Anda di halaman 1dari 35

Harga Diri Rendah

Dosen Pengampu: Ns. Slametiningsih, M.Kep., Sp.J


Nama Kelompok:
Desma Rahmawati 2017720071
Evi Anggarini. H 2017720077
Fitri Ramadhanty 2017720083
Ninin Latifatul. N 2017720098
Ratnah Khaerunisa 2017720106
Salsabila Yudha. M.R 2017720110

5B
Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta
2019
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas semester pendek untuk mata kuliah Keperawatan Menjelang Ajal dan
Paliatif dengan judul “Tugas Keperawatan Jiwa 2 Harga Diri Rendah”.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang telah tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
penulis mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak.
Akhirnya kami harap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua.

Jakarta, September 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................................ii


DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Penjelasan Data-Data Kasus ......................................................................................1
B. Program Pemerintah dan Upaya ................................................................................1
C. Peran-peran Perawat Baik ..........................................................................................2
D. Tujuan ........................................................................................................................2
BAB II LANDASAN TEORI
A. Definisi Vaginitis .......................................................................................................3
B. Definisi Servisitis .......................................................................................................6
C. Definisi Bartolitis .......................................................................................................8
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
A. Askep Vaginitis ..........................................................................................................14
B. Askep Servisitis .........................................................................................................16
C. Askep Bartolitis .........................................................................................................17
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................................19
B. Saran ..........................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Harga diri (self esteem) merupakan salah satu komponen dari konsep diri. Harga diri
merupakan penilaian pribadi berdasarkan seberapa baik prilaku sesuai dengan ideal diri
(Stuart 2009). Harga diri adalah penilaian harga diri pribaddi seseorang, berdasarkan
seberapa baik perilakunya cocok dengan ideal diri. Seberapa sering seseorang mencapai
tujuan secara langsung memengaruhi perasaan kompeten (Harga Diri Tinggi) atau
Rendah Diri (Harga Diri Rendah).
Harga diri berasal dari dua sumber yaitu diri sendiri dan orang lain. Harga diri adalah
fungsi pertama dari di cintai dan mendapatkan rasa hormat dari orang lain. Harga diri
akan turun ketika cinta hilang dan ketika seseorang gagal menerima pengakuan dari orang
lain dan meningkat ketika cinta diterima kembali dan ketika seseorang bertepuk tangan
serta memuji.
Harga diri tinggi adalah perasaan penerimaan diri, tanpa syarat, meskipun salah, kalah
dan gagal, sebagai pembawaan yang berharga dan penting. Haega diri meningkat seiring
usia dan paling terancam selama masa remaja, ketika konsep diri sedang berubah dan
banyak keputusan diri yang dilakukan.
Harga diri rendah adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri, atau cita-cita atau harapan
langsung menghasilkan perasaan bahagia (Keliat,2005). Harga diri rendah adalah keadaan
dimana individu mengalami/beresiko mengalami evaluasi diri negatif tentang kemampuan
diri (Carpemito, 2007). Gangguan harga diri dapat dijabarkan sebagai perasaan yang
negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, serta merasa gagal mencapai
keinginan (Dalami dkk, 2009).

B. Rumusan Masalah
- Apakah definisi dari Harga Diri Rendah?
- Bagaimana proses terjadinya Harga Diri Rendah?
- Bagaimana rentang respon Harga Diri Rendah?
- Bagaimana mekanisme koping Harga Diri Rendah?
- Apakah psikofarmaka Harga Diri Rendah?
C. Tujuan
- Untuk mengetahui definisi Harga Diri Rendah
- Untuk mengetahui proses terjadinya Harga Diri Rendah
- Untuk mengetahui rentang respons Harga Diri Rendah
- Untuk mengetahui mekanisme koping Harga Diri Rendah
- Untuk mengetahui psikofarmaka Harga Diri Rendah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar
1) Definisi
Harga diri rendah merupakan perasaaan yang berasal dari penerimaan diri sendiri
tanpa syarat walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, kegagalan, tetap merasa
penting dan berharga. (Stuart, 2007).
Harga diri rendah merupakan rasa negatif terhadap diri sendiri termasuk
kehilangan percaya diri, tidak berharga, tidak berguna, tidak berdaya, pesimis, tidak
ada harapan dan putuasa (Depkes, 2000).
Harga diri rendah dapat terjadi secara situasional dan kronis. Harga diri rendah
stuasional pengembangan persepsi negatif tentang dirinya sendiri pada suatu kejadian
(NANDA 2005). Harga diri rendah situasional adalah perasaan diri/evaluasi diri
negatif yang berkembang sebagai respon terhadap hilangnya atau berubahnya
perawatan diri seseorang yang sebelumnya mempunyai evaluasi diri positif
(Suliswati, 2005). Sedangkan harga diri rendah kronis adalah evaluasi diri atau
perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif dan di pertahankan dalam
waktu yang lama (NANDA 2009).
2) Proses terjadinya Harga Diri Rendah
Hasil riset (Malhi 2008) menyimpulkan bahwa Harga Diri Rendah diakibatkan
oleh rendahnya cita-cita seseorang. Hal ini mengakibatkan berkurangnya tantangan
dalam mencapai tujuan. Tantangan yang rendah menyebabkan upaya yang rendah.
Selanjutnya hal ini menyebabkan penampilan seseorang yang tidak optimal.
Dalam tinjauan life span history klien, penyebab terjadinya Harga Diri Rendah
adalah pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas keberhasilannya.
Saat individu mencapai remaja keberadaanya kurang dihargai, tidak diberi
kesempatan dan tidak diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal di sekolah,
pekerjaan, atau pergaulan. Harga Diri Rendah muncul saat lingkungan cenderung
mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuannya.
a. Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya Harga Diri Rendah adalah penolakan orangtua,
harapan orangtua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai
tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, dan ideal diri yang
tidak realistis. Misalnya; orangtua tidak percaya pada anak, tekanan dari teman,
dan kultur sosial yang berubah.
b. Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya Harga Diri Rendah biasanya adalah kehilangan
bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau produktivitas
yang menurun. Secara umum, gangguan Harga Diri Rendah ini dapat terjadi
secara situasional atau kronik. Secara situasional, yaitu terjadi secara tiba-tiba,
misalnya harus dioperasi, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja,
kecelakaan, perkosaan atau dipenjara termasuk dirawat di rumah sakit bisa
menyebabkan harga diri rendah karena penyakit fisik atau pemasangan alat bantu
yang tidak tercapai serta perlakuan petugas kesehatan yang kurang menghargai
klien dan keluarga. Harga Diri Rendah kronik, biasanya dirasakan klien sebelum
sakit atau sebelum dirawat klien sudah memiliki pikiran negatif dan meningkat
saat dirawat. Klien mempunyai cara berpikir yang nrgatif, kejadian sakit yang
dirawat akan menambah persepsi negatif terhadap dirinya.
Baik faktor predisposisi maupun presipitasi di atas bila memengaruhi seseorang
dalam berpikir, bersikap maupun bertindak, maka dianggap akan memengaruhi
terhadap koping individu tersebut sehingga menjadi tidak efektif (koping individu
tidak efektif). Bila kondisi pada klien tidak dilakukan intervensi lebih lanjut dapat
menyebabkan klie tidak mau bergaul dengan orang lain, yang menyebabkan klien
asik dengan dunia dan pikirannya sendiri sehingga dapat muncul resiko kekerasan.
3) Pohon Masalah
Resiko Tinggi Prilaku Kekerasan

Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi

Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah Kronis

Koping Individu Tidak Efektif

Gangguan Citra Tubuh
4) Rentang Respon

Adapun rentang respon gangguan konsep diri: harga diri rendah adalah transisi antara
respons konsep diri adaptif dan maladaptif. Gangguan harga diri rendah di gambarkan
sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri
dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan, mengkritik diri sendiri, penurunan
produktivitas, destruktif yang diarahkan pada orang lain, perasaan tidak mampu,
mudah tersinggung dan menarik diri secara sosial.
Penjabarannya adalah sebagai berikut:
a. Aktualisasi diri adalah pernyataan tentang konsep diri yang positif dengan latar
belakang pengalaman yang sukses.
b. Konsep diri positif adalah individu mempunyai pengalaman yang positif dalam
perwujudan dirinya.
c. Harga diri rendah adalah keadaan dimana individu mengalami atau berisiko
mengalami evaluasi diri negatif tentang kemampuan diri.
d. Kekacauan identitas adalah kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek
identitas masa anak-anak kedalam kematangan kepribadian pada remaja yang
harmonis.
e. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistik dan merasa asing dengan diri
sendiri, yang berhubungan dengan kecemasan, kesulitan membedakan diri sendiri
dari orang lain dan tubuhnya sendiri tidak nyata dan asing baginya.
5) Mekanisme koping
Mekanisme koping termasuk pertahanan koping jangka pendek atau jangka panjang
serta penggunaan mekanisme pertahanan ego untuk melindungi diri sendiri dalam
menghadapi persepsi diri yang menyakitkan. Pertahanan jangka pendek mencakup
sebagai berikut:
a. Aktivitas yang memberikan pelarian sementara dan krisis identitas diri (misalnya
konser musik, bekerja keras, menonton televisi secara obsesif).
b. Aktivitas yang memberikan identitas penggantian sementara (misalnya ikut serta
dalam klub sosial, agama, politik, kelompok, gerakan).
c. Aktivitas sementara menguatkan atau meningkatkan perasaan diri yang tidak
menentu (misalnya olahraga yang kompetitif, prestasi akademik, konteks untuk
mendapatkan polaritas).
d. Aktivitas yang merupakan upaya jangka pendek untuk membuat identitas diluar
dari hidup yang tidak bermakna saat ini (misalnya penyalahgunaan obat).
Pertahanan jangka panjang mencakup sebagai berikut:
a. Penutupan identitas: adopsi identitas premature yang diinginkan oleh orang yang
terdekat tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi atau potensi diri individu.
b. Identitas negatif: asumsi identitas yang tidak sesuai dengan nilai dan harapan yang
diterima masyarakat.Disasosiasi, isolasi, proyeksi, mengalihkan marah berbalik
pada diri sendiri dan orang lain. terjadinya gangguan konsep diri harga diri rendah
juga dipengaruhi beberapa factor predisposisi seperti factor biologis, psikologis,
sosial dan cultural. Faktor biologis biasanya karena ada kondisi sakit fisik secara
yang dapat mempengaruhi kerja hormone secara umum, yang dapat pula
berdampak pada keseimbangan neurotransmitter di otak, contoh kadar serotonin
yang menurun dapat mengakibatkan klien mengalami depresi dan pada pasien
depresi kecenderungan harga diri rendah semakin besar karena klien lebih
dikuasai oleh pikiran-pikiran negative dan tidak berdaya.
Struktur otak yang mungkin mengalami gangguan pada kasus harga diri rendah
adalah:
a. System Limbic yaitu pusat emosi, dilihat dari emosi pada klien dengan harga diri
rendah yang kadang berubah seperti sedih, dan terus merasa tidak berguna atau
gagal terus menerus.
b. Hipothalamus yang juga mengatur mood dan motivasi, karena melihat kondisi
klien dengan harga diri rendah yang membutuhkan lebih banyak motivasi dan
dukungan dari perawat dalam melaksanakan tindakan yang sudah dijadwalkan
bersama-sama dengan perawat padahal klien mengatakan bahwa membutuhkan
latihan yang telah dijadwalkan tersebut.
c. Thalamus, system pintu gerbang atau menyaring fungsi untuk mengatur arus
informasi sensori yang berhubungan dengan perasaan untuk mencegah berlebihan
di korteks. Kemungkinan pada klien dengan harga diri rendah apabila ada
kerusakan pada thalamus ini maka arus informasi sensori yang masuk tidak dapat
dicegah atau dipilah sehingga menjadi berlebihan yang mengakibatkan perasaan
negative yang ada selalu mendominasi pikiran dari klien
6) Psikofarmaka
Menurut Anna Issacs, (2005) terapi modalitas pengobatan secara medis yaitu terapi
somatic antara lain:
a. Psikofarmakologi
 Medikasi psikotropik (psikoaktif) mengeluarkan efeknya di dalam otak,
mengubah emosi dan mempengaruhi perilaku.
 Neurotransmitter adalah pembawa pesan kimiawi yang membawa penghambat
atau penstimulasi dari satu neuron ke neuron lain melintasi ruang (sinaps)
diantara mereka.
 Terapi elektrokonvulsif (ECT)
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Ann Isaacs, (2005) terapi modalitas pengobatan secara keperawatan yaitu
terapi aktivitas kelompok dan terapi keluarga. Terapi aktivitas kelompok meliputi:
 Dinamika kelompok adalah kekuatan yang bekerja untuk menghasilkan pola
perilaku dalam kelompok.
 Proses kelompok adalah makna interaksi verbal dan non verbal didalam
kelompok meliputi isi komunikasi, hubungan anatar anggota, pengaturan
tempat duduk, pola atau nada bicara, bahasa dan sikap tubuh serta tema
kelompok untuk stimulasi persepsi: harga diri rendah yaitu identifikasi hal
positif pada diri dan melatih positif pada diri.
Sedangkan untuk terapi keluarga meliputi:
 Terapi keluarga adalah membantu individu dalam keluarga agar tidak
didominasi oleh reaktivitas emosi dan untuk mencapai tingkat diferensiasi diri
yang lebih tinggi.
 Terapi struktural adalah mendorong terjadinya perubahan dalam organisasi
keluarga untuk memodifikasi posisi setiap anggota keluarga di dalam
kelompok.
 Terapi interaksional adalah mengidentifikasi hukum yang tidak terlihat dan
tidak terucap yang mengatur hubungan keluarga dan menggunakan teori
komunikasi untuk meningkatkan parbaikan hubungan.
 Peran perawat pada terapi keluarga adalah mengajarkan pada keluarga tentang
penyakit, sumber daya dan program pengobatan menggunakan teknik
komunikasi terapeutik dan berkolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk
meningkatkan fungsi keluarga.

B. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
a. Faktor predisposisi
1. Faktor yang mempengaruhi citra tubuh:Kehilangan/ kerusakan bagian tubuh
(anatomi dan fisiologi);
 Perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh akibat penyakit;
 Proses penyakit dan dampaknya terhadap struktur dan fungsi tubuh;
 Proses pengobatan seperti radiasi dan kemoterapi.
2. Faktor yang mempengaruhi harga diri:
 Penolakan;
 Kurang penghargaan;
 Pola asuh overprotektif, otoriter, tidak konsisten, terlalu dituruti, terlalu
dituntut;
 Persaingan antar saudara;
 Kesalahan dan kegagalan berulang;
 Tidak mampu mencapai standar.
3. Faktor yang mempengaruhi peran:
o Sterotifik peran seks;
o Tuntutan peran kerja;
o Harapan peran cultural.
4. Faktor yang mempengaruhi identitas:
- Ketidakpercayaan orang tua;
- Tekanan dari “peer group”;
- Perubahan struktur sosial.
b. Faktor Presipitasi
1. Trauma
Masalah spesifik dengan konsep diri adalah situasi yang membuat individu
sulit menyesuaikan diri, khususnya trauma emosi seperti penganiayaan seksual
dan psikologis pada masa anak-anak atau merasa terancam atau menyaksikan
kejadian yang mengancam kehidupan.
2. Ketegangan peran
Ketegangan peran adalah rasa frustasi saat individu merasa tidak mampu
melakukan peran yang bertentangan dengan hatinya atau tidak merasa sesuai
dalam melakukan perannya. Ketegangan peran ini sering dijumpai saat terjadi
konflik peran, keraguan peran, dan terlalu banyak peran. Konflik peran terjadi
saat individu menghadapi dua harapan yang bertentangan dan tidak dapat
dipenuhi. Keraguan peran terjadi bila individu tidak mengetahui harapan peran
yang spesifik atau bingung tentang peran yang sesuai.
2) Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah
b. Isolasi Sosial
3) Perencanaan
a. Gangguan konsep diri: Harga Diri Rendah
Tujuan Intervensi
- Klien dapat mengidentifikasi - Bina hubungan saling percaya.
kemampuan dan aspek positif - Bantu dan dukung klien dalam
yang dimiliki. usahanya mengungkapkan
- Klien dapat menilai kemampuan perasaannya secara verbal.
yang dapat digunakan. - Diskusikan sejumlah
- Klien dapat menetapkan/memilih kemampuan dan aspek positif
kegiatan yang sesuai yang dimiliki klien seperti
kemampuan. kegiatan klien, di rumah, dalam
- Klien dapat melatih kegiatan keluarga dan lingkungan
yang sudah dipilih, sesuai keluarga serta lingkungan
kemampuan. terdekat klien.
- Klien dapat menyusun jadwal - Berikan pujian yang
untuk melakukan kegiatan yang realistik/nyata dan hindarkan
sudah dilatih setiapkali bertemu dengan klien
penilaian yang negatif.
- Bantu klien menyebutkan dan
memberi penguatan terhadap
kemampuan diri yang
diungkapkan klien.
- Bantu klien memilih
kemampuan sesuai dengan
kondisi klien saat ini.
- Motivasi klien untuk melatih
kemampuan yang dipilih.
- Berikan dukungan dan pujian
pada setiap kegiatan yang dapat
dilakukan klien.

Tujuan intervensi pada keluarga


- Keluarga membantu klien - Diskusikan masalah yang
mengidentifikasi kemampuan dihadapi keluarga dalam
yang dimiliki klien. merawat klien.
- Keluarga memfasilitasi - Jelaskan kepada keluarga
pelaksanaan kemampuan yang tentang harga diri rendah yang
masih dimiliki klien. ada pada klien.
- Keluarga memotivasi klien untuk - Diskusikan dengan keluarga
melakukan kegiatan yang sudah kemampuanyang dimiliki klien
dilatih dan memberikan pujian dan memuji klien atas
atas keberhasilan klien. kemampuannya.
- Keluarga mampu menilai - Jelaskan cara-cara merawat
perkembangan perubahan klien dengan harga diri rendah.
kemampuan klien - Bantu keluarga menyusun
rencana kegiatan klien di
rumah
b. Isolasi Sosial
Tujuan Intervensi
- Klien mampu berinteraksi - Bina hubungan saling percaya
dengan orang lain. dengan beri salam setiap
- Klien dapat membina hubungan berinteraksi.
saling percaya. - Tanyakan dan panggil nama
- Klien mampu menyebutkan kesukaan klien.
penyebab tanda dan gejala isolasi - Tunjukan sikap jujur dan
sosial. menepati janji setiap kali
- Klien mampu menyebutkan berinteraksi.
keuntungan berhubungan sosial - Tanyakan perasaan dan
dan kerugian menarik diri. masalah yang dihadapi klien.
- Klien dapat melaksanakan - Dengarkan dengan penuh
hubungan sosial secara bertahap. perhatian ekspresi perasaan
- Klien mampu menjelaskan klien.
perasaanya setelah berhubungan - Tanyakan pada klien tentang
sosial. orang yang paling dekat dengan
- Klien mendapat dukungan klien dirumah atau diruangan
keluarga dan memperluas perawatan.
hubungan sosial - Diskusikan dengan klien
penyebab menarik diri/tidak
maul bergaul dengan orang
lain.
- Beri pujian terhadap
kemampuan klien
mengungkapkan perasaanya.
- Tanyakan pada klien tentang
manfaat hubungan sosial,
kerugian menarik diri.
- Diskusikan Bersama klien
tentang manfaat berhubungan
sosial.
- Beri pujian terhadap
kemampuan klien
mengungkapkan perasaanya.
- Observasi perilaku klien
tentang berhubungan sosial.
- Beri motivasi dan bantu klien
untuk
berkenalan/berkomunikasi.
- Diskusikan pentingnya peran
serta keluarganya sebagai
pendukung untuk mengatasi
perilaku menarik diri.
- Latih keluarga cara merawat
klien menarik diri.
- Beri motivasi keluarga agar
membantu klien bersosialisasi.
- Beri pujian pada keluarga atas
keterlibatannya merawat klien.
4) Evaluasi
 Klien maampu mengutarakan perasaanya
 Klien mampu merespon tindakan keperawatan
 Klien mau duduk berdampingan dengan perawat
 Klien dapat melakukan hubungan sosial
BAB III
STUDY KASUS

