Anda di halaman 1dari 16

qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwerty

uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasd
fghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx
cvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq
MAKALAH POLITIK LUAR NEGERI
RI
wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui
SEJARAH AWAL KEMERDEKAAN INDONESIA
1945-1949
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg 10/3/2012

hjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc
Rizal Ramadhan Herman, M. Rifqi Naufaldhia, Raden Putra Hardani

vbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq
wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg
hjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc
vbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq
wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg
hjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbn
mqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwert
yuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopas
I. Awal-awal Kemerdekaan Indonesia 3
II. Perundingan Linggarjati 4
III. Agresi Militer Belanda I 5
IV. Perjanjian Renville 8
V. Agresi Militer Belanda II 9
VI. Perjanjian Roem-Roijen 12
VII. Konferensi Meja Bundar 13
VIII. Sejarah Berdirinya Kementrian Luar Negeri RI 14
IX. Tugas dan Fungsi Kementrian Luar Negeri 15

2
I. Awal-awal Kemerdekaan Indonesia
Mendengar kabar bahwa Jepang tidak lagi mempunyai kekuatan untuk
membuat keputusan seperti itu pada 16 Agustus, Soekarno membacakan
"Proklamasi" pada hari berikutnya. Kabar mengenai proklamasi menyebar melalui
radio dan selebaran sementara pasukan militer Indonesia pada masa perang,
Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), para pemuda, dan lainnya langsung
berangkat mempertahankan kediaman Soekarno.
Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil
Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari
sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
sebagai parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini
mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik
Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk
wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.
Dari 1945 hingga 1949, persatuan kelautan Australia yang bersimpati dengan
usaha kemerdekaan, melarang segala pelayaran Belanda sepanjang konflik ini
agar Belanda tidak mempunyai dukungan logistik maupun suplai yang diperlukan
untuk membentuk kembali kekuasaan kolonial.
Usaha Belanda untuk kembali berkuasa dihadapi perlawanan yang kuat.
Setelah kembali ke Jawa, pasukan Belanda segera merebut kembali ibukota
kolonial Batavia, akibatnya para nasionalis menjadikan Yogyakarta sebagai
ibukota mereka. Pada 27 Desember 1949, setelah 4 tahun peperangan dan
negosiasi, Ratu Juliana dari Belanda memindahkan kedaulatan kepada pemerintah
Federal Indonesia. Pada 1950, Indonesia menjadi anggota ke-60 PBB.

3
II. Perundingan Linggarjati

Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang


menetapkan 'status quo' di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara
Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10 November, selain itu
pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik
politik dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat
Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe,
namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui
kedaulatannya atas Jawa,Sumatera dan Pulau Madura, namun Belanda hanya mau
mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda


diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim
Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook,dan Lord Killearn dari Inggris
bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini. Dicapailah suatu persetujuan
tanggal 15 November 1946 yang pokok-pokoknya sebagai berikut :

a. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah


kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus
meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949
b. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara
Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu
bagiannya adalah Republik Indonesia
c. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia -
Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

4
III. Agresi Militer Belanda I

Pada tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum agar supaya RI
menarik mundur pasukan sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI
menolak permintaan Belanda ini.

Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang


kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun
sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini
sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri.
Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato
radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan
Persetujuan Linggajati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih
dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan
berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.

Konferensi pers pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ


Van Mook mengumumkan pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil
Belanda pertama. Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan
telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam
bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli
1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik
Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah
perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara,
dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat
perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.

Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan
khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini
berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C.
Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari
Pembantaian Westerling|pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi

5
lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera
Barat.

Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik


Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan
pertambangan.

Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di
badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang
Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya
Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto|Agustinus Adisutjipto,
Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I
Adisumarmo Wiryokusumo.

Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB,


karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian
Internasional, yaitu Persetujuan Linggajati.

Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional,


termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas
permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang
dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang
kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya
menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.

Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal


ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB
secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies.
Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian
resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1
November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan
PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda
sebagai The Indonesian Question.

6
Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947
Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan
Keamanan untuk menghentikan pertempuran.

Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah


Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata,
dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan
menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya
hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik
Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena
beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia
yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral.
Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland
dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.

7
IV. Perjanjian Renville

Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang


ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang
Amerika Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan
Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan
ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for
Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.

Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin.


Delegasi Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL R. Abdul Kadir
Wijoyoatmojo. Delegasi Amerika Serikat dipimpin oleh Frank Porter Graham.

Lalu melahirkan beberapa isi perjanjian sebagai berikut :

a. Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai


bagian wilayah Republik Indonesia
b. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan
daerah pendudukan Belanda
c. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah
pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta

8
V. Agresi Militer Belanda II

Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal
19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa
Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap
semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap
Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II
telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai
"Aksi Polisional".

Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas


lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo
dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat
Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan
pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu
beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam
keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI
bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST
Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung
sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan
Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak
penyerang, tak satu pun jatuh korban.

Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di
Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600
orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan
beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di
Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.

Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta


menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di
Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal
18 Desember malam hari.

9
Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai
serangannya, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang
dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.

Soedirman yang dalam keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden.


