Anda di halaman 1dari 16

a.

Pengertian
Penyakit adalah suatu kondisi patologis berupa kelainan fungsi dan
/atau morfologi suatu organ dan/atau jaringan tubuh. Lingkungan adalah
segala sesuatu yg ada disekitarnya (benda hidup, mati, nyata, abstrak)
serta suasana yg terbentuk karena terjadi interaksi antara elemen-elemen
di alam tersebut. Penyakit Berbasis Lingkungan adalah suatu kondisi
patologis berupa kelainan fungsi atau morfologi suatu organ tubuh yang
disebabkan oleh interaksi manusia dengan segala sesuatu disekitarnya
yang memiliki potensi penyakit.
Sanitasi yang baik sangat penting untuk kesehatan, dari mencegah
infeksi hingga meningkatkan dan mempertahankan kesejahteraan mental
dan sosial. Kurangnya sanitasi yang baik akan berkontribusi terhadap
penyakit diare dan penyebab utama penyakit dan kematian pada anak-anak
di bawah lima tahun di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah; sanitasi yang buruk juga berkontribusi terhadap beberapa
penyakit tropis, serta penyakit gizi.

b. Situasi di Indonesia
Penyakit berbasis lingkungan masih menjadi permasalahan hingga
saat ini. ISPA dan diare yang merupakan penyakit berbasis lingkungan
selalu masuk dalam 10 besar penyakit di hampir seluruh Puskesmas di
Indonesia. Menurut Profil Ditjen PP&PL thn 2006, 22,30% kematian bayi di
Indonesia akibat pneumonia. sedangkan morbiditas penyakit diare dari
tahun ketahun kian meningkat dimana pada tahun 1996 sebesar 280 per
1000 penduduk, lalu meningkat menjadi 301 per 1000 penduduk pada
tahun 2000 dan 347 per 1000 penduduk pada tahun 2003. Pada tahun 2006
angka tersebut kembali meningkat menjadi 423 per 1000 penduduk.
Penyakit berbasis lingkungan masih menjadi permasalahan untuk
Indonesia, menurut hasil survei mortalitas Subdit ISPA pada tahun 2005 di
10 provinsi diketahui bahwa pneumonia merupakan penyebab kematian
terbesar pada bayi (22,3%) dan pada balita (23,6%). Diare, juga menjadi
persoalan tersendiri dimana di tahun 2009 terjadi KLB diare di 38 lokasi
yang tersebar pada 22 Kabupaten/kota dan 14 provinsi dengan angka
kematian akibat diare (CFR) saat KLB 1,74%. Pada tahun 2007 angka
kematian akibat TBC paru adalah 250 orang per hari. Prevalensi
kecacingan pada anak SD di kabupaten terpilih pada tahun 2009 sebesar
22,6%. Angka kesakitan DBD pada tahun 2009 sebesar 67/100.000
penduduk dengan angka kematian 0,9%. Kejadian chikungunya pada tahun
2009 dilaporkan sebanyak 83.533 kasus tanpa kematian. Jumlah kasus flu
burung di tahun 2009 di indonesia sejumlah 21, menurun dibanding tahun
2008 sebanyak 24 kasus namun angka kematiannya meningkat menjadi
90,48%.