A. Study kasus
Tn.I 35 tahun, menikah, klien sudah setahun mengidap penyakit TB dengan putus obat.
Klien berhenti bekerja karena malu dengan penyakitnya dan teman di kantornya mulai
menjauhinya. Klien mengatakan disuruh ibu dan istri nya untuk melanjutkan berobat,
sering menyendiri di kamar, bicara sedikit, sulit komunikasi. Saat dikaji klien
mengatakan ingin cepat sembuh karena merasa malu dengan tetangga karna tidak bekerja
lagi, merasa tidak berguna lagi, 2 bulan sebelum masuk RSJ klien membanting barang,
bicara sedikit, sulit komunikasi, bicara sendiri dan sulit tidur. Klien juga terlihat murung
dan menarik diri. Klien pernah mengalami gangguan jiwa ±3 tahun yang lalu,
pernahrawat jalan di RSJ Sungai Bangkong Pontianak. Klien mengatakan ingin cepat
sembuh dan pulang, merasa bosan dan ingin bekerja lagi. Klien mengatakan malu
berhadapan langsung dengan orang lain selain ibu dan adiknya, klien merasa tidak pantas
jika berada diantara orang lain, kurang interaksi sosial. Masalah Keperawatan: harga diri
rendah.

B. Pengkajian
Identitas Klien
Nama : Tn. I
Umur : 31 Tahun
Alamat : Ngabang
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Melayu / Indonesia
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani

C. Keluhan Utama
Klien mengatakan disuruh ibu dan istri nya untuk melanjutkan berobat, sering menyendiri
dikamar, bicara sedikit, sulit komunikasi.
D. Alasan Masuk
2 bulan sebelum masuk RSJ klien sering menyendiri, membanting barang, bicara sedikit,
sulit komunikasi, bicara sendiri dan sulit tidur.

E. Faktor Predisposisi
1) Klien pernah mengalami gangguan jiwa ±3 tahun yang lalu, pernah rawat jalan di RSJ
Sungai Bangkong Pontianak.
2) Klien sudah setahun mengidap penyakit TB dengan putus obat.

F. Faktor Presipitasi
1) Klien berhenti bekerja karena malu dengan penyakitnya dan teman di kantornya mulai
menjauhinya.
2) klien membanting barang, bicara sedikit, sulit komunikasi, bicara sendiri dan sulit
tidur.
3) Klien mengatakan bahwa dirinya tidak berguna karena tidak bekerja/dapat menafkahi
keluarganya.
Hubungan Sosial
1) Orang yang dekat dengan klien adalah ibu, istri dan ke dua anaknya.
2) Peran serta kelompok/masyarakat: sebelum klien sakit sering mengikuti gotong
royong didesanya.
3) Hambatan dalam hubungan dengan orang lain: selama klien rawat jalan/ berobat jalan
temannya berkurang karena klien malu berkomunikasi.
Masalah Keperawatan: Menarik diri
Spiritual
Klien mengatakan jarang sholat dalam 5x sehari, jika sholat klien sehabis sholat klien
berdoa agar cepat sembuh/

G. Mekanisme Koping
1) Klien tidak mampu berbicara dengan orang lain, terlihat malu.
2) Klien mampu menjaga kebersihan diri sendiri
3) Klien mampu jika ada masalah tidak menceritakan kepada orang lain, lebih suka
diam.
Masalah Keperawatan : Koping Individu Tidak Efek
H. Masalah Keperawatan
1) Harga Diri Rendah.
2) Koping Individu Tidak Efektif.

I. Analisa Data
No. Data Problem
1. Ds : Haga diri rendah
- Klien mengatakan sering
menunduk, kurangnya
interaksi sosial
Do:
- Klien tampak menyendiri
2. Ds: Mekanisme koping tidak efektif
- Klien mengatakan teman
berkurang semenjak sakit
- Klien malu dengan teman
karena klien merasa tidak
pantas diantara mereka
Do : -

J. Perencanaan
 Membantu klien menilai kemampuan yang dapat digunakan saat ini.
 Menyebutkannya dan memberi penguatan terhadap kemampuan diri yang diungkap
klien.
 Perhatikan respon yang positif dan menjadi pendengar yang aktif .
 Membantu klien memilih/menetapkan kegiatan sesuai dengan kemampuan sebagai
kegiatan yang akan dilakukan sehari-hari.
 Bantu klien menetapkan aktivitas mana yang dapat dilakukan secara mandiri, dimana
aktifitas yang memerlukan bantuan minimal dari keluarga dan aktifitas apa saja yang
perlu bantuan penuh dari keluarga atau lingkuran terdekat klien.
 Berikan contoh cara melaksanakan aktifitas yang dapat dilakukan klien, susun
bersama klien dan buat daftar aktifitas atau kegiatan sehari-hari.
BAB IV
ANALISA JURNAL

