menghiasi ibadah fisik. Gagasannya bermuara pada pandangan al-Ghazali, namun ia

tidak penganut tariqat Qadiriyah, tetapi sebagai penganut tariqat Ahlussunni. Kitab

yang berisi tasawuf diantaranya; Ri’ayah al-Himmah, Abyan al-Hawaij, Husn al-

Mithalab, dan Ahsan al-Miqasad. Menurutnya, “seorang sufi sudah barang tentu

menguasai ilmu fiqih, namun seorang ahli fiqh belum tentu menguasai tasawuf” .

Kyai Rifa’i membagi ilmu menjadi dua hal, ilmu zahir adalah ilmu Fiqh sedangkan

ilmu batin adalah Ushul al-din dan Tasawuf. Seseorang yang belajar tasawuf tidak

melalui tahapan belajar fiqih, dianggap tidak sah ketaatannya, pandangan ini

merupakan bagian dari ciri kecenderungan tasawuf amali sebagai reaksi terhadap

tasawuf yang hanya mementingkan aspek batiniah dan mengabaikan syari’at. Fiqih

dikatakan sebagai ilmu zahir karena berkaitan dengan ibadah secara lahiriah, ke-

terkaitan hubungan antara syari’at dan hakikat secara global memiliki unsur

persamaan dengan Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali, meskipun dalam aspek

detailnya agak berbeda. Junaid al-Baghdadi memperlihatkan sikap cukup keras

terhadap orang yang mengabaikan syari’at. Dia menyatakan bahwa, belajar ilmu

tasawuf dan mengamalkannya adalah wajib dan bahkan orang yang mengabaikan

dapat menjadi kafir dari imannya. Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal,

menyatakan pengalaman ruhaninya ketika sampai pada kesimpulan akan pentingnya

22
tasawuf setelah syari’at. Aspek persamaannya terlihat pada pandangan secara global

mengenai pentingnya hubungan antara syari’at dan hakikat.

Di kalangan murid-murid dan para pengikutnya, kitab yang membicarakan tiga ilmu

secara sekaligus ini, dijadikan sebagai kitab yang mendapat prioritas untuk di

pelajari. Kitab-kitab tersebut amat berpengaruh terhadap pola kehidupan pengikut

Rifa’iyah hingga sekarang, hal ini terlihat pada penampilan mereka yang

mengesankan kesederhanaan masyarakat pedesaan serta kemandirian mereka dalam

melaksanakan ibadah sesuai dengan petunjuk pelaksanaan kitab-kitab tersebut.

Pemikiran tasawufnya termasuk dalam kategori tasawuf ’amali atas dasar

pertimbangan bahwa isi ajaran tasawuf berupa latihan ruhani dengan jalan; (1)

Pengisian diri dengan sifat terpuji (tahalli), (2) Pengosongan sifat tercela (takhalli)

yang kemudian ditindak-lanjuti dengan kedekatan kepada Allah (taqarrub), dan (3)

Pengenalan Allah dengan mata hati (makrifat). Dia menciptakan suatu pedoman

ajaran syariat, aqidah dan tasawuf dalam kitab-kitab Tarajumah, dalam bidang

tasawuf, dimensi utamanya berpedoman/ berfokus pada delapan ajaran, yakni yang

termaktub dalam syairnya;

Bab ikilah bab nyatakake tinemune, ilmu tasawuf kang diwajibake ngudi,

ugo wajib dingamalaken sak kuwasane, ingatase mukallaf arep ngaweruhi ngilmune,

setengah sifat kang pinuji dene syaringat, lan sifat kang cinelo ning ati maksiyat,

utawi pertelane setengah sifat, kang pinuji dene syara’ mangfangat,

yoiku wulung perkara iki wilangane, zuhad, qana’ah, sabar, tawakal atine

23
mujahadah ridha syukur ikhlas nejane, khauf mahabah ma’rifat kawengku maknane.

Utawi pertelane setengah sifat cinela, dene syarak kang ana ati dadi ala,

yoiku wulung perkara ikilah pertelane, hubbud dunnya tama’, itba’ul hawa katula.

‘ujub riya’takabbur hasud sum’ah,ikulah mbesuk artine ugo winelah,

insyaallah kelawan tulung Allah sarta berkah nabi Muhammad rasul kalenggah.

Kemudian puncak menuju ma’rifat bi al-Allah adalah khauf, mahabbah dan

ma’rifat, , dengan melalui akhwal dan maqamat.

Umat Rifa’iyah saat ini terus berkembang di lain daerah, umumnya di Temanggung.

Mungkinkah tidak terpengaruh dengan kemajuan zaman?. Mungkinkah dengan ajaran

tasawuf, melakukan tabiat delapan ini dapat memperteguh diri, atau menuju

kema’rifatullah ? Bagaimanakah realisasi atau penerapan ajaran ini di lapangan?

Bagaimana implementasi mereka dalam menafsir ajaran Rifa’i. Apakah konsisten

penerapannya atau sudah bercampur dengan ajaran lain?

Seorang sufi telah mencapai maqam tertentu, biasanya diberi kurnia oleh Allah,

berujud “karamah”. Suatu karamah difungsikan kearah perbuatan bentuk positif,

bukan digunakan pada bentuk negatif. Benarkah hasil dari penafsiran dan

pengamalan ajaran tasawuf KH Rifa’i, yakni; tabi’at delapan yang diajarkan bagi

seorang sufi, dapat menuju kearah kesesatan?, Apakah ajaran tersebut bercampur

dengan ajaran lain pada umatnya?, dimanakah letak perbedaan pengamalan ajaran

mereka ? Jika ajaran tasawufnya sesat, mengapa saat ini terus berkembang ?

Sejauhmana ajaran ini diamalkan?. Hal inilah yang diteliti, khususnya yang ada

24
hubungannya dengan bidang tasawuf, dengan judul; “Aliran Rifa’iyah di Kabupaten

Temanggung”. Tesis ini akan menjawab pertanyaan diatas.

Mengenai judul, pengertian tentang “Alir” artinya: haluan, pendapat (politik,

pandangan hidup dsb.) misalnya: aliran politik; aliran komunis, aliran falsafah

modern. Disini maksudnya adalah haluan atau ajaran KH. Rifa’i. “Ajaran” ialah:

barangsiapa yang diajarkan: nasehat, petunjuk; misalnya, demikianlah ajaran

guruku”, maksud di sini adalah petunjuk dari KH. Rifa’i. Kemudian pengertian

“Rifa’iyah” adalah sekelompok umat yang mengamalkan ajaran konsep atau

pemikiran KH. Rifa’i.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang dicari jawabannya, dapat dirumuskan sebagai berikut;

1. Bagaimana konsep ajaran tasawuf K H. Akhmad Rifa’i?

2. Sejauhmana implementasi, respon konsep ajaran tersebut pada umatnya di

Kabupaten Temanggung?

3. Bagaimana respon masyarakat di sekitar umat Rifa’iyah?.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mengarahkan kajiannya untuk mengetahui tentang pemahaman umat

Tarojumah terhadap konsep atau pemikiran Kyai H. Ahmad Rifa’i, khusus dalam

bidang tasawuf dan mengetahui sejauhmana umatnya merealisasikan atau

menerapkan dan mengamalkan ajaran tersebut pada kehidupan sehari-hari, serta

25
mengetahui peta pengembangan atau perkembangan umat, faktor-faktor

pendukungnya, baik dari segi internal maupun eksternal, respon masyarakat di

lingkungan umatnya.

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang berupa pengertian tentang ajaran ulama’, utamanya ajaran

tasawuf yang masih asing direalisasikan di daerah yang kondisi sosial, budaya dan

ekonominya heterogen. Oleh karena itu, akan sangat bermanfaat jika di kaji secara

mendetail, apalagi apabila ajaran tersebut dapat ter-realisasi dengan baik di

masyarakat, dan pedomannya menjadi pegangan di lingkungan umatnya, bahkan

dapat membudaya di lingkungan sosial dari semua tingkatan, serta mengetahui

sejauh-mana ajaran tersebut dapat dijangkau dan dilaksanakan oleh umatnya, sebatas

mana daerah dan pemahaman penganutnya, sesuaikah dengan kondisi zaman

sekarang, apakah masih relevan jika diterapkan, khususnya di dalam mengamalkan

ajaran tasawuf-nya.

D. Kajian Teoritis

Tingkah-laku selalu didasarkan pada makna hasil konsepsi terhadap kehidupan

pelakunya. Apa yang dilakukan dan mengapa seseorang melakukan berbagai hal,

selalu didasarkan pada batasan-batasan menurut pendapatnya sendiri, dan

dipengaruhi oleh latar belakang budaya, yang khusus (Spradley, 1980). Budaya yang

berbeda, melatih orang berbeda pula dalam menangkap makna suatu konsep

(Knobler, 1971), karena kebudayaan merupakan cara khusus yang membentuk

26
pikiran dan pandangan manusia (Cohen, 1971). Konsein (hati nurani) selalu berkaitan

dengan pengalaman dan tujuan terjadinya proses konsepsi. Ia merupakan tingkah-

laku selektif dan bertujuan (Bigge, 1984). Budaya sangat berperan dalam proses

kognitif karena tanggapan dan pikiran merupakan alat utama, semua tingkah laku

bersumber padanya (Mc. Fee, 1970). Kebudayaan sangat berhubungan erat dengan

perilaku manusia dan kepercayaan (Goetz dan Le Compte, 1984), yang meliputi

berbagai hal dalam kehidupan manusia diantaranya; kepercayaan kepada ajaran.

Dengan demikian konsepsi ajaran selalu mempengaruhi setiap peristiwa sosial (Van

Maanen, Dabbs & Faulkner, 1982). Tasawuf merupakan aspek aspek ketiga dalam

Islam disamping syari’ah dan aqidah, sebab agama Islam berpokok pada Islam, Iman

dan Ikhsan, baik tasawuf amali atau akhlaqi maupun falsafi sebagai sarana dalam

perjalanan menuju Alloh, dengan mendaki berbagai tingkatan maqam dan hal, , jalan

spiritual dan merupakan dimensi batin atau kehidupan batin, guna mencapai tujuan

derajat yang tinggi, berada sedekat mungkin kepada Allah, mensucikan jiwa,

melepaskan jiwanya dari kungkungan jasadnya, juga melepaskan diri dari noda sifat

dan perbuatan tercela. Yang mana jika seseorang dapat mengembangkan hukum luar

(entitas materi) dan mengembangkan realitas sebelah dalam, jika disatukan disebut

kesejatian, namun yang dapat dibuktikan secara lahir adalah maqam ). Suatu sikap

yang harus diterapkan sufi adalah merealisasikan maqam pada lingkungan kehidupan

dalam hal meng-implementasikan keyakinannya dalam melayani umat atau

masyarakat lingkungan kehidupannya. Dalam memahami dan menghayati suatu

27
ajaran yang diterapkan pada suatu organisasi, golongan atau umat tertentu, kondisi

budaya juga ikut menentukan, dan frekuensi mempelajari ajarannya-pun demikian

juga, semakin memahami terhadap ajaran tersebut kesiapan mereka merealisasikan

dan menerapkan dalam tingkah laku kehidupannya semakin konsisten dan stabil, dan

sebaliknya semakin kurang paham ajaran, semakin banyak terpengaruh dengan ajaran

lain, dan semakin masa-bodoh dengan ajaran tersebut, walaupun mereka mengakui

sebagai anggota organisasinya, justru dapat sesat atau menyesatkan.

E. Telaah Pustaka

Penelitian ajaran Rifa’iyah sudah sering diteliti oleh berbagai pakar ilmu pengetahuan

diantaranya; Abdul Jamil, meneliti tentang sejarah Gerakan Kyai Haji Rifa’i dengan

judul “Perlawanan Kiai Desa”, membahas karya, pemikiran maupun gerakan serta

jaringan pengikutnya, serta perkembangan gerakan KH. Rifa’i. Kemudian kajian

yang lain dari penulis di atas, berjudul; “Islam Indonesia Abad Sembilan Belas”:

(Studi tentang protes keagamaan K.H. Ahmad Rifa’i Kalisalak), isinya merupakan

gerakan protes KH. Rifa’i terhadap Pemerintah Belanda dan mengindentifikasikan

tipologi gerakannya, serta perkembangan jemaat Rifa’iyah pasca KH. Rifa’i. Kajian

yang lain, yaitu Dartini berbentuk skripsi, dengan judul “Gerakan Haji Ahmad Rifa’i

di Kalisalak, Batang Abad XIX”, berisi gerakan Rifa’i dan dampak ajaran bagi

pengikutnya, masyarakat di wilayah atau daerah Batang, serta kebijaksanaan

Pemerintah Belanda. Muslich Maruzi, judulnya: “Perkembangan Pengikut KH.

Rifa’i”, isinya tentang keadan jama’ah Rifai’iyah, perkawinan jama’at Rifaiyah,

28
resepsi perkawinan, dan hukum nikah. Muhamad Adabi Darban, judulnya: “Gerakan

Sosial Keagamaan di pedesaan Jawa Tengah 1850-1982” berupa tesis, isinya; corak

gerakan Rifaiyah, sebagai gerakan sosial keagamaan, gerakan protes KH. Rifa’i dan

pengikutnya, serta mengungkapkan corak gerakan Rifa’iyah setelah ia meninggal.

Karel A. Steenbrink berjudul: “Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke

19”, isinya, Survei historis tentang sejarah Islam Indonesia pada abad ke 19,

pembahasannya mengenalkan sosok Akmad Rifa’i. Ahmad Sadzirin Amin, judulnya

“Mengenal Ajaran Tarjumah Syaikh Ahmad Rifa’i, RH maupun Pemikiran KH Rifa’i

tentang Rukun Islam Satu”, isinya penjelasan pemikiran dan ajaran Kyai Haji Rifa’i

dan menunjukkan sumber rujukan yang diambil sebagai dasar dan pemikiran dari Al-

Qur’an, al-Hadits, dan Ulama’ Salaf dahulu. Nahar Nahrowi, berjudul: “Potensi

Lembaga Keagamaan Seri IV, Gerakan Rifaiyah”, isinya; Survei umum gerakan

Rifa’iyah diwilayah Jawa Tengah, dari beberapa aspek paham keagaman, sejarah,

potensi organisasi, usaha, pembiayaan, sasaran pisik dan hubungan luar. Mat

Solikhin, judulnya: “Kitab Kuning (Syafi’iyah) dalam Fikih Ahmad Rifa’i”; (Suatu

kajian kitab kuning sebagai sumber rujukan kitab Tarajumah Ahmad Rifa’i), isinya;

uraian tentang pengambilan rujukan kitab kuning sebagai dasar pemikian

diantaranya, I’anah, Taqrib, Bughyah al-Murtarsyidin, dll, serta penjelasan tentang

kitab kuning mulai abad XVII sampai XIX M, pemikiran ulama’ pertengahan abad X

M. sampai XV. Murfi Hartoni, berjudul: “Pelaksanaan Aqad Nikah berbahasa Jawa”,

isinya; tentang nikah memakai bahasa daerah sekitar KH. Rifa’i. Khabib meneliti

29
tentang dasar rukun Islam hanya satu yaitu sahadat, judulnya “ Syahadat sebagai

Satu-Satunya Rukun Islam”. Jika diperhatikan, sebagian besar penelitian kajiannya

terfokus pada gerakan, profil, dan protes KH. Rifai terhadap penjajah, sedangkan inti

ajaran terbatas hanya pada bidang fiqh, sebagian tasawuf kemudian penulis ingin

mengetahui implementasi ajaran kyai, karena teori bukanlah suatu kenyataan yang

terjadi di lapangan, yang menurut hemat penulis jauh dari kenyataannya, dan peta

pengembangannya khusus di daerah Kabupaten Temanggung.

F. Metode Penelitian

Berbagai hal yang berkaitan dengan penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian

yang dapat dijelaskan secara singkat, sebagai berikut:

1. Lokasi Penelitian.

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Wonoboyo, Tretep, Candiroto, Bejen dan

sekitarnya, yang dianggap sebagai basis penganut Rifa’iyah atau umumnya

masyarakat di kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, penghidupan masyarakatnya,

adalah; petani, tokoh non formal, pegawai negeri, tingkat sosial ekonomi bawah dan

menengah, dan sebagian besar menganut golongan Rifa’iyah yang umatnya perkiraan

mencapai 7.000 anggota. Kecamatan Wonoboyo adalah merupakan basis Rifa’iyah,

sehingga informasi dapat ditampung peneliti dengan lebih mendetail

2. Bentuk Penelitian.

Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian social fenomenologi, yakni peneliti

menafsir beragam informasi dan masalah yang telah digali dan dicatat dari hubungan

30
pergaulan dimasyarakat (Bogdan dan Taylor 1975) dan hermeneutik, di mana

mengarah pada penafsiran ekspresi yang penuh makna dengan melakukan interpretasi

yang telah di lakukan pribadi atau kelompok manusia terhadap situasi mereka sendiri

(Smith, 1974), jadi nantinya terjadi dialektik interaktif, serta tidak meninggalkan

budaya agar dapat melihat perilaku pada masyarakat, kemudian strategi yang dipakai

adalah penelitian kualitatif deskriptif dan reflektif agar menghasilkan hasil penuh

nuansa dengan bentuk apa adanya, bukan sekedar jumlah ataupun informasi dengan

bentuk angka. Karakteristiknya memakai natural setting, yang kajiannya adalah pada

perilaku manusia sehari-hari, dalam keadaan yang rotin secara apa-adanya. Kemudian

tekniknya cenderung purpossive sampling agar tidak terlalu banyak informan

(diarahkan pada sumber yang memiliki data penting yang berkaitan dengan

permasalahan), sedang analisisnya digunakan pada analisis induktif, dengan bukti-

bukti yang terkumpul dan saling berkaitan (bottom-up grounded teory), sedangkan

hal yang lain, karena fokus penelitian sudah ditentukan, maka studi kasus yang

digunakan adalah studi kasus terpancang (embedded case study research).

3. Sumber data.

Data atau informasi yang paling penting dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini,

sebagian besar digali dari beragam sumber data dan jenis sumber data antara-lain

meliputi:

Informan atau nara-sumber, yang terdiri dari para kyai, tokoh masyarakat baik formal

maupun non formal, dan sebagian besar anggota masyarakat Islam Tarajumah, guna

31
mengetahui anggapan-anggapan negatif dari luar aliran Islam Tarajumah, serta

mengetahui luas jangkauan wilayah Rifa’iyah di daerah Temanggung.

Dokumentasi yang tersedia di lokasi penelitian, namun sebagai acuan tasawuf hanya

digunakan 4 kitab tersebut diatas, dan mengetahui kegiatan anggotanya di daerah.

4. Tehnik Pengumpulan Data.

Sesuai dengan bentuk penelitian kualitatif dan juga jenis sumber data yang

dimanfaatkan, maka tenik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini,

adalah:

a. Wawancara mendalam (indepth interviewing).

Wawancara jenis ini bersifat lentur dan terbuka, tidak terstruktur ketat, tidak dalam

suasana formal, dan bisa di lakukan berulang pada informan yang sama. Pertanyaan

yang diajukan bisa semakin terfokus sehingga informasi yang bisa dikumpulkan

semakin rinci dan mendalam. Kelonggaran dan kelenturan cara ini akan mampu

mengorek kejujuran informan untuk memberikan informasi yang sebenarnya,

terutama yang berkaitan dengan perasaan, sikap dan pandangan mereka terhadap

konsep ajaran kyai. Teknik wawancara dilakukan pada semua informan.

b. Observasi langsung. atau observasi berperan pasif dengan cara formal maupun

informal pada kehidupan sehari- hari di lingkungannya.

Mencatat dokumen (content analysis). Tehnik ini digunakan untuk

mengumpulkan data yang bersumber pada dokumen dan arsip pada saat pertemuan

rotin tokoh atau dokumen.

32
Tehnik cuplikan (sampling). Penelitan kualitatif cenderung menggunakan

tehnik cuplikan yang bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan

berdasarkan konsep teoritis yang digunakan, keingintahuan pribadi peneliti,

karakteristik empirisnya atau singkatnya (criterion base selection), dikembangkan

dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dari sumber (internal sampling) agar

dapat di ambil kesimpulan oleh peneliti suatu pikiran umum yang muncul mengenai

apa yang dipedomani, sedang validitas data mengambil bentuk triangulasi data

sumber, yaitu mengumpulkan data sejenis dari sumber data yang berbeda .

5. Tehnik Analisis.

Tehnik analisis dalam penelitian ini adalah beberapa desa atau lingkungan,

maka yang digunakan adalah analisis antar kasus (cross site analysis) dan proses

analisis-nya menggunakan model analisis interaktif, kemudian dibentuk simpulannya

atau verifikasinya, aktifitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses

pengumpulan data sebagai suatu proses siklus antara pengumpulan data, reduksi data,

sajian data dan penarikan simpulan.

G. Sistematika Penulisan

Tesis ini disusun dalam tiga bagian, yaitu bagian pertama, bagian isi dan bagian

terakhir.

Bagian muka, halaman judul, nota pembimbing, pengesahan, deklarasi, abstraksi,

kata pengantar, transliterasi, persembahan, motto, daftar isi, dan daftar tabel.

