Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ginjal merupakan salah satu organ penting pada tubuh manusia yang
berfungsi mempertahankan homeostasis dengan cara mengatur
keseimbangan cairan dan elektrolit (Baradero dkk, 2018). Gagal ginjal
kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi apabila kedua ginjal mengalami
kerusakan secara progresif dan irreversible yang disebabkan karena adanya
eksaserbasi nefritis, obstruksi saluran kemih, kerusakan vaskuler akibat
penyakit sistemik (diabetes mellitus, hipertensi) dan membentuk jaringan
parut pada pembuluh darah (Baradero dkk, 2018). Selain itu dapat ditandai
dengan peningkatan ureum kreatinin dan penurunan laju filtrasi glomerulus
(Baradero dkk, 2018).Seseorang dengan masalah gagal ginjal kronik yang
sudah mengalami gangguan fungsi ginjal biasanya harus menjalani terapi
pengganti ginjal atau hemodialisa. Hemodialisa merupakan terapi jangka
panjang yang biasa dilakukan pada penderita gagal ginjal kronis.
Hemodialisis berperan sebagai penyaring untuk membuang toksin yang ada
dalam darah. Namun demikian, terapi hemodialisa tidak dapat
menyembuhkan gangguan ginjal pada pasien.
Berdasarkan data dari RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar)
menunjukkan, pada tahun 2018 prevalensi gagal ginjal kronik berdasarkan
diagnosa dokter pada usia ≥ 15 tahun di Indonesia yaitu sebagai berikut usia
15-24 tahun 1,33%, usia 25-34 tahun 2,28%, usia 35-44 tahun 3,31%, usia
45-54 tahun 5,64%, usia 55-64 tahun 7,21%, usia 65-74 tahun 8,23% dan
usia ≥ 75 tahun 7,48%. Di Indonesia jumlah penderita gagal ginjal kronik
sekitar 300.000 orang dan yang menjalani terapi sebanyak 25.600 dan
sisanya tidak tertangani. Berdasarkan hasil penelitian terkait oleh Ana
Nurhidayati (2017) didapatkan bahwa kualitas tidur pasien gagal ginjal
kronik yang menjalanihemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Gombong
berdasarkan faktor penyakit berkategori buruk 53 responden (86,9%), faktor
latihan dan kelelahan berkategori buruk 53 resonden (86,9%), faktor stres

1
2

berkategori buruk 52 resonden (85,2%), faktor nutrisi berkategori buruk 55


responden (90,2%), dan faktor lingkungan berkategori buruk 58 resonden
(95,1%). Dari data yang didapat jumlah pasien yang menjalani hemodialisa
di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya tahun 2017 (Januari-Desember)
sebanyak 364 pasien, Tahun 2018 (Januari-Desember) sebanyak 311 pasien.
Tahun 2019 (Januari-Desember) sebanyak 522 pasien. Dan pada Januari
2020 sebanyak 146 Pasien. Jumlah penderita gagal ginjal meningkat setiap
tahunnya.
Pasien gagal ginjal kronik akan mengalami beberapa gangguan, salah
satunya gangguan keseimbangan cairan elektrolit. Komplikasi gagal ginjal
yang serius, antara lain seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Untuk
menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit serta mencegah komplikasi,
pasien gagal ginjal kronik harus menjalani terapi hemodialisa. Setelah di
hemodialisis bukan berarti masalah pasien teratasi. Pada pasien yang
menjalani hemodialisis juga mengalami berbagai permasalahan dan
komplikasi yang dapat terjadi salah satunya gangguan tidur. Komplikasi
hemodialisis juga dapat menimbulkan ketidaknyamanan, serta
meningkatkan stress dengan kata lain hemodialisis secara signifikan
berdampak atau mempengaruhi diri pasien diantaranya kesehatan fisik
seperti kelemahan.Pasien gagal ginjal kronik cenderung memiliki kualitas
tidur yang kurang baik, yang dapat disebabkan karena beberapa faktor
antara lain yaitu faktor penyakit, latihan dan kelelahan, stress psikologis,
nutrisi, dan lingkungan. Dampak dari kualitas tidur yang buruk adalah
gangguan aktifitas sehari – hari, penurunan kinerja, kurang konsentrasi
dalam menjalankan aktifitas dan sulit membuat keputusan. Kualitas tidur
dapat dipengaruhi oleh gangguan tidur yang dialami seseorang bergantung
pada tercapainya frekuensi tidur dan lama durasi tidur yang dialami pasien
gagal ginjal kronik.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk
mengangkat masalah bagaimana cara memberikan asuhan keperawatan pada
pasien dengan Diagnosa Medis Gagal Ginjal Kronik
3

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana pemberian asuhan keperawatan yang efektif dan efisien
pada pasien dengan Diagnosa Medis Gagal Ginjal Kronik di Ruang
Hemodialisa RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran tentang pelaksanaan asuhan
keperawatan pada dengan Diagnosa Medis Gagal Ginjal Kronik di Ruang
Hemodialisa RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, melalui pendekatan
proses keperawatan secara komprehensif.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Mampu melakukan pengkajian keperawatan secara komprehensif pada
pasien dengan Diagnosa Medis Gagal Ginjal Kronik di Ruang
Hemodialisa RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
2) Mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien dengan
Diagnosa Medis Gagal Ginjal Kronik di Ruang Hemodialisa RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.
3) Mampu menyusun intervensi tindakan keperawatan pada pasien dengan
Diagnosa Medis Gagal Ginjal Kronik di Ruang Hemodialisa RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.
4) Mampu melaksanaan tindakan keperawatan pada pasien dengan
Diagnosa Medis Gagal Ginjal Kronik di Ruang Hemodialisa RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.
5) Mampu mengevaluasi hasil tindakan yang dilaksanakan terhadap
tindakan pada pasien dengan Diagnosa Medis Gagal Ginjal Kronik di
Ruang Hemodialisa RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
6) Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan
Diagnosa Medis Gagal Ginjal Kronik di Ruang Hemodialisa RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.
4