A. Jurnal 1
HUBUNGAN OBESITAS DENGAN HARGA DIRI PADA REMAJA DI SMA
NEGERI 1 LIMBOTO KECAMATAN LIMBOTO KABUPATEN GORONTALO
Meyske K. Moha
Hendro Bidjuni Jill Lolong
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Manado
1) Pendahuluan
Setiap orang memerlukan sejumlah lemak yang berfungsi sebagai energi, sebagai
penyekat panas, penyerap goncangan dan fungsi lainnya. Wanita dengan lemak tubuh
lebih dari 30 % dan pria dengan lemak tubuh 25 % dianggap mengalami obesitas.
Obesitas atau yang biasa dikenal sebagai kegemukan, merupakan suatu masalah yang
cukup merisaukan di kalangan remaja. Obesitas atau kegemukan terjadi pada saat
badan menjadi gemuk (obese) yang disebabkan penumpukan jaringan adipose secara
berlebihan (Proverawati, 2010). Secara nasional masalah gemuk pada anak umur 5-12
tahun masih tinggi yaitu 18,8 %, terdiri dari gemuk 10,8 % dan sangat gemuk
(obesitas) 8,8 % (Riskesdas, 2013).
Masalah harga diri secara intensif terjadi pada remaja putri ketika proses kenaikan
berat badan berjalan, peningkatan persentase lemak tubuh, pertumbuhan tinggi badan,
perkembangan payudara dan memperoleh hal-hal ini yang berkaitan dengan
kematangan tubuh remaja putri (Proverawati, 2010). Hal tersebut sesuai dengan teori
yang dikemukakan oleh (Fitri D. K dkk 2012) dalam (Nurhayati, 2014) yang
mengemukakan bahwa obesitas dapat mengurangi harga diri dan menyebabkan
masalah emosional. Hal ini terutama terjadi pada perempuan. Anak perempuan yang
mengalami obesitas lebih rentang terhadap gangguan psikologi seperti stress,
gangguan makan, dan lain-lain. Karena pada saat remaja, gangguan psikologi atau
emosi sering dialami secara mendalam, remaja sering menyalurkan emosinya dengan
cara makan yang berlebihan.
Berdasarkan observasi dan data dari SMA Negeri 1 Limboto teridentifikasi
terdapat 30 remaja yang obesitas yaitu 27 remaja putri dan 3 remaja putra dari 831
siswa. Dari hasil wawancara pada 3 orang siswa yang obesitas, mereka
mengungkapkan kurang percaya diri.
E-journal Keperawatan (e-Kp) Volume 5, nomor 1, Februari 2017 dengan berat
badan yang obesitas, sehingga para siswa merasa bentuk tubuhnya tidak proporsional.
Para siswa yang obesitas sering merasa menjadi bahan perbincangan para siswa lain
tentang berat badannya, sehingga hal ini menyebabkan harga diri siswa tersebut
berkurang. Siswa yang obesitas menjadi kurang bergaul dengan siswa yang berat
badannya ideal. Di SMA Negeri 1 Limboto belum pernah dilakukan penelitian dan
pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) sebelumya.
2) Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode adalah survei analitik dengan menggunakan
pendekatan cross sectional, yaitu suatu penelitian yang mempelajari hubungan antara
faktor risiko (independen) dengan faktor efek (dependen), dimana melakukan
observasi atau pengukuran variabel sekali dan sekaligus pada waktu yang sama
(Notoatmodjo, 2012). Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Limboto, Kecamatan
Limboto, Kabupaten Gorontalo pada tanggal 14 – 17 Desember 2016. Pengumpulan
data dilakukan dengan observasi berat badan dan tinggi badan serta pembagian
kuesioner harga diri pada responden.
3) Hasil Dan Pembasahan
1) Karakteristik Responden
Umur N %
14 tahun 3 10,0
15 tahun 16 53,3
16 tahun 11 36,7
Total 30 100,0
Dari tabel 1. di atas dapat diketahui bahwa dari 30 responden dalam penelitian ini,
yang banyak sebagian besar berumur 15 tahun yaitu sebanyak 16 (53,3%)
responden, berumur 16 tahun sebanyak 11 (36,7%) responden dan berumur 14
tahun sebanyak 3 (10,0%) responden.
2) Analisis Univariat
1. Obesitas
Tabel Distribusi Respponden Berdasarkan Obesitas
Obesitas n %
Derajat I 19 63,3
Derajat II 11 36,7
Total 30 100,0
Berdasarkan tabel 5.4 di atas dapat dilihat bahwa dari 30 responden yang
diteliti, ditemukan obesitas derajat I sebanyak 19 (63,3%) responden dan
obesitas derajat II sebanyak 11 (36,7%) responden.
2. Harga diri
Tabel distribusi responden berdasarkan harga diri
Harga diri n %
Tinggi 17 56,7
Rendah 13 43,3
Total 30 100,0
Berdasarkan tabel 5.5 di atas dapat dilihat bahwa dari 30 responden yang
diteliti, ditemukan yang memiliki harga diri tinggi sebanyak 17 (56,7%)
responden dan harga diri rendah sebanyak 13 (43,3%) responden.
3) Data Analisa Bivariat
Analisis bivariat pada penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah ada
hubungan antara obesitas dengan harga diri pada remaja di SMA Negeri 1
Limboto dengan menggunakan Uji Chi – Square dengan tingkat kemaknaan 95%
(α = 0,05) dapat dilihat pada Tabel 5.7 di bawah ini, yaitu:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami
obesitas derajat I yaitu mencapai 63,3%. Obesitas derajat I yang dialami sebagian
besar responden dikarenakan Indeks Massa Tubuh diantara 25,0 sampai 30,0
kg/m2.
Dalam penelitian ini menggambarkan bahwa remaja yang mengalami obesitas
derajat II cenderung memiliki harga diri yang rendah yang dapat menyebabkan
mereka tidak dapat mengaktualisasikan dirinya. Aktualisasi diri merupakan suatu
proses menjadi diri sendiri dengan mengembangkan sifat - sifat serta potensi yang
ada di dalam diri mereka beserta keunikan mereka untuk menjadi pribadi yang
seutuhnya. Biasanya remaja yang mengalami obesitas tidak dapat menerima
kondisi fisiknya yang sebenarnya dan merasa malu dengan remaja lain yang
memiliki tubuh yang ideal.
4) Simpulan
Dari hasil penelitian mengenai hubungan obesitas dengan harga diri pada remaja di
SMA Negeri 1 Limboto, Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo, maka dapat
disimpulkan bahwa:
a. Obesitas pada remaja di SMA Negeri 1 Limboto sebagian besar adalah obesitas
derajat I.
b. Harga diri pada remaja di SMA Negeri 1 Limboto sebagian besar adalah harga
diri tinggi.
c. Ada hubungan antara obesitas dengan harga diri pada remaja di SMA Negeri 1
Limboto.
B. Jurnal 2
PENGARUH TERAPI KOGNITIF TERHADAP HARGA DIRI REMAJA
KORBAN BULLYING
Betie Febriana1 , Sri Poeranto2, Rinik Eko Kapti3
1Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Islam Sultan Agung
2Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
3Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
1) Pendahuluan
Remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang
rentan terhadap terjadinya masalah psikososial (Steinbeg, 2009). Salah satunya
masalah tersebut adalah bullying. Bullying dapat didefinisikan sebagai sebuah pola
perilaku agresif yang berulang, dengan intensi yang negatif, diarahkan dari seorang
anak kepada anak yang lain yang kekuatannya yang tidak seimbang (Olweus, 1993).
Penelitian yang dilakukan Simbar, Ruindungan dan Solang (2015) menyebutkan
bahwa 26,7% remaja memiliki harga diri rendah pasca mendapat perlakuan bullying
yaitu menarik diri dari lingkungan sekitar untuk memperoleh rasa aman. Jika ini terus
berlanjut maka akan muncul ide bunuh diri hingga percobaan bunuh diri karena
perasaan malu (harga diri rendah) (Espelage & Holt, 2012).
World Health Organization (2015) menyebutkan bahwa perawat jiwa merupakan
tenaga kesehatan terbesar yang tersebar di seluruh dunia yaitu sebesar 40%. Dengan
jumlah sebanyak ini diharapkan mampu memecahkan masalah kesehatan jiwa dunia
termasuk masalah bullying pada remaja. Salah satu intervensi keperawatan yang dapat
dilakukan oleh seorang perawat adalah terapi kognitif.
2) Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan True
Experimental Pre-Post Test With Control Group. Terapi kognitif sebagai variable
independen dan harga diri sebagai variabel dependen. Instrument harga diri
menggunakan kuesioner dari teori Stuart (2013), Kaplan (2010), dan Herdman (2015)
yang dinilai dari aspek kognitif, afektif, prilaku, sosial, dan fisik. Instrument terdiri
dari 30 pertanyaan. Instrumen valid dengan nilai r hitung antara 0,567-0,836 dan
reliabel dengan nilai 0,957.
3) Hasil
Hasil Uji Marginal Homogeneity Harga Diri Remaja Korban Bullying Sebelum Dan
Sesudah Diberikan Terapi Kognitif Pada Kelompok Perlakuan
Berdasarkan tabel diatas didapatkan bahwa terdapat perubahan kategori harga diri
pada kelompok perlakuan. Harga diri rendah setelah terapi meningkat menjadi harga
diri sedang pada 4 orang responden, harga diri sedang meningkat menjadi harga diri
cukup tinggi pada 5 orang responden dan harga diri cukup tinggi menjadi tinggi
sebanyak 3 orang.
4) Pembahasan
Perbedaan harga diri remaja korban bullying sebelum dan sesudah diberikan terapi
kognitif pada kelompok perlakuan di SMA Taman Madya, Malang Kelas X Dan XI
Tahun 2016.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa setelah mendapatkan terapi kognitif
menunjukkan adanya peningkatan harga diri antara sebelum dan sesudah pada
kelompok perlakuan yaitu semua responden (100%) yang terkategori harga diri
rendah setelah terapi berada di kategori harga diri sedang.
Remaja yang menjadi korban bullying akan menterjemahkan pengalaman bullying
dalam kehidupan sehari-hari. Penterjemahan ini dimulai dari memikirkan apa yang
telah terjadi sehingga timbul asumsi, ketika asumsi tersebut terus berulang maka akan
mengaktifkan asumsi buruk yang akan menghasilkan pikiran otomatis negatif dan
akhirnya diterjemahkan melalui perasaan, pikiran, perilaku baik intrapersonal ataupun
interpersonal (Power, 2010).
Remaja yang menjadi korban bullying akan menterjemahkan pengalaman bullying
dalam kehidupan sehari-hari. Penterjemahan ini dimulai dari memikirkan apa yang
telah terjadi sehingga timbul asumsi, ketika asumsi tersebut terus berulang maka akan
mengaktifkan asumsi buruk yang akan menghasilkan pikiran otomatis negatif dan
akhirnya diterjemahkan melalui perasaan, pikiran, perilaku baik intrapersonal ataupun
interpersonal (Power, 2010).
5) Kesimpulan
Studi ini menunjukkan bahwa terapi kognitif mampu memberikan dampak bagi
peningkatan harga diri korban bullying di kalangan remaja. Terdapat pengaruh terapi
kognitif terhadap harga diri remaja korban bullying dengan nilai p 0,031.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penting ini untuk mengembangkan
dan mengaplikasikan pemberian asuhan keperawatan jiwa pada seluruh tatanan
pelayanan kesehatan dengan terapi kognitif untuk remaja korban bullying untuk
meningkatkan harga dirinya. Perlu dikembangkan penelitian lanjutan sebagai model
terapi yang dikolaborasikan dengan terapi kognitif untuk meningkatkan harga diri
pada aspek sosial yang kekuatan hubungannya paling lemah, yaitu dengan terapi
ketrampilan sosial (social skill training).
C. Jurnal 3
CASE REPORT: AFIRMASI POSITIF PADA HARGA DIRI RENDAH
SITUASIONAL PASIEN FRAKTUR FEMUR
Ike Mardiati Agustin1, Sri Handayani2
1Dosen STIKes Muhammadiyah Gombong
2Alumni STIKes Muhammadiyah Gombong
1) Pendahuluan
Insiden fraktur di Indonesia 5,5 % dengan rentang setiap provinsi antara 2,2
sampai 9 %. Fraktur ekstremitas bawah memiliki prevalensi sekitar 46,2 % dari
insiden kecelakaan. Hasil tim survey Depkes RI (2007) didapatkan 25 % penderita
fraktur mengalami kematian, 45% mengalami cacat fisik, 15 % mengalami stress
psikologis dan bahkan depresi, serta 10 % mengalami kesembuhan dengan baik.
Menurut Hanley & Belfus (2009), klien yang mengalami gangguan pada fraktur
akan menimbulkan respons dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi
pada dirinya dan lingkungan disekitarnya serta mempengaruhi diri dalam berinteraksi
dengan orang lain. Masalah harga diri rendah situasional dengan diagnosa medis
fraktur femur perlu diintervensi dengan tepat karena jika tidak mendapat penanganan
yang baik, bukan hanya mempengaruhi kualitas hidup pasien tetapi juga dapat
berkembang menjadi masalah psikologis yang lebih serius. Harga diri rendah
situasional dengan diagnosa medis fraktur femur yang tidak ditangani dapat
berkembang menjadi risiko bunuh diri dan keputusasaan (Rebecca et al (2009).
Oleh karena itu, penanganan masalah harga diri rendah situasional dengan
diagnosa medis fraktur femur sangat penting untuk dilakukan. Sehingga, penulis
tertarik mengoptimalkan asuhan keperawatan dengan melakukan penerapan terapi
afirmasi positif pada pasien harga diri rendah situasional dengan diagnosa medis
fraktur femur di RSUD Dr. Soedirman Kebumen. Memaparkan hasil penerapan terapi
afirmasi positif pada pasien harga diri rendah situasional dengan diagnosa medis
fraktur femur di RSUD Dr. Soedirman Kebumen.
2) Metode
Metodologi yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan pendekatan studi
kasus pada 5 orang pasien fraktur femur post operasi yang mengalami gangguan
konsep diri harga diri rendah situasional di ruang rawat inap teratai RSUD dr.
Soedirman Kebumen. Proses penerapan dan pemberian terapi afirmasi dilakukan
selama 1 bulan dengan 2 kali tindakan selama satu minggu.
3) Hasil
Karakteristik pasien fraktur femur dengan diagnosa keperawatan harga diri rendah
di jelaskan dalam tabel dibawah ini.
Tabel karateristik pasien harga diri rendah situasional (n=5)
Karateristik F %
Jenis kelamin
Laki-laki 5 100
Perempuan 0 0
Total 5 100
Pendidikan
SD 2 40
SMP 1 20
SMA 2 40
Total 5 100
Usia
12-16 tahun 1 20
17-25 tahun 1 20
26-35 tahun 1 20
36-45 tahun 1 20
46-55 tahun 1 20
Total 5 100
Berdasarkan table 1.1 P1 berjenis kelamin laki-laki, pendidikan SD, berusia 39 tahun.
P2 berjenis kelamin laki-laki, pendidikan SMP, berusia 15 tahun. P3 berjenis kelamin
laki-laki, pendidikan SD, berusia 50 tahun. Klien P4 berjenis kelamin laki-laki,
pendidikan SMA, berusia 17 tahun. Klien P5, berjenis kelamin laki-laki, pendidikan
SMA, berusia 29 tahun.
4) Pembahasan
Penerapan Terapi Afirmasi Positif Pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Dengan Diagnosa Medis Fraktur Femur. Setelah dilakukan perlakuan terapi aktivitas
menunjukkan terapi afirmasi positif efektif mengurangi tanda gejala harga diri rendah
situasional. Menurut Hanley & Belfus (2009), klien yang mengalami gangguan pada
fraktur akan menimbulkan respons dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan yang
terjadi pada dirinya dan lingkungan disekitarnya serta mempengaruhi diri dalam
berinteraksi dengan orang lain.
Pelayanan komprehensif merupakan pelayanan klien secara total dan pelayanan
kesehatan holistik berkembang bagi konsep holisme. Kesehatan holistik melibatkan
individu secara total, keseluruhan status kehidupannya dan kualitas hidupnya dalam
berespons terhadap perubahan yang terjadi pada diri dan lingkungannya (Kozier &
Erb, 2012). Sehingga perawat dapat memberikan pelayanan secara tepat dan efektif
untuk membantu klien dalam beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi
disekitarnnya. Dalam mengurangi tanda gejala harga diri rendah situasional dengan
diagnosa medis fraktur femur salah satu teknik yang dapat digunakan adalah afirmasi
positif.
Masalah harga diri rendah situasional dengan diagnosa medis fraktur femur perlu
diintervensi dengan tepat karena jika tidak mendapat penanganan yang baik, bukan
hanya mempengaruhi kualitas hidup pasien tetapi juga dapat berkembang menjadi
masalah psikologis yang lebih serius. Harga diri rendah situasional dengan diagnosa
medis fraktur femur yang tidak ditangani dapat berkembang menjadi risiko bunuh diri
dan keputusasaan (Rebecca et al (2009).
BAB V
STRATEGI PELAKSANAAN