33
Bagian isi memuat lima bab pembahasan: Bab pertama sebagai bab pendahuluan, di

paparkan mengenahi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, kerangka teoritis, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika

penulisan tesis. Dalam bab ini diuraikan, mengapa kajian mengenai implementasi

tasawuf seorang tokoh KH. Ahmad Rifa’i perlu diteliti dan penting dilakukan.

Bab kedua, dikemukakan uraian mengenai konsep tasawuf secara umum, bibliografi,

karya dan konsep tasawuf Kyai Haji Ahmad Rifa’i yang digunakan sebagai pedoman

umat Rifa’iyah.

Bab ketiga memuat pembahasan peta daerah perkembangan Rifa’iyah di

Temanggung, dijelaskan pula tentang demografi kabupaten Temanggung secara

umum dan khususnya daerah kecamatan Wonoboyo dan daerah sekitarnya yang

dijangkau oleh jaringan pengikut Rifa’iyah, serta sistem perkembangan jaringan

Rifa’iyah di daerah ini.

Bab keempat merupakan inti pembahasan dalam penulisan tesis ini, di mana dalam

bab ini dijelaskan tentang implementasi, pengamalan dan penerapan tasawuf

Rifa’iyah pada umatnya, serta di sini dapat diketahui ketimpangan-ketimpangan yang

terjadi di daerah Rifa’iyah, anggapan-anggapan yang benar atau yang keliru dalam

penerapan ajaran Rifa’iyah, di jelaskan juga tentang faktor-faktor pendukung

perkembangan ajaran maupun faktor lain yang menjadikan umat Rifaiyah bersikukuh

mempedomani serta memegang ajaran KH. Rifa’i.

34
Bab kelima merupakan penutup dari rangkaian penulisan tesis ini. Dalam bab ini

dikemukakan kesimpulan dari analisis-analisis pembahasan sebelumnya. Selain itu

dikemukakan saran-saran yang bermanfaat, baik masalah pengkajian sebelumnya,

maupun tentang hakikat pengamalan ajaran Rifa’iyah ini.

Bagian akhir, dikemukakan lampiran-lampiran, bibliografi penulis, dan

peta/lokasi daerah Kabupaten Temanggung dan daerah Rifa’iyah.

BAB II

PERSEPSI TASAWUF KH. AHMAD RIFA’I

A. KONSEP TASAWUF

1. Tasawuf Dalam Pengertian Umum

Agama Islam mempunyai tiga konsepsi yaitu; Iman, Islam dan Ihsan. Ihsan sebagai

asas pokok ketiga dari agama Islam merupakan sumber ajaran tasawuf. Dikatakan

bahwa tasawuf adalah jantung Islam, karena tasawuf merupakan aktualisasi dari

trilogi ajaran Islam yaitu ihsan, di mana dalam setiap keadaan manusia selalu dalam

35
pantauan penglihatan Tuhan.Tasawuf merupakan ungkapan pengalaman keagamaan

bersifat subjektif dari seseorang dalam menanggapi Allah dengan menitikberatkan

pada aspek pemikiran dan perasaan, sehingga dapat dianggap sebagai seni atau cara

yang mengantarkan manusia untuk berada dalam keselarasan dan keseimbangan

penuh. Bangsa Barat menyebut istilah tasawuf dengan Islamic mysticism. Atau

dengan kata lain sufi identik dengan mistik, bahasa Yunani yang merembet ke

bahasa Arab yang akhirnya disebut sufi. Dari segi lughat, asal kata sufi terdapat

berbagai macam pendapat ‘ulama, sebagian mengatakan bahwa kata sufi berasal dari

kata shâuf (bulu), dinisbatkan kepada pakaian lahirnya, di mana berpakaian bulu

merupakan kebiasaan para sufi, karena lebih mendekati kepada kerendahan diri dan

zuhud. Ulama lain mengatakan dari kata shuffah yakni golongan ahl al-Shuffah

yakni golongan orang miskin yang berhati mulia, tidak mementingkan keduniaan, dan

inilah sifat-sifat kaum sufi. Pendapat yang lain menyatakan bahwa tasawuf berasal

dari kata shâfa yang berarti bersih. Dikatakan juga berasal dari kata shâf, shufanah,

bahkan ada yang mengatakan berasal dari kata theosofi bahasa Yunani; yang berarti

ketuhanan, namun penulis cenderung pada pendapat yang mengatakan bahwa kata

tasawuf berasal dari shuf, dinisbatkan dengan orang yang berpakaian bulu domba

disebut sufi, dan perilakunya disebut tasawuf, mereka memilih kain wol yang kasar

sebagai simbul kesederhanaan. Pengamal tasawuf disebut shufi karena hatinya tulus

dan bersih di hadapan Tuhannya. Di dalam bentuk mufrad, kata sufi dikenal dalam

masyarakat Islam pada masa pertengahan abad kedua hijriyah, dan orang yang mula-

36
mula digelari sebagai sufi adalah Abu Hasyim al-Kufi (w. 150 H.) dan Jabir ibn

Hayyan (w. 208 H.), sedangkan kata shufiyyah bentuk jamak, baru dikenal tahun 199

H.

Sufisme dianggap sebagai sesuatu yang rumit, sehingga tidak ada jawaban yang

bersahaja, yang dapat menjawab asal usul ajaran tersebut. Jika ditanyakan ‘Apakah

bibit sufisme memang benar ada didalam Al-Qur’an ? Maka penulis menjawab Ya.

Munculnya sufi adalah saat setelah banyak orang Islam yang gemar berkecimpung

dalam mengejar kemewahan hidup duniawi, pada zaman kehidupan sahabat Nabi,

sebagian para sahabat dan tabi’in memilih jalan hidayah, berpegang teguh kepada

ajaran Al-Qur’an dan Sunah Nabi dalam kehidupannya. Mereka gemar beribadat,

menjauhkan diri dari kemewahan hidup duniawi dan mengasingkan diri dari

keramaian untuk beribadat, berzikir dan sebagainya, mereka yang mengarahkan

hidupnya kepada ibadat, mensucikan diri dari kelezatan duniawi, sehingga mereka

disebut shufiyyah dan mutashâwwifiin, orang yang berusaha menjadi sufi di sebut

mutashâwwif, jama’ahnya disebut mutashawwifah.

Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ilmu tasawuf sebagai suatu ilmu yang lahir

kemudian dalam Islam. Tasawuf merupakan ilmu yang berhubungan erat dengan

pengalaman kerohanian dan bersifat batiniah, berciri individual-subyektif, setiap sufi

memiliki pengalaman berbeda, sehingga mereka dalam membuat definisi dan

pengertianpun berbeda-beda, mengikuti pengalaman yang dirasakan dalam jiwa atau

batinnya para sufi saat taqarrub dengan Allah, sehingga dapat dikatakan setiap

37
“Ulama mendefinisikan tasawuf sesuai dengan tingkatan maqamnya. setiap

ungkapan selalu dikaitkan dengan pengalaman sufi sendiri.

Tasawuf ialah kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara orang

muslim dengan Tuhan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah

bagian dari ajaran Islam, karena dia membina akhlaq manusia (sebagaimana Islam

juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini agar

tercapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin dunia dan akhirat. Oleh

karena itu siapapun boleh menyandang predikat mutashawwif, sepanjang berbudi

pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak lekat

di dalam hatinya, dan begitu seterusnya, yang pada pokoknya menyandang sifat-

sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela. Aspek-aspek itulah yang sebenarnya

dikehendaki dalam bertasawuf.

Apapun akar kata yang merupakan bibit dari tasawuf, sebenarnya arti yang

terkandung di dalamnya, secara umum merujuk kepada kebersihan batin yang

menjadi inti sikap dan ajaran di dalam mendekatkan diri kepada Allah, Dia hanya

bisa didekati dengan kesucian dan kebersihan diri serta keagungan tingkah laku

hamba-Nya. Sufi mempunyai dua aspek, yakni aspek lahiriyah dan batiniyah. Ahl al-

Suffah dalam menjalani kehidupan tasawuf memakai bulu domba merupakan aspek

lahiriyah, mereka di anggap sebagai orang yang meninggalkan dunia dan hasrat

jasmani; benda dunia ini hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pakaian,

makan, sekedar menghindarkan diri dari kepanasan, kedinginan serta kelaparan,

38
sedangkan teori yang melihat sufi sebagai orang yang mendapat keistimewaan

dihadapan Tuhan, lebih menitikberatkan pada aspek batiniyah. Dalam aspek ini

tasawuf bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan,

mereka sadar berada di hadirat Tuhan. Intisari sufisme adalah kesadaran akan adanya

komunikasi dan dialog antara manusia dengan Tuhan dengan cara mengasingkan diri

dan berkontempelasi mengambil bentuk ittihad atau menyatu dengan Tuhan. Tujuan

akhir tasawuf ialah sampai kepada Dzat al-Haq dan bersatu dengan Dia.

Jalan yang harus ditempuh dalam kehidupan tasawuf untuk mencapai ma’rifat dikenal

dengan tarekat, berawal dengan kesucian hati dengan cara dzikir dan berakhir dengan

fana’, dengan menempuh maqamat dan ahwal. Kesucian dan kebeningan hidup

manusia itu, paling tidak meliputi tiga aspek penting yang ada dari dalam diri

manusia dan harus diekspresikan dalam kehidupan.

Mengenai jumlah maqamat yang harus ditempuh para sufi berbeda-beda, sesuai

dengan pengalaman pribadi yang bersangkutan. Abu Nasr al-Sarraj menyebut tujuh

maqamat, yaitu; taubat, wara’, zuhud, faqir, sabar, tawakal dan ridla. Abu Bakar

Muhammad al-Kalabadzi mengemukakan beberapa maqamat, yaitu; tabat, zuhud,

sabar, al-fakr, al-tawadlu’, taqwa, tawakkal, ridla, mahabbah, ma’rifat dan ridla.

Pendapat lain mengatakan bahwa kesufian sah bagi seseorang bila telah melampui

empat puluh maqamat dari ikhlas hingga berakhir ke tasawuf sebagai maqam

terakhir. Dalam perjalanannya, seorang sufi sering menemui istilah hal yaitu sikap

rakhaniyah yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia tanpa di usahakan olehnya,

39
seperti; khauf, tawadlu’, ikhlas, ins, wajd dan sukr. Kemudian sebagian pendapat

bahwa melalui bentuk fana’ dan ittihad, dan bentuk hulul dan wihdat al-wujud.

2. Realisasi Pengamalan Tasawuf Dan Perkembangannya

Pengamalan dan kehidupan tasawuf telah dilakukan sejak Rasulullah masih hidup,

dengan wujud tahanuts yang dilakukan di Gua Hira’, yang merupakan awal Nabi

SAW mendapat hidayah, membersihkan hati, mensucikan jiwa dari noda penyakit

yang menghinggapi sukma, dan waktu itulah puncak kebesaran, kesempunaan dan

kemuliaan jiwa Nabi, yang membedakan beliau dari kebiasaan hidup manusia biasa,

mimpi hakiki memancar dari sela-sela renungannya, memancar kebenaran yang telah

ditunjukkan jalan menuju Tuhannya. Selama hidupnya, segenap perikehidupan

beliau menjadi tumpuan perhatian masyarakat karena segala sifat terpuji terhimpun

pada dirinya. Bagaikan lautan budi yang tidak pernah kering dari air, kendati

diminum semua makhluk yang memerlukannya. Sikap khauf dan raja’ ditampakkan

olehnya dengan sedu sedan tangisnya, syukur setiap saat bersujud, munajat dan

sembahyang sampai pecah kedua telapak kakinya, Kesederhanaannya diikuti

Khulafa’ Al-Rasyidin, bagai ucapan Abubakar; “Kemuliaan itu merupakan buah dari

taqwa, fana merupakan hasil dari keyakinan dan kemuliaan itu adalah hasil dari

tawadlu”. Demikian juga Umar bin al-Khathab tentang keadilan dan amanahnya,

pidato dihadapan orang hanya pakaian bertambal dua belas, karena tidak mempunyai

40
kain selainnya, bahkan saat ditanyakan kepadanya tentang keterlambatan

mengimami shalat, dia menjawab: “Kain saya sedang dicuci, tiada kain lain yang

kumiliki”. Sahabat Usman bin Affan, dikenal pemurahnya, penolong perjuangan

Islam, demikian juga Ali bin Abi Thalib juga dikenal dalam ibadahnya dan

kesederhanaannya di mana tidak peduli pakaian robek dan menjahit sendiri, sehingga

pernah di tanyakan kepadanya; “Mengapa sampai begini ya Amirul Mukminin?’

jawabnya; ‘Untuk menghusyukkan hati dan menjadi teladan bagi orang yang

beriman. Kesederhanaan hidupnya terealisasi di dalam rumah-tangganya, hingga di

dalam rumahnya hanya tergantung sebuah pedang, baju dan sehelai kain yang dia

pakai bergantian dengan istrinya, Fatimah. Dia dermawan, mengutamakan fakir

miskin daripada dirinya.

Hal demikian diikuti di antara sahabat yang amat memperhatikan kehidupan

kerohanian dan berusaha menganalisis serta cermat di perbagai aspeknya. Salah

seorang di antara mereka adalah Huzaifah bin Yaman. Esoterisme yang kuat

memancar dari celah-celah kehidupan mereka dan memberikan daya tarik dalam

keteladanan dan kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya. Begitu juga, Hasan dari

Basrah, dia hidup dengan sederhana dan mengajarkan hidup kerohanian dalam

bentuk teori-teori yang berpusat kepada rasa takut (khauf) dan harapan (raja’).

Adapun tokoh sufi masa klasik diantaranya: Dari masa Huzaifah bin Yaman, Imam

Abu Hanifah, Sofyan Tsauri, Ibrahim bin Adham, Imam Malik bin Anas, Malik bin

Dinar, Rabi’ah al-Adawiyah, Fudhail bin ‘Iyadh, Makruf al-Karkhi, Imam Syafi’i,

41
Imam Ahmad bin Hambal, Al-Harist al- Muhasibi, Zunnun al-Misri, Sarri al-Saqati,

Abu Yazid al-Bisthami, Junaid al-Baghdadi, Ibrahim al-Khawwas, Abul Husain, al-

Nuri, Al-Khallaj, Abu Bakar al-Syibli sampai Abu Thalib al-Makki. Kisah kehidupan

selanjutnya, semakin berkembangnya Islam dan semakin mekarnya budaya, ilmu

pengetahuan, politik dan ekonomi maka kehidupan Islampun mulai terpengaruh

dengan budaya bangsa lain, akibatnya duniawi dan kecenderungan yang materialistis

mendorong orang berpikir formalistis, sementara ajaran-ajaran Islam yang bersifat

formalitis dan kering dari penghayatan kerihanian berkembang pesat dalam ajaran-

ajaran syari’ah atau fiqh, dan ajaran-ajaran kerohanian yang sudah membentuk

ajaran-ajaran sendiri dalam tasawuf, mulai menampakkan perbedaan-perbedaan.

Golongan eksoteris (ahl al-zahir) menganggap jalan syari’ah sebagai satu-satunya

jalan yang benar, sedang kalangan tasawuf yang mementingkan pengalaman esoteris

(ahl al-bathin) menganggap tasawuf sebagai satu-satunya jalan kebenaran. Silang

pendapat mulai tampak, ukhuwah Islamiyah mulai terganggu dan dinamika Islam

mulai pudar. Usaha memadukan antara dua kubu pemikiran itu telah diusahakan oleh

Harist al-Muhasibi dan Abu Thalib al-Makki, namun yang paling berhasil adalah

Imam Ghazali melalui karya besarnya Ihya’ Ulumiddin. Secara sistematis al-Ghazali

menggabung syari’ah dan tasawuf dalam ilmu yang menghidupkan Islam dalam

kehidupan seorang muslim.

Dalam masa-masa berikutnya, di samping tasawuf juga mulai berkembang tarikat

dengan berbagai latar belakang aliran yang mendasarinya. Kalangan sufi sendiri yang

42
mengamati perkembangan itu merasakan mulai tumbuhnya kehidupan eksklusif,

kultus individu dan berbagai penyimpangan dari ajaran yang sebenarnya. Ibnu

Taimiyah berusaha memurnikan kembali, menolak segala bentuk penyimpangan

(bid’ah dan khurafat) dalam tubuh tasawuf dan segera mengembalikannya ke dalam

ajaran al-Qur’an dan Sunah Nabi secara ketat. Usaha ini dilanjutkan oleh pengikut

setianya Ibnu al-Qayim al-Jauziyah.

Pada masa modern, keadaan kaum muslimin pada umumnya terbenam dalam kancah

yang statis, lemah dan tertinggal dari bangsa-bangsa lain, maka Dr. Muhamad Iqbal

yang berusaha mengadakan pemahaman baru dan mendinamisasikannya melalui

ajaran-ajaran tasawuf yang berpusat pada insan kamil. Demikian juga Hamka

mengemukakan perlunya ajaran tasawuf yang bersifat modern hingga memiliki daya

tarik dan melahirkan dinamika kaum muslimin. Dr. Abdul Halim Mahmud

menganggap penting tasawuf dalam penghayatan dan religiositas yang utuh dalam

menghadapi arus teknologi canggih dan globalisasi. Lebih jauh, usaha pembentukan

dan pembinaan diri sufi dilakukan melalui usaha-usaha yang serempak dalam

takhalli, tahalli, dan tajalli. Seorang sufi yang telah menemukan kebenaran, akan

tetap dan selalu bersama kebenaran itu sampai akhir hayatnya, mereka berusaha

untuk mencapai ma’rifatullah dan ibadah yang didirikan adalah karena kelayakan

bagi-Nya sebagai satu-satunya yang sewajarnya disembah. Maka kerelaan Allah,

pengenalan dan penyaksian atas-Nya adalah tujuan akhir satu-satunya bagi sufi.

43
Melihat pentingnya tasawuf, maka tasawuf merupakan wahana yang sangat

representatif untuk dipelajari dan diamalkan, karena mampu menyentuh dua dimensi

yang ada pada setiap diri yaitu nasut dan lahut, sehingga manusia mampu

mengaktualisasikan dirinya sebagai hamba Tuhan dan mahluk sosial secara

seimbang.

Ajaran tasawuf dan kehidupan sufi ibarat samudera luas, mengandung ribuan mutiara

amat berharga dan kekayaan yang berlimpah ruah, seperti yang disaksikan, ajaran

tariqat dari Timur Tengah merembes ke Indonesia melalui Aceh terus ke Jawa,

diantaranyaa; tarikat Satariyah, Qadariyah Naqsabandiyah, Syadziliyah dan lainnya.

Gerakan tarekat di Indonesia pada dasarnya mengasingkan diri dan menyingkir

mencari ketenangan di pelosok-pelosok atau sudut-sudut kota, terutama sewaktu

jaman penjajahan, diantaranya gerakan Tarekat Akmaliyah yang dipimpin Kyai

Nurhakim (1866 M.), dan gerakan Haji Akhmad Ripangi di Kalisalak (1855 M.).

B. BIOGRAFI DAN KARYA - KARYA KH. AHMAD RIFA’I

1. Awal Kehidupan KH Rifa’i.

KH. Ahmad Rifa’i lahir di desa Tempuran, arah selatan dari Masjid Kendal, pada

tanggal sembilan bulan Muharram tahun 1207 H/ 1786 M, dari ayah seorang

penghulu bernama Muhammad bin Abi Suja’. Ditinggal mati ayahnya saat ia

berumur enam tahun. Anak yatim ini, selama kira-kira enam bulan dalam

pemeliharaan ibunya, kemudian diserahkan kepada pamannya Syekh Asy’ari, di

pondok Kaliwungu, Kabupaten Kendal. Di pondok Kaliwungu Rifa’i menimba ilmu

44
alat, diantaranya: nahwu, sharaf dan ilmu i’lal, serta politik, tasawuf, tauhid dan

ma’rifat dll. Karena dia anak cerdas maka tak aral lagi bila K. Asy’ari sangat

mengasihi dan memperhatikannya. Menjelang umur 25 tahun dia berangkat ibadah

haji ke Mekah pada tahun 1232 H. Usai ibadah haji dia berguru bersama dua

temannya di Tanah suci kepada: Syeikh Abd. al-Rahman, dan Syeikh Abu Ubaidah,

Syeikh Abd al-‘Aziz, Syeikh Usman dan Syeikh Abd al-Malak. Dari Abdul Aziz

sendiri ia belajar ilmu makrifat atau dikenal oleh ahli Tarajumah dengan ilmu

istiqrab. Selesai belajar di tanah suci, ketiganya bersama-sama pulang ke tanah Jawa.

2. Sepak Terjang Perjuangan KH Ahmad Rifa’i.

Saat Ahmad Rifai kembali di Jawa, pulau Jawa saat itu dikuasai Bangsa Belanda dan

kehidupan bangsa Jawa sangat menderita akibat penjajahan, sehingga mulai saat

itulah dia berusaha untuk menentang penjajah agar keluar dari tanah Jawa. Dia

berjuang dengan cara menguatkan aqidah dan jiwa kaumnya dan ketajaman fatwa.

Mula-mula ia mengajar di pesantren kakak iparnya, kepada muridnya ia

mengutamakan pelajaran usul al-din (teologi), fiqh (hukum) dan tasawuf.

