Anda di halaman 1dari 5

Trichuris trichiura

Cacing ini mendapat sebutan sebagai cacing cambuk karena bentuknya yang menyerupai
cambuk. Cacing jantan Trichuris trichiura panjangnya 30 sampai 45 mm, bagian anterior halus
seperti cambuk, bagian ekor melingkar, cacing betina panjangnya 35 sampai 50 mm, bagian
anterior halus seperti cambuk, bagian ekor lurus berujung tumpul. Telur T. trichiura berukuran
lebih kurang 50 x 22 mikron, bentuk seperti tempayan dengan kedua ujung menonjol, berdinding
tebal dan berisi ovum kemudian berkembang menjadi larva setelah 10 sampai 14 hari (Pasaribu
dan Lubis, 2008). Bagian ‘cambuk’ Trichuris trichiura terlihat sepanjang 3/5 dari panjang tubuh
seluruhnya. Bagian posterior cacing ini lebih gemuk.

Trikuriasis merupakan penyakit yang dapat terjadi jika manusia menelan telur
cacing Trichuris trichiura. Misalnya melalui makanan yang terkontaminasi telur cacing (tidak
dicuci dengan bersih atau dimasak kurang matang). Di dalam duodenum (bagian dari usus halus)
larva akan menetas, menembus dan berkembang di mukosa usus halus dan menjadi dewasa di
sekum, akhirnya melekat pada mukosa usus besar. Siklus ini berlangsung selama lebih kurang 3
bulan; cacing dewasa akan hidup selama 1 sampai 5 tahun dan cacing betina dewasa akan
menghasilkan 3.000 sampai 20.000 telur setiap harinya.
Telur yang telah dibuahi kemudian akan dikeluarkan dari tubuh manusia atau
hospes bersama dengan tinja. Telur tersebut akan matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu pada
lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang
adalah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif dari Trichuris trichiura. Masa
pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan telur
kurang lebih selama 30 sampai 90 hari.
Hospes definitive cacing ini adalah manusia dan T.trichiura tidak membutuhkan hospes
intermediet. Telur yang dihasilkan tidak akan berkembang bila berada di lingkungan yang
terpapar sinar matahari secara langsung dan akan mati bila berada pada suhu dibawah -9oC atau
diatas 52oC. Cacing dewasa umumnya bisa ditemukan pada epitel sekum atau kolon. Namun,
pada infeksi berat cacing dewasa juga bisa ditemukan pada apendiks, rektum, atau bagian distal
ileum. (Suriptiastuti, 2006)

c. Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus (Cacing Tambang)


Hospes parasit ini adalah manusia, Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan
giginya melekat pada mucosa usus. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari.
Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa
berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi

Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja,
setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu
sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat 13
bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung
terus ke paruparu. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea
dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing
dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama
makanan. (Suriptiastuti, 2006)