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Teoritis
Untuk menambah wawasan dalam mengetahui bagaimana Asuhan
Keperawatan pada pasien dengan Diagnosa Medis Gagal Ginjal Kronik di
Ruang Hemodialisa RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.4.2 Praktis
1) Bagi Mahasiswa
Hasil asuhan keperawatan ini diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan serta pemahaman mahasiswa tentang Asuhan Keperawatan
pada pasien dengan Diagnosa Medis Gagal Ginjal Kronik di Ruang
Hemodialisa RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
2) Bagi Institusi RSUD dr. Doris Sylvanus
Hasil penulisan asuhan keperawatan ini diharapkan dapat dijadikan
masukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dalam
penegakan asuhan keperawatan pada pasien dengan Diagnosa Medis
Gagal Ginjal Kronik di Ruang Hemodialisa.
3) Bagi Akademik STIKES Eka Harap
Hasil penulisan asuhan keperawatan ini dapat digunakan sebagai
informasi dan masukan bagi pendidikan sebagai bahan referensi untuk
penulisan berikutnya.
5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik


2.1.1. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kegagalan fungsi ginjal untuk
mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit
akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi
penumpukan sisa metabolik (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin dan
Kumalasari,2012:166)
Gagal ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan
gangguan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah) (Suharyanto,2011:183).
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa Gagal ginjal kronis (chronic renal failure) adalah destruksi struktur
ginjal yang progresif dan terus menerus yang berakibat fatal dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit dengan manifestasi penumpukan sisa
metabolit (toksik uremik) di dalam darah.

2.1.2. Anatomi Fisiologi


1) Anatomi
Manusia memiliki sepasang ginjal.Dua ginjal terletak pada dinding
posterior abdomen, diluar rongga peritoneum. Sisi medial setiap ginjal
merupakan daerah lekukan yang disebut hilum tempat lewatnya arteri dan
vena renalis, cairan limfatik, suplai saraf , dan ureter yang membawa urine
akhir dari ginjal ke kandung kemih, tempat urine disimpan hingga
dikeluarkan. Ginjal dilengkapi oleh kapsul fibrosa yang keras untuk
melindungi struktur dalamnya yang rapuh.Posisi ginjal kanan sedikit lebih
rendah dari posisi ginjal kiri karena ginjal kanan tertekan oleh organ

5
6

hati.Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3, sebagian dari
bagian atas ginjal terlindungi oleh iga ke sebelas dan dua belas.
Bentuk makroskopis ginjal pada orang dewasa, bentuknya seperti
kacang polong dengan ukuran panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13
cm (4,7 hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci),
dan beratnya sekitar 125- 150 gram, kira-kira seukuran kepalan tangan.
Masing-masing ginjal manusia terdiri dari kurang lebih satu juta nefron,
masing-masing mampu membentuk urine. Ginjal tidak dapat membentuk
nefron baru. Oleh karena itu, pada trauma ginjal, penyakit ginjal, atau proses
penuaan yang normal akan terjadi penurunan jumlah nefron secara bertahap.
Dibawah ini terdapat gambar tentang anatomi fisiologi ginjal

Gambar 2.1 Anatomi Ginjal


(Sumber: Smeltzer, 2012:1365)

Bentuk makroskopis ginjal pada orang dewasa, bentuknya seperti


kacang polong dengan ukuran panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13
cm (4,7 hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci),
dan beratnya sekitar 125- 150 gram, kira-kira seukuran kepalan tangan.
Masing-masing ginjal manusia terdiri dari kurang lebih satu juta nefron,
7

masing-masing mampu membentuk urine. Ginjal tidak dapat membentuk


nefron baru. Oleh karena itu, pada trauma ginjal, penyakit ginjal, atau proses
penuaan yang normal akan terjadi penurunan jumlah nefron secara bertahap.
Setiap nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus.
Glomerulus terdiri dari sekumpulan kapiler glomerulus yang dilalui
sejumlah besar cairan yang difiltrasi dari darah. Glomerulus tersusun dari
suatu jaringan kapiler glomerulus yang bercabang dan beranastomosis, yang
mempunyai tekanan hidrostatik tinggi (kira-kira 60 mmHg) bila
dibandingkan dengan kapiler lainnya. Kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-
sel epitel, dan keseluruhan glomerulus dibungkus dalam kapsula bowman.
Sedangkan tubulus merupakan tempat cairan hasil filtrasi diubah menjadi
urin dalam perjalanannya menuju pelvis ginjal. Meskipun setiap nefron
mempunyai semua komponen seperti yang digambarkan diatas, tetapi tetap
terdapat beberapa perbedaan, bergantung pada seberapa dalam letak nefron
pada massa ginjal. Nefron yang memiliki glomerulus dan terletak di korteks
sisi luar disebut nefon kortikal; nefron tersebut mempunyai ansa henle
pendek yang hanya sedikit menembus ke dalam medula. Kira-kira20-30%
nefron mempunyai glomerulus yang terletak di korteks renal sebelah dalam
dekat medula, dan disebut nefron jukstamedular; nefron ini mempunyai ansa
henle yang panjang dan masuk sangat dalam ke medula.
2) Fisiologi
Pada manusia, ginjal merupakan salah satu organ yang memiliki
fungsi vital yang berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dalam tubuh.
Ginjal melakukan fungsinya yang paling penting ini dengan cara menyaring
plasma dan memisahkan zat filtrat dengan kecepatan yang bervariasi,
brgantung pada kebutuhan tubuh. Kemudian zat- zat yang dibutuhkan oleh
tubuh akan dikembalikan ke dalam darah dan yang tidak dibutuhkan oleh
tubuh akan dikeluarka melalui urine. Selain fungsi yang telah dijelaskan,
ginjal juga mempunyai fungsi multiple yang lainnya, diantaranya yaitu
mengeksresikan produk sisa metabolik dan bahan kimia asing, pengaturan
keseimbangan air dan elektrolit, pengaturan osmolalitas cairan tubuh dan
konsentrasi elektrolit, pengaturan tekanan arteri, pengaturan keseimbangan
8