Disamping mengajar, dia rajin berdakwah sampai Wonosobo, Magelang dan

Banyumas. Dia melakukan da’wah mengenai rukun Islam, utamanya masalah ibadah

lahir dan memperkuat keimanan bagi masyarakat sekitarnya. Akhirnya didaerah

tersebut didirikan organisasi tradisional Islam, yang sederhana dan cukup efektif,

sesuai dengan zaman dan lingkungannya berbentuk poros iman umat, guru-murid,

dengan tujuan membentuk kader pemimpin alim-adil, mukmin-muslim yang berani

45
mengatakan kebenaran dan kepribadian. Semakin banyak penganutnya, timbul

kedengkian diantara ulama’, terjadi adu domba antara kyai Rifa’i dengan pemerintah

saat itu dengan tuduhan makar, tetapi dengan kejujuran fatwanya, dia dibebaskan dari

tuduhan dan justru semakin banyak pengikutnya. Kejadian yang sama berulang

dengan meminta dukungan penguasa di daerahnya dan pada tuduhan kedua inipun dia

dibebaskan. Setelah dua kali mendapat masalah dengan penjajah maka ia pindah ke

Kalisalak, Limpung, Kabupaten Batang. Ibarat emas adalah emas murni, kemana dia

berada orang mencari, demikian juga Akhmad Rifa’i pindah dari keramaian ketempat

sepi, umatnya selalu mengikuti. Di Kalisalak justru didatangi murid dari daerah lain,

seperti; Kyai Ilham, dari Batang, (Kyai ini yang kemudian hari menjadi sumber mata

rantai umat Tarajumah di Kabupaten Temanggung), Kyai Abu Hasan dari Kepil

Wonosobo, dan Muhamad Tuba, dll. Mulai saat itulah Kyai Haji Rifa’i mulai

menciptakan kitab Tarajumah dari bahasa arab kedalam bahasa jawa pegon, dengan

tujuan untuk memudahkan kaum awam dalam pemahaman ajaran aqidah dan hukum

Islam, sekaligus agar digemari masyarakat lingkungannya karena sebagian banyak

uraian ajarannya berbentuk untaian syair, disamping menanamkan keyakinan kepada

mereka. Oleh karena itu kyai Rifa’i dikenal sebagai seseorang ahli ilmu bayan, ilmu

filsafat dan ahli si’ir. Kitab pertama diciptakan adalah untuk mendalami ibadah,

tauhid dan makrifah, dia meringkas kitab-kitab “ Hiyarat al-mukhtasar” yang berisi

syari’at, tariqat dan hakikat.

46
Menurut penuturan manaqib Rifa’iyah, Syekh Ahmad Rifa’i mempunyai sifat-sifat;

rendah diri (tawadhu’),“ laisa al-mar’u anaaniyyun”, dia tidak bermegahan (zuhud),

tidak sombong (takabur), tidak mementingkan atau membanggakan diri sendiri

(‘ujub) dan sabar dalam melayani murid maupun umatnya, menghormati kepada

murid, selalu menutupi rasa malu orang lain, senang berkunjung ketempat umatnya,

jika suatu saat tidak hadir di majlis pertemuannya. sesuai dengan ajaran tasawwuf

yang ditulis dalam kitabnya. Dia termasuk tokoh karismatik.

Dia masyhur dengan ilmu terawangan dan ilmu batin atau ilmu gaib serta ilmu jiwa,

maka bagi orang yang kurang memahami hal ini (yakni ilmu hak) akan selalu

membuat fitnah kepada kyai Haji Rifa’i.

Kegiatan KH. Rifa’i di Kalisalak, antara lain:

1. Menerjemah kitab-kitab dari bahasa arab ke bahasa Jawa guna menyuburkan

hukum Allah dan Rasulullah agar dipahami dan diamalkan bagi mukallaf yang bodoh

supaya cepat paham.

2. Meningkatkan pembinaan kaifiyah ibadah, supaya orang Islam beribadah

diterima oleh Allah.

3. Persatuan umat Islam dan persaudaraan umat Islam (Ikhwanul Muslimin)

supaya jangan bertentangan paham di antara umat Islam dan bersatu aqidahnya untuk

memberantas kaum penjajah supaya merdeka. (Ni’ma al-‘abdu innahu hurrun, wa

yuhzamu hukuumat al-daulati hairun, inna al-‘abda bi hukuumat al-daulati syarrun,

inna silah al-mu’minu al-du’aau wa dlairu”)

47
4. Memberantas tindakan yang tidak mendapat ridho dari Allah SWT.(yaitu

tindakan fasiq), supaya berbuat adil.

5. Membuat madrasah al-Wiqayah al-Islam untuk menjaga kemurnian Islam dan

untuk mendidik anak anak supaya akhlaqnya bagus dan mulya serta menjaga

kemurnian ajaran KH. Rifa’i.

Dengan adanya kegiatan, yang makin lama makin kuat dan hebat, maka timbulah

kedengkian para kyai sekitar Kalisalak, sehingga membuat fitnah kepadanya dan

melaporkan kepada pemerintah dengan tuduhan;

1. KH Rifa’i adalah kyai yang membenarkan dirinya dan menyalahkan kyai lain.

2. KH Rifa’o menyalahkan orang sholat berjama’ah imamnya selain dia.

3. Kyai membubarkan jemaat dimasjid Batang.

4. Pemerintah dianggap fasiq.

5. Kyai membatalkan perkawinan rakyat yang sudah dikawinkan pemerintah.

6. Kyai melarang orang membaca Al-Qur’an.

7. Kyai meng-anjing gilakan pemerintah.

Dari sekian banyak tuduhan yang dianggap keliru oleh kyai adalah tentang jama’ah

bukan kepada dirinya, tetapi tidak sah makmum kepada imam fasiq.

Masa akhir kehidupannya, oleh pemerintah Belanda dia disingkirkan ke Ambon,

kemudian dipindah ke Makasar, akhirnya ke Menado dan meninggal disana waktu

berusia 91 tahun. Walaupun berada di pengasingan, untuk membuat kitab masih

tetap dilakukan dan selalu mengirimkan pesan-pesan kepada para muridnya.

48
Mengenai keorganisasian Rifaiyah perkembangannya agak tersendat-tersendat

perjalanannya, walaupun sampai kini terus berkembang.

3. Karya – Karya KH. Akhmad Rifa’i.

Menurut penuturan Abdul Jamil, jumlah kitab karangan KH Rifa’i belum ada

kepastian, walaupun kalangan pengikutnya sudah membuat daftar nama kitabnya,

karena banyak dari kitab karangannya yang dirampas kaum penjajah.

Kemudian dikatakannya bahwa kitab yang tersimpan di Universitas Leiden, yang

merupakan koleksi dari sejumlah tokoh, pejabat Hindia Belanda diantaranya: Snouck

Hurgronje, Hazeau, DA. Rinkes, dan GWJ. Drewes. Sebagian besar, kitab

Rifa’iyah berbentuk syair, dan sebagian lain berbentuk prosa serta menggunakan

bahasa jawa atau melayu.

Kitab yang ditulis dalam daftar yang bersumber dari jama’ah Rifa’iyah Paesan,

kecamatan Kedungwuni, Pekalongan berjumlah limapuluh dua kitab, sedangkan yang

memuat tentang tasawuf sejumlah enam kitab yakni: Ahsan al-Mitholab, Asn al-

Miqhasad, Jam’ al-Masaail, Abyan al-Hawaij, Ri’ayah al-Himmah, dan As’ad.

C. Pemikiran Kyai Rifai dalam Bidang Tasawuf

Pemikiran tasawuf KH. Ahmad Rifa’i sebenarnya sangat ringkas dan padat isinya

eperti yang dinyatakan diatas bahwa ajaran yang memuat tentang tasawuf sejumlah

enam kitab yakni: Ahsan al-Mitholab, Asn al-Miqhasad, Jam’ al-Masaail, Abyan al-

Hawaij, Ri’ayah al-Himmah, dan As’ad merupakan realisasi ilmunya yang dijelaskan

dengan sya’ir-syairnya, yaitu:

49
Utawi ilmu tasawuf kapertelanan,

Yaiku ngaweruhi ing setengah kelakuan,

Sifat kang pinuji lan kang kacelanan,

Kang ana ing dalem batin panggonan

Supaya bener ati marang Allah nejane,

Lan ilmu tasawuf kang wus tinutur,

Iku perintah ambeciki ati milahur,

Maring Allah kang sineja ati sabenere.

Artinya:

Adapun ilmu tasawuf penjelasannya,

Yaitu mengetahui sebagian dari perbuatan,

Sifat yang terpuji dan yang tercela

Yang ada dalam batin tempatnya,

Supaya benar dalam kepada Allah tujuannya,

Dan ilmu tasawuf yang sudah disebutkan

Yaitu perintah untuk memperbaiki hati

Kepada Allah yang dituju hati sebenarnya.

50
Utawi pertelane setengah sifat,

Kang pinuji dene syara’ mangfangat,

Yoiku wulung perkara iki wilangane,

Zuhad, qana’ah, sabar, tawakal atine

Mujahadah ridha syukur ikhlas nejane,

Khauf mahabah ma’rifat kawengku maknane.

Utawi pertelane setengah sifat cinela,

Dene syarak kang ana ati dadi ala,

Yoiku wulung perkara ikilah peRtelane,

Hubbud dunya tama’, itba’ul hawa katula.

Ujub riya’takabbur hasud sum’ah,

Artinya:

Adapun penjelasan sebagian sifat

Yang terpuji oleh syara’ manfaat

Yaitu delapan perkara bilangannya

Zuhud, qana’ah, sabar, tawakal hatinya

Mujahadah ridha syukur ikhlas tujuannya

Khauf mahabbah makrifat sudah terkandung maknanya.

Adapun penjelasan sebagian sifat yang tercela,

51
Oleh sarak yang dihati menjadi jelek

Yaitu delapan perkara inilah penjelasannya

Hubb al- dunya tamak itba’ul hawa,

Ujub riya’ takabbur hasud sum’ah

Kiai Rifa’i menekankan hubungan erat antara syariat, tarikat, dan hakikat.

Syareat tarekat hakikat bercampur,

Wong ibadah maring Allah begja lan jujur,

Wong tinggal syari’at ora sah taat lebur,

Wong tinggal tarekat saking Allah mungkur

Tinggal hakikat suwung sepi ganjaran,

Terkadang kufur iman makbul kerusakan.

Artinya :

Syari’at tarikat hakikat bercampur,

Orang ibadah kepada Allah beruntung dan jujur,

Orang meninggalkan syari’at tidak sah ketaatannya hancur,

Orang meninggalkan tarikat berarti membelakangi Allah, Meninggalkan hakikat

akan sepi pahalanya,

Terkadang kufur iman menjadi kerusakan.

52
Tasawufnya menekankan agar menguasai syari’at, dia mencela terhadap sufi yang

hanya mementingkan aspek batiniah dan mengabaikan syari’at.

Lebih lanjut syairnya sebagai berikut;

Pura-pura ahli sufi inggonan,

Yektine bodo tan weruh syara’ penggeran

Ing dalem ilmu tasawuf kebodohan,

Patut sasar kufur sebab kataqsiran

Ngugemi ilmu syari’at mung kedik,

Durung cukup ginawe amal becik

Kesusu sengit ing setengah syara’ nampik.

Artinya :

Pura-pura menjadi ahli sufi tempatnya,

Kenyataannya bodoh tidak mengetahui aturan syara’,

Di dalam tasawuf kebodohan,

Patut sesat kufur sebab masih kurang,

Menguasai ilmu syari’at hanya sedikit,

Belum cukup untuk beramal kebajikan,

Tergesa-gesa benci pada sebagian syari’at menolak,

53
Itu adalah orang sesat kafir munafiq.

Kiai Rifa’i membagi ilmu menjadi dua hal, yaitu ilmu zahir (fiqih) dan ilmu batin

(tasawuf), sebagaimana dinyatakan;

Maka mahesna sira ing dahir kelakuan,

Lan ing batin neja ing Allah pangeran

Kelawan saben ilmu dahir kinaweruhan,

Lan ilmu batin ana syara’ panggeran

Ilmu dahir iku ilmu fiqh hukumane.

Artinya:

Maka hiasilah dirimu dalam zahirnya perbuatan,

Dan di batin bermaksud menuju tuhan Allah,

Dengan menggunakan ilmu zahir yang sudah diketahui,

Serta ilmu batin sesuai dengan aturan syara’,

Ilmu zahir itu ilmu fiqih yang bertalian dengan hukum.

Kyai Rifa’i menyatakan bahwa belajar ilmu tasawuf dan mengamalkannya adalah

wajib dan bahkan orang yang mengabaikan dapat menjadi kafir dari imannya

sebagaimana dinyatakan;

54
Babun ikulah bab nyataaken tinemune,

Ilmu tasawuf kang diwajibaken ngupayane

Uga wajib dingamalaken sakuwasane,

Ingatase mukalaf arep ngaweruhi ilmune.

Artinya :

Bab inilah bab menyatakan jadinya,

Ilmu tasawuf yang diwajibkan mengupayakan,

Juga wajib diamalkan semampunya,

Bagi orang mukallaf yang ingin mengetahui ilmunya.

Kemudian KH. Ahmad Rifa’i menjelaskan tentang amaliyah tasawuf berupa latihan

ruhani dengan jalan; pertama, mengisi diri sendiri dengan akhlak mahmudah meliputi

delapan hal, yaitu; zuhud, qana’ah, sabar, tawakal, mujahadah, ridha, syukur, dan

ikhlas. Kedua, mengosongkan diri sendiri dari akhlak mamdudah meliputi delapan

hal pula, yaitu; Hubb al- dunya, tamak itba’ul hawa, ujub, riya’, takabbur, hasud, dan

sum’ah yang kemudian ditindak-lanjuti dengan kedekatan kepada Allah dan

pengenalan Allah dengan mata hati.

Dia menjelaskan ajarannya sebagai berikut;

a. PENGISIAN DIRI DENGAN AMALIAH TERPUJI, YAITU:

55
1). ZUHUD

MAKNA ZUHUD TAPA MENGO KADONYAN,

IKU ORA NANA IBARAT KEKAREPAN,

SAKING NYEPEAKEN WONGIKU TANGAN,

SAKING ARTA BALIK YAIKU TINEMUNE,

NYEPEAKEN WONGIKU TINEMUNE,

NYEPEAKEN WONGIKU ING ATINE

SAKING GUMANTUNG KELAWAN ARTANE.

ARTINYA:

MAKNA ZUHUD BERTAPA MEMBELAKANGI DUNIA,

BUKANLAH GAMBARAN SESEORANG,

YANG MENGGOSONGKAN TANGAN,

DARI HARTA BENDA, SEBALIKNYA,

MENGOSONGKAN HATI DARI KETERGANTUNGAN

KEPADA HATA BENDANYA.

ZUHUD ITU PADA HAKIKATNYA ADALAH PENGENDALIAN HATI

TERHADAP KEDUNIAAN. ZUHUD YANG TIDAK MEMBELAKANGI DUNIA,

NAMUN MENGANJURKAN MEMPERBOLEHKANNYA, UNTUK

MENCUKUPI KEBUTUHAN POKOK DALAM KEHIDUPAN.

56
2. Qana’ah

Utawi wong kang anteng nerima atine,

Ing paparinge Allah qadar rizki anane

Ikulah aran wong kang sugih tinemune,

Lan senadyan ana luwe kadang kalane.

Utawi pertelane wong pinaringan nikmat,

Kawilang taufiq manfaat ning akhirat

YAIKU PINARINGAN ILMU LAN ARTA MANFAAT,

LAN KAMULYAN DADI NULUNGI ING IBADAH

NETEPI WAJIB NGEDOHI MAKSIATAN,

DAHIR BATIN NEJA ING ALLAH KARIDAAN.

Artinya :

Adapun orang yang tenang hatinya ridha

Pada pemberian Allah rezeki sekadarnya

Itulah yang disebut orang yang kaya jadinya

Meskipun terkadang lapar.

Adapun penjelasannya orang yang mendapat nikmat

Terbilang taufik manfaat di akhirat

Yaitu diberi ilmu dan harta yang bermanfaat

57
Dan kemuliaan sehingga bisa membantu dalam beribadah

Melaksanakan kewajiban dan menjauhi kemaksiatan

Lahir dan batin bermaksud mencari ridha Allah

SECARA HARFIAH, QANA’AH ADALAH “HATI YANG TENANG”

SEDANGKAN MENURUT ISTILAH ADALAH HATI YANG TENANG

MEMILIH RIDHA ALLAH, MENCARI HARTA DUNIA SESUAI DENGAN

KEBUTUHAN UNTUK MELAKSANAKAN KEWAJIBAN DAN MENJAUHI

KEMAKSIATAN..

3. Sabar

Maka sapa wonge dilaraaken ing atine,

Dene wong liyane kelawan haram pemerihane

Sebab ora kaduga dene karepe hawane,

Maka ora patut sabar meneng tinemune

Balik nulako wong iku ing wong tan jujur,

Sekira sakuwasane wong iku milahur.

Wajib mukalaf arep ngaweruhi cobane Allah,

Tumiba maring wong kang ibadah pertingkah

Galib wong pada ibadah ana fitnah,

Iku wajib nyita sabar bener ing manah.

58
Artinya :

Maka barang siapa disakiti hatinya,

Oleh orang lain dengan tujuan kepada yang haram,

Sebab tidak sesuai dengan harapan hawa nafsunya,

Maka tidak patut sabar diam jadinya,

Tetapi tolaklah orang yang tidak jujur tersebut,

Sekuat mungkin agar orang tersebut mengerti.

Secara harfiah sabar berarti “menanggung penderitaan”. Secara istilah adalah

menanggung penderitaan yang mencakup tiga hal, yaitu;

(1) Menanggung penderitaan di dalam menjalankan ibadah dengan

sesungguhnya,

(2) Menanggung penderitaan dengan melakukan taubat dan berusaha menjauhkan

diri dari perbuatan maksiat,

(3) Menanggung penderitaan apabila tertimpa suatu musibah dunia dan tidak

mengeluh.

4. Tawakkal

Tan nana makna tawakal iku tan ikhtiar,

Lan tinggal kasab ngupaya rizki sakadar

Balik tan kena ora sakuwasane ngajar,

59
Memerangi saking hawane ngajak nasar,

Lan ora ilang tawakale wong hajat,

Ngupaya tetamba nulak saking madarat.

Artinya :

Tidak ada makna tawakkal itu tanpa ikhtiar,

Dan meninggalkan usaha mencari rezeki sekadarnya,

Sebaliknya tidak boleh tidak sekuat tenaga mencarinya,

Memerangi hawa nafsu yang mengajak sesat ,

Dan tidak hilang tawakal seseorang yang bermaksud

Mencari obat untuk menolak kemudaratan.

Tawakal secara harfiyah artinya; “pasrah kepada Allah terhadap seluruh pekerjaan”,

sedangkan secara istilah adalah pasrah kepada seluruh apa yang diwajibkan Allah dan

menjauhi dari segala yang diharamkan-Nya. Tawakkal tanpa meninggalkan ikhtiyar,

bahkan usaha dengan sekuat tenaganya untuk menolak kemudharatan.

5) Mujahadah

Perang sabil ing hawa wajib kinara,

Uga kang dadi gegeraken raja negara

Tur iku perang sabil luwih gede ukara,

60
Kacukupan tan kanti akeh bala kuncara

Karena apa alim fasiq tan hajat,

Memerangi hawane ngajak gede maksiat.

Artinya :

Perang sabil pada hawa nafsu wajib dikira,

Juga yang jadi menggegerkan raja negara,

Juga perang sabil itu lebih besar katanya,

Sudah cukup dan tidak banyak kawan yang kuat,

Karena apa alim fasiq tidak membutuhkan ,

Memerangi hawa nafsunya yang mengajak maksiat besar,

Karena senang kepada neraka dan badan sengsara ,

Menjadi kafir dan tidak bermaksud tobat.

Secara harfiyah mujahadah berarti; “bersungguh-sungguh” Secara istilah adalah

bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah,

memerangi segala bujukan hawa nafsu dan dosa besar serta berlindung kepada Allah

dari kekufuran.

6) Ridha.

Ridho tegese makna tarojumah tinemune,

61
Yoiku nerimo suka ati kadhohirane,

Utawi makna istilah pertelane,

Yaiku nerimo ing Allah pandumane,

Lan nerimo ing hukume Allah syaringat

Diwajibake nglakoni ikhlas taat,

Lan ngedohi saking alane maksiyat

Lan nrimo tumibane bilahi mudhorot

Saking kersane Allah lan pestine

Dadi kafir wong sengit ing Allah hukumane.

Artinya:

Ridha menurut arti tarajumah yaitu menerima dengan suka hati lahirnya

Adapun arti istilah penjelasannya yaitu menerima pembagian dari Allah

Dan menerima hukumnya Allah syari’at yang diwajibkan dengan ikhlas dan taat.

Dan menjauhi dari kejelekan maksiat dan menerima jatuhnya balak dan kesusahan

Dari kehendak Allah dan kepastian, jadi kafir bagi yang benci kepada hukumNya

Ridha arti harfiyah: “menerima dengan suka hati”. Sedangkan menurut istilah

tarajumah diartikan: pertama sikap rela menerima pemberian Allah, kedua sikap rela

menerima ketentuan hukum syariat yang diwajibkan oleh Allah secara ikhlas dan

62
penuh ketaatan serta menghindari kedurhakaan, ikhlas saat menerima musibah dan

sengsara.