3. Diagnosis
Infeksi STH seringkali tidak menimbulkan keluhan dan gejala yang spesifik, dengan
demikian para dokter harus melakukan pemeriksaan feses. Cara Kato-Katz fecal-thick smear dan
McMaster digunakan untuk mengukur intensitas dari infeksi dengan memperkirakan jumlah
telur per gram tinja. Ultrasonografi dan endoskopi bermanfaat untuk diagnosis dari
komplikasi ascariasis termasuk obstruksi usus dan saluran hepatobiliar serta pankreas.
a. Gejala klinis askariasis
Diklasifikasikan menjadi gejala akut yang berhubungan dengan migrasi larva melalui kulit
dan viseral, serta gejala akut dan kronik yang disebabkan oleh infeksi parasit di saluran
pencernaan oleh cacing dewasa. Gejala klinis oleh larva Ascaris lumbricoides biasanya terjadi
pada saat di paru. Pada orang yang rentan, terjadi pendarahan kecil di dinding alveolus dan
timbul gangguan pada paru yang disertai batuk, demam, dan eosinofilia. Di paru, antigen larva
askariasis menyebabkan respon inflamasi sehingga terbentuk infiltrat eosinofilik yang dapat
dilihat pada pemeriksaan foto toraks. Infiltrat tersebut menghilang dalam waktu tiga minggu.
Keadaan tersebut disebut dengan sindrom Loeffler.
Gejala klinis oleh cacing dewasa tergantung pada jumlah cacing, dan keadaan gizi
penderita. Umumnya, hanya infeksi dengan intensitas yang sedang dan berat pada saluran
pencernaan dapat menimbulkan gejala klinis. Cacing dewasa Ascaris lumbricoides yang terdapat
dalam jumlah banyak pada usus halus dapat menyebabkan distensi abdomen dan nyeri abdomen.
Keadaan ini juga dapat menyebabkan intoleransi laktosa serta malabsorpsi vitamin A dan bahan
nutrisi lainnya, di mana dapat mengakibatkan kekurangan gizi dan gangguan pertumbuhan.
Berbeda dengan obstruksi usus, Askariasis hepatobilier dan pankreas lebih sering dijumpai pada
orang dewasa, terutama wanita, daripada anak-anak. Hal ini mungkin disebabkan ukuran
percabangan duktus bilier (biliary tree) orang dewasa cukup besar untuk dilewati oleh cacing
dewasa. (Soedarto, Buku Ajar Parasitologi Kedokteran , 2011)
b. Gejala Klinis Trikuriasis
Banyak penderita trikuriasis tidak memiliki gejala dan hanya didapati keadaan eosinofilia
pada pemeriksaan darah tepi . Pada trikuriasis, inflamasi pada tempat perlekatan cacing dewasa
dalam jumlah besar dapat menyebabkan kolitis.
Pada infeksi ringan, trikuriasis umumnya tidak menunjukkan gejala. Pada infeksi sedang,
dimana terdapat sekitar 20 cacing dewasa dalam tubuh, akan terlihat gejala nyeri perut, diare
(jarang terdapat darah), muntah, kembung, kehilangan berat badan, serta anemia dan defesiensi
zat besi. Pada infeksi berat trikuriasis dapat ditemukan sekitar 200 cacing dewasa di dalam tubuh.
Gejala klinis yang tampak adalah diare yang disertai darah, nyeri perut, tenesmus, anemia berat,
prolapsus rekti, dan eosinofilia derajat sedang.
Infeksi berat pada anak-anak dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan
rendahnya kesehatan fisik serta status nutrisi. Infeksi trikuriasis berat pada anak-anak akan
memperlihatkan persebaran cacing di seluruh kolon dan rektum. Infeksi berat T. trichiura juga
sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa.
Trikuriasis dapat didiagnosis ketika ditemukannya telur T. trichiura pada pemeriksaan
tinja. Data yang didapat dari hasil pemeriksaan tinja adalah jumlah telur yang dinyatakan dalam
satuan telur per gram (eggs per gram).
Selain dengan pemeriksaan tinja, diagnosis T. trichiura dapat dilakukan dengan
teknik colonoscopy. Namun, colonoscopy merupakan teknik yang kurang biasa
digunakan. Colonoscopy biasanya dilakukan untuk evaluasi jika muncul gejala gastrointestinal
non-spesifik seperti sakit perut, diare, dan anemia. Colonoscopy dilakukan seperti pada
endoskopi, yaitu melihat keadaan pada usus individu dengan bantuan alat yang akan
memvisualisasikan keadaan usus di dalam tubuh individu. Jika terdapat infeksi, maka
hasil colonoscopy akan menunjukkan adanya cacing T. trichiura yang menempel pada usus,
seperti gambar berikut:

c. Gejala Klinis Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus (Cacing Tambang) Dapat
menimbulkan gejala akut yang berhubungan dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta
gejala akut dan kronik yang disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh cacing
dewasa. Larva filariform (larva stadium tiga) yang menembus kulit dalam jumlah yang banyak
akan menyebabkan sindrom kutaneus berupa ground itch, yaitu eritema dan papul lokal yang
diikuti dengan pruritus pada tempat larva melakukan penetrasi. Setelah melakukan invasi pada
kulit, larva tersebut bermigrasi ke paru-paru dan menyebabkan pneumonitis. Pneumonitis yang
disebabkan oleh infeksi larva cacing tambang tidak seberat pada infeksi larva Ascaris
lumbricoides.
Manusia yang belum pernah terpapar dapat mengalami nyeri epigastrik, diare, anoreksia,
dan eosinofilia selama 30-45 hari setelah penetrasi larva yang mulai melekat pada mukosa usus
halus. Infeksi larva filariform Ancylostoma duodenale secara oral dapat menyebabkan sindrom
Wakana, yang ditandai dengan gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, dispepsia, dan serak.
Gejala klinis yang disebabkan oleh cacing tambang dewasa dihasilkan dari kehilangan
darah sebagai akibat dari invasi dan perlekatan cacing tambang dewasa pada mukosa dan
submukosa usus halus. Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi
penderita (Fe dan protein).
4. Komplikasi STH
Cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,05-0,10 cc per
hari, sedangkan Ancylostoma duodenale 0,08-0,34 cc per hari. Penyakit yang disebabkan oleh
cacing tambang terjadi ketika darah yang hilang melebihi cadangan nutrisi hospes, dan akan
menyebabkan anemia defisiensi besi. Anemia yang disebabkan oleh cacing tambang
menyebabkan gambaran eritrosit mikrositik hipokromik dengan gejala pucat, lemah, dipsnoe,
terutama pada anak malanutrisi. Kehilangan protein yang kronis dari infeksi berat cacing
tambang dapat menyebabkan hipoproteinemia dan edema anasarka. Infeksi sedang dan anemia
dapat mengganggu fisik, kognitif, dan intelektual pada anak yang sedang bertumbuh. Pada
banyak kasus infeksi berat, anemia yang disebabkan oleh cacing tambang dapat menyebabkan
gagal jantung kongestif. (Muslim, 2009)
5. Pencegahan Penyakit
a. Promotion
Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna serta hygiene keluarga dan
hygiene pribadi seperti :
1) Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
2) Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci terlebih dahulu
dengan menggunkan sabun dan air mengalir.
3) Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah dicuci bersih dan
disiram lagi dengan air hangat.
4) Ajarkan masyarakat menggunakan fasilitas jamban yang memenuhi syarat kesehatan.
5) Mengajarkan kepada masyarakat agar tidak membuang feses outdors.
6) Mengajarkan kepada masyarakat untuk tidak kontak langsung dengan tanah tanpa
menggunakan pelidung diri (sarung tangan) apalagi dengan tanah yang terkontaminasi feses.