Sp 1 Pasien
Tujuan:
1. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien
2. Membantu pasien menilai kemampuan passien yang masih dapt digunakan
3. Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai kemampuan pasien
4. Melatih pasien sesuai kemampuan yang dipilih
5. Membantu memberikan pujian yang wajar terrhadap keberhasilan pasien
6. Menganjurkan pasien memasukaan dalam jadwal kegiatan harian
Orientasi
“Selamat pagi, bagaimana keadaan Tn.I hari ini? Terlihat segar.”
“Bagaimana, kalau kita bercakap-cakap tentang kemampuan dan kegiatan yang pernah
Tn.I lakukan? Setelah ini kita akan nilai kagiatan mana yang masih Tn.I lakukan. Setelah kita
nilaikita akan pilih satu kegiatan untuk kita latih.”
“Dimana kita duduk? Bagaiman kalu di ruang tamu? Berapa lama? Bagaimana kalau 20
menit?”
Kerja
“Tn.I apa saja kemampuan yang anda miliki? Bagusss, apa lagi? Saya buat daftarnya ya!
Apa pula kegiatan rumah tangga yang biasa anda lakukan? Bagaimana dengan merapikan
kamar? menyapu? mencuci piring? melipat baju? Dan menyiram tanaman?“
“Tn.I dari lima kegiatan/ kemampuan ini, yang aman yang masih dapat dikerjakan? Coba
kita lihat, yang pertama dapatkah anda merapikan kamar, yang kedua menyapu, mencuci
piring, melipat baju, bagus sekali ada 3 kegiatan yang maih bisa anda lakukan.”
“Sekarang, coba Tn.I pilih satu kegiatan yang masih dapat dikerjakan”. “Okey yang
nomor satu, meapikan tempat tidur, kalau begitu bagaiman kalau sekarang kita latihan
merapikan tempat tidur”. Mari kita lihan tempat tidur anda. Coba lihat udah rapikah tempat
tidurnya?”
“Nah kalau kita mau merapikan tempat tidur, mari kita pindahkan dulu bantal dan
selimutnya. Bagus! Sekarang kita angkat sepreinya, kita mulai dari atas, ya bagus! Sekarang
sebelah kaki, tarik dan masukan, lalu sebelah pinggir masukan. Sekarang ambil bantal
rapikan, dan letakkan disebelah atas/kepala. Mari kita lipat selimut, nah letakkan sebelah
bawah/kaki Bagus!.”
“Tn.I sudah dapat merapikan tempat tidur dengan baik sekali. Coba perhatikan bedakah
dengan sebelum di rapikan? Bagus?”
“Coba Tn.I lakukan dan jangan lupa memberi tanda di jadwal harian dengan huruf M
(mandiri) kalau anda lakukan tanpa diuruh. Tulis B (bantuan) jika diingatkan dapat
melakukan dan T (tidak) melakukan.
Teminasi
“Bagaimana perassaan anda setelah kita becakap-cakap dan latihan merapikan tempatt
tidur? Yah,anda ternyata banyak memiliki kemampuan yang dapat dilakukan di rumah akit
ini. Salah satunya, merapikan tempat tidur, yang sudah anda praktikan denagn baik sekali”.