c. Faktor yang menunjang munculnya penyakit berbasis lingkungan antara


lain :
1. Ketersediaan dan akses terhadap air yang aman
Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan sumber daya air
dimana ketersediaan air mencapai 15.500 meter kubik per kapita per tahun,
jauh di atas ketersediaan air rata-rata di dunia yang hanya 8.000 meter
kubik per tahun. Namun demikian, Indonesia masih saja mengalami
persoalan air bersih. Sekitar 119 juta rakyat Indonesia belum memiliki akses
terhadap air bersih, sebagian besar yang memiliki akses mendapatkan air
bersih dari penyalur air, usaha air secara komunitas serta sumur air dalam.
2. Akses sanitasi dasar yang layak
Kepemilikan dan penggunaan fasilitas tempat buang air besar merupakan
salah satu isu penting dalam menentukan kualitas sanitasi. Rakyat
Indonesia masih belum memiliki akses jamban. Ini berarti masih ada rakyat
Indonesia yang BAB sembarangan dan menggunakan jamban yang tak
berkualitas. Angka ini jelas menjadi faktor besar yang mengakibatkan masih
tingginya kejadian diare utamanya pada bayi dan balita di Indonesia.
3. Penanganan sampah dan limbah
Tahun 2010 diperkirakan sampah di Indonesia mencapai 200.000 ton per
hari yang berarti 73 juta ton per tahun. Pengelolaan sampah yang belum
tertata akan menimbulkan banyak gangguan baik dari segi estetika berupa
onggokan dan serakan sampah, pencemaran lingkungan udara, tanah dan
air, potensi pelepasan gas metan (CH4) yang memberikan kontribusi
terhadap pemanasan global, pendangkalan sungai yang berujung pada
terjadinya banjir serta gangguan kesehatan seperti diare, kolera, tifus
penyakit kulit, kecacingan, atau keracunan akibat mengkonsumsi makanan
(daging/ikan/tumbuhan) yang tercemar zat beracun dari sampah.
4. Vektor penyakit
Vektor penyakit semakin sulit diberantas, hal ini dikarenakan vektor
penyakit telah beradaptasi sedemikian rupa terhadap kondisi lingkungan,
sehingga kemampuan bertahan hidup mereka pun semakin tinggi. Hal ini
didukung faktor lain yang membuat perkembang biakan vektor semakin
pesat antara lain : perubahan lingkungan fisik seperti pertambangan,
industri dan pembangunan perumahan; sistem penyediaan air bersih
dengan perpipaan yang belum menjangkau seluruh penduduk sehingga
masih diperlukan container untuk penyediaan air; sistem drainase
permukiman dan perkotaan yang tidak memenuhi syarat; sistem
pengelolaan sampah yang belum memenuhi syarat, penggunaan pestisida
yang tidak bijaksana dalam pengendalian vektor; pemanasan global yang
meningkatkan kelembaban udara lebih dari 60% dan merupakan keadaan
dan tempat hidup yang ideal untuk perkembang-biakan vektor penyakit.
5. Perilaku masyarakat
Perilaku Hidup Bersih Sehat belum banyak diterapkan masyarakat, menurut
studi Basic Human Services (BHS) di Indonesia tahun 2006, perilaku
masyarakat dalam mencuci tangan adalah (1) setelah buang air besar 12%,
(2) setelah membersihkan tinja bayi dan balita 9%, (3) sebelum makan 14%,
(4) sebelum memberi makan bayi 7%, dan (5) sebelum menyiapkan
makanan 6 %. Studi BHS lainnya terhadapperilaku pengelolaan air minum
rumah tangga menunjukan 99,20 % merebus air untuk mendapatkan air
minum, namun 47,50 % dari air tersebut masih mengandung Eschericia coli.
Menurut studi Indonesia Sanitation Sector Development Program (ISSDP)
tahun 2006 terdapat 47% masyarakat masih berperilaku buang air besar ke
sungai, sawah, kolam, kebun dan tempat terbuka.

d. Jenis penyakit berbasis lingkungan


Jenis penyakit berbasis lingkungan:
1. Penyebab virus: ISPA, TBC paru, Diare, , Polio, Campak
2. Penyebab binatang seperti Flu burung, Pes, Anthrax
3. Penyebab vektor nyamuk : DBD, Chikungunya dan Malaria
4. Kecacingan

e. Patogenesis penyakit
Patogenesis penyakit berbasis lingkungan :
1. Sumber Penyakit
Sumber penyakit adalah sesuatu yang secara konstan mengeluarkan agent
penyakit. Agent penyakit merupakan komponen lingkungan yang dapat
menimbulkan gangguan penyakit baik melalui kontak secara langsung
maupun melalui perantara.
Beberapa contoh agent penyakit:
Agent Biologis: Bakteri, Virus, Jamur, Protozoa, Amoeba, dll
Agent Kimia : Logam berat (Pb, Hg), air pollutants (Irritant: O3, N2O, SO2,
Asphyxiant: CH4, CO), Debu dan seratt (Asbestos, silicon), Pestisida, dll
Agent Fisika : Radiasi, Suhu, Kebisingan, Pencahayaan, dll.