7) Syukur.

Kawilang wong buang nikmate Allah,

Ingatase wong ngawula ing wong salah,

Mengo saking syukur nikmate Allah,

Wong sasar nasaraken ditut sinembah,

Anut perintahe tinggal saking cegahane,

Wong alim ditut ginawe gustine.

Artinya:

Terbilang orang membuang nikmatnya Allah,

Terhadap orang yang mengabdi pada orang salah,

Berpaling dari syukur nikmatnya Allah,

Orang sesat menyesatkan ikut disembah,

Ikut perintahnya dan meninggalkan larangannya-Nya,

Orang zalim diikuti dan menjadi Tuhannya.

Syukur diartikan dengan mengetahui segala nikmat Allah berupa nikmat keimanan

dan ketaatan dengan jalan memuji Allah yang telah memberikan sandang pangan,

63
ditindak lanjuti dengan berbakti kepada Allah, dikatakan seseorang tidak syukur

apabila mengikuti ajakan orang sesat.

8) Ikhlas.

Lan pada ibadata sira kabeh temenan,

Ing Allah ikhlas ing dalem kebatinan

Lan aja nyekutoake sira sekabehan,

Ibadah ing Allah saitik aja kaworan

Dadi kafir wong nyekutoake ing Allah.

Artinya :

Dan beribadahlah kamu semua dengan sungguh-sungguh,

Pada Allah ikhlas di dalam batin,

Dan jangan menyekutukan kamu semua,

Ibadah kepada Allah sedikit jangan sampai bercampur,

Menjadi kafir orang yang menyekutukan Allah.

Berbuat ikhlas, yaitu dalam ketaatan tidak bertujuan pada sesuatu selain mendekatkan

diri kepada Allah, jangan sekali-kali punya pamrih dunia dalam mendekatkan kepada

Allah itu seperti mendapat pujian manusia atau yang sejenisnya, karena dianggap

kafir jika menyekutukan Allah.

64
b. Mengosongkan Diri dari Amaliah Tercela

1) Mencintai Dunia ( hubb al-dunya)

Utawi aran dunya saben sawijine,

Kang tan manfaat ning akhirat tinemune

Ikulah aran dunya haram anane,

Atawa halal dadi fitnah akehe artane.

Artinya :

Adapun yang disebut dunia segala sesuatunya,

Yang tidak bermanfaat bagi akhirat jadinya,

Itulah yang disebut dunia haram jadinya,

Atau jang halal jadi fitnah banyak hartanya.

Kyai Rifa’i mencela terhadap memperoleh dan menikmati keduniaan yang dapat

membawa lupa pada akibat dan memberi peluang sebaliknya yakni menyisihkan

dunia dibolehkan asal tidak menjadikan lupa serta bermanfaat untuk kehidupan

akhirat

2) Tamak

Ya ugo sebab loba dunya pinaluhur

Syara’ dihina kafir ginawe luhur.

65
ARTINYA :

Ya juga sebab rakus terhadap dunia perhatiannya

Syara’ dihina orang kafir dijadikan luhur.

Tamak diartikan hati rakus terhadap dunia sehingga tidak memperhitungkan halal dan

haram. Menghina hukum Allah, dan memuja orang kufur. Manusia diangap bertindak

tamak selama menyimpang dari akhlak dan mengangagap fasik baginya.

3. Itba’ al-Hawa’

Iku nuruti ing hawane winarah,

Utawi makna istilah syara’ genah,

Iku wong nuruti luwih alane manah,

Kang diharamake dene hukum syari’at

Ikulah wong manut hawa maksiyat,

Akeh wong sasar sebab anut hawa salah

Setengahe dadi kafir tinggal mujahadah,

Anut pangajake howo kufur diarah

ora ono wong luwih sasar kabanjur,

Timbang saking wong anut hawane piniluhur

Pangajake hawa maring haram lan kufur,

66
Tan anut ing Qur’an pituduh jujur.

Artinya :

Yaitu mengikuti hawa nafsu,

Adapun makna menurut istilah syara’ yang sebenarnya

Yaitu orang yang mengikuti hatinya yang jelek

Yang diharamkan oleh hukum syari’at,

Itulah orang yang mengikuti hawa nafsu maksiat

Banyak orang tersesat karena menuruti sahwat salah

Sebagian jadi kafir karena meninggalkan mujahadah,

Menuruti ajakan kufur,

Tidak ada yang lebih tersesat

Kecuali orang yang mengikuti nafsu sahwat,

Ajakan kearah haram dan kufur,

Tidak menuruti Al-Qur’an petunjuk benar

Wong kangelan salah kawitane lakune,

Yaiku anut ing hawa ginawe bendarane

Iku sifat wong munafik mardud imane,

Tan asih narimo ing syara’ hukumane.

67
Artinya :

Orang berlaku salah pertama dalam perbuatannya

Yaitu mengikuti hawa nafsu yang dijadikan tuannya,

Itulah sifatnya orang munafik mardud imannya,

Tidak senang menerima syara’ hukumnya.

Pengertian itba’ul-hawa’ secara lafdhiyah, adalah “menuruti hawa nafsu”, sedang

menurut istilah: menuruti kejelekan hati dalam melanggar yang diharamkan oleh

hukum syara’ dan kemaksiatan. Seseorang dianggap sesat jika menuruti hawa nafsu

dan kufur bagi manusia yang tidak bersungguh-sungguh meninggalkannya serta tidak

menuruti petunjuk Kitab Al-Qur’an. ia menerangkan dinyatakan sebagai munafik,

bahwa mereka yang melanggar hukum syarak dan tiada ikhlas menerima hukum

syara’.

4. ‘Ujub

Ujub tegese angawoaken dalem kebatinan,

Utawi makno istilah kapertelanan

Iku majibaken sentosaning badan,

Saking sikso akherat keslametane

Iku kawilang dosa gede ning batine,

68
Alim kang tobat iku sinikso ing neroko

Sebab dosane ngajak gede duroko,

Ditut dene wong akeh iko

Ikulah dosa dhahir dadi gede ciloko.

ARTINYA :

‘Ujub artinya mengherankan dalam batin ,

Adapun makna istilah penjelasaanya

Yaitu memastikan kesentosaan badan

Dari siksa akhirat keselamatannya.

Itu tebilang dosa bessar dibatinnya,

Orang alIm yang bertobat disiksa dineraka,

Sebab mengajak dosa besar kedurhakaan,

Diikuti orang banyak,

Itulah dosa lahir yang menjadi besar mencelakakan

Ujub dalam arti lafdhiyah yaitu “menganggap dirinya punya kelebihan pada batin

dirinya”, sedang makna istilah menganggap dirinya kebal terhadap siksa diakherat

karena perasaan kelebihan ibadahnya. Seseorang dianggap ‘ujub walaupun ‘alim

69
namun mengajak orang lain ke sifat durhaka kepada Allah walaupun dianut oleh

khalayak.

5. Riya’

Iku ngetokaken ing menungso kabecikakane,

Utawi makno istilah kekarepane

Iku gawe ibadah nejo ing atine,

Amrih krono menungso dunya kan diarah

Tan nejo ibadah sabenere kerana Allah,

Anapun nganggo dodot becik milahur

Lan gawe omah becik dahire tinutur,

Kang dudu wernane ibadah jujur

Maka iku ora riya haram masyhur,

Kaya sekehe kafir munafik

Pada sadaqah ing artane kerana kadunnya,

Haram krono menungso podo riyaan.

Artinya :

Yaitu melahirkan kepada manusia kebaikannya,

Adapun makna istilah maksudnya

Yaitu membuat ibadah sengaja dalam hatinya

70
Bertujuan karena manusia dunia

Yang dituju tidak bertujuan ibadah sebenarnya karena Allah.

Riya’ arti harfiyah : “pamer“ sedant menurut istilah diartikan penyimpangan

dalam ibadah kepada selain Allah, justru mengarahkan ibadah kepada keduniaan.

Riya’ dibagi menjadi dua macam yaitu; riya’ khalis artinya melakukan perbuatan

karena condong kepada manusia dan riya’ syirik melakukan perbuatan condong

manusia dan Tuhan.

6. Takabur

Iku gumede romoso keluhurane,

Utawi makno istilah pratelane

Yaiku netepaken ing sarira kabecikane,

Ana sifat becik atawa kaluhuran

Sebab akeh hartane tuwin kapinteran

Artinya:

Yaitu sombong merasa luhur

Adapun makna istilah penjelasannya

Yaitu menetapkan pada dirinya kebajikannya,

Ada sifat baik atau keluhuran

71
Sebab banyak harta dan kepandaian.

Lan satuhune wong netepi lakune,

Kelawan penggawe batil kang ala nyatane

Lan takabur angina saking hak hukumane,

Iku kufur kaduwe wong iku ilang imane.

Artinya:

Dan sebenarnya orang yang melakukan perbuatan,

Terhadap perbuatan batil yang jelek kenyataannya

7. Hasud

Hasud tegese makna tarojumah anane,

Iku drengki istilah syara’ artine

Iku ngarep- arep ilange nikmate pengeran,

Kang ono ing wong Islam kabecikane

Ilmu tuwin ibadah kang sah jujur,

Tuwin arto lan saumpamane tinutur.

Artinya:

72
Hasud arti terjemah adanya adalah dengki

Dalam istilah syara’ artinya

Yaitu berharap akan hilangnya nikmat Tuhan

Yang ada pada orang Islam,

Ilmu juga ibadah yang sah jujur,

Juga uang seumpamanya yang disebutkan.

Hasud dalam arti lafdhiyah diartikan “dengki”, sedang menurut istilah

mengharapkan hilangnya kenikmatan, ilmu , ibadah atau harta orang lain.

8. Sum’ah

Sum’ah tegese makna tarajumah tinemune,

Iku dirungok-rongoaken ing wong liyane,

Utawi makno istilah pertelane,

Yoiku agawe ibadah bener nyatane,

Ikhlas kerana Allah asih milahur,

Nuli maring liyane becik tinutur,

Supaya wong liyane gaweha luhur

Maring sarirane iku haram becampur.

73
Artinya :

Sum’ah arti makna terjemah jadinya

Yaitu memperdenGarkan kepada orang lain

Adapun makna istilah penjelasannya

Yaitu membuat ibadah benar kenyataanya ,

Ikhlas karena Allah memperhatikan

Kemudian kepada lainnya menuturkan kebaikan

Agar orang lain berbuat keluhuran

Kepada dirinya hal itu adalah haram bercampur.

Sum’ah secara lafdhiyah diartikan “memperdengarkan ibadahnya kepada orang lain”,

sedang menurut istilah diartikan dengan beribadah ikhlas dan khusuk kepada Allah

namun kebaikan perbuatannya disebut-sebut dihadapan orang agar dirinya berbuat

akhak luhur dan ahli ibadah.

Demikian sifat terpuji dan tercela yang merupakan pedoman moral dalam melengkapi

amaliyah lahiriyah dan batiniayah, sebagai pengamalan tasawuf. Kemudian puncak

menuju makrifat adalah khauf, mahabbah dan ma’rifat , dengan melalui akhwal

(sikap mental) dan maqamat (sikap hidup).

Tentang pemikiran tasawuf Rifa’i hanya sederhana, seperti pernyataannya;

Utawi ilmu tasawuf kapretelanan. Yaiku arep ngaweruhi ing setengan kelakuan,

74
sifat kang pinuji lan sifat kacelanan kang ana ing batin panggonan,

Supaya bener ati marang Allah nejane, Lan ilmu tasawuf kang wus tinutur,

Iku perintah ambeciki ati milahur, Maring Allah kang sineja ati sabenere.

Artinya:

Adapun ilmu tasawuf penjelasannya yaitu mengetahui sebagian dari perbuatan,

Sifat terpuji dan yang tercela. Yang ada dalam batin tempatnya,

Supaya benar hati kepada Allah tujuannya, dan ilmu tasawuf yang Sudah disebutkan,

yaitu perintah untuk memperbaiki hati, kepada Allah yang dituju hati sebenarnya.

Tasawuf adalah mengetahui sifat terpuji dan tercela sekaligus menjalankan sifat yang

terpuji dan menjauhi sifat tercela, agar hati kita benar-benar menuju kepada Allah.

Kemudian secara ringkas akhlak terpuji dan tercela telah diuraikan diatas yang

termaktub dalam ajaran Rifai, sebagai pernyataannya:

“Bab ikilah bab nyatakake tinemune,

Ilmu tasawuf kang diwajibake ngudi,

Ugo wajib dingamalaken sak kuwasane,

Ingatase mukallaf arep ngaweruhi ngilmune,

Setengah sifat kang pinuji dene syaringat,

Lan sifat kang cinelo ning ati maksiyat,

75
Utawi pertelane setengah sifat,

Kang pinuji dene syara’ mangfangat,

Yoiku wulung perkara iki wilangane,

Zuhad qana’ah sabar tawakal atine,

Mujahadah ridha syukur ikhlas nejane,

Khauf mahabbah ma’rifat kawengku maknane.

Utawi pertelane setengah sifat cinela,

Dene syarak kang ana ati dadi ala,

Yoiku wulung perkara ikilaH pertelane,

Hubbud dunnya tama’, itba’ul hawa katula,

‘Ujub riya’ takabbur, hasud sum’ah,

Ikulah mbesuk artine ugo winelah,

Insyaallah kelawan tulung allah,

Sarta berkah nabi Muhammad rasul kalenggah”.

Tujuan puncak ma’rifat kepada Allah adalah kondisi khauf, mahabbah dan ma’rifat,

dengan melakukan akhwal dan maqamat diatas melakukan akhlak pinuji dan

meninggalkan akhlak cela yang masing-masing jumlahnya delapan.

Khauf (takut) dia menyatakan :

Derajat parek iku Ma’rifat ning manah,

Cukule makrifah ngedohi panegah,

Kinarepan dipurih parek ing Allah luhur,

76
Iku wajib wedi lan asih anut milahur

Maring Allah taat saking haram mungkur,

Kuwasane netepi wajib tan mundur.

Artinya :

Derajat dekat itu makrifat dalam hati,

Munculnya makrifat menjauhi larangan,

Bertujuan mendekat Allah luhur,

Itu wajib takut dan cinta taat memperhati

Uraian di atas merupakan pikiran Kyai Rifa’i dalam bertasawufnya, sebagai cerminan

aturan dalam bertasawuf tarekat Rifa’iyah.

77
BAB III

PELAKSANAAN AJARAN RIFAI’IYAH DI KABUPATEN TEMANGGUNG

A. Demografi Komunitas Pengikut Rifa’iyah Kabupaten Temanggung

1. Letak Geografis Kabupaten Temanggung

Kabupaten Temanggung, merupakan kota kecil yang letaknya berada di tengah

dari daerah-daerah di propinsi Jawa Tengah. Kota daerahnya sejuk karena terletak di

antara garis 110 0 31’ - 110O 46’ 30” Bujur Timur dan garis 7 014’ - 7 032’ 35”

Lintang Selatan, dibatasi sebelah barat dengan Kabupaten Wonosobo, sebelah timur

dengan Kabupaten Semarang dan Kabupaten Magelang, sebelah selatan Kabupaten

Magelang dan sebelah utara Kabupaten Kendal dan Kabupaten Semarang.

2. Luas Daerah

Jarak terjauh dari Barat sampai ke ujung Timur : 43,437 km, dan dari Utara ke

Selatan : 24,375 km. Letak Kabupaten Temanggung hampir berada di tengah

bentangan panjang Kepulauan Indonesia dari arah barat ke timur. Karena letak

geografis tersebut, daerah ini termasuk beriklim tropis dengan dua (2) musim yaitu

musim hujan dan musim kemarau yang silih berganti sepanjang tahun. Kondisi

musim yang cukup bersahabat, sehingga sangat potensial sebagai pusat pendidikan,

bisnis dan industri, maupun pertanian maupun peternakan, bahkan pertanian padi

dapat panen 3 kali dalam setahun.

78
Secara administratif Kabupaten Temanggung terdiri dari 20 kecamatan yaitu;

Kecamatan Kledung, Bansari, Parakan, Kedu, Bulu, Tlogomulyo, Temanggung,

Tembarak, Selopampang, Kranggan, Pringsurat, Kaloran, Kandangan, Gemawang,

Jumo, Ngadirejo, Candiroto, Tretep, dan Wonoboyo, Bejen. Jarak terjauh dari pusat

kota ke utara adalah Ngalian yang masuk wilayah kecamatan Bejen, ke timur adalah

Pringsurat, sebelah barat desa Kledung berbatasan dengan kabupaten Wonosobo dan

terletak tengah-tengah lembah Sindoro-Sumbing merupakan daerah berudara dingin

sering berkabut karena ketinggiannya hampir 1300 m dari permukaan laut, sedangkan

sebelah selatan kecamatan Tembarak yang terletak di lereng Gunung Sumbing.

Dari dua puluh (20) kecamatan tersebut yang dipilih sebagai lokasi daerah penelitian,

adalah empat (4) kecamatan yaitu; kecamatan Candiroto, Bejen, Tretep dan

Wonoboyo, karena daerah ini merupakan basis Rifa’iyah dan sebagian banyak

penduduknya mengikuti ajarannya dalam perilaku kehidupannya. Sedangkan pusat

penghuni pengikut Rifa’iyah terbanyak adalah daerah kecamatan Wonoboyo, bahkan

dapat dikatakan mutlak penduduknya memakai ajaran Rifa’iyah dalam pola

kehidupan agma maupun sosial budayanya. Untuk lebih jelasnya dikemukakan tabel

dibawah ini:

Tabel 3.1

Batas Wilayah Komunitas Pengikut Rifa’iyah di Kabupaten Temanggung

No Nama

79
Wilayah Batas Wilayah

Utara Selatan Timur Barat

1 Temanggung Kendal, dan Semarang Magelang, Semarang, dan

Magelang. Wonosobo

2 Candiroto Bejen Ngadirejo Jumo Wonoboyo

3 Bejen Kendal, dan Semarang Ngadirejo Semarang Kendal

4 Tretep Kendal Candiroto Wonoboyo Wonosobo

5 Wonoboyo Kendal Candiroto Candiroto Tretep

Wilayah Candiroto, Bejen, Tretep dan Wonoboyo, terletak di kawasan Kawedanan

Candiroto termasuk bagian wilayah daerah Utara dari daerah Kabupaten

Temanggung, yang berdekatan dengan wilayah Kabupaten Kendal, Wonosobo dan

Semarang. Dengan demikian sudah sepatutnya jika daerah ini merupakan areal

pengembangan Rifa’iyah, karena lokasinya berdekatan dengan Kabupaten Kendal.

3. Wilayah Komunitas Pengikut Rifa’iyah Di Kabupaten Temanggung

Luas daerah Kabupaten Temanggung 87,065 km², Sedangkan untuk keempat daerah

kecamatan di atas yaitu daerah Kecamatan Candiroto luasnya 5, 994 km², Kecamatan

Bejen Bejen 6, 884 km², Kecamatan Tretep 3,365 km², dan Kecamatan Wonoboyo

4,398 km ². Dengan jumlah desa, RW dan RT dapat diperhatikan dalam tabel di

bawah ini :

Tabel 3.2

80
Wilayah Komunitas Pengikut Rifa’iyah di Kabupaten Temanggung

No Nama

Wilayah Luas Wilayah

(km 2) Jumlah Kecamatan atau Desa, RW, RT

Kec. Desa RW RT

1 Temanggung 87. 065 20 281 4. 020 167. 512

2 Candiroto 5. 994 - 13 392 7. 387

3 Bejen 6. 884 - 14 387 4. 533

4 Tretep 3. 365 - 9 438 4. 272

5 Wonoboyo 4. 398 - 13 408 5 560

Jika dilihat dari tabel di atas luas wilayah terbanyak jumlah wilayah dan terluas

daerahnya adalah Kecamatan Candiroto, sedangkan paling sedikit Kecamatan Bejen.

Walaupun pengikut Rifa’iyah paling banyak di Kecamatan Wonoboyo.

Lokasi Rifa’iyah menempati daerah seluas 20.641 km persegi atau 23,70 persen jika

dibanding dengan luas seluruh wilayah kabupeten Temanggung, atau 20 persen dari

jumlah kecamatan (4 kecamatan), yang terdiri dari 13 desa dari seluruh desa di empat

kecamatan (49 desa) tersebut atau 26,.53 persen yang tersebar di seluruh desa

keempat kecamatan di atas.

81
B. Kondisi Sosial Keagamaan Komunitas Pengikut Rifai’iyah Di Kabupaten

Temanggung

Berdasarkan hasil sensus tahun 2002, jumlah penduduk Kabupaten Temanggung

tercatat sebesar 676. 912 jiwa dengan laki-laki 333. 803 jiwa dan perempuan 340.

109 jiwa sesuai dengan tabel di bawah ini:

Tabel 3.3

Jumlah Penduduk Komunitas Pengikut Rifa’iyah

No Nama Wilayah Penduduk

Jumlah Laki laki Perempuan

1 Temanggung 676. 912 333. 803 340. 109

2 Candiroto 28. 952 14. 141 14. 811

3 Bejen 17. 557 5. 725 8. 832

4 Tretep 18. 281 9. 032 9. 249

5 Wonoboyo 22. 711 11. 233 11. 475

Dari paparan tabel di atas dapat disebutkan bahwa pengikut Rifa’iyah di empat

kecamatan tersebut dapat dikalkulasikan sejumlah 12,92 persen dari jumlah jiwa

daerah Kabupaten Temanggung, atau 87. 501 jiwa. Sedangkan jumlah anggota

Rifa’iyah bila dibanding jumlah desa tersebut adalah 26.53 dari 87.501 jiwa, yaitu

23.214 jiwa, jika dihitung dari perhitungan jumlah kepala keluarga 5 jiwa per RT

adalah 46 428 RT. atau sejumlah 4. 643 KK.