asam-basa, sekresi, metabolisme, dan eksresi hormon serta untuk proses


glukoneogenesis.
Proses pembentukan urine juga dilakukan oleh nefron yang
merupakan bagian dari ginjal. Proses pembentukan urine terjadi melalui
tiga tahapan yaitu filtrasi di glomerulus, reabsorpsi di tubulus dan eksresi di
tubulus.
Dibawah ini adalah gambar sebuah nefron yang memperlihatkan
struktur glomerulus dan tubulus serta perannya dalam pembentukan urine.

Gambar 2.2 nefron yang memperlihatkan struktur glomerulus dan tubulus


(Sumber: Smeltzer, 2012: 1366)
Pada saat cairan, darah, serta zat-zat masuk ke dalam ginjal, semua
bahan-bahan itu akan difiltrasi di dalam glomerulus dan selanjutnya akan
mengalir ke dalam kapsula bowman dan masuk ke tubulus proksimal yang
terletak di dalam korteks ginjal. Dari tubulus proksimal, cairan akan
mengalir ke ansa henle yang masuk ke dalam medula renal, cairan masuk ke
makula densa dan kemudian ke tubulus distal, dari tubulus distal cairan
masuk ke tubulus renalis arkuatus dan tubulus koligentes kortikal dan
masuk ke duktus yang lebih besar yaitu duktus koligentes medula. Duktus
koligentes bergabung membentuk duktus yang lebih besar yang mengalir
menuju pelvis renal melalui papila renal. Dari pelvis renal, urine akan
9

terdorong ke kandung kemih melalui saluran ureter dan dikeluarkan melalui


uretra.

2.1.3 Etiologi
Begitu banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan terjadinya gagal
ginjal kronis. Akan tetapi, apapun sebabnya, respon yang terjadi adalah
penurunan fungsi ginjal secara progresif. Kondisi klinis yang
memungkinkan dapat mengakibatkan gagal ginjal kronik bisa disebabkan
dari ginjal sendiri dan di luar ginjal (Muttaqin dan Kumalasari,2012:166).
1) Penyakit dari ginjal :
(1) Penyakit pada saringan (glomerulus)
(2) Infeksi kuman; pyelonefritis, ureteritis
(3) Batu ginjal
(4) Trauma langsung pada ginjal
(5) Keganasan pada ginjal
(6) Sumbatan; batu, tumor, penyempitan atau striktur
2) Penyakit umum di luar ginjal :
(1) Penyakit sistemik; diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi
(2) Dislipidemia
(3) SLE
(4) Infeksi di badan; TBC paru, sipilis, malaria, hepatitis
(5) Pre eklamsi
(6) Obat-obatan
(7) Kehilangan banyak cairan yang

2.1.4 Klasifikasi
Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan Cronic Kidney Disease
(CKD). Pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan Cronoic Renal
Failure (CRF), namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka
untuk membatasi kelainan pasien pada kasus secara dini, kerena dengan
CKD dibagi 5 grade, dengan harapan pasien datang/ merasa masih dalam
stage-stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan
10

derajat (stage) menggunakan terminology CCT (clearance creatinin test)


dengan rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF (cronic renal failure)
hanya 3 stage. Secara umum ditentukan pasien datang dengan derajat 2 dan
3 atau datang dengan terminal stage bila menggunakan istilah CRF.

1) Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3 stadium:


(1) Stadium I : Penurunan cadangan ginjal, kreatinin serum dan kadar
BUN normal, asimptomatik, tes beban kerja pada ginjal: pemekatan
kemih, tes GFR
(2) Stadium II : Insufisiensi ginjal (Kondisi ringan : 40% - 80% fungsi
ginjal dalam keadaan normal, kondisi sedang : 15% - 40% fungsi
ginjal normal, kondisi berat: 2%- 20% fungsi hinjal normal), kadar
BUN meningkat (tergantung pada kadar protein dalam diet), kadar
kreatinin serum meningkat, nokturia dan poliuri (karena kegagalan
pemekatan)
(3) Stadium III: gagal ginjal stadium akhir atau uremia, kadar ureum dan
kreatinin sangat meningkat, ginjal sudah tidak dapat menjaga
homeostasis cairan dan elektrolit, air kemih/ urin isoosmotis dengan
plasma, dengan BJ 1,010
2) KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) merekomendasikan
pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju
Filtrasi Glomerolus):
(1) Stadium 1: kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria
persisten dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)
(2) Stadium 2: Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG
antara 60 -89 mL/menit/1,73 m2)
(3) Stadium 3: kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59
mL/menit/1,73m2)
(4) Stadium 4: kelainan ginjal dengan LFG antara 15-
29mL/menit/1,73m2)
(5) Stadium 5: kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau
gagal ginjal terminal.
11