Sp II
Tujuan:
1. Mengevaluuasi jadwal kegiatan harian pasien
2. Melatih kemampuan kedua
3. Menganjurkan pasien memasukan dalam jadwal harian
Orientasi
“Selamat pagi, bagaimana perasaan anda pagi ini? Wah, tampak cerah”
“Bagaimana, sudah dicoba merapikan tempat tidur sore kemarin/tadi pagi? Bagus (kalau
sudah dilakukan, kalau belum bantu lagi), sekarang kita akan latihan kemampuan kedua.
Masih ingat apa kegiatan itu Tn.I?”
“Ya benar, kita akan latihan mencuci piring di dapur”
“Waktunya sekitar 5 menit. Mari kita dapur!”
Kerja:
“Tn.I sebelum kita mencuci piring kita perlu siapkan dulu perlengkapannya, yaitu
sabut/tapes untuk membersihkan piring, sabun khusus untuk mencici piring, dan air untuk
membilas, anda dapat menggunaakan air yang mengalir dari kran ini. Oh ya, jangan lupa
sediakan temmpat sampah untuk membuang sisa makanan”
“Sekarang, saya perlihatkan dulu ya caranya”
“Setelah semua perlengkapan tesedia, anda ambil satu piring kotor, lalu buang dulu sisa
kotoran yang ada di piring terrsebut ke tempat sampah. Kemudian anda bersihkan piring
tersebut dengan menggunakan sabut/tapes yang sudah diberikan sabun pencuci piring.
Setelah selesai disabuni, bilas dengan air bersih sampai tidak ada busa sedikitpun di piring
tesebut. Setelah itu anda dapat mengeringkan piring yang sudah bersih tadi di rak yang
ssudah tersedia di dapur. Nah selesai.
“Sekaran coba anda lakukan”
“Bagus sekali, anda dapat mempraktikan cuci piring denan baik. Sekarang dilap
tangannya.”
Terminasi
“Bagaimana perasaan anda setelah latihan mencuci piring?”
“Bagaimana jika kegiatan mencuci piring ini dimasukan menjadi kegiatan sehari-hari,
anda mau berapa kali mencuci piring? Bagus sekali anda mencuci piring 3 kali setelah
makan”
“Besok kita akan latihan kemampuan ketiga, setelah merapikan tempat tidur dan cuci
piring. Masih ingat kegiatan apa itu? Ya benar kita akan melakukan mengepel.”
“Mau jam berapa? Sama dengan sekarang? Baik selamat pagi.”