82
Di daerah empat (4) kecamatan, yaitu; Candiroto, Bejen, Tretep, dan Wonoboyo bila

dibandingkan dengan wilayah kabupaten, jumlah lulusan sekolah dapat dilihat

dalam tabel di bawah ini :

Tabel 3.4

Kondisi Pendidikan Penduduk di Komunitas Pengikut Rifa’iyah

No Nama

Wilayah Lulusan

D IV/ S1 D 1,2,3SLTA SLTP SD BT Jumlah

1 Temanggung 5 139 10. 090 49 983 73.379 234. 506 233 930

616.027

2 Candiroto 127 329 1 610 2 992 11 058 10 349

26 465

3 Bejen 78 199 977 1 815 6 705 6 275

16 049

4 Tretep 19 91 447 1 286 7 284 7 584

16 711

5 Wonoboyo 24 113 556 1 597 9 048 9 422

20 760

Wilayah Temanggung utara adalah merupakan daerah pegunungan, sehingga dapat

diyakini bahwa pengikut Rifa’iyah sebagian besar adalah lulusan SD, kemudian

83
berlanjut SLTP dan SLTA, lulusan diatasnya masih langka. Hal ini disebabkan

kecuali jauhnya daerah pendidikan, juga dikerenakan sedikitnya minat untuk

melanjutkan keperguruan yang diatasnya, akibatnya dapat dikatakan jumlah

terbanyak adalah lulusan sekolah tingkat rendah. Namun diakhir tahun ini karena

perguruan tinggi didekatkan, maka banyak memberi peluang kepada mereka untuk

meningkatkan pendidikan sekolahnya. Sebagian banyak untuk melanjutkan

pendidikan, mereka memilih ke pesantren, utamanya yang memuat ajaran rifa’iyah

atau ke IAIN Semarang dan Yogyakarta.

Daerah Rifa’iyah adalah bermukim penduduk pegunungan dan pedalaman pedesaan,

sehingga jika melihat daftar di bawah ini, pengikut Rifa’iyah terbanyak bermata

pencaharian petani, kemudian dagang dan jasa. Sedangkan untuk data mata

pencaharian penduduk Temanggung, Candiroto, Bejen, Tretep dan Wonoboyo

berturut-turut petani, industri, buruh bangunan, dagang, angkutan, trasportasi, jasa,

dan lain-lain dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 3.5

Mata Pencaharian Komunitas Pengikut Rifa’iyah

No Nama

Kab. Kec. Mata Pencaharian

Tani Industri Bangunan Dagang Angkutan

Jasa dll; Jumlah

84
1 Temanggung 253 982 18 326 12.925 46 957 6 250 25 414 7 211

371 105

2 Candiroto 14 420 12 406 998 171 497 99

16 713

3 Bejen 8 650 74 243 398 103 298 61 10 027

4 Tretep 4 492 48 276 319 33 148 36 10 352

5 Wonoboyo 11 973 19 347 403 41 186 45

13 554

Dilihat dari ragam keagamaan masyarakat Temanggung, mayoritas beragama Islam

(muslim), yakni 92,86 % dengan perbandingan; 2,80 % pemeluk Kristen 2,14 %

pemeluk katolik 0,03% pemeluk Hindu, dan 1,70 % pemeluk Budha. Sedangkan

untuk empat kecamatan yaitu; Candiroto, Bejen, Tretep, dan Wonoboyo mayoritas

beragama Islam (muslim) yakni; 12,18% dengan perbandingan 0,30% pemeluk

Kristen 0,29% pemeluk Katolik 0,03% pemeluk Hindu, dan 0,10% pemeluk Budha.

Untuk lebih kongkritnya dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 3.6

Pemeluk Agama di Komunitas Pengikut Rifa’iyah

No Nama

Kab. Kec. Pemeluk Agama

Islam Kristen Katolik Hindu Budha

85
1 Temanggung 628 610 18 960 14 547 225 11 570

2 Candiroto 25 345 1 568 1 447 206 386

3 Bejen 17 065 139 59 - 294

4 Tretep 17 609 227 445 - -

5 Wonoboyo 22 479 141 36 - 55

Dari tabel di atas umat Islam (muslim) merupakan jumlah mayoritas di Kabupaten

Temanggung dan sekitarnya, selanjutnya berturut-turut Kristen, Katolik, Hindu, dan

Budha.

Begitu juga, jumlah sarana dan prasarana ibadah dapat dilihat pada tabel di bawah ini

Tabel 3.7

Sarana dan Prasarana Ibadah Komunitas Pengikut Rifa’iyah

No Nama

Wilayah Sarana Ibadah Pondok dan Santri

Langgar Masjid Pondok santri

1 Temanggung 1 532 1 263 79 7 205

2 Candiroto 55 64 3 329

3 Bejen 28 39 - -

4 Tretep 83 34 - -

5 Wonoboyo 67 51 4 100

86
Dari tabel di atas dapat disebutkan bahwa konteks pembangunan bidang agama

(Islam), terdapat perkembangan yang cukup signifikan dalam pola pembinaan

keagamaan. Indikasi tersebut dapat dilihat, salah satunya pada perbandingan jumlah

sarana ibadah, pemeluk agama dan pondok pesantren. Di samping sebagai tempat

ibadah masyarakat muslim juga berfungsi sebagai tempat pengajian, pendidikan

agama khususnya bagi anak-anak dalam belajar Al-Qur’an dan agama.

C. Jaringan Pengikut Rifa’iyah di Kabupaten Temanggung

1. Asal Usul Terbentuknya Jaringan Rifaiyah

Kyai Ilham termasuk murid pertama Kyai Haji Ahmad Rifa’i di desa Kalisalak,

bermukim di desa Kalisaren wilayah Kabupaten Kendal, kehidupannya menjadi

pedagang keliling di daerah kecamatan Tretep dan sekitarnya, lokasi wilayah utara

Kabupaten Temanggung. Di samping menawarkan dagangan dia mengunjungi

rumah-rumah penduduk melakukan da’wah bi al-qaul dengan mengenalkan kitab-

kitab ajaran gurunya. Selanjutnya kyai sering mengajak murid-muridnya memberikan

ceramah-ceramah pengajian di daerah lingkungan Kecamatan Tretep diantaranya

Kyai Aghus dan seorang lagi Kyai Basari dengan dasar mengembangkan ajaran

Rifa’iyah ke daerah Kecamatan Tretep dan Wonoboyo.

Tak aral lagi tumbuhlah anggota masyarakat yang sepaham ingin mengetahui ajaran

ini lebih mendalam, yang kemudian dianggap sebagai murid pertama dari daerah

Temanggung dengan mengikuti jejak serta mengirim utusan untuk mengkaaji lebih

87
dalam kepusat pemukiman kyai yaitu; Kalisalak. Perkembangan selanjutnya tumbuh

anggota-angota lain yang membentuk cabang pengajaran Rifa’yah secara berjenjang

dan tumbuh subur murid-murid baru di daerah sekitar Tretep, bahkan meluas ke

daerah timur, sehingga menjangkau daerah Kecamatan Bejen dan Candiroto.

Sekaligus di antara desa-desa yang dijangkau para da’i Rifa’iyah terbentuk semacam

tarikat tradisional sesuai dengan kelompok tarikat gurunya. Pengembangan tarikat ini

disebarkan oleh tokoh-tokoh baru Rifa’iyah dan sekaligus menyatakan dirinya

sebagai santri Rifa’iyah, diantaranya; Kyai Makhfudh (Bendungan), Kyai Djupri

(Batok), Kyai Mukhsin (Wonoboyo), dan murid lainnya adalah; Kyai Abdul Razaq,

H Rusdi yaitu mertua H. Ikhsan (Nangsri), Kyai Soleh (Limbagan), Kyai Abdullah

Beni, Kyai Bahri.

Kemudian dari murid sebanyak itu berkembang melalui alur perkawinan,

perpindahan penduduk maupun keturunan-keturunannya, sehingga kelompok

Rifa’iyah semakin berkembang dan mulai muncul tokoh-tokoh periode selanjutnya

diantaranya: H. Ridwan (Seneng), Kyai Abdullah, Kyai Rokhani (Purwosari), Kyai

Ahmad (Simbang), Kyai Minwar dari Wonoboyo pindah ke Nangsri, Kyai Ilyas

(Batok, Wonoboyo), Kyai Sukemi.

Periode pengembangan selanjutnya, diantaranya: H Syam Sukur (Joho), Kyai H.

Sutardi (Nangsri), Kyai Makhsun (Wonoboyo), Mab’uny (Simbang), H. Wardoyo

(Purwosari), Kyai Zuhri dan Daroji (Tegalsari), dan kemudian sambung bersambung

beranak-bercucu, pindah tempat ataupun menimba ilmu, berkembang sebagai tokoh

88
di samping kurun di atas masih segar bugar, ikut mengembangkan santri Rifa’iyah

diantaranya: Kyai H. Solihin, Kyai Wahid, K, Sihabuddin, Kyai Muh Hisyam, Kyai

Faishol, Kyai Imbuh, Kyai Yasin, Kyai Sabiqun, Yasman, Surahmad, Aminuddin,

Kyai Khabib dan lain-lainnya. Sampai kini santri dari pengikut Tarojumah

berkembang di daerah Tretep, Wonoboyo, Candiroto dan Bejen. Untuk

mengkoordinir dan pengikat jaringan dan keutuhan pembinaan kegiatan dan perilaku

umat Rifa’iyah dibentuk susunan organisasi kepengurusan Rifa’iyah di Kabupaten

Temanggung.

2. Susunan Organisasi Rifa’iyah Cabang Temanggung

Ketua Umum : Kyai Imbuh Jumali.

Ketua I : Kyai Nur Yasin

Ketua II : Kyai Muhyiddin

Sekertaris I : Ustad Shobiqun

Sekertaris II : Imam Santoso

Bendahara I : Ustad Rokhmad

Bendahara II : Ustad Soleh

Ketua Bidang

1. Kaderisasi : 1. Sobirun, 2 Walmuji.

2. Syari’ah/ Sosial : 1. Ustad Syamsul Ma’arif, 2. Amin.

3. Pendidikan/ Dakwah : 1. Ilham, 2. Sobikhun.

4. Seni/ Budaya : 1. Ustad Zakaria al-Amin, 2. Ustad Fuad Arifin.

89
5. Humas/ Publikasi : 1. Samhudi 2. Fatkhur- Rozi.

6. Usaha/ Koperasi : 1. Suroso 2. Fatkhur- Rohman.

7. Litbang : 1. Amin Wasthoni, 2. Imron Mujahidin

3. Wilayah / Areal Pengikut Jama’ah Rifa’iyah Di Kabupaten Temanggung.

Wilayah Rifa’iyah tersebar di tiga belas desa di empat wilayah Kabupaten

Temanggung, untuk jelasnya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini;

Tabel 3.8

Wilayah Jamaah Pengikut Rifa’iyah di Kabupaten Temanggung

Kecamatan Desa Ranting Jumlah KK Desa. Kec.

Tretep Bendungan Bendungan 80

Dadapan 50

Gemawang 30 160 160

Wonoboyo Wonoboyo Wonoboyo 200

Kleseman 130

Joho 80 410

Kebonsari Kebonsari 75

Bantengan 30

Bendan-Ringinsari 80

Wonorejo 125

Pugeran/ Beteng 20

Dengok 15 345

90
Pateken Bongso Kidul 30

Seneng 80 110

Semen Semen 40

Jetak 15 55

Tening Nangsri I 60

Namgsri II 50

Semampir 25

Kemesu 40

Ngrecosari 25 200

Wonocoyo Wonocoyo 50

Sirno 10

Mujil 15

Gopakan 50 125

Pesantren Tegalsari 80

Pesantren 15 95

Rejosari Simbang Duwur 100

Simbang Tengah 60

Pomahan 70

Rejosari 15

Bulu 14 259

Purwosari Sened 190

91
Karanganyar 75

Sembir 10 275 1874

Candiroto Kentengsari Nglimbangan 25

Ngabeyan Ngabeyan 2 27 27

Bejen Kemuning Kemuning 15 15 15

Jumlah 2076 2076 2076

Apabila dikalkulasi menurut perhitungan jumlah RT/KK, maka umat pengikut

Rifa’iyah di Temanggung, seperti terlihat dalam daftar sebagai berikut.

Tabel 3.9

Jumlah Jamaah Pengikut Rifa’iyah Di Kabupaten Temanggung Berdasarkan RK/RT

No Nama

Wilayah Luas Daerah (km) Jumlah dan Perbandingan dengan Kabupaten

Kecamatan Desa RK RT

1 Temanggung 87. 065 20 281 4020 167 512

20. 641 4 13 21 752

Persen 23,70 0,20 4,62 12,98

2 Candiroto 5. 994 - 13 392 7 387

2 27

Persen 15,38 0,36

92
3 Bejen 6. 884 - 14 387 4 533

1 15

Persen 7,14 0,33

4 Tretep 3. 365 - 9 438 4 272

1 160

Persen 11,11 3,74

5 Wonoboyo 4. 398 - 13 408 5 560

9 1 874

Persen 69,23 33,70

Dari data yang tersedia di atas dapat diketahui bahwa luas daerah Tarajumah secara

keseluruhan di wilayah Kabupaten Temanggung adalah: 0,20 % dari seluruh

wilayah Kecamatan (Kabupaten), 4,62 % dari seluruh wilayah Desa, dan 12,98 %

dari seluruh jumlah Kepala Keluarga.

Jumlah anggota dan data mata pencaharian, lulus sekolah sampai sekarang belum

didata secara rinci, merupakan pengikut terbanyak adalah di Kecamatan Wonoboyo.

D. Perkembangan Jamaah Pengikut Rifa’iyah Di Kabupaten Temanggung

93
Keorganisasian Rifaiyah, sampai kini terus berkembang walaupun agak tersendat-

sendat perkembangannya. Perkembangan umat Rifa’iyah di Kabupaten Temanggung

dapat dibagi menjadi 3 periode: periode pertama, Periode awal sekitar tahun 1901.

Permulaan perkembangan adalah sebatas mengikuti ajaran Rifa’iyah berbentuk

menimba ilmu ajaran Rifa’i yang bentuk mengkaji ajaran agama melalui kunjungan

rumah K. Ilham, dengan menjajakan perdagangan berkeliling, yang kemudian dengan

mengirim calon-calon muridnya ke kawasan Kalisalak untuk mengkaji lebih dalam,

sehingga semata-mata perkembangan tahap pertama terbatas pengkajian ajaran yang

dibawa para murid-murid pertama.

Periode kedua, perkembangan ajaran Rifaiyah dilakukan melalui pengajian-

pengajian keliling oleh peserta /pengikut keluarga yang dikirimkan oleh keluarga ke

Kalisalak, dan mengirim anak-anak keturunan mereka untuk belajar kitab-kitab yang

diajarkan oleh Kyai. Disamping itu perkembangan kedua ini berkisar didaerah

tetangga dan daerah lokasi pengajian selapanan yang dikunjungi oleh para da’i. Pada

tahap ini belum dirinci tentang keanggotaan Rifa’iyah, sebagian banyak hanya

mengikuti aturan aturan yang diajarkan yang ditulis didalam kitab-kitab Rifa’iyah.

Kemudian yang ditekankan pada awal perkembangan periode ini sekitar masalah

usuluddin dan sebagian besar mendalami permasalahan fiqhiyah, berkisar pada

keimanan dan kesempurnaan beribadah, utamanya dalam hal peraturan ibadah shalat.

Kemudian tentang keimanan/usuluddin terutama tentang rukun iman, dan mulai

berpengaruh ajaran tentang rukun iman yang satu yakni syahadat dan selainnya

94
hanyalah merupakan pelaksananan syahadah. Diutamakan pada tahapan ini para

santri dapat mengkaji dan memahami tentang 10 kitab utama.

Periode ketiga, atau tahapan ketiga adalah perkembangan ideologi yang ditanamkan

oleh para da’i, dan pemahaman ajaran yang dikembangkan dengan kitab syafi’iyah

yang lain. Perkembangan umat selanjutnya adalah dengan mendaftar dan membentuk

organisasi dalam mengorganisir umat.

Perluasan jajaran pengikut Rifa’iyah dilakukan dengan perkembangan penduduk

melaui perkawinan antar anggota keluarga Rifa’iyah, sesuai yang dilakukan Kyai

Rifa’i di Kalisalak, dimana ia mengawinkan anaknya kepada aggota Rifa’iyah.

Di sisi lain perkembangan dilakukan oleh perpindahan akibat perkawinan atau

perpindahan penduduk kedaerah lain. Perkembangan terakhir jika dilihat dari daftar

pengikut organisasi Rifa’iyah adalah pernyataan diri dari masing-masing peserta

pengajian rutin dari umat Rifai dengan diberi tanda anggota, tetapi sebagian besar

umat Rifai berkisar akibat perkawinan dan perpindahan tempat pemukiman.

95
96
97
Bab IV

a. Pengamalan/ Penerapan tasawuf Rifa’iyah pada umatnya.

Sebagaimana dituturkan pada konsepsi tasawuf Rifa’iyah, dimana setiap umat

Rifa’iyah, pada tingkat awal dalam mendalami ajaran Rifa’iyah, ditekankan pada

teori penghafalan syair-syair pada kitab Rifa’iyah, utamanya dalam hal pengamalan

tasawuf adalah syair tentang arti tasawuf dan definisinya.

Kemudian tentang delapan akhlak terpuji dan akhlak tercela

Dapat dikatakan disini bahwa sebagian besar dari umat Rifa’iyah mesti hafal dengan

lancar tentang syair-syair yang dialunkan tentang kedelapan sifat terpuji dan tercela.

Mengenahi penerapan kedelapan sifat tersebut, semata-mata hanyalah poengalam

jkarena merupakan implementasi hasil pengajaran bentuk ucapan, kemnudian

98
terealisasi dalam bentuk kehidupan dimasyarakat, dengan dukungan penjelasan dari

guru atau da’i yang mengajar didaerah Rifa’iyah.

Jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya penerapan tasawuf hanyalah naluri alamiyah

semata, bukan karena melaksanakan hasil kajian kitab Rifa’iyah.

Kenyataan yang dilihat dilapangan, walaupun didaerah pedesaan yang didaerah itu

bermukim umat Rifa’iyah dan bukan tidak banyak perbedaan pengamalannya, sebab

hal ini sudah menjadi perbuatan naluriyah dari dasar kehidupan sosial didaerahnya

ataupun budaya setempat.

b. Faktor pendukung perkembangan ajaran Rifa’iyah.

APABILA DIFAHAMI SECARA TERINCI FAKTOR-FAKTOR

PENDUKUNG PERKEMBANGAN UMAT RIFA’IYAH DAPAT DIJELASKAN

DARI BEBERAPA SEGI DIANTARANYA:

1. Faktor keorganisasian

Lembaga rifa’iyah susunan kepengurusan maupun anggotanya tersebar luas diareal

empat kecamatan, berarti setiap daerah mesti terdapat tokoh ataupum pemuka sebagai

penguat ataupun pembimbing kepercayaaan, Dalam kenyataan kehidupan saosial

dalam kelembagaan ini dapat dikatakan dengan jujur bahwa; Semua anggota yang

telah mengakui dirinya dalam organisasi Rifa’iyah dalam setiap bentuk kegiatan yang

timbul dari kjeputusan maupun ketetapan dari lembaga Rifa’iyah, setiap anggota

maupun masyarakat/pengikutnya secara sadar saling dukung mendukung atas

kelancaran program kelompoknya, bahkan dalam setiap kegiatan sosial , kesadaran

99
untuk sarana terwujudnya perkembangan maupun kemajuan organisasi sangat

menyolok dukungan baik dorongan moril maupun spirituil dengan dasar menyadari

tentang kesatuan paham organisasinya.

2. Faktor ideologi

Ideologi dari inti ajaran Rifa’iyah sangat kuat didalam jiwa mereka , bahkan

setiap langkah maupun dalam berperilaku kehidupannya, disamping mengembangkan

dan menjalankan ajaran ssesuai yang tertulis dalam kitab rifa’iyah yang dijalankan

secara rapi dan rotin, utamanya yang bisa diperhatikan realisasi dalam lapangan fiqh

dan usul ad-din, sebagai realisasi ajaran tasawufnya.

DELAPAN AJARAN TASAWWUF YANG DIAJARKAN SEBAGAI

PEDOMAN POKOK, SUDAH DIANGGAP SEBAGAI MAKANAN HARIAN

DALAM MENJALANKAN PERILAKU KEHIDUPAN, SEBAGAI

PANGEJOWANTAHAN SYAIR-SYAIR TENTANG TASAWWUF, SELARAS

DENGAN PENGAMALAN HUKUM SYAR’I, SEHINGGA TETAP MENGIKUTI

PEDOMAN, WALAUPUN SEBAGIAN KECIL TETAP MENYESUAIKAN

DENGAN PENGARUH LINGKUNGAN SOSIAL DIMASYARAKAT.