Manajemen (Pengendalian pada sumber penyakit)


Pengendalian penyakit atau manajemen penyakit secara terpadu
berbasis wilayah, dimulai dari pengendalian sumber penyakit.
Pengendalian pada sumber penyakit merupakan upaya preventif promotif.
Sumber penyakit menular dan penyakit tidak menular pada dasarnya dapat
dibedakan.
Sumber penyakit menular yaitu penderita penyakit itu sendiri. Dengan
melakukan pencarian kasus secara aktif dan menetapkan kasus
(melakukan diagnosis secara cepat dan tepat terhadap kasus) serta
pengobatan hingga sembuh, maka sumber penularan dapat dieliminasi
bahkan dihilangkan. Manajemen kasus penyakit menular merupakan upaya
promotif sekaligus preventif, karena mencegah agar tidak timbul penularan
lebih lanjut dalam masyarakat. Untuk itu diperlukan petugas lapangan untuk
membantu mencari dan mengobati kasus dengan baik secara proaktif,
misalnya juru malaria desa dan juru kusta.
Sumber penyakit tidak menular yaitu sumber agent penyakit berupa
bahan toksik, fisik seperti radiasi atau kebisingan. Misalnya, knalpot
kendaraan bermotor secara terus-menerus mengeluarkan gas-gas toksik
seperti Karbon monoksida, SO2, NOx. Contoh lain yaitu cerobong asap, titik
buangan limbah industri, titik buangan limbah rumah tangga, asap rokok
dan lain-lain. Untuk menghilangkan potensi bahaya dari sumber tersebut
maka beberapa teknik dapat ditempuh, misalnya dengan mengganti bahan
bakar bensin menjadi bahan bakar gas. Memperbaiki proses mesin menjadi
lebih efisien dan efektif, atau diberi alat penyaring bahan pencemar.

2. Komponen Lingkungan Sebagai Media Transmisi


Komponen lingkungan berperan dalam patogenesis penyakit, karna dapat
memindahkan agent penyakit. Komponen lingkungan yang lazim dikenal
sebagai media transmisi adalah:
 Udara
 Air
 Makanan
 Binatang
 Manusia / secara langsung

Manajemen Pengendalian pada media penularan/ wahana transmisi

Manajemen Pengendalian pada media penularan/ wahana transmisi


dilakukan jika manajemen Pengendalian pada sumber penyakit mengalami
kegagalan. Manajemen dapat dilakukan dengan mengendalikan agent
penyakit melalui media transmisi:
 Pengendalian vector
Pengendalian vektor merupakan salah satu cara mengendalikan
penyakit yang ditularkan vektor penyakit, seperti nyamuk penular
malaria, penular demam berdarah dan sebagainya.
 Penyehatan makanan
Penyehatan pangan merupakan upaya untuk melakukan
pencegahan penularan penyakit melalui pangan, misalnya
sanitasi makanan, proses pengolahan yang memenuhi standar
kesehatan, penggunaan bahan-bahan yang tidak berpotensi
bahaya penyakit (misalnya daging yang mengandung Bacillus
anthracis).
 Penyehatan air
Penyehatan air identik dengan penyediaan air bersih bagi seluruh
penduduk. Misalnya, air yang tercemar bakteri harus dimasak.
 Pembersihan udara dalam ruang
Penyehatan udara dapat dilakukan dengan cara penyediaan air
filter di ruangan yang penuh dengan asap rokok. Untuk
membersihkan polusi udara di perkotaan dengan cara menanam
pephonan, memperbanyak air mancur, telaga dan lain
sebagainya.
 Pada manusia pembawa penyakit (misalnya pengobatan, atau
containment penderita)
Sedangkan penularan penyakit melalui manusia selain
pengobatan pada manusia itu sendiri, juga diminta menggunakan
alat pelindung diri, seperti masker pada penderita penyakit TBC
agar tidak menularkan pada orang lain.