2.1.5 Patofisiologi
Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan garam,
dan penimbunan produk sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian
ginjal yang sakit.Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal,
manifestasi klinis gagal ginjal kronis mungkin minimal karena nefron-
nefron lain yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron
yang tersisa meningkatkan laju filtrasi, reabsorbsi, dan sekresinya serta
mengalami hipertrofi dalam proses tersebut. Seiring dengan makin
banyaknya nefron yang mati, nefron yang tersisa menghadapi tugas yang
semakin berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya
mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan
tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reasorbsi protein.
Seiring dengan penyusutan progresif nefron, terjadi pembentukkan
jaringan parut dan penurunan aliran darah ginjal.Pelepasan renin dapat
meningkat dan bersama dengan kelebihan beban cairan, dapat menyebabkan
hipertensi.Hipertensi mempercepat gagal ginjal, mungkin dengan
meningkatkan filtrasi (karena tuntutan untuk reasorbsi) protein plasma dan
menimbulkan stress oksidatif.Kegagalan ginjal membentuk eritropoietin
dalam jumlah yang adekuat sering kali menimbulkan anemia dan keletihan
akibat anemia berpengaruh buruk pada kualitas hidup.Selain itu, anemia
kronis dapat menyebabkan penurunan oksigenasi jaringan di seluruh tubuh
dan mengaktifkan refleks-refleks yang ditujukan untuk meningkatkan curah
jantung guna memperbaiki oksigenasi. Refleks ini mencakup aktivasi
susunan saraf simpatis dan peningkatan curah jantung.Akhirnya, perubahan
tersebut merangsang individu yang menderita gagal ginjal mengalami gagal
jantung kongestif sehingga penyakit ginjal kronis menjadi satu faktor risiko
yang terkait dengan penyakit jantung (Corwin, 2013:729).
Menurut (Muhammad, 2012:34), perjalanan umum gagal ginjal kronis
dapat dibagi menjadi 4 stadium, yaitu sebagai berikut.
1) Stadium I (Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antar 40%– 75%)
Tahap inilah yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik dan laju
filtrasi glomerulus 40-50% tetapi, sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi.
12

Pada tahap ini penderita ini belum merasakan gejala gejala dan
pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam batas normal. Selama
tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam
batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal
mungkin hanya dapat diketahui dengan memberikan beban kerja yang
berat, seperti tes pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan
test GFR yang teliti.
2) Stadium II (Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20% – 50%))
Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas tugas seperti biasa
padahal daya dan konsentrasi ginjal menurun. Pada stadium ini
pengobatan harus cepat dalam hal mengatasi kekurangan cairan,
kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat-
obatan yang bersifat mengganggu faal ginjal. Bila langkah- langkah ini
dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk
ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75% jaringan yang
berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas
normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari
kadar protein dalam diet.Pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai
meningkat melebihi kadar normal.
3) Stadium III (Gagal Ginjal (faal ginjal kurang dari 10%))
Pada tahap ini laju filtrasi glomerulus 10-20% normal, BUN dan
kreatinin serum meningkat. Semua gejala sudah jelas dan penderita
masuk dalam keadaan dimana tak dapat melakukan tugas sehari - hari
sebagaimana mestinya. Gejala-gejala yang timbul antara lain mual,
muntah, nafsu makan berkurang, sesak nafas, pusing, sakit kepala, air
kemih berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan akhirnya terjadi
penurunan kesadaran sampai koma. Oleh karena itu, penderita tidak
dapat melakukan tugas sehari-hari.
4) Stadium IV (End Stage Meal Disease (ESRD)
Stadium akhir timbul pada sekitar 90% dari massa nefron telah hancur.
Nilai GFR nya 10% dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin
sebesar 5-10 ml/menit atau kurang.Pada keadaan ini kreatinin serum dan
13

kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan.


Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala yang
cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan
homeostatis caiaran dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya
menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/hari karena
kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula mula menyerang
tubulus ginjal, kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan
biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik
mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali ia mendapat pengobatan
dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.
14
15

2.1.6 Manifestasi Klinis


Menurut Brunner & Suddarth (2011: 301) manifestasi klinis pada
Gagal Ginjal Kronik(Chronic Kidney Desease)yaitu sebagai berikut:
1) Gangguan pada Gastrointestinal
(1) Anoreksia, mual/muntah akibat adanya gangguan metabolisme protein
dalam usus dan terbentuknya zat toksik.
(2) Faktor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur
yang kemudian diubah menjadi ammonia oleh bakteri, sehingga napas
penderita berbau ammonia.
2) Sistem Kardiovaskular
(1) Hipertensi.
(2) Dada terasa nyeri dan sesak napas.
(3) Gangguan irama jantung akibat sklerosis dini.
(4) Edema
3) Gangguan Sistem Saraf dan Otak
(1) Miopati, kelainan dan hipertrofi otot.
(2) Ensepalopati metabolik, lemah, tidak bisa tidur, dan konsentrasi
terganggu.
4) Gangguan Sistem Hematologi dan Kulit
(1) Anemia karena kekurangan produksi eritropoetin.
(2) Kulit pucat kekuningan akibat anemia dan penimbuann urokrom.
(3) Gatal-gatal akibat toksik uremik.
(4) Trombositopenia (penurunan kadar trombosit dalam darah).
(5) Gangguan fungsi kulit (fagositosis dan kematosis berkurang).
5) Gangguan Sistem Endokrin:
(1) Gangguan metabolisme glukosa retensi insulin dan gangguan sekresi
insulin.
(2) Gangguan seksual/libido; fertilitas dan penurunan seksual pada laki-
laki dan gangguan sekresi imun.
6) Gangguan pada Sistem Lain
(1) Tulang mengalami osteodistrofi renal.
(2) Asidosis metabolik.
16