Perbedaan dalam ideologi didaerah lingkungan rifa’iyah memang masih sangat

berpengaruh, demikian juga sebagian besar didalam intern anggota rifa’yahpun

sangat bergantung kepada kwalitas maupun pemahaman tentang pendalaman ajaran

bagi anggota Rifa’iyah dan kwantitas dilingkungan pendukung Rifa’iyah.

100
Dapat diperhatikan untuk penduduk daerah Rifa’iyah mutlaq, kehidupannya

tampak harmonis dan kerukunan maupun kegotong-royongan, baik dalam lapangan

ibadah maupun bermuamalah tetap memperhatikan ajarannya. Sedangkan untuk

daerah yang berfariasi ideologi maupun kwantitas anggota/umat Rifa’iyah, penerapan

pedoman hanya berlaku bagi keluarganya, sedang untuk tasorruf keluar tetap

menyesuaikan adat saetempat. Dapat dikatakan bagi anggota Rifa’iyah yang minus

anggotanya kegiatan Rifa’iyah kurang berkembang seperti didaerah Desa Loning

kecamatan Bejen dan desa Ngabeyan kecamatan Candiroto, sehingga aktifitas sosial

budayanya hampir terpengaruh dengan kondisi lingkungannya.

3. Faktor ikatan perkawinan dan kekeluargaan.

Dengan berkembangnya umat Rifa’iyah melalui hubungan perkawinan, sebagian

besar untuk pasangan keluarga baru yang berasal dari selain Rifa’iyah, sebagian besar

dapat dipastikan semua anggota keluarga mengikuti aturan dan ajaran Rifa’i dalam

perilaku kehidupan, yang berarti perkembangan pendukung dominan dalam

pengembangan pengikut ajaran Rifa’iyah sebagian besar terletak akibat tali

perkawinan ini.

101
102
BAB IV

ANALISA

IMPLEMENTASI AJARAN RIFAIYAH

A. Ajaran Tasawuf Kyai Haji Rifa’i.

Sebagaimana tersebut dalam pernyataan ulama. Tasawuf itu merupakan usaha akal

manusia untuk memahami realitas, dan dapat merasa senang apabila dapat sampai

kepada Allah di dalam mencapai sedekat-dekatnya pada Allah.

Pengetahuan tentang tasawuf yang secara garis besar dibagi menjadi dua macam,

yakni; ta’ammuli dan ’amali. Tasawuf ta’ammuli bertumpu pada pemikiran

mendalam tentang realitas, menuruti jejak al-Hallaj, Suhrawardi, dan Ibnu Arabi.

Tasawuf ’amali yang menitikberatkan pada usaha dan latihan atau mengutamakan

amaliah dan latihan dalam rangka mencapai kedekatan batin dengan Allah,

sebagaimana yang dilakukan Hasan al-Basri, Junaid al-Baghdadi dan Al-Ghazali.

Hasan al-Basri menekankan kezuhudan dalam kehidupan di dunia, Husain al-Nuri

menyatakan bahwa pelaku tasawuf merupakan pengamal akhlak sesuai dengan

akhlak Allah, demikian juga Junaid menekankan tentang pentingnya tasawuf amali,

dan memperlihatkan sikap cukup keras terhadap orang yang mengabaikan syari’at.

Ketika diceritakan kepadanya tentang seorang yang telah mencapai makrifat

kemudian dibebaskan oleh Allah dari amal ibadah. Ia justru berkata bahwa orang-

orang tersebut sebenarnya berada dalam lumuran dosa dan mereka lebih berbahaya

103
daripada pencuri dan pembuat keonaran. Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-

Dhalal menyatakan pengalaman ruhaninya ketika sampai pada kesimpulan akan

pentingnya tasawuf setelah syari’at. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa dengan

tasawuf akan dapat diperoleh hasil yang tidak dapat dicapai oleh ilmu lain. Al-

Ghazali menyatakan bahwa asensi tasawuf adalah mengosongkan batin atau

membersihkan hati dari kotoran hawa nafsu dan amarah sehinggga hati menjadi suci

dan bersih. Hakikat tidak akan dapat diperoleh tanpa melalui syariat. Pandangan ini

merupakan ciri kecenderungan tasawuf amali sebagai reaksi terhadap tasawuf yang

hanya mementingkan aspek batiniah dan mengabaikan syari’at. Dia membagi ilmu

menjadi dua hal, yaitu ilmu dzahir dan ilmu batin, yang masuk dalam kategori ilmu

dzahir adalah ilmu fiqh yang bertalian dengan hukum. Sedangkan ilmu batin adalah

ushuluddin dan tasawuf. Fiqh dikatakan sebagai ilmu dzahir karena berkaitan dengan

ibadah secara lahiriah yang merupakan ciri bahwa tasawufnya berbentuk tasawuf

amali, yakni fiqih beriringan dengan pengamalan tasawuf.

Keterkaitan hubungan antara syari’at dan hakikat secara global memiliki unsur

kesamaan dengan Junaid al-Baghdadi, dan al-Ghazali. Rifa’i menyatakan bahwa

belajar ilmu tasawuf dan mengamalkannya adalah wajib dan bahkan orang yang

mengabaikan dapat menjadi kafir dari imannya. Bahkan dalam syairnya menjelaskan

bahwa pandangannya mengenai pentingnya hubungan antara syari’at dan hakikat,

yang sejajar dengan pandangan Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali.

104
Penekanan pada aspek amaliah inilah maka tasawuf mereka terkesan menciptakan

keseimbangan antara syari’at dan hakikat. Al-Qusyairi sebagai pengembang tradisi

al-Ghazali juga menekankan bahwa syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat

akan tertolak, hakikat yang tidak diperkuat dengan syari’at juga akan tertolak.

Syari’at datang dengan taklif kepada makhluk, hakikat muncul dari pengembaraan

kepada yang Haq (Allah). Kedekatan kepada Allah dapat dicapai apabila seseorang

telah melaksanakan amaliah lahiriah berupa syari’at, dan dilanjutkan hakikat berupa

amaliah batiniah. Syariat berisi ketaatan pada agama dalam bentuk melaksanakan

perintah dan menjauhi larangan, tarikat menghiasi diri dengan sifat wara’ dan

melaksanakan riyadhah, sedangkan hakikat adalah sampainya hamba pada Allah.

Syariat diumpamakan sebagai perahu, tarikat sebagai laut yang tak bertepi, dan

hakikat diumpamakan mutiara yang ada didasar laut, mencapai hakikat tidak akan

dapat diperoleh tanpa melalui syariat.

Di Indonesia, kehidupan tasawuf umumnya bertolak pada keseimbangan antara

syari’at dan hakikat bermuara pada gagasan al-Ghazali, yakni mengemukakan

pentingnya aspek syari’at sebelum seseorang memasuki dunia hakikat, yang dapat

ditemukan pada kitab-kitab seperti Fath al-Mu’in dan Syarh al-Hikam yang

menekankan hubungan erat antara syariat, tarikat, dan hakikat.

Pemikiran tasawuf Kiai Rifa’i pada dasarnya juga merupakan bagian dari gagasan

untuk mempertahankan hubungan keseimbangan antara syariat, tarikat dan hakikat

yang dirumuskan dengan istilah ushul, fiqh, dan Tasawuf, namun gagasan tasawuf

105
Kiai Rifa’i hanya sebatas ajaran pembinaan akhlak melalui takhalli, dan tahalli, dan

dilanjutkan dengan tajalli dalam rangka mencapai taqarrub pada Allah yakni

ma’rifatullah. Ma’rifat dan taqarrub yang dapat dilakukan siapapun tanpa harus

melalui tata-aturan sebagaimana yang lazim terjadi dalam dunia tarikat. Namun

pernyataan Kiai Rifa’i, dalam tarekat mengakui dirinya sebagai penganut tarikat

Ahlussunni (ikilah kitab saking Haji Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum

Syafi’iyah madzhabe Ahlussunni tarekate) tanpa membentuk lembaga tarikat.

Sekalipun tidak membentuk tarikat, namun pemikiran tasawufnya memberikan

elemen moral bagi para muridnya dalam melaksanakan tasawuf.

Pandangan tasawuf Kiai Rifa’i berisi tiga masalah pokok, yaitu; keseimbangan antara

syariat dan hakikat, tasawuf ‘amali dan falsafi, dan tarikat. Hubungan antara syari’at

dan hakikat banyak dibicarakan Kiai Rifa’i dengan menggunakan istilah ushul, fiqh,

dan tasawuf dalam beberapa kitabnya seperti Ri’ayah al-Himmah, Abyan al-Hawa’ij,

Husn al-Mithalab, dan Asn al-Miqasad. Syari’at berkaitan dengan hal-hal yang

bersifat jasmani, tentang tata cara berhubungan dengan Allah, sedangkan hakikat

lebih banyak berhubungan dengan akhwal ruhani yang menghiasi ibadah fisik. Sesuai

pernyataannya: ‘Seorang sufi sudah barang tentu menguasai ilmu fiqh, namun

seorang ahli fiqh belum tentu menguasai tasawuf.’ Maksudnya adalah seorang yang

telah mendalami ilmu tasawuf berarti dia telah mendalami ilmu fiqh. Dua ilmu ini

harus dipelajari secara urut dimulai dari masalah ushuluddin, kemudian fiqh, dan

106
pada akhirnya tasawuf. Seseorang yang belajar tasawuf tanpa melalui tahapan belajar

fiqh, dianggap tidak sah ketaatannya.

Secara rinci pemikiran tasawuf KH. Ahmad Rifa’i yang memuat tentang tasawuf

sejumlah enam kitab yakni: Ahsan al-Mithalab, Asn al-Miqhasad, Jam’ al-Masâil,

Abyan al-Hawaij, Ri’ayah al-Himmah, dan As’ad merupakan realisasi ilmunya yang

dijelaskan dengan sya’ir-syairnya.

Keseluruhan pandangan Kyai Rifai mengenai pentingnya hubungan antara syari’at

dan hakikat ini tertulis di dalam kitabnya yang membicarakan ushul, fiqh, dan

tasawuf secara sekaligus, seperti Ri’ayah al-Himmah, Abyan al-Hawaij, Ahdz al-

Maqasid dan Husn al-Mithalab. Hal ini dimaksudkan agar tiga ilmu tersebut

mendapat prioritas untuk dipelajari secara bersama-sama. Kitab-kitab tersebut amat

berpengaruh terhadap pola kehidupan pengikut Rifa’iyah hingga sekarang seperti

terlihat pada penampilan mereka yang mengesankan kesederhanaan masyarakat

pedesaan serta kemandirian mereka dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan

petunjuk pelaksanaan kitab-kitab tersebut. Seperti dinyatakan dalam syairnya,

Utawi ilmu tasawuf kapertelanan,

Yaiku ngaweruhi ing setengah kelakuan,

Sifat kang pinuji lan kang kacelanan,

Kang ana ing dalem batin panggonan

Supaya bener ati marang Allah nejane,

Lan ilmu tasawuf kang wus tinutur,

107
Iku perintah ambeciki ati milahur,

Maring Allah kang sineja ati sabenere.

Artinya:

Adapun ilmu tasawuf penjelasannya,

Yaitu mengetahui sebagian dari perbuatan,

Sifat yang terpuji dan yang tercela

Yang ada dalam batin tempatnya,

Supaya benar dalam kepada Allah tujuannya,

Dan ilmu tasawuf yang sudah disebutkan

Yaitu perintah untuk memperbaiki hati

Kepada Allah yang dituju hati sebenarnya.

Utawi pertelane setengah sifat,

Kang pinuji dene syara’ mangfangat,

Yoiku wulung perkara iki wilangane,

Zuhad, qana’ah, sabar, tawakal atine

Mujahadah ridha syukur ikhlas nejane,

Khauf mahabah ma’rifat kawengku maknane.

Utawi pertelane setengah sifat cinela,

Dene syarak kang ana ati dadi ala,

108
Yoiku wulung perkara ikilah peRtelane,

Hubbud dunya tama’, itba’ul hawa katula.

‘Ujub riya’takabbur hasud sum’ah,

Artinya:

Adapun penjelasan sebagian sifat

Yang terpuji oleh syara’ manfaat

Yaitu delapan perkara bilangannya

Zuhud, qana’ah, sabar, tawakal hatinya

Mujahadah ridha syukur ikhlas tujuannya

Khauf mahabbah makrifat sudah terkandung maknanya.

Adapun penjelasan sebagian sifat yang tecela,

Oleh syara’ yang dihati menjadi jelek

Yaitu delapan perkara inilah penjelasannya

Hubb al- dunya tamak itba’ul hawa,

Ujub riya’ takabbur hasud sum’ah

Untuk mencapai kepada kesempurnaan kehidupan dunia dan menuju kepada akhirat

ia juga menekankan tiga jalan jalan yakni hubungan harmonis antara syariat, tarikat

dan hakikat yang dirumuskan dengan istilah ushul, fiqh, dan tasawuf. Kiai Rifa’i pun

109
menekankan hubungan erat antara syariat, tarikat, dan hakikat, kutipan salah satu

syair yang terkenal,yaitu;

Man tasawwafa wa lam yatafaqqaha faqad tazandaqa

Wa man tafaqqaha wa lam yatasawafa faqad tafassaqa

Wa man jama’a bainahuma faqad tahaqaqa.

Artinya :

Barang siapa bertasawuf tetapi tidak mengamalkan fiqh maka ia adalah zindiq,

Barang siapa melaksanakan fiqh tetapi tidak bertasawuf maka ia fasiq,

Dan barang siapa menggabungkan antara keduanya, ia akan mendapatkan hakikat.

Pemikiran tasawuf KH. Ahmad Rifa’i terealisasi berupa latihan ruhani dengan empat

amaliyah yakni; 1. pengisian diri dengan sifat terpuji (tahalli), 2. pengosongan sifat

tercela (takhalli), yang kemudian ditindak-lanjuti dengan 3. kedekatan kepada Allah

(taqarrub), dan 4. pengenalan Allah dengan mata hati (makrifat). Amaliah terpuji

meliputi delapan hal, yaitu; zuhud, qana’ah, sabar, tawakal, mujahadah, ridha,

syukur, dan ikhlas.

Menurut Rifa’i, zuhud lebih menekankan pada aspek pengendalian hati daripada

aspek perilaku yang harus ditampilkan. Zuhud itu pada hakikatnya adalah

pengendalian hati terhadap keduniaan, artinya tidak tergantung kepada hartanya

110
walaupun berlimpah ruah di sisinya, tanpa melakukan uzlah, dengan menarik diri dari

keramaian, justru mengajak lingkungannya untuk mensiarkan agama dalam rangka

mendekatkan diri kepada Tuhan. seperti pernyataannya:

Lan ora minarahaken kinaweruhan,

Kerana ikulah wong lanang kapinteran

‘Uzlah ngedohi saking menuso kumpulan,

Balik jenengaken sarirane kawajibane

Pitutur kadwe makhluke Allah tinemune,

Ngajak-ajak ngangkat ing Allah agamane.

Artinya :

Telah diketahui tidak diperbolehkan,

Bagi orang laki-laki pandai

‘Uzlah menjauhi masyarakat

Sebaliknya mendirikan kewajiban

Memberi nasihat bagi mahluk Allah

Dan mengajak untuk menmgangkat agama Allah.

Selain menekankan pada aspek batin (hati), namun dalam rangka mencapai kondisi

zuhud ini ia memberikan penjelasan yang berkaitan dengan amaliah konkrit berupa

111
hubungan dengan Allah yang dilandasi dengan melaksanakan kewajiban dan

menjauhi segala macam yang diharamkan, memperhatikan kondisi umat yang

memerlukan bimbingan agama dan hal ini menjadi tanggung jawab serta kewajiban

bagi ‘ulama’. Penafsiran zuhud dengan yang tidak membelakangi dunia, bukan

berarti menganjurkan sikap untuk mengejarnya, tetapi memperbolehkannya sebatas

kebutuhan primair yang sifatnya mendesak. Seberapa jauh ukuran sesuatu dikatakan

mendesak, dia tidak memberikan penjelasan secara rinci. Ini berarti memiliki unsur

dinamis sejalan dengan tingkat kebudayaan suatu masyarakat. Tentang Qana’ah “hati

yang tenang” maksudnya adalah hati yang tenang memilih ridha Allah, mencari harta

dunia sesuai dengan kebutuhan untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhi

kemaksiatan, juga menyertakan penjelasan yang berisi pujian terhadap kefakiran, hal

ini terlihat sebagai upaya untuk memberikan berita gembira kepada mereka dengan

cara menafsirkan pengertian miskin dengan kemiskinan moral dan bukan kemiskinan

harta benda. Kemiskinan bukan karena ketiadaan harta, melainkan ketiadaan ilmu dan

amal, sekaligus ‘ulama’ dan haji fakir yang tidak menyingkir dari keharaman seperti

pernyataannya;

Ora nana miskin sebab tan duwe arta,

Lan tetapi aran miskin tan ilmu kacita

Lan ora ikhlas amal gerahita,

Kang tinemu manfaat akherat kabekta.

112
Artinya:

Tidak disebut miskin sebab tidak punya uang,

Tetapi orang miskin adalah orang yang tidak punya ilmu dan

Orang ikhlas adalah orang yang berpikiran bahwa amal itu

Hanya bermanfaat dibawa keakherat.

Setengah alim lan haji fakir kapiran,

Ora duwe arta agamane karusakan

Pada fasiq loba ing kendurenan,

Tan nejo nyingkir saking haram majlisan.

Artinya :

Ada sebagian dari orang alim dan haji fakir yang sial,

Tidak mempunyai harta dan agamanya rusak,

Sama fasik mencintai kenduri,

Dan tidak menyingkir dari majlis yang haram.

Pengertian qana’ah dalam tasawuf Kiai Rifa’i, lebih banyak menekankan aspek

pembelajaran hati agar memiliki sifat puas dengan keadaan apa-saja yang

menimpanya. Rela miskin jika memang harus miskin dan bisa menjadi orang kaya

113
yang selamat jika memang diberi kekayaan oleh Allah. Tentang sabar’’menanggung

penderitaan” adalah menanggung penderitaan yang mencakup tiga hal, pertama,

menanggung penderitaan karena menjalankan ibadah yang sesungguhnya, kedua

menanggung penderitaan karena tobat dan berusaha menjauhkan diri dari perbuatan

maksiat, dan ketiga menanggung penderitaan karena tertimpa suatu bencana di dunia

dan tidak mengeluh.

KH. Ahmad Rifa’i mengartikan tawakal sebagai “pasrah kepada Allah terhadap

seluruh pekerjaan”, sedangkan secara istilah adalah pasrah kepada seluruh apa yang

diwajibkan Allah dan menjauhi dari segala yang haram. Tawakal tanpa

meninggalkan ikhtiyar, bahkan usaha dengan sekuat tenaganya dengan maksud

menolak kemudharatan.

Mujahadah yakni: bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perbuatan, sedang arti

istilah adalah bersungguh-sungguh sekuat tenaga dalam melaksanakan perintah dan

menjauhi larangan, memerangi ajakan hawa nafsu dan berlindung kepada Allah dari

kafir laknat.

Ridha menurut Rifa’i diartikan: pertama, sikap rela menerima pemberian Allah,

kedua sikap rela menerima ketentuan hukum syariat secara ikhlas dan penuh syukur

diartikan dengan mengetahui segala nikmat Allah berupa nikmat, keimanan, dan

ketaatan dengan jalan: memuji Allah yang telah memberikan sandang pangan,

ditindaklanjuti dengan berbakti kepada Allah, yakni sesuai dengan pemahaman Al-

114
Qusyairi yakni: bersyukur dilakukan dengan lisan, anggota badan dan hati, selaras

dengan arti syair Rifa’i:

Terbilang orang membuang nikmatnya Allah,

Terhadap orang yang mengabdi pada orang salah,

Berpaling dari syukur nikmatnya Allah,

Orang sesat menyesatkan ikut disembah,

Ikut perintahnya dan meninggalkan larangannya-Nya,

Orang zalim diikuti dan menjadi Tuhannya.

Kemudian maqam terakhir ikhlas yang dijelaskan dengan pernyataan: “Berbuatlah

ikhlas, yaitu dalam ketaatan tidak bertujuan pada sesuatu selain mendekatkan diri

kepada Allah. janganlah sekali-kali punya pamrih dunia dalam mendekatkan kepada

Allah itu seperti mendapat pujian manusia atau yang sejenisnya. Dan hati-hatilah

terhadap riya’ yang akan merusak ibadah. arti ba’it syairnya;

Dan beribadahlah kamu semua dengan sungguh-sungguh,

Pada Allah ikhlas di dalam batin,

Dan jangan menyekutukan kamu semua,

Ibadah kepada Allah sedikit jangan sampai bercampur,

Menjadi kafir orang yang menyekutukan Allah.

Uraian pengosongan diri dari amaliah tercela (takhalli), diantaranya;

115
1) Mencintai Dunia ( hubb al-dunya)

Kyai Rifa’i mencela terhadap memperoleh dan menikmati keduniaan yaang dapat

membawa lupa pada akibat dan memberi peluang kepada pebuatan maksiat dan

keharaman sebaliknya yakni menyisihkan dunia dibolehkan asal tidak menjadikan

lupa terhadap akhirat.