3. Penduduk
Komponen penduduk yang berperan dalam patogenesis penyakit antara
lain:
 Perilaku
 Status gizi
 Pengetahuan

Manajemen Pengendalian proses pajanan/ kontak pada masyarakat


Emisi sumber agent penyakit yang telah berada pada media transmisi
(lingkungan) kemudian berinteraksi dengan penduduk atau masyarakat
setempat. Intensitas hubungan interaktif antara media transmisi (lingkungan)
dengan masyarakat tergantung pola perilaku individu atau kelompoknya,
misalnya perilaku menghindar, perilaku sselalu mengkonsumsi air yang telah
dimasak, hobi, pekerjaan, dan sebagainya.
4. Pengobatan penderita sakit/manejemen kasus
Pengobatan terhadap penderita kasus tersebut dikenal sebagai
manajemen kasus atau penderita penyakit. Agent penyakit yang masuk ke
tubuh seseorang akan mengalami proses yang amat kompleks di dalam
tubuh manusia tersebut. Tentu saja tubuh manusia dengan sistem
pertahanannya tidak serta-merta menyerah begitu saja. Hal ini dikenal
sebagai sistem pertahanan seluler maupun humoral. Untuk kasus penyakit
lingkungan yang menular, mikroba yang masuk ke dalam tubuh manusia
melalui berbagai media transmisi tentu akan dicoba di-contain, ditahan dan
dibunuh oleh sel-sel pertahanan tubuh manusia.
Sakit merupakan keadaan patologis pada individu maupun sekelompok
orang berupa kelainan fungsi maupun morfologi. Untuk memastikan kondisi
seseorang dinyatakan sakit, bisa melalui pemeriksaan secara sederhana
hingga pemeriksaan dengan alat teknologi tinggi. Saat itulah diperlukan
manajemen kasus penderita dengan baik dan tuntas, terutama untuk kasus
penyakit menular. Kasus penyakit menular memerlukan pengobatan yang
baik untuk mencegah timbulnya penularan. Sedangkan untuk penyakit yang
tidak menular, upaya yang dilakukan adalah dengan menggunakan
dukungan teknik diagnostik dan penentuan faktor risiko agar orang lain tidak
menderita penyakit serupa.

f. Pencegahan penyakit berbasis lingkungan:


Sulitnya akses air bersih dan sanitasi yang buruk memicu munculnya
penyakit berbasis lingkungan seperti diare kronik dan stunting. Pemerintah
mencanangkan 5 pilar dalam program Sanitasi Total Berbasis Lingkungan
(STBM) untuk mengurangi penyakit tersebut. 5 pilar itu, yakni berhenti buang
air besar sembarangan, cuci tangan pakai sabun, pengelolaan air minum dan
makanan rumah tangga, pengelolaan sampah rumah tangga,dan pengelolaan
limbah cair rumah tangga.
Terkait dengan pendekatan keluarga, lima pilar ini adalah pendekatan
untuk perubahan perilaku masyarakat. Tujuannya untuk menurunkan penyakit
yang berbasis lingkungan.Termasuk juga stunting akibat diare kronik yang
disebabkan kekurangan gizi, Dampaknya, pertumbuhan tubuh terganggu
.Jadi kelima pilar ini, di harapkan bersama-sama dapat mencegah
penyakit , tentu mulai dari pilar pertama, masyarakat bias membuang air besar
tidak sembarangan, agar tidak mencemari lingkungan dan air yang akan
dikonsumsi. Kemudian cuci tangan dengan sabun, itu dapat diaplikasikan
melalui anak sekolah untuk menerapkan kebiasaan hidup bersih, dan pilar
lainnya.
Lima pilar ini berhubungan dengan 12 indikator keluarga sehat yang
salah satu poin di dalamnya ada keluarga memiliki/memakai air bersihdan
memakai jamban sehat. Tentunya akan memperkuat pencapaian keluarga
sehat. .Saat ini secara nasional, akses sanitasi yang layak mencapai 68,06%
data perhari. Untuk mewujudkan akses air bersih dan sanitasi dibutuhkan
kemitraan yang harus dibangun bukan hanya dari unsur kesehatan dan lintas
sektor pemerintahan.