2.1.7 Komplikasi
Menurut (Corwin, 2013:730), komplikasi dari penyakit gagal ginjal
kronik adalah sebagai berikut :
1) Pada gagal ginjal progresif, terjadi beban volume, ketidakseimbangan
elektrolit, asidosis metabolik, azotemia, dan uremia.
2) Pada gagal ginjal stadium 5 (penyakit stadium akhir), terjadi azotemia
dan uremia berat. Asidosis metabolik memburuk, yang secara mencolok
merangsang kecepatan pernapasan.
3) Hipertensi, anemia, osteodistrofi, hiperkalemia, ensefalopati uremik, dan
pruritus (gatal) adalah komplikasi yang sering terjadi.
4) Penurunan pembentukan eriropoietin dapat menyebabkan sindrom
anemia kardiorenal, suatu trias anemia yang lama, penyakit
kardiovaskular, dan penyakit ginjal yang akhirnya menyebabkan
peningkatan morbiditas dan mortalitas.
5) Dapat terjadi gagal jantung kongestif.
6) Tanpa pengobatan dapat terjadi kima dan kematian.

2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik


1) Laboratorium
(1) Laju endap darah: meninggi yang diperberat oleh adanya anemia,
dan hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom, dan jumlah
retikulosit yang rendah.
(2) Ureum dan Kreatinin: meninggi, biasanya perbandingan antara
ureum Kreatinin kurang lebih 20:3. Ingat perbandingan bisa
meninggi oleh karena bahan saluran cerna, demam, luka bakar luas,
pengobatan steroid, obstruksi saluran kemih.
(3) Hiponatremia: umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia:
biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan
menurunnya diuresis.
(4) Hipokalsemia dan hiperfasfatemia: terjadi karena kurangnya sintesis
vitamin D3 pada GGK.
17

(5) Phosphate alkaline meninggi akibat gangguan metabolisme tulang


terutama isoenzim fosfatase lindi tulang.
(6) Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemik: umumnya disebabkan
gangguan metabolisme dan diet rendah protein.
(7) Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat
pada gagal ginjal (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan
perifer).
(8) Hipertrigliserida akibat gangguan metabolisme lemak disebabkan
peninggian hormon insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
(9) Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan PH
yang menurun.
2) Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu
atau adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan
ginjal, Oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
3) Intra Vena Fielografi (IVP) untuk menilai sistem palviokalises dan
ureter. Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada
keadaan tertentu, misalnya: usia lanjut, diabetes melitus, dan nefropati
asam urat.
4) USG untuk menilai besar dan bentuk ginjal, kepadatan parenkim ginjal,
anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih dan
prostat.
5) Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari
gangguan (vaskular, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal. PKG
untuk melihat kemungkinan: hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia) (Muttaqin dan
Kumalasari,2012:172).
18

2.1.9 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan
elektrolit dan mencegah komplikasi, yaitu sebagai berikut:
1) Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Dialisis diperbaiki
abnormalitas biokimia; menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas; menghilangkan kecenderungan perdarahan dan
membantu penyembuhan luka.
2) Koreksi hiperkalemia
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemia dapat
menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus diingat
adalah jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan
darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG. Bila
terjadi hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi
intake kalium, pemberian Na bikarbonat pemberian infus glukosa.
3) Koreksi anemia
Usaha pertama harus ditujukan untuk mengatasi faktor defisiensi,
kemudian mencari Apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi.
Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan dapat meninggikan HB.
Transfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat,
misalnya ada misalnya ada insufficiency koroner.
4) Koreksi asidosis
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari.
Natrium bikarbonat dapat diberikan per oral atau parenteral. Pada
permulaan 100 mEq natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan,
jika diperlukan dapat diulang. Hemodialisis dan dialisis peritoneal dapat
juga mengatasi asidosis.
5) Pengendali hipertensi
Pemberian obat Beta Bloker, Alfa metildopa, dan vasodilator dilakukan.
intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-hati Karena
tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium.
19

6) Transplantasi ginjal
Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien GGK, maka seluruh
faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru (Muttaqin dan
Kumalasari,2012:173).

2.2 Konsep Dasar Hemodialisis


2.2.1. Pengertian
Hemodialisis adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui
dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah kembali
lagi ke dalam tubuh pasien. Hemodialisis memerlukan akses ke sirkulasi
darah pasien, suatu mekanisme untuk membawa darah pasien ke dan dari
dialiser (tempat terjadinya pertukaran cairan, elektrolit, dan zat sisa tubuh),
serta dialiser. (Mary Baradero, 2011)

2.2.2. Fungsi Hemodialisis


1) Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan
asam urat.
2) Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara
darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dalam arus
darah dan tekanan negatif (penghisap) dalam kompartemen dialisat
(proses ultrafiltrasi).
3) Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh.
4) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
(Markum,2016)

2.2.3. Prinsip Hemodialisis


Dialisis bekerja pada prinsip-prinsip difusi zat terlarut dan ultrafiltrasi
cairan melintasi membrane semipermiabel. Difusi menjelaskan properti dari
zat di dalam air. Zat dalam air cenderung bergerak dari daerah konsentrasi
tinggi ke daerah konsentrasi rendah. Darah mengalir dari salah sat sisi
membrane semipermiabel, dan dialisat, atau cairan dialisis khusus, mengalir
di sisi berlawanan. Sebuah membrane semipermiabel adalah lapisan tipis
20