Soedirman didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr.
Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang
hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira TNI
lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala
kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan
untuk tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta
keputusan yang diambil adalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948.
Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal
dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya
Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. Menteri Laoh mengatakan bahwa
sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan
Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan
KTN sebagai wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang
hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota.

Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis
pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden
membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara,
Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil
Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa
ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah
Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa
Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat
untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N.
Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New
Delhi.

Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta
sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman,
10
Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan
Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum
mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan
pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk
Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar
dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of
Republic Indonesia di New Delhi, India.

Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan


hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh
Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3
orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri
Perhubungan.

11
VI. Perjanjian Roem-Roijen
Perjanjian Roem-Roijen adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan
Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani
pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua
pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen. Maksud
pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai
kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada
tahun yang sama. Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Bung
Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari
Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap Pemerintahan
Republik Indonesia di Yogyakarta, dimana Sultan Hamengku Buwono IX
mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie”

Hasil pertemuan ini adalah :


a. Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya
b. Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar
c. Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
d. Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan
membebaskan semua tawanan perang

12
VII. Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah
Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23
Agustus hingga 2 November 1949.

Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah :


a. Serahterima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik
Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua
bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda
ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis.
Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2
menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serah terima, dan
bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
b. Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch
Belanda sebagai kepala negara
c. Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat

13
VIII. Sejarah Berdirinya Kementrian Luar Negeri RI
Pada tahun 1945 sampai tahun 1950, Kementerian Luar Negeri merupakan tahun
awal kemerdekaan Indonesia merupakan masa yang menentukan dalam
perjuangan dalam penegakan kemerdekaan yang merupakan bagian sejarah yang
menentukan karakter atau watak politik luar negeri Indonesia.

Kemudian dilanjutkan pada tahun 1960 hingga tahun 1988 berhasil melakukan
intergrasi Irian Barat ke dalam pangkuan ibu pertiwi, Indonesia mendapatkan
pengakuan sebagai negara kepulauan dalam memperjuangkan hukum laut dalam
United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS), meningkatkan
Kerjasama ASEAN, mencari Pengakuan internasional thd Timtim akan tetapi
berakhir dengan referendum, Ketua Gerakan Non Blok untuk memperjuangkan
kepentingan negara-negara berkembang, Ketua APEC dan Group of
15,keanggotaan Indonesia dalam Peace Building Commission (PBC) dan
meningkatkan kerjasama pembangunan ekonomi dengan negara The Group of
Twenty (G-20).

Mr. Ahmad Subardjo yang ditunjuk sebagai Menlu pertama membuka kantor
Kemenlu di rumahnya sendiri di Jl Cikini Raya No. 80-82 Jakarta. Pada saat itu
beliau dibantu beberapa staf seperti Herawati Diah, Paramita Abdulrachman, Mr.
Sudjono, Suyoso Hadiasmoro dan Hadi Thayeb. Dari Cikini Raya, kantor
Kemenlu pindah ke gedung eks Departemen Pendidikan dan Kebudayaan jaman
Belanda dan Jepang di Jl. Cilacap No. 4, untuk kemudian pindah lagi ke Jl.
Pegangsaaan Timur No. 36. Setelah itu barulah Kemenlu berkantor secara tetap di
jalan Pejambon No. 6 dan Jl. Sisingamangaraja.

14
IX. Tugas dan Fungsi Kementrian Luar Negeri
a. Tugas Kementrian Luar Negeri di Awal Kemerdekaan
 Mengusahakan simpati dan dukungan masyarakat internasional,
menggalang solidaritas teman-teman disegala bidang dan dengan
berbagai macam upaya memperoleh dukungan dan pengakuan atas
kemerdekaan Indonesia
 Melakukan perundingan dan membuat persetujuan :
 Persetujuan Linggarjati – pengakuan atas RI meliputi Jawa dan
Madura
 1948 Perjanjian Renville – pengakuan atas RI meliputi Jawa
dan Sumatera
 1949 Perjanjian KMB – Indonesia dalam bentuk negara Federal
> 1950 Diplomasi Indonesia berhasil mengembalikan keutuhan
wilayah RI dengan membatalkan Perjanjian Konferensi Meja
Bundar (KMB)
 Masa 5 tahun pertama kemerdekaan Indonesia merupakan masa
yang menentukan dalam perjuangan penegakan kemerdekaan
yang merupakan bagian sejarah yang menentukan Karakter
atau Watak politik luar negeri Indonesia.
Semangat Diplomasi Perjuangan yang memungkinkan
Indonesia pada akhirnya meraih dukungan luas masyarakat
internasional di PBB pada tahun 1950

b. Fungsi Kementrian Luar Negeri


 Memagari potensi disintegrasi bangsa
 Upaya membantu pemulihan ekonomi
 Upaya peningkatan citra Indonesia
 Meningkatkan kualitas pelayanan dan perlindungan Warga negara
Indonesia /WNI dan kepentingan Indonesia
 Melakukan hubungan kerjasama Bilateral, Regional, Multilateral dan
Organisasi internasional

15
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia

http://id.wikipedia.org/wiki/Perundingan_Linggarjati

http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Renville

http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Roem_Royen

http://www.kemlu.go.id/Pages/History.aspx?l=id

http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/08/19/66-tahun-kementerian-luar-negeri-ri/

16

Anda mungkin juga menyukai