Jenis penyakit berbasis lingkungan dapat disebabkan oleh


a. Disebabkan oleh virus seperti ISPA, TBC paru, Diare, Polio, Campak, dan
Kecacingan;
b. Disebabkan oleh binatang seperti Flu burung, Pes, Anthrax
c. Disebabkan oleh vektor nyamuk diantanya DBD, Chikungunya dan Malaria.
TBC
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB yaitu Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru,
namun dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.Indonesia merupakan negara yang
termasuk sebagai 5 besar dari 22 negara di dunia dengan beban TB. Kontribusi TB di
Indonesia sebesar 5,8%.
Keluhan
Pasien datang dengan batuk berdahak ≥ 2 minggu.Batuk disertai dahak, dapat
bercampur darah atau batuk darah. Keluhan dapat disertai sesak napas, nyeri dada
atau pleuritic chest pain(bila disertai peradangan pleura), badan lemah, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam tanpa kegiatan fisik, dan
demam meriang lebih dari 1 bulan.
a. Penularan TB
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies
Mycobacterium, antara lain: M.tuberculosis, M.africanum, M. bovis, M. Leprae
dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri
Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan
gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other
Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis
dan pengobatan TB.
Diagnosis
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis,
pemeriksaan klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya
1. Keluhan dan hasil anamnesis meliputi:
Keluhan yang disampaikan pasien, serta wawancara rinci berdasar
keluhan pasien. Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan tanda TB
yang meliputi:
a. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan
HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala TB yang khas,
sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih.
b. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap
orang yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap
sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung.
c. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada orang
dengan faktor risiko, seperti : kontak erat dengan pasien TB, tinggal di
daerah padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang
yang bekerja dengan bahan kimia yang berrisiko menimbulkan paparan
infeksi paru.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Bakteriologi
1) Pemeriksaan dahak langsung
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
juga untuk menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan
pengobatan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan
dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa
dahak Sewaktu-Pagi (SP):
a) S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.
b) P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur.
Dapat dilakukan dirumah pasien atau di bangsal rawat inap bilamana
pasien menjalani rawat inap.
2) Pemeriksaan Tes Cepat Molekular
Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF. TCM
merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak dapat
dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan
2) Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat
(Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator
Tube) untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb).
b. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1) Pemeriksaan Foto Thoraks
2) Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB ekstraparu.
c. Pemeriksaan Uji Kepekaan Obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi
M.tb terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di
laboratorium yang telah lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance
(QA), dan mendapatkan sertifikat nasional maupun internasional.
d. Pemeriksaan Serologis
Sampai saat ini belum direkomendasikan.
Diabetes mellitus menjadi salah satu faktor risiko timbulnya TB aktif selain
HIV/AIDS, hal yang dapat menekan imunitas tubuh, silicosis, malnutrisi, merokok,
penyalahgunaan obat dan merokok. Frekuensi DM diantata penderita TB aktif
berkisar 5,6%-14,8%. Pada penderita tersebut 35-61% DM didiagnosis
pertamakalinya setelah diagnosis TB. Toleransi glukosa juga merupakan
keadaan yang umum ditemukan pada penderita TB. Beberapa penelitian juga
menunjukkan terdapatnya intoleransi glukosa tidak spesifik pada TB akan tetapi
banyak penelitian juga berhasil membuktikan hubungan antara DM dengan TB
aktif.
ISPA
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut, istilah ini diadaptasi
dari istilah dalam bahasa inggris Acute Respiratory Infection (ARI). Penyakit infeksi
akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas mulai dari
hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya
seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak, karena system
pertahanan tubuh anak masih rendah. Kejadian penyakit batuk pilek pada balita di
Indonesia diperkirakan 3 sampai 6 kali pertahun, yang berarti seorang balita rata- rata
mendapat serangan batuk pilek sebanyak 3 sampai 6 kali setahun.
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernapasan dan akut, dimana
pengertiannya sebagai berikut : Infeksi, adalah masuknya kuman atau
mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga
menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan, adalah organ mulai dari hidung
hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus – sinus, rongga telinga tengah
dan pleura.
ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran
pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru – paru) dan organ adneksa
saluran pernapasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran
pernapasan (respiratory tract). Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya
bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan
antibiotik, namun demikian anak akan menderita pneumonia bila infeksi paru ini tidak
diobati dengan antibiotik dapat mengakibatkan kematian. Program Pemberantasan
Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu : (1) ISPA non–
Pneumonia : dikenal masyarakat dengan istilah batuk pilek. (2) Pneumonia : apabila
batuk pilek disertai gejala lain seperti kesukaran bernapas, peningkatan frekuensi
napas (napas cepat). ISPA dapat ditularkan melalui bersin dan udara pernapasan
yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya.
Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering
terjadi pada semua golongan masyarakat pada bulan-bulan musim dingin.
ISPA bermula pada saat mikriorganisme atau atau zat asing seperti tetesan cairan
yang dihirup, memasuki paru dan menimbulkan radang. Bila penyebabnya virus atau
bakteri,
cairan digunakan oleh organisme penyerang untuk media perkembangan. Bila
penyebabnya
zat asing, cairan memberi tempat berkembang bagi organisme yang sudah ada dalam
paru
paru atau sistem pernapasan,
Umumnya penyakit pneumonia menular secara langsung dari seseorang penderita
kepada orang lain melalui media udara. Pada waktu batuk banyak virus dan kuman
yang
dikeluarkan dan dapat terhirup oleh orang yang berdekatan dengan penderita.

FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH TERHADAP PENYAKIT


ISPA
1. Rumah
Rumah merupakan stuktur fisik, dimana orang menggunakannya untuk tempat
berlindung yang
dilengkapi dengan fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang
berguna untuk
kesehatan jasmani, rohani dan keadaan sosialnya yang baik untuk keluarga dan
individu
(WHO, 2007). Anak-anak yang tinggal di apartemen memiliki faktor resiko lebih tinggi
menderita ISPA daripada anak-anak yang tinggal di rumah culster di Denmark.
Adanya
ventilasi rumah yang kurang sempurna dan asap tungku di dalam rumah seperti yang
terjadi di
Negara Zimbabwe akan mempermudah terjadinya ISPA anak.
2. Kepadatan hunian (crowded)
Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah anggota keluarga, dan
masyarakat
diduga merupakan faktor risiko untuk ISPA. Penelitian oleh Koch et al (2003)
membuktikan
bahwa kepadatan hunian (crowded) mempengaruhi secara bermakna prevalensi
ISPA berat.
3. Status sosio-ekonomi
Telah diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat sosio-ekonomi yang rendah
mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan masyarakat. Tetapi status
keseluruhan tidak
ada hubungan antara status ekonomi dengan insiden ISPA, akan tetapi didapatkan
korelasi yang
bermakna antara kejadian ISPA berat dengan rendahnya status sosio-ekonomi
(Darmawan,1995).
4. Kebiasaan merokok
Pada keluarga yang merokok, secara statistik anaknya mempunyai kemungkinan
terkena ISPA
2 kali lipat dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tidak merokok. Selain itu
dari
penelitian lain didapat bahwa episode ISPA meningkat 2 kali lipat akibat orang tua
merokok
(Koch et al, 2003)
5. Polusi udara
Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit gangguan pernafasan lain
adalah
rendahnya kualitas udara didalam rumah ataupun diluar rumah baik secara biologis,
fisik
maupun kimia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh pusat penelitian
kesehatan
Universitas Indonesia untuk mengetahui efek pencemaran udara terhadap gangguan
saluran
pernafasan pada siswa sekolah dasar (SD) dengan membandingkan antara mereka
yang tinggal
di wilayah pencemaran udara tinggi dengan siswa yang tinggal di wilayah pencemaran
udara
rendah di Jakarta. Dari hasil penelitian tidak ditemukan adanya perbedaan kejadian
baru atau
insiden penyakit atau gangguan saluran pernafasan pada siswa SD di kedua wilayah
pencemaran udara. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pencemaran menjadi tidak
berbeda
dengan wilayah dengan tingkat pencemaran tinggi sehingga tidak ada lagi tempat
yang aman
untuk semua orang untuk tidak menderita gangguan saluran pemafasan. Hal ini
menunjukkan
bahwa polusi udara sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit ISPA.