bahan yang mengandung lubang berbagai ukuran atau pori-pori. Hal ini
meniru proses penyaringan yang terjadi pada ginjal, ketika darahmemasuki
ginjal dan zat lebih besar dipisahkan dari yang kecil dalam gomerulus.
(Alligood, 2014).
Dua jenis utama dialisis hemodialisis dan dialisis peritoneal,
menghilangkan limbah dan kelebihan air dari darah dengan cara yang
berbeda. Hemodialisis menghiangkan limbah dan air dengan sirkulasi darah
di luar tubuh melalui filter eksternal disebut dialyzer, yang berisi membrane
semipermiabel. Darah mengalir dalam satu arah dan dialisat mengalir di
seberang. Aliran kontra saat ini darah dan dialisat memaksimalkan gradient
konsentrasi zat terlarut (misalnya kalium, fosfor dan urea) yang tidak
diinginkan yang tingi dalam darah, tetapi rendah atau tidak dalam larutan
dialisis dan penggantian konstan dialisat memastikan bahwa konsentrasi zat
terlarut yang tidak diinginkan tetap rendah dalam sisi membrane. Larutan
dialisis memiliki kadar mineral seperti kalium dan kalsium yang mirip
dengan konsentrasi alami mereka dalam darah yang sehat. Untuk yang lain,
terlarut bikarbonat, tingkat dialisis solusi adalah ditetapkan pada tingkat
sedikit lebih tinggi daripada di darah normal, untuk mendorong difusi
bikarbonat di dalam darah, untuk bertindak sebagai buffer PH untuk
menetralkan asidosis metabolik yang hadir pada pasien ini.
Pada dialisis peritoneal limbah dan air dikeluarkan dari darah dalam
tubuh dengan menggunakan membran peritoneal dan perioneum sebagai
membrane semipermiabel alami. Limbah dan memindahkan kelebihan air
dari darah, melintasi membran peritoneal dan ke dalam larutan dialisis
khusus, yang disebut dialisat, di rongga perut yang memiliki komposisi
mirip dengan cairan darah. Hemodialisis berlangsung 2-4 jam, ssedang
dialisis peritoneal berlangsung selama 36 jam (Mary Baradero, 2011)
21

2.2.4. Indikasi
Keputusan untuk memulai dialisis atau hemofiltration pada pasien
dengan gagal ginjal tergantung beberapa factor. Ini dapat dibagi menjadi
indikasi akut atau kronis.
1) Indikasi untuk dialisis pada pada pasien dengan cidera ginjal akut adalah:
(1) Asidosis metabolik, dalam situasi dimana koreksi dengan natrium
bikarbonat tidak praktis atau dapat mengakibatkan overload cairan.
(2) Kelainan elektrolit seperti hiperkalemia.
(3) Overload cairan tidak diharapkan untuk merespon pengobatan
dengan diuretic.
(4) Komplikasi uremia, seperti perikarditis, ensefalopati atau perdarahan
gastrointestinal.
(5) Keracunan, yaitu keracunan akut dengan zat dialyzable.
2) Indikasi untuk pasien dengan gagal ginjal kronis:
(1) Gejala gagal ginjal.
(2) Rendah LFG sering dianjrrkan untuk dimulai pada LFG kurang dari
10-15 mls/min/1,73 m2. Pada penderita diabetes dialisis dimulai
sebelumnya.
(3) Kesulitan dalam medis mengendalikan overload cairan kalium serum
dan atau fosfor saat LFG rendah. (Irwin, 2013)

2.2.5. Efek Samping Dan Komplikasi


Hemodialisis sering melibatkan pemindahan cairan (melalui
ultrafiltrasi), karena sebagian besar pasien dengan gagal ginjal buang air
sedikit atau tidak ada. Efek samping yang disebabkan oleh menghilangnya
terlalu banyak cairan atau menghapus cairan terlalu cepat, termasuk tekanan
darah rendah, kelelahan, sakit dada, kram kaki, mual, dan sakit kepala.
Sejak hemodialisis membutuhkan akses ke sistem peredaran darah,
pasien yang menjalani hemodialisis dapat mengekspor sistem peredaran
darah mereka untuk mikroba yang dapat menyebabkan sepsis, infeksi yang
mempengaruhi katup jantung (endokarditis) atau infeksi yang
mempengaruhi tulang (osteomyelitis).
22

Heparin adalah anti koagulan yang paling umum digunakan dalam


hemodialisis, karena umumnya diltoleransi dengan baik dan dapat secara
cepat dikembalikan dengan protamine sulfat. Alergi heparin jarang menjadi
masalah dan dapat menyebabkan jumlah trombosit rendah.
Komplikasi jangka panjang dari hemodialialisis termasuk amilodosis,
neuropati, dan berbagai bentuk penyakit jantung. Meningkatnya frekuensi
dan lamanya perawatan telah terbukti untuk meningkatkan overload cairan
dan pembesaran hati yang sering terlihat pada pesien tersebut (Agarwal &
Light, 2010).

2.2.6. Akses Vaskular Hemodialisis


Untuk melakukan hemodialisis intermitten jangka panjang, maka
perlu ada jalan masuk ke sistem vascular penderita yang dapat diandalkan.
Darah harus keluar masuk tubuh penderita dengan kecepatan 200 sampai
400 ml/menit. Akses vascular merupakan aspek yang paling peka pada
hemodialisis karena banyak komplikasi dan kegagalannya. Oleh karena itu,
banyak metode yang dikembangkan untuk mencapai jalan masuk vascular
dalam beberapa tahun belakangan ini. Denominator yang paling sering
dipakai pada kebanyakan teknik akses vascular adalah jalan masuk ke
sirkulasi arteri dan kembalinya ke sirkulasi vena.
Table 3.5 Teknik Utama Vaskular untuk Hemodialisa
Teknik Utama Vaskular Untuk Hemodialisa
Eksternal (sementara)
Pirau Arteriovenosa (AV) atau sistem kanula
Kateter Vena Femoralis (Lumen Shaldon dan Ganda)
Kateter Vena Subklavia
Internal (permanen)
Fistula AV
Tandur AV
Sumber : Price 2014
23