Tamak oleh K. Rifa’i diartikan hati rakus terhadap dunia, sehingga tidak

memperhitungkan halal dan haram saja yang berakibat dosa besar, meremehkan

hukum syara’, artinya menjalankan kewajiban agama, sehingga dapat menyebabkan

kefasikan bagi dirinya, tanpa memandang kepada siapapun. Bahkan dinyatakan

bahwa tamak mengakibatkan seseorang tidak mempunyai sifat malu, walaupun harus

menghasut dan merendahkan sifat dirinya, dengan tujuan mendapatkan keduniaan,

sebab sifat lobanya kepada harta dunia. Sesuai dengan pernyataannya:

Akeh alim kekel fasik tan wirang isin,

Sebab loba donya sejane ing batin

Tan etung nanggung dosa agung,

Angger donyane kinasihdene tumenggung

Artinya :

Banyak alim kekal fasik tidak malu-malu,

Sebab rakus dunia hasratnya dalam batin,

Tidak mempertimbangkan menanggung dosa besar,

Asal dalam dunia dicintai oleh pemerintah.

116
Terhadap Qadhi ia menyatakan:

Dadi Qadhi ngawula maring tumenggung,

Merintah ing menungso dilulu kahitung

Alim fasik dadi guru mulyo rinubung,

Dilulu merintah ing akeh murid bingung

Pada rame- rame batalake sembahyang ,

Kang dadi pepeke syarat tan diwulang

Pada loba donya amrih rame kasawang,

Ngamale akeh maring neroko dicadang

Artinya:

Menjadi qadhi mengabdi kepada pemerintah,

Menyuruh kepada manusia diberi kebebasan terhitung,

Alim fasik menjadi guru mulia dikelilingi,

Diberi kebebasan menyuruh kepada banyak murid bingung,

Sama beramai-ramai membatalkan sembahyang,

Yang menjadi lengkap syarat tidak diajar,

Sama rakus kepada dunia agar ramai dilihat,

Amalnya banyak ke neraka dipersiapkan.

117
Dalam hal ini Rifa’i menekankan tentang seluruh manusia dianggap bertindak tamak

selama menyimpang dari akhlak dan menganggap fasik baginya.

Tentang Itba’ al-Hawa’ secara lafdiyah, adalah menuruti hawa nafsu sedang menurut

istilah yakni: menurut kejelekan hati dalam kemaksiatan dan keburukan hati,

melanggar yang diharamkan oleh hukum syara’, dengan mempertimbangkan bahwa

menuruti hawa nafsu mengakibatkan kesesatan, dan kekufuran, demikian juga dapat

mengakibatkan kemunafikan, menyimpang dari tuntunan Al-Qur’an, sebagaimana

pernyataan selanjutnya;

Orang berlaku salah pertama dalam perbuatannya

Yaitu mengikuti hawa nafsu yang dijadikan tuannya,

Itulah sifatnya orang munafik mardud imannya,

Tidak senang menerima syara’ hukumnya.

Begitu juga dalam hal munafik ia menerangkan bahwa mereka yang melanggar

hukum syara’ dan tiada menerima aturan syara’.

Ujub dalam arti lafdhiyah yaitu menganggap dirinya punya kelebihan pada batin

dirinya. Sedang makna istilah menganggap kebal pada dirinya terhadap siksa akhirat

karena perasaan kelebihan ibadahnya, Baginya seseorang dianggap ‘ujub walaupun

‘alim namun mengajak kesifat durhaka kepada Allah walaupun dianut olek khalayak.

Riya’ diartikan penyimpangan niat dalam ibadah kepada selain Allah, justru

mengarahkan ibadah kepada kehidupan keduniaan. Bahkan Kyai Rifa’i membagi

118
riya’ menjadi dua yakni riya’ khalis yang artinya melakukan perbuatan karena

condong kepada manusia dan riya’ syirik yaitu melakukan perbuatan karena manusia

dan Tuhan.

Takabur diartikan dengan merasa dirinya lebih tinggi dari orang lain dalam hal

keduniaan maupun kepandaian, menetapkan pada dirinya kebajikannya, ada sifat baik

atau keluhuran pangkatnya, sehingga dapat mengakibatkan perbuatan kefasikan dan

kekufuran, bahkan kehilangan imannya. Sebagaimana pernyataannya;

Sebab banyak harta dan kepandaian.

Dan sebenarnya orang yang melakukan perbuatan,

Terhadap perbuatan batil yang jelek kenyataannya

Dan takabur menghina dari kebenaran hukumnya,

Adalah kufur bagi orang tersebut hilang imannya.

Hasud dalam arti lafdhiyah adalah dengki, sedang arti istilahnya mengharapkan

hilangnya kenikmatan, ibadah atau harta orang lain, pernyataannya;

Sum’ah secara lafdhiyah diartikan memperdengarkan ibadahnya kepada orang lain,

sedang menurut istilah diartikan dengan beribadah ikhlas dan khusuk kepada Allah

namun perbuatan itu dituturkan atau disebut-sebut di hadapan orang, agar dirinya

berbuat akhak luhur dan ibadah baik.

Demikian sifat terpuji dan tercela yang merupakan pedoman moral dalam melengkapi

amaliyah lahiriyah dan batiniyah, sebagai pengamalan tasawuf Kyai Rifa’i.

119
Kemudian puncak menuju makrifat adalah khauf, mahabbah dan ma’rifat, dengan

melalui akhwal (sikap mental) dan maqamat (sikap hidup), diketahui bahwa

pemikiran tasawuf Rifa’i hanya sederhana. Di sini dapat dilihat bahwa tasawuf bagi

Rifa’i adalah mengetahui sifat terpuji dan tercela sekaligus menjalankan sifat yang

terpuji dan menjauhi sifat tercela, agar hati kita benar-benar menuju kepada Allah.

Kemudian secara ringkas akhlak terpuji dan tercela telah diuraikan di atas yang

termaktub dalam ajaran Rifai.

Klimaks dan tujuan puncak bagi Rifa’i adalah kondisi khauf, mahabbah dan ma’rifat,

dengan melakukan akhwal dan maqamat di atas melakukan akhlak terpuji dan

meninggalkan akhlak tercela yang masing-masing jumlahnya delapan.

Kemudian apakah ketiganya ?

Khauf (takut) Rifa’i menyatakan :

Derajat parek iku Ma’rifat ning manah, Cukule makrifah ngedohi panegah,

Kinarepan dipurih parek ing Allah luhur, Iku wajib wedi lan asih anut milahur ,

Maring Allah taat saking haram mungkur, Kuwasane netepi wajib tan mundur.

Artinya:

Derajat dekat itu makrifat dalam hati, munculnya makrifat menjauhi larangan,

bertujuan mendekat Allah luhur, itu wajib takut dan cinta taat memperhatikan kepada

Allah taat dari haram menghndar, berusaha memjalankan kewajiban

120
Jelas untuk mencapai ma’rifat harus menjauhi segala larangan, taat kepada Allah dan

menghindari yang haram

Mahabbah bagi Rifa’i adalah berbakti kepada Allauh yang mencintai Allah sebenar-

benarnya Tuhan dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi perbuatan

maksiat dan jika berdosa segera bertaubat, disebutkan pula dalam pernyataannya:

Adapun hati cinta kepada Allah ta’ala sesungguhnya, itu iman menjadi rukh

kehidupannya, dengan pembuktian Dalam hidupnya tetap melaksanakan

kewajibannya, dan menjauhi dari yang haram sekuat tenaga,

Itulah tanda cinta kepada Allah dalam hati yang sebenar-benarnya, bahkan memberi

jaminan bahwa orang yang cinta kepada Allah dengan benar, itu menjadi sahnya

iman jujur, bermanfaat dan diakhirat kelak mendapat kebahagiaan, apabila imannya

terus bercahaya dan imannya kekal

Kemudian klimaks dari mahabbah dan khauf, tertulis dalam pernyataannya:

Melihat dalam hatinya sifatnya Tuhan, besar dan indah takut dan cinta dalam hati,

Wajib khauf pada Allah dipacu dari belakang, dan mahabbah menarik tuntunan yang

ada di depan.

Dilihat dalam hal ini Rifa’i juga menguraikan tentang tasawuf falsafi, di mana

seseorang harus melakukan tajalli.

121
Kemudian tahap akhir makrifat, Rifa’i menjelaskan bahwa dengan takhalli dan

tahalli, dengan munculnya kondisi khauf dan mahabbah, kemudian pada tahap akhir

muncul nur dalam hatinya sebagai kenyataan kondisi makrifat, sebagaimana

pernyataannya:

Allah zat wajib al-wujud benar sempurna, dipandang melalui nur pemberian yang

dicita-citakan,

Yang letakkan dalam relung hati kebatinan, menjadikan hati memiliki kewaspadaan

dalam penglihatan, pada sesuatu ciptaan Allah kenyataan , qudrat iradat ilmu hayat

disifati,

Itulah orang sudah sampai pada Allah makrifat, melihat pada kemurahan Allah

berbuat taat.

Kemudian menyadari tentang segala perbuatan dan tingkah-laku manusia di dunia ini

adalah kehendak dan semata-mata perbuatan Allah, sebagaimana dinyatakan, yang

artinya :

Dan barang siapa sudah mantap kebenaran, di dalam maqam ma’rifat tempatnya,

Maka orang itu melihat dalam kebatinan, pada semua perbuatan,

Itu baik menjadi haram dalam lahiriahnya, sebab sesungguhnya letak perbuatan

tersebut,

Seluruhnya merupakan perbuatan Allah.

122
Mengenai tarikat Rifa’i tidak condong kearah guru yang wajib ditaati secara taklid

buta, namun dapat diungkapkan guru sebagai penunjuk jalan, sedang tarikat sebagai

jalan menuju kearah makrifat semata menuju Allah. Sesuai pernyataannya berikut ini:

Adapun tarikatnya orang berdagang dan menanam,

Yaitu berhasrat hatinya untuk taat kepada Allah, manfaat hati untuk menolong

ibadah,

Melaksanakan kewajiban dan menjauhi maksiat, tujuannya hati memperoleh manfa’at

akhirat.

Kemudian tentang kebersamaan pengamalan syari’at dan hakikat dituturkan sebagai

berikut:

Artinya:

Atau syari’at dan hakikat lazimnya, saling menetapkan tidak jadi pisah,

Syari’at itu zahir hakikat dalam hati, tarikat itu sudah bercampur tindakan,

Wajib setiap mukallaf menjalankan syari’at, juga tarikat dan hakikat sesuai dengan

kekuatan.

Dinyatakan pula:

Maka syari’at tanpa disertai dengan hakikat, itu menjadi kosong tanpa ada isinya,

Adapun hakikat tanpa syari’at jadinya itu menjadi rusak tidak ada manfaatnya.

123
Kehadiran guru tarekat, dinyatakan Rifa’i sebagai penunjuk jalan semata, seperti

pernyataannya;

Adapun berupaya guru alim keadilan, mengajarkan sebenarnya jalan yang

menguntungkan kepada Allah itu wajib bertanya,

Pada setiap orang mukallaf yang bodoh, dan sekalipun orang tersebut, termasuk

kalangan ulama besar yang terkenal,

Juga wajib mengusahakan guru dengan sungguh jika tidak tahu masih gelap dan

samar.

Kemudian tentang bakti dan mengikuti guru , Rifa’i menyatakan:

Artinya : Adapun tatakramanya anak murid jadinya, itu wajib memelihara hormat

adanya, memulyakan guru sekuat tenaga, semasa hidup dan matinya.

Dari hal tersebut di atas, dalam menghormati dan menuruti kepada guru, semata-

mata sebagai penunjuk jalan kearah ma’rifat, dan semata sebagai kehormatan dan

pengamalan akhlak sebagai etika murid terhadap guru, yang sudah lazim berlaku di

adab atau etika ketimuran.

B. Penerapan Tasawuf Kyai Haji Rifa’i.

Menurut definisi-definisi yang diungkapkan para pemula dan ulama’ tasawuf,

menurut al-Ghazali semata-mata hanyalah merupakan karakter seorang sufi dan

ungkapan-ungkapan dari hasil pengalaman para sufi setelah mendapatkan

mukasyafah dan mencapai maqam tertentu, dan menghasilkan pencerahan batin yang

124
berlainan tingkatan maqamnya, akibatnya mencetuskan bermacam-macam

kesimpulan yang berlainan dalam mengemukakan pengertian tasawuf, sebagian

menjelaskan tentang subyektifitas seorang sufi misalnya, definisi Junaid, sufi adalah

orang yang dekat dengan Allah tanpa perantara, dan sebagian yang lain mengatakan

hasil akhir dari pencerahan batinnya, seperti juga yang diungkapkan Junaid, tentang

tasawuf adalah kematian dan kehidupan hanyalah al-Haq yang menentukan, Bisyr al-

Maky mengatakan orang yang bersih hatinya karena Allah, kemudian definisi ulama’

mutaakhirin seperti, Hamka, dan lain-lain, hanyalah rangkuman dari berbagai

definisi ulama’ sufi awwalin kemudian diabstraksikan dengan bentuk definisi yang

sesuai, cocok dengan kehendaknya.

Tasawuf Rifa’iyah, sebenarnya merupakan pengejawantahan dari perilaku/ perbuatan

(fiqhiyah) yang direalisasinya berbentuk syari’ah dalam lapangan ibadah maupun

muamalah dengan indikator perilaku batin (akhlaq), sehingga dapat dikatakan bahwa

tasawufnya sebagian besar berbentuk tasawuf amali.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa kandungan ajaran tasawufnya bertitik tolak

kepada melakukan perbuatan syar’i dalam menjalankan hukum Allah di dalam

kehidupan dunia dan berhubungan dengan masyarakatnya agar menuruti tuntunan

Islam yang disesuaikan dengan kehendak Allah sehingga mendapat ridhanya.

Ringkasnya, pengamalan ajaran Rifa’iyah merupakan kesatuan antara Iman, Islam

dan Ihsan yang harus dilakukan dalam kehidupan dunia ini secara selaras dan

seimbang. Kemudian dasar pokok ajarannya, sesuai dengan pengakuannya yakni,

125
dalam fikih sebagian besar menganut Syafi’iyah, sedangkan dalam lapangan

tasawufnya menganut mazhab Ghazaliyah. Oleh karena itu untuk mengetahui

penerapan ajarannya, walaupun di sini adalah tentang tasawuf namun

implementasinya mesti dihubungkan dengan perlakuan dan perbuatan fiqhiyah

dalam realisasinya, hal ini untuk menunjukkan bahwa sikap batin sebenarnya hanya

dapat diketahui dengan realisasi perbuatan lahir.

Kemudian untuk menjelaskan implementasi atau pengamalan tasawuf Rifa’iyah

ternyata harus dikaji dari pokok ajaran, dan pemahaman umat dalam mengkaji

ajarannya serta bentuk pengamalannya di kehidupan lingkungannya. Sampai dampak

maupun perluasan jangkauan dan faktor-faktor yang lain yakni pendukung maupun

penghambat perkembangan ajarannya maupun budaya penganutnya. Penerapan

ajaran Rifa’iyah, Menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa, ajaran Rifa’iyah di

Kabupaten Temanggung dapat dibagi menjadi beberapa pokok masalah; sistem

pengorganisasian/ kelembagaan;

Pertama, masalah intern. Perlu disadari bahwa personal-personal dari

organisasi Rifa’iyah adalah terdiri dari beberapa unsur partai masa lalu akibatnya

ideologi mereka masih sebagian kecil mempengaruhi cara mereka berorganisasi,

akibatnya persesuaian paham seharusnya diseragamkan dengan melakukan:

pertemuan rutin selapanan bagi pengurus dan pengiriman anggota mengikuti seminar

maupun pertemuan rutin tingkat cabang, kemudian pelestarian ajaran selalu

diupayakan dengan persesuaian kitab Tarojumah dengan kitab kuning lainnya.

126
Kedua, pokok masalah extern, sistem pengorganissian dan kelembagaan dibuat per

anak cabang maupun per-ranting diambil tokoh-tokoh yang potensi dan memahami

ajaran Rifa’iyah sebagai pembina dan perluasan jangkauan penghayatan ajaran Rifa’i,

sekaligus sebagai tokoh pembinaan keanggotaan.

1. Sistem pendidikan

Secara umum pembinaan pendidikan dengan memakai kitab 10 (sepuluh) yang

diutamakan, kemudian secara merata sarana kitab yang dimiliki oleh keluarga

anggota Rifa’iyah adalah 4 (empat) kitab yakni: Ri’ayah al Himmah, Husn al-

Mithalab, Asn al-Miqshad dan Abyan al-Hawaij. Dan kitab lain sebagian besar

dimiliki oleh kyai ? Tokoh Rifa’iyah senior diantaranya kitab Basir al-Islah Syari’ul

Iman Tarihul Miftah Bismililah dan terbanyak dimiliki oleh tokoh hanya 20 (dua

puluh) kitab (menurut penuturan kyai Jumali)

2. Pendidikan anak-anak

Untuk pendidikan kepada anak-anak sebagian besar dilakukan dengan pengajian

khusus, istilahnya disebut sorogan atau bandongan, diupayakan dalam pertemuan ini

mengkaji khusus yang diutamakan adalah hafalan bait syair yang ada di kitab

Tarojumah

3. Pendidikan remaja

Untuk para remaja sebagian besar mengkaji kitab Rifa’iyah ditambah dengan kitab-

kitab kuning, seperti taqrib, subul al-salam dan yang diutamakan adalah pengkajian

127
Ihya’ Ulumuddin terutama bagi yang telah mencari ilmu di pondok pesantren luar. Di

samping perwujudan di dalam pergaulan dengan masyarakat

4. Pendidikan orang tua

Sebagai pembinaan penghayatan bagi orang tua difokuskan kepada pertemuan

selapanan , yang kegunaannya adalah pemahaman

5. Pendidikan Umum

Diutamakan dengan pertemuan selapanan di lingkungan daerah ranting masing-

masing dengan mengundang dai senior dari daerah lain se-wilayah kecamatan.

Pertemuan diadakan pengajian putra sendiri dan putri sendiri sesuai dengan saat yang

ditentukan.

Sistem pengamalan secara pandangan umum, bentuk pengamalan yang diperhatikan

adalah perwujudan amalan dari bidang fiqh, diantaranya pertemuan selalu dipisahkan

antara pria dan wanita, pemakaian jilbab wajib bagi wanita, cara mengubur mayit,

pelaksanaan jam’ah, cara menemui tamu antara muhrim dan lain muhrim

Sedangkan secara pandangan khusus, dalam pengamalan Tasawuf, dilihat dari

pengamatan sehari-hari khusus bagi orang dewasa sudah melembaga dan dilestarikan,

karena pada hakikatnya pengamalan ini tidak dapat dilihat dengan konkrit, namun

berdasarkan realitas perilaku yang ada di masyarakat. Misalnya, penghayatan sabar

dapat dilihat saat menghadapi kematian bagi keluarga kenyataannya, ratapan tangis

sudah tidak ada, kesabaran mengurus mayit walaupun tidak diberi makanan oleh

128
keluarga si mati, kenyataan terkubur dengan baik, justru untuk makan ditempat si

mati adalah tabu, dikatakan dari seorang tokoh mengakibatkan penyakit buduken.

Kemudian pelaksanaan tawakkal, kenyataannya di dalam pencarian rizeki mereka

berupaya bekerja sesuai dengan bidangnya masing-masing (perlu diketahui sebagian

banyak anggota Rifa’yah adalah petani dan usaha dagang), dalam pengolahan hasil di

samping melaksanakan ikhtiyar yang baik banyak disalurkan kepada kesosialan di

lingkungannya ( hal ini sifat qana’ah, istiqomah, dan hubb al-dunya, syukur sangat

terlihat dan dapat dipahami) (wawancara dengan tokoh Rifa’yah H. Supardi).

Disamping itu kenyataan penghayatan tasawuf tentang penasharufan harta terlihat

akan dibangunnya balai pertemuan dan pendidikan di daerah Wonoboyo dapat

berjalan lancar, yang pembiayaannya hanya didukung oleh anggota Rifa’iyah.

Tama’, masalah ini dapat terlihat dalam pelaksanaan muamalah. Hal ini, dapat

diperhatikan dalam menjalankan warung tempat mereka berusaha, nampak betapa

murahnya harga dan pengambilan hasil laba di warungnya, beda dengan pembuka

usaha yang tidak hafal syair kitab Rifa’i yang berarti ajaran Rifa’i telah melembaga di

hatinya. Demikian juga pedagang lain dan usaha kendaraan (hasil wawancara dengan

tokoh Kyai Habib).

Kemudian dalam rangkaian pelaksanaan ajaran zuhud, anggota Rifa’iyah, walaupun

kenyataan pengamalannya berpakaian dengan model pakaian modern, kenyataannya

dalam mencari penghidupan belum pernah terjadi adanya kelakuan mengganggu

orang lain ataupun korupsi, apalagi bekerjanya di lapangan pertanian.