Pencegahan penyakit berbasis lingkungan:


Sulitnya akses air bersih dan sanitasi yang buruk memicu munculnya penyakit
berbasis lingkungan seperti diare kronik dan stunting. Pemerintah mencanangkan 5
pilar dalam program Sanitasi Total Berbasis Lingkungan (STBM) untuk mengurangi
penyakit tersebut.5 pilar itu, yakni berhenti buang air besar sembarangan, cuci tangan
pakai sabun, pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga, pengelolaan
sampah rumah tangga,dan pengelolaan limbah cair rumah tangga.
Terkait dengan pendekatan keluarga, lima pilar ini adalah pendekatan untuk
perubahanperilaku masyarakat. Tujuannya untuk menurunkan penyakit yang berbasis
lingkungan.Termasuk juga stunting akibat diare kronik yang disebabkan kekurangan
gizi, Dampaknya, pertumbuhan tubuh terganggu
.Jadi kelima pilar ini, di harapkan bersama-sama dapat mencegah penyakit ,
tentu mulai dari pilar pertama, masyarakat bias membuang air besar tidak
sembarangan, agar tidak mencemari lingkungan dan air yang akan dikonsumsi.
Kemudian cuci tangan dengan sabun, itu dapat diaplikasikan melalui anak sekolah
untuk menerapkan kebiasaan hidup bersih, dan pilar lainnya.
Lima pilar ini berhubungan dengan 12 indikator keluarga sehat yang salah satu
poin di dalamnya ada keluarga memiliki/memakai air bersihdan memakai jamban
sehat. Tentunya akan memperkuat pencapaian keluarga sehat. .Saat ini secara
nasional, akses sanitasi yang layak mencapai 68,06% data perhari. Untuk
mewujudkan akses air bersih dan sanitasi dibutuhkan kemitraan yang harus dibangun
bukan hanya dari unsur kesehatan dan lintas sektor pemerintahan.

Menurut dehidrasinya klasifikasi diare terbagi menjadi 3 bagian, yaitu :


1). Diare tanpa dehidrasi :
Tanda diare tanpa dehidrasi, bila terdapat 2 tanda dibawah ini atau lebih :
Keadaan umum baik, mata normal, rasa haus normal, minum biasa, turgor kulit
kembali cepat

2). Diare dehidrasi ringan-sedang:


Tanda diare dengan dehidrasi ringan-sedang bila terdapat 2 tanda di bawah ini
atau lebih :
Keadaan umum gelisah atau rewel, mata cekung, rasa haus sangat, ingin
minum banyak, turgor kulit kembali lambat

3). Diare dehidrasi berat :


Tanda diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda dibawah ini atau lebih :
Keadaan umum lesu, lunglai atau tidak sadar, mata cekung, tidak bisa minum
atau malas minum, turgor kulit kembali sangat lambat (lebih dari 2 detik)

C. Penanganan
Penanganan diare yang standar oleh pemerintah di sarana kesehatan
melalui lima langkah tuntaskan diare (LINTAS diare)
1). Berikan oralit

Pemberian oralit pada diare menurut klasifikasi dehidrasi:


a). Diare tanpa dehidrasi
Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi sebagai berikut :
Umur <1 tahun, ¼ - 1/2 gelas setiap kali anak mencret
Umur 1-4 tahun, ½ - 1 gelas setiap kali anak mencret
Umur diatas 5 tahun, 1 - 1½ gelas setiap kali anak mencret

b). Diare dehidrasi ringan-sedang


Dosis oralit yang di berikan dalam 3 jam pertama 75ml/kgbb dan
selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa
dehidrasi
c). Diare dehidrasi berat
Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera diberikan
cairan infuse dan dirujuk ke fasilitas lebih lengkap
2). Berikan obat zinc
Umur <6 bulan : ½ tablet (10 mg) perhari selama 10 hari
Umur >6 bulan : 1 tablet (20 mg) perhari selama 10 hari

3). Pemberian asi / makanan

4). Pemberian antibiotika hanya atas indikasi


Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya
kejadian diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika
hanya bermanfaat pada penderita diare dengan darah.
Obat-obatan anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang
menderita diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak
dianjurkan, kecuali muntah berat. Obat anti protozoa digunakan bila
terbukti diare disebabkan oleh protozoa

5). Pemberian nasehat


Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus
diberi nasehat tentang :
- Cara memberikan obat di rumah
- Kapan harus kembali membawa balita ke petugas kesehatan (bila
diare lebih sering, muntah berulang, sangat haus, makan/minum
sedikit, timbul demam, tinja berdarah, tidak membaik dalam 3 hari).

Anda mungkin juga menyukai