2.2.7. Akses Vaskular Eksternal (sementara)


Pirau arteriovenosa (AV) eksternal atau sistem kanula diciptakan
dengan menempatkan ujung kanula dan teflon dalam arteri (biasanya arteria
radialis atau tibialis posterior) dan sebuah vena yang berdekatan. Ujung-
ujung kanula kemudian dihubung-hubungkan dengan selang karet silicon
dan suatu sambungan teflon yang melengkapi pirau. Pada waktu dilakukan
dialisis, maka slang pirau eksternal dipisahkan dan dibuat hubungan dengan
alat dialisis. Darah kemudian dialirkan dari ujung arteri, melalui alat dialisis
dan kembali ke vena. (Price, 2014)
Kateter vena femoralis dan subklavia sering dipakai pada kasus gagal
ginjal akut bila diperlukan akses vaskular sementara, atau bila teknik akses
vaskular lain tidak dapat berfungsi sementara waktu pada penderita dialisis
kronik. (Price, 2014).
Terdapat dua tipe kateter dialisis femoralis. Kateter shaldon adalah
kateter berlumen tunggal yang mmerlukan akses kedua. Jika digunakan dua
kateter shaldon, maka dapat dipasang secara bilateral. Tipe kateter yang
lebih baru memiliki lumen ganda, satu lumen untuk mengeluarkan darah
menuju alat dialisis dan satu lagi untuk mengembalikan darah ke tubuh
penderita. Komplikasi yang terjadi pada kateter vena femorallis adalah
laserasi arteria femoralis, perdarahan, trombosis, emboli, hematoma, dan
infeksi. (Price, 2011).
Kateter vena subklavia semakin banyak dipakai karena
pemasangannya mudah dan komplikasinya lebih sedikit dibandingkan
kateter vena femoralis. Kateter vena subklavia dapat digunakan sampai 4
minggu, tetapi kateter vena femoralis biasanya dibuang setelah pemakaiann
1-2 hari setelah pemasangan. Komplikasi yabngg disebabkan oleh
katerisasi vena subklavia serupa dengan yang terdapat pada toraks, robeknya
arteria subklavia, perdarahan, thrombosis, embolus, hematoma, dan infeksi.
(Price, 2014).
24

2.2.8. Akses Vaskular Internal (permanen)


Fistula AV diperkenalkan oleh Cimino dan Brescia (2013) sebagai
respon terhadap banyaknya komplikasi yang ditimbulkan pirau Av. Fistula
AV dibuat melalui anatomosis arteri secara langsung ke vena.(biasanya
arteria radialis dan vena sefalika pergelangan tangan) pada lengan yang
tidak dominan. Hubungan dengan sistem dialisis dibuat dengan
menempatkan satu jarum distal (garis arteri) dan sebuah jarum lain
diproksimal (garis vena) pada ven ayangg sudah diarterialisasi tersebut.
Umur rata-rata fistula AV adalah 4 tahun dan komplikasinya lebih sedikit
dibandingkan denga pirau AV. Masalah yang paling utama adalah rasa nyeri
pada pungsi vena, terbentuknya aneurisma, thrombosis, kesulitan hemotasis
pascadialisis, dan iskemia pada tangan (steal syndrome). (Price, 2014).
Pada beberapa kasus, pembuatan fistula pada pembuluh darah pasien
sendiri tidak dimungkinkan akibat adanya penyakit, kerusakan akibat
prosedur sebelumnya, atau ukuran kecil. Pada keadaan demikian, maka
suatu tandur AV dapat dianastomosiskan antara sebuah arteri dan vena,
dimana tandur ini bekerja sebagai saluran bagi aliran darah dan tempat
penusukan selama dialisis. Tandur akan membuat tonjolan dibawah kulit
dan nampaknya seperti vena yang menonjol. Tandur AV adalah sebuah
tabung prustetik yang dibuat dari bahan biologis atau bahan sintetik.
Komplikasi tandur AV akan sama dengan fistula AV yaitu thrombosis,
infeksi, aneurisma, dan iskemia tangan yang disebabkan oleh pirau darah
melalui prostesis dan jauh dari sirkulasi distal (steal syndrome). (Price,
2014)
25

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

3.1 Konsep Manajemen Asuhan Keperawatan


3.1.1 Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keeprawatan dan merupakan
suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber
data untuk menegvaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien
(Nursalam, 2013:17).
Menurut (Arif Muttaqin, 2011:171), pengkajian yang dapat dilakukan
pada pasien dengan gagal ginjal kronik adalah adalah sebagai berikut:
1) Keluhan utama
Keluhan utama yang di dapat biasanya bervariasi, mulai dari urine output
sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai penurunan kesadaran,
tidak ada selera makan anoreksia), mual, muntah, mulut terasa kering,
rasa lelah, napas berbau (ureum), dan gatal pada kulit.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Kaji onset penurunan urine output, penurunan kesadaran, perubahan pola
napas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, adanya napas berbau
ammonia, dan perubahan pemenuhan nutrisi. Kaji sudah kemana saja
pasien meminta pertolongan untuk mengatasi masalahnya dan mendapat
pengobatan apa.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih,
payah jantung, penggunaan obat-obat nefrotoksik Benign Prostatic
Hyperplasia, dan prostatektomi. Kaji adanya riwayat penyakit batu
saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit
diabetes mellitus, dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang
menjadi predisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat
pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap
jenis obat kemudian dokumentasikan.