b. Specifik Protection
1) Sediakan fasilitas yang cukup memadai untuk pembuangan kotoran yang layak dan cegah
kontaminasi tanah pada daerah yang berdekatan langsung dengan rumah, terutama di tempat
anak bermain.
2) Di daerah pedesaan, buatlah jamban umum yang konstruksinya sedemikian rupa sehingga
dapat mencegah penyebaran telur cacing melalui aliran air, angin, dan lain-lain. Kompos yang
dibuat dari kotoran manusia untuk digunakan sebagai pupuk kemungkinan tidak membunuh
semua telur.
3) Lakukan kegiatan pemberian obat cacing secara berkala di masyarakat melalui unit pelayanan
kesehatan dasar (PUSKESMAS).
4) Di daerah endemis, jaga agar makanan selalu di tutup supaya tidak terkena debu dan kotoran.
Makanan yang telah jatuh ke lantai jangan dimakan kecuali telah dicuci atau dipanaskan.
5) Ketika bepergian ke negara yang sanitasi dan higienisnya jelek, hindari makanan yang
mungkin berkontaminasi dengan tanah.

c. Early Diagnosis and Promt Treatment


1) Melakukan pemerikasaan kesehatan secara berkala di unit pelayanan kesehatan agar
mengetahui kondisi kesehatan dan bisa mencegah terkena infeksi cacing .
2) Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada untuk meningkatkan status kesehatan. Bisa dengan
berkonsultasi dengan tenaga kesehatan agar memperoleh informasi tentang diagnosa penyakit
dini.
d. Disabillity Limitation
Investigasi kontak dan sumber infeksi : cari dan temukan penderita lain yang perlu
diberikan pengobatan. Perhatikan lingkungan yang tercemar yang menjadi sumber infeksi
terutama disekitar rumah penderita. Penderita penyakit askariasis tidak perlu di isolasi ataupun
di karantina karena tidak akan membahayakan orang lain dan dirinya sendiri.
Untuk penaganan wabah di daerah endemis tinggi cukup dengan pemberian penyuluhan
tentang sanitasi lingkungan dan higiene perseorangan yang baik serta pengobatan massal kepada
kelompok resiko tinggi. (Suriptiastuti, 2006)
6. Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau masal pada masyarakat. Untuk
perorangan dapat diberikan piperasin dosis tunggal untuk dewasa 3-4gram, anak 25mg/kgBB;
pirantel pamoat dosis tunggal 10mg/kgBB; mebenzadol 2×100mg/hr selama 3hr atau 500mg
dosis tunggal; albenzadol dosis tunggal 400mg.
WHO menyarankan strategi pemberantasan difokuskan pada penduduk dengan resiko
tinggi termasuk pengobatan pada masyarakat (juga terhadap Trichuris trichura dan cacing
tambang). Pengobatan dibedakan berdasarkan prevalensi dan beratnya penyakit infeksi:
1) Pengobatan masal pada wanita (sekali setahun termasuk wanita hamil) dan anak prasekolah
usia diatas satu tahun (2 kali setahun). Pengobatan massal untuk anak sekolah diberikan apabila
lebih dari 10% menunjukkan adanya infeksi berat (> 50.000) telur askariasis/gram tinja tanpa
melihat angka prevalensinya.
2) Pengobatan massal setahun sekali untuk risiko tinggi (termasuk wanita hamil) apabila
prevalensinya > 50% dan infeksi berat pada anak sekolah < 10%.
3) Pengobatan individual, apabila prevalensinya < 50% dan infeksi berat pada anak sekolah <
10%. (Suriptiastuti, 2006)

Posted by Anjelina puspita sari at 11:10 PM


Email This

Anda mungkin juga menyukai