Sp III
Tujuan:
1. Melatih keluarga mempaktekkan cara merawat pasien dengan harga diri rendah
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien harga diri rendah
Orientasi
“Selamat pagi”
“Bagaimana keadaan Bapak pagi ini?”
“Bagaimana kalo pagi ini kita bercakap-cakap tentang cara merawat T?”
“Berapa lama waktu Bapak/Ibu? 30 menit? Baik, mari duduk di ruang tamu!”
“Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang masalah T?”
“Ya memang benar sekali Pak/Bu, T itu memang terlihat tidak percaya diri dan sering
menyalahkan dirinya sendiri. Mis, T sering menyalahkan dirinya dan mengatakan dirinya
adalah orang paling bodoh sedunia. Dengan kata lain, anak Bapak/Ibu memiliki masalah
harga diri rendah yang ditandai dengan munculnya pikiran-pikiran yang selalu negative
terhadap diri sendiri. Bila keadaan T terus menerus seperti itu, T dapat mengalami masalah
yang lebih berat lagi, mis, T jadi malu bertemu dengan orang lain dan memilih mengurung
diri”
“Sampai di sini, Bapak/Ibu mengerti apa yang dimaksud harga diri rendah?”
“Bagus sekali Bapak/Ibu sudah mengerti”
“Setelah kita mengerti bahwa masalah T dapat menjadi masalah serius, maka kita perlu
memberikan perawatan yang baik untuk T”
“Bapak/Ibu, apa saja kemampuan yang dimiliki T? Ya benar, dia juga mengatakan hal
yang sama (kalau sama dengan kemampuan yang dikatakan T)”
“T itu telah berlatih dua kegiatan yaitu merapihkan tempat tidur dan mencuci piring. Serta
telah dibuat jadwal untuk melakukanya. Untuk itu Bapak/Ibu dapat mengingatkan T untuk
melakukan kegiatan tersebut sesuai jadwal. Tolong bantu menyiapkan alat-alatnya ya,
Pak/Bu. Dan jangan lupa memberikan pujian agar harga dirinya meningkat. Ajak pula
memberi tanda cek list pada jadwal kegiatanya”
“Selain itu, Bapak/ibu tetap perlu memantau perkembangan T. Jika masalah harga dirinya
kembali muncul dan tidak tertangani lagi, Bapak/ibu dapat membawa T ke puskesmas”
“Nah bagaimana kalo sekarang kita praktikkan cara memberikan pujian kepada T?”
“Temui T dan tanyakan kegiatan yang sudah dia lakukan lalu berikan pujian dengan
mengatakan: Bagus sekali T, kamu sudah semakin terampil mencuci piring.”
“Coba Bapak/Ibu praktikan sekarang. Bagus “
Terminasi:
“Bagaimana perasaan bapak setelah percakapan ini?”
“Dapatkah Bapak/Ibu jelaskan kembali masalah yang dihadapi T dan bagaimana cara
merawatnya?”
“Bagus sekali Bapak/Ibu dapat menjelaskan dengan baik. Nah setiap kali Bapak/Ibu
kemari lakukan seperti itu. Nanti di rumah juga demikian.“
“Bagaimana kalau kita bertemu lagi dua hari mendatang untuk latihan cara memberi
pujian langsung kepada T?”
“Pukul berapa Bapak/Ibu akan datang? Baik saya tunggu, sampai jumpa.”
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Harga diri rendah adalah keadaan dimana individu mengalami/beresiko mengalami
evaluasi diri negatif tentang kemampuan diri. Beberapa faktor terjadinya harga diri
rendah adalah penolakan orangtua, harapan orangtua yang tidak realistis, kegagalan
berulang kali, ketergantungan pada orang lain, dan ideal diri yang tidak realistis.
Diharapkan setelah melakukan asuhan keperawatan klien mampu mengatasi harga dirinya
dan menilai positif terhadap dirinya dan apa yang mampu dilakukannya.

B. Saran
 Bagi perawat
Hendaknya menerapkan ilmu dan kiat keperawatan sehingga pada saat menerapkan
tindakan keperawatan secara profesional dan meningkatkan komunikasi teraupetik
terhadap klien sehingga askep dapat tercapai.
 Bagi keluarga
Anggota keluarga yang mengalami gangguan kejiwaan khususnya HDR disarankan
untuk selalu memberikan pengawasan dan control secara rutin setelah dilakukan
perawatan di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA

Stuart, Gail W. 2014. Buku Saku Keperawatan Jiwa ed.5. Jakarta: EGC

Stuart, Gail W. 2017. Prinsip dan Praktik Keperawatan Jiwa Stuart Buku 1. Jakarta: Elsevier

Anda mungkin juga menyukai