129
Namun itu dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan ajaran akhlaq al-

madzmumah masih ada anggota yang tergiur oleh faktor itba’ul hawa’. Walaupun

sebagian besar pengikut Rifa’iyah melestarikan menjauhi larangan, namun kenyataan

masih ada sebagian anggota yang kurang pemahamannya mengenahi hal ini. Terbukti

dengan terjadinya peristiwa kawin gratis dan massal sebanyak 17 (tujuh belas)

pasangan di daerah kecamatan Wonoboyo. Hal ini menurut pendapat tokoh Rifaiyah

(K Jumali Simbang) berpendapat bahwa, permasalahan ini terjadi karena sebab-sebab

sebagai berikut: pertama, pengaruh budaya modern di antara pemuda pemudi, kedua,

kekuatan iman yang lemah atau tipis keimanan, kurang taqwa kepada Allah,

kebodohan, kurang aktif dalam mengikuti pengajaran, dangkalnya pemahaman pada

pendidikan person, dan unsur hidayah belum masuk.

Kemudian dalam pelaksanaan faktor ‘ujub, riya’ takabur dan sum’ah, karena hal ini

timbul dalam waktu yang sangat relatif cepat, maka masih sering-sering dilakukan.

Walaupun sebagian kecil jumlahnya ( wawancara dengan H. Supardi).

C. Faktor Penghalang Dan Penunjang Yang Mempengaruhi Penerapan Ajaran

Rifa’iyah

Menurut pengamatan peneliti unsur penghalang dan penunjang ajaran Rifa’iyah dapat

diukur dengan indikator pengetahuan dan pemahaman ajaran yang tertulis dalam

kitabnya.

1. Faktor Luar

130
a. Pengaruh budaya

Budaya modern memang sangat mempengaruhi kehidupan secara umum, namun

dalam lapangan pengamalan muamalah masih dapat dikendalikan, kenyataan seperti

contoh di atas, kemudian dalam masalah tasawwuf masih tergantung kepada

pemahaman dan kelembagan ajaran .

b. Pengaruh politik

Secara garis besar unsur politik dalam lembaga Rifa’iyah khususnya di Temanggung

tidak menjadi penghalang, kenyataannya dalam organisasi inipun terjadi dari

berbagai partai, ternyata dalam lingkungan muamalah dan pengamalan tasawwuf

kurang begitu berpengaruh.

c. Pengaruh Sosial

Pengaruh sosial justru di dalam pengamalan ajaran Rifa’iyah sangat mendukung

pelaksanaannya diantaranya, dalam pembangunan dan kerukunan antar anggota,

saling membantu dapat dikatakan kesatuan jamaah Rifa’iyah merupakan satu

kekuatan yang optimal, mungkin terpengaruh dengan minoritas kuantitasnya.

d. Kabar Negatif

Issue negatif, bahwa ajaran Rifa’iyah mengajarkan ilmu-ilmu spiritual negatif seperti

manusia dapat berubah bentuk, sihir dan ilmu batin lainnya yang negatif adalah hanya

sebatas kebohongan dan hal ini dilakukan saat penjajahan Belanda dahulu. Akhir-

akhir ini terjadi saat partai di Indonesia masih banyak jumlahnya (perkiraan tahun

enam puluhan), menurut penuturan Kyai Sam Sukur dari keturunan Kyai Beni).

131
2. Faktor Dalam

a. Keorganisasian

Untuk kelembagaan organisasi di dalam aliran Rifa’iyah dikatakan sangat kuat,

kecuali dalam pengembangan di daerah kecamatan baru, karena ajaran kitab ini

walaupun isinya sangat baik, namun masih banyak tantangan di daerah lain.

b. Peneladanan

Pengamalan di daerah wilayah Rifa’iyah, masih terpengaruh oleh kelakuan-kelakuan

para kyai dan tokoh senior. Yakni dalam pengamalan anggota sangat percaya dan

yakin dengan pendapat dan aturan-aturan yang diberikan oleh para da’i .

Sedangkan faktor pendukung perkembangan ajaran Rifa’iyah

1. Kekuatan Pengaruh

Seperti diuraikan di atas bahwa pengaruh tokoh dan kyai di lingkungan Rifa’iyah

masih menjadi pusat keteladanan, sehingga setiap angota yang telah masuk menjadi

anggota, di luar daerah pun masih selalu diamalkan walaupun lingkungan kurang

sepaham

2. Penghayatan ajaran /budaya

Diantara anggota Rifa’iyah yang telah memahami dan menghayati isi dari kitabnya,

sebagian besar pengimplemantasiannya tanpa dipengaruhi lingkungan .

3. Penanaman ajaran

Penanaman ajaran Rifa’iyah selalu timbul dari dalam anggota keluarga, dan

lingkungannya.

132
Demikian ajaran Rifa’iyah yang terjadi pada pengikutnya, yang sangat

mempengaruhi perilaku dalam bertasawuf bagi masyarakat kabupaten Temanggung.

133
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan.

1. Ajaran tasawuf KH. Akhmad Rifa’i pada dasarnya merupakan bagian dari

gagasan yang mempertahankan hubungan harmonis antara syari’at dan hakikat,

dirumuskan dengan istilah ushul al-fiqih dan tasawuf dengan corak amali dan falsafi

dengan jalan tahalli, takhalli, ditindaklanjuti dengan taqarrub dalam rangka mencapai

makrifat billah.

2. Umat Rifa’iyah di Kabupaten Temanggung sebagian besar merealisasikan

ajaran Kyai Rifa’i dengan penuh keyakinan dalam melakukan semua bentuk ajaran di

dalam lingkungan masyarakat maupun anggota keluarganya, dengan kawasan

pengikutnya terdapat Kecamatan Candiroto, Bejen, Tretep dan Wonoboyo, sedang

pusat kegiatan dan motor terbesar adalah di Kecamatan Wonoboyo.

3. Perkembangan umat Rifa’iyah didukung oleh kekuatan organisasi, ideologi

dan penyebarannya dilakukan dengan dakwah anggota dan perpindahan penduduk

serta kekuatan tali perkawinan. Pengamalan tasawwuf, dilakukan dalam tasharruf,

kehidupan di lingkungan umat Rifa’iyah yang penduduknya secara mutlak, sedang di

daerah yang lain tetap menyesuaikan dengan adat setempat, kecuali dalam hal fiqih

dan usul ad-din sebagian besar amat kuat.

134
B. Saran- Saran

1. Ajaran Rifa’iyah adalah pedoman hidup umat Islam yang benar-benar

menuruti ajaran Islam yang lurus.

2. Bagi para anggota Rifa’iyah masih perlu menekankan kepada umatnya untuk

mendalami dan memahami ajaran kitabnya lebih dalam dan hendaknya diselaraskan

dalam tasharruf ajarannya dengan lingkungan dan daerah dengan kelapangan dan

keterbukaan isi ajaran secara lebih luas.

135
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Adzim, Ali Abdul al -,‘ Falsafat al-Ma’rifah fi al-Qur’anil al-Karim, Al-Kamirat:


Risalah al-‘Ammah, 1973.

Ali, Yunasril, Manusia citra Ilahi, Jakarta: Paramadina, November 1997, Cetakan I.

Arikunto, Suharsini, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka


Cipta, 1997.

Asjwadie, Syukur, Ilmu Tasawwuf, Surabaya: Bina ilmu, tt.

Atjeh, Aboebakar, H. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf, Solo: CV. Ramadhani,
Nopember 1987, Cetakan III.

Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat Tradisi- tradisi Islam
di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995.

Collins, Harper, Essential Sufism, diterjemahkan James Fradiman & Ragip Robert
Trager al-Jerrahi (ed.), Yogyakarta: Pustaka Sufi, April 2003, Cetakan II.

Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, et-al., Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996.

Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Tasawuf, Jakarta: Bulan Bintang, Februari 1998,
Cetakan I.

_____________, Allah Dan Manusia Dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar- Raniry.
tt.

Dimyathi, Sayyid Abi Bakar al-Ma’ruf bin Sayyid bakar al-Maky bin Sayyid
Muhammad Syatha, al- Kifayat al-Atqiya’,Tp: al-Ma’had al-Islami al-
Salafi, tt.

Djamil, Abdul, Perlawanan Kyai Desa; Pemikiran dan Gerakan Islam K.H. Ahmad
Rifa’i Kalisalak, Yogyakarta: LKIS, Januari 2001, Cetakan I.

Fansuri, Hamzah, Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya, Abdul Hadi W. M., Bandung:
Mizan, Juli 1995, Cetakan I.

136
Ghazali, Munqid min al-Dhalal, disuting oleh ‘Abd. Halim Mahmud, Tp: Dar al-
Kutub al-Hadisah, tt.

Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, juz I, Semarang : CV. Toha Putra, tt.

Haeri, Syaikh Fadhlalla, The Elements of Sufism, (ed); Ibnu Burdah dan Shohi fullah,
Jenjang-Jenjang Sufisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Juni 2000, Cetakan
I.

Hamka, Filsafat Ketuhanan, Surabaya: Karunia, 1985, Cetakan I.

Hatta, Muhammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tinta Mas, 1983, Cetakan I.

Jahja, Zurkani, H. M., Teologi al- Ghazali,.tt.

Khaldun, Ibnu, Muqaddimah, Bairut: Dar al-Fikr, tt.

Labib Mz., Rahasia Ilmu Tasawwuf, Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2001.

Lawrens, Burhani MS-Hasbi, Referensi ilmiyah-politik, Kamus Ilmiyah Populer edisi


milenium, Jombang: Lintas Media, tt.

Lings, Martin, (Abu Bakr Sirajuddin), A Sufi Saint of the Twentieth Century; Syaikh
Ahmad al-Alawi, London; George Allen & Unwin Ltd, edisi kedua, 1971,
(ed); Abdul Hadi W.M., Wali Sufi Abad 20, Bandung: Mizan, Juli 1995,
Cetakan VI.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, tt.

Murtadha, Muthahhari, Perfect Man, Teheran: Forign Department of


Bonyad Be’that, (ed); M. Hashem, Manusia Sempurna;
Pandangan Islam tentang Hakikat Manusia, Jakarta:
Lentera, 1994, Cetakan II.

Mustofa, Akhlak Tasawuf, Setia, tt.

Najjr, Amir al-, Al ‘Ilmu al-Nafsi al-Shufiyah, Cairo: (Dar al- Ma’arif, ed);
diterjemahkan oleh; Hasan Abrori, Ilmu Jiwa Dalam Tasawwuf, Studi
Komparatif dengan Ilmu Jiwa Kontemporer, Jakarta:Pustaka Azzam, Juli
2001 M, Cetakan II.

137
Nasr, Sayyid Husein, Living Sufism, Abdul Hadi W.M, Tasawuf Dulu Dan Sekarang,
Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan I, Maret 1985.

Nasution, Harun, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta; Bulan Bintang,
Agustus 1978, Cetakan II.

Poerwadarminto, W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai


Pustaka, Cetakan VII, 1984.

Rifa’i, Ahmad , Abyan Al-Hawaij, tanpa tahun.

____________, Akhsan Mitholab, tanpa tahun.

_____________, Ahsan al- Mitholab, tanpa tahun.

Saefuddin, A.M. et-al. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi. tt.

Said, Fuad, H.A. Hakikat Tarikat Naqsyabandiah, Jakarta; PT. Al-Husna Zikra, 1999,
Cetakan II.

Shadra, Mulla, Hikal al-Arsyiah, (ed); DR. Dimitri Mahayana M. Eng, Dedi
Djuniardi, Kearifan Puncak, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, Maret 2001,
Cetakan I.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES,
1989.

Sutopo, H.B. Metodologi Penelitian Kwalitatif, Surakarta: Sebelas Maret University


Press Indonesia, tahun 2002.

Syak’ah, Mustota Muhammad al-, Islamu Bi Laa Madzaahib, (ed); Basamalah, AM.
Islam Tidak Bermazhab, Jakarta: Gema Insani Press, Juli 1995 M, Cetakan
II.

Syukur, Amin, H. M., et al., Metodologi Studi Islam, Semarang: Gunung jati, tt.

Tirmidzy, Abi ‘Abdillah Muhammad bin ‘Ali bin al-Hasan al-Hakim al-, Khotimul
Awliya’, Beirut: Al-Katsulikiyah, tt.

138
DAFTAR WAWANCARA

1. Benarkah sdr. adalah pengikut Rifa’iyah ?

2. Sudah berjalan berapa tahunkah sdr. mengikuti ajaran Rifaiyah?

3. Mestinya sdr. pernah mengikuti pertemuan dikelompok lembaga ini, masalah

apakah yang diketahui dari hasil pertemuan, berilah contohnya?.

4. Jika terdapat pembahasan kitab, bagian manakah yang diperbincangkan?

5. Manakah yang sering dibahas, fiqh, kalam atau tasawwuf ?

6. Seringkah ajaran tasawwuf dibahas dalam topik khusus?

7. Jika pernah atau sering membicarakan soal tasawwuf, apakah sdr. ikut

jema’at tareqat?

8. Didalam ajaran tasawwuf, KH. Ahmad Rifa’i, memberi konsep delapan

ajaran, diantaranya; zuhud, qana’ah, sabar, tawakal, mujahadah, mahabbah,

139
ridho, syukur, iklas dan tiga tujuan akhir khauf, mahabbah dan ma’rifat dan

delapan perilaku tercela; itba’ul hawa, hubbu al-dunnya, tama’ dan lain-lain,

bagaimanakah pemahaman sdr. mengenahi hal ini?

9. Sekedar untuk i’tibar, bagimanakah jika sdr. menghadapi kejadian, misalnya;

a. Kehidupan sdr. selalu berkekurangan, sementara tetangga sdr

berkecukupan?

b. Tetangga sdr. mendapat musibah, atau tetangga sdr. mendapat

musibah?

c. Kenakalan remaja sudah melapaui batas norma?.

d. Dilingkungan sdr. terjadi huru-hara?

e. Disekitar sdr. membangun rumah ibadah?

f. Panutan sdr. berperilaku tercela?,

10. Bagaimanakah pemahaman sdr. mengenahi delapan konsep delapan perilaku

terpuji dan perilaku tercela?

11. Bagaimanakah anggapan sdr. tentang perilaku pengikut Rifa’iyah ini?

Apakah sudah cukup sebagai pegangan perilaku bermasyarakat?

12. Bagaimanakah pendapat sdr. jika umat rifa’iyah ini berkurang atau bertambah

pengikutnya?

13. Apakah dukungan sdr. agar jama’ah Rifa’iyah ini berkembang?

14. Mengapa sdr. bersikukuh mengikuti jama’ah ini?

140
15. Menurut sdr. apakah faktor-faktor keteguhan hati mengikuti ajaran

Rifa’iyah?

16. Apakah keluarga sdr. semua menganut tariqat atau jema’at ini?

17. Apabila terjadi ajaran lain mempengaruhi ajaran Rifa’iyah, apakah sdr.

mengikuti mereka?

18. Menurut sdr. dimana sajakah pengikut Rifa’iyah?

19. Menurut saya tasawwuf itu bertujuan taqarrub kepada Allah dan ma’rifat,

bagaimana menurut pemahaman sdr.?

20. Mengenahi issue negatif, bahwa anggota jema’at Rifa’iyah, jika telah

mendalam keyakinannya, dapat merubah dirinya menjadi makhluq lain?

Bagaimanakah tanggapan sdr, tentang issue seperti ini?

21. Bagaimanakah sdr. menjelaskan kesalah-fahaman ini kepada klien, yang sdr.

temui?

22. Menurut pendapat sdr. apakah ada usaha untuk perkembangan jema’at

Reifa’iyah?

23. Bagaimana saran-saran sdr. pada organisasi maupun jemaa’t Rifa’iyah?

24. Saya, belum mengetahui, belum mengerti dan belum memahami ajaran

Rifa’iyah? Bagaimanakah keinginan sdr. untuk saya?

25. Mungkinkah sdr. keluar dari jema’at ini? Mengapa?

26. Dan lain-lain.

141
142
DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Abdul Djamil, Perlawanan Kyai Desa, Pemikiran dan Gerakan Islam K.H.

Ahmad Rifa’i Kalisalak, Yogyakarta, LKIS: Cetakan I, Januari 2001.

2. Amir an-Najjr, Al ‘Ilmu an-Nafsi ash-Shufiyah, Dar al- Ma’arif, Cairo

(ed); diterjemahkan oleh; Drs.Hasan Abrori, M.A, Ilmu Jiwa Dalam

Tasawwuf, Studi Komparatif dengan Ilmu Jiwa Kontemporer, Jakarta,

Pustaka Azzam, Cetakan II, Juli 2001 M.

3. Dr. Mustota Muhammad asy- Syak’ah, Islamu Bi Laa Madzaahib, (ed); AM.

Basamalah, Islam Tidak Bermazhab, Jakarta, Gema Insani Press, Cetakan II, Juli

1995 M.

143
4. Mulla Shadra, Hikal al-Arsyiah, (ed); DR. Ir. Dimitri Mahayana M. Eng, Ir.

Dedi Djuniardi, Kearifan Puncak, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cetakan I, Maret

2001.

5. A.M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi (et-al). tt

6. DR. Lexy J. Moleong, M.A, Metodologi Penelitian Kualitatif, tt

7. Dr. H. M. Zurkani Jahja, Teologi al- Ghazali,.tt

8. Syeh Abi ‘Abdillah Muhammad bin ‘Ali bin al-Hasan al-Hakim at-Tirmidzy

Khotimul Awliya’, Beirut, Al-Katsulikiyah, tt.

9. Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, …[et-al.], Jakarta, PT. Ichtiar

Baru Van Hoeve, 1996.

10. Prof. DR. H. M. Amin Syukur, M.A. (dkk), Metodologi Studi Islam,

Semarang, Gunung jati, tt.

11. Mustofa Pustaka, Akhlak Tasawuf, Setia, tt.

12. Akhmad Rifa’i. Ahsan al- Mitholab, tt.

13. Drs Muhammad Zain Yusuf, Akhlak/ Tasawuf, Semarang , Al-Husna, tt.

14. Muthahhari Murtadha, Perfect Man, Forign Department of Bonyad Be’that,

Teheran, (ed); M. Hashem, Manusia Sempurna; Pandangan Islam tentang

Hakikat Manusia, Jakarta, Lentera, Cetakan II, 1994 M.

15. Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya, Abdul Hadi W. M.,

Bandung, Mizan, Cetakan I, Juli 1995.

144
16. ‘Ali Abdul al ‘Adzim, Falsafat al-Ma’rifah fi al-Qur’anil al-Karim, Al-

Kamirat, Risalah al-‘Ammah , 1973 M.

17. Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf, Solo,

CV. Ramadhani, Cetakan III, Nopember 1987.

18. Syaikh Fadhlalla Haeri, The Elements of Sufism, (ed); Ibnu Burdah dan Shohi

fullah, Jenjang-Jenjang Sufisme, Yogya karta, Pustaka Pelajar, Cetakan I, Juni

2000.

19. Sayyid Husein Nasr, Living Sufism, Abdul Hadi W.M, Tasawuf Dulu Dan

Sekarang, Jakarta, Pustaka Firdaus, Cetakan I, Maret 1985.

20. Dr.Ahmad Daudy, M.A., Kuliah Ilmu Tasawuf, Jakarta, Bulan Bintang,

Cetakan I, Februari 1998.

21. Muhammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta, Tinta Mas, Cetakan I,’83,

22. Martin Lings (Abu Bakr Sirajuddin), A Sufi Saint of the Twentieth Century;

Syaikh Ahmad al-Alawi, George Allen & Unwin Ltd, edisi kedua, London, 1971,

(ed); Abdul Hadi W.M., Wali Sufi Abad 20, Bandung, Mizan, Cetakan VI, Juli

1995.

23. Yunasril ‘Ali, Manusia citra Ilahi, Jakarta,, Paramadina, Cetakan I, November

1997

24. Prof. DR. Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta,

Bulan Bintang, Cetakan II, Agustus 1978.

25. Prof. Dr. Hamka, Filsafat Ketuhanan, Surabaya, Karunia, Cetakan I, 1985.

145
26. Dr. Ahmad Daudy, M. A, Allah Dan Manusia Dalam Konsepsi Syeikh

Nuruddin Ar- Raniry. tt.

27. H.A. Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsyabandiah, Jakarta, PT Al-Husna Zikra,

Cetakan II, 1999.

28. Kitab-kitab karangan K.H Akhmat Rifa’i, kira-kira sejumlah 12 kitab Jawa

Pegon.

29. Ust. Labib Mz. Rahasia Ilmu Tasawwuf, Surabaya, Bintang Usaha Jaya, 2001.

30. H.M. Asjwadie Sjukur Lc. Ilmu Tasawwuf. , Surabaya, Bina Ilmu, tt.

31. Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat Tradisi- tradisi

Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 1995.

32. ‘Ali ‘Abdul ’Adzim, Falsafah Ma’rifah fil Qur’anil Karim, 1973.

33. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta

LP3ES, 1989.

34. Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta,

Rineka Cipta, 1997.

35. HB Sutopo, Metodologi Penelitian Kwalitatif, Indonesia, Sebelas Maret

University Press Surakarta, tahun 2002.

36. Harper Collins, Essential Sufism, diterjemahkan James Fradiman & Ragip

Robert Trager al-Jerrahi (Ed.), Yogyakarta, Pustaka Sufi, Cetakan II, April 2003.

146
37. Burhani MS-Hasbi Lawrens, Referensi ilmiyah-politik, Jombang.Kamus

Ilmiyah Populer edisi millenium, tt, Lintas Media, tt.

147

Anda mungkin juga menyukai