25
26

4) Psikososial
Adanya perubahan fungsi struktur tubuh dan adanya tindakan dialysis
akan menyebabkan penderita mengalami gangguan pada gambaran diri.
Lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan
menyebabkan pasien mengalami kecemasan, gangguan konsep diri
(gambaran diri) dan gangguan peran pada keluarga (self esteem).
5) Pemeriksaan Fisik
Menurut (Muttaqin, 2012:171-172), pemeriksaan fisik pada pasien
dengan gagal ginjal kronis adalah sebagai berikut:
(1) B1 (Breathing) : Pasien bernapas engan bau urine (feter urenik)
sering didapatkan pada fase ini. Respons uremia didipatakan adanya
pernapasan kussmaul. Pola napas cepat dan dalam merupakan upaya
untuk melakukan pembuangan koarbon dioksida yang menumpuk di
sirkulasi.
(2) B2 (Blood) : Pada kondisi uremia berat, tindakan auksultasi
perawatat akan menemukan adanya friction rub yang merupakan
tanda khas efusi perikardial. Didapatkan tanda dan gejala gagal
jantung kongestif, TD meningkat, akral dingin, CRT >3 detik,
palpitasi, nyeri dada atau angina dan sesak napas, gangguan irama
jantung, edema penurunan perfusi perifer sekunder dari penurunan
curah jantung akibat hiperkalemi, dan gangguan konduksi elektrikal
otot ventrikel. Pada sistem hematologi sering didapatkan anemia.
(3) B3 (Brain) : didapatkan pemurunan tingkat kesadaran, disfungsi
serebral, seperti perubahan proses pikir dan disoreintasi. Pasien
sering didapatkan adanya kejang, adanya neuropati perifer, kram otot
dan nyeri otot.
(4) B4 (Bladder) : penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal
tahap lanjut). Abdomen kembung, diare, atau konstipasi.Perubahan
warna urine, contoh kuning pekat, merah, coklat, berawan. Oliguria,
dapat menjadi anuria.
(5) B5 (Bowel) : didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia dan
diare sekunder dari bau mulut amonia, peradangan mukosa mulut,
27

dan ulkus saluran cerna sehingga sering didapatkan penurunan intake


nutrisi dari kebutuhan.
(6) B6 (Bone) : didapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram
otot, nyeri kaki (memburuk saat malam hari), kulit gatal,
ada/berulangnya infeksi, demam (sepsis, dehidrasi), petekie, fraktur
tulang, jaringan lunak, dan sendi keterbatasan gerak
sendi.Didapatkan adanya kelemahan fisiksecara umum sekunder dari
anemia dan penurunan perfusi perifer dari jaringan.

3.1.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan
respon manusia (status kesehatan atau bresiko perubahan pola) dari individu
atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi
dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan,
menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah (Nursalam, 2013 :35).
Menurut TIM POKJA SDKI DPP PPNI. 2017, Diagnosa Keperawatan yang
mungkin muncul pada pasien dengan gagal ginjal kronik adalah sebagai
berikut:
1) Defisit Nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan, factor
psikologis.
2) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, anemia, retensi
produk sampah dan prosedur dialisis
3) Hipervolemia berhubungan dengan penurunan volume urine, retensi
cairan dan natrium
4) Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
gangguan status metabolic, sirkulasi (anemia, iskemia jaringan) dan
sensasi (neuropati perifer), penurunan turgor kulit, penurunan aktivitas
akumulasi ureum dalam kulit
5) Gangguan konsep diri (gambaran diri) berhubungan dengan penurunan
fungsi tubuh, tindakan dialisis, koping maladaptif (Muttaqin, 2011:174).
28

3.1.3 Intervensi Keperawatan


Menurut Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018)
1) Defisit Nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan, factor
psikologis.
Tujuan: Dalam waktu 1x24 jam, maka masukan nutrisi yang adekuat dapat
dipertahankan.
Kriteria evaluasi:
(1) Berat badan stabil
(2) Nafsu makan meningkat
(3) Tidak ditemukan edema
Intervensi:
(1) Kaji status nutrisi: perubahan berat badan, nilai laboratorium (BUN,
kreatinin, protein, besi, dan transferin).
Rasional: Menyediakan data dasar untuk memantau perubahan dan
evaluasi intervensi.
(2) Kaji pola diet nutrisi: riwayat diet, makanan kesukaan, dan hitung
kalori.
Rasional: Pola diet dulu dan sekarang dapat dipertimbangkan dalam
menyusun menu.
(3) Kaji faktor yang merubah dalam masukan nutrisi: mual, muntah,
anoreksia, diet yang tidak menyenangkan, depresi, kurang memahami
pembatasan, stomatitis.
Rasional: Menyediakan informasi mengenai faktor lain yang dapat
diubah atau dihilangkan untuk meningkatkan masukan diet.
(4) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian makanan dengan protein
yang mengandung nilai biologis tinggi seperti telur, daging, produk
susu.
Rasional: Protein lengkap diberikan untuk mencapai keseimbangan
nitrogen yang diperlukan untuk pertumbuhan dan penyembuhan.
(5) Jelaskan alasan pembatasan diet dan hubungannya dengan penyakit
ginjal dan peningkatan urea dan kreatinin.
29

Rasional: Meningkatkan pemahaman pasien tentang hubungan antara


diet urea, kreatinin dengan penyakit ginjal.
(6) Kolaborasi dengan keluarga dalam pemberian makan dengan porsi
kecil tapi sering.
Rasional: Meminimalkan anoreksia dan mual yang berhubungan
dengan status uremik/menurunnya peristaltik.
(7) Ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama waktu makan.
Rasional:Faktor yang tidak menyenangkan dapat menimbulkan
anoreksia.
(8) Timbang berat badan setiap hari.
Rasional:Untuk memantau status cairan dan nutrisi.
(9) Observasi dan catat masukan makanan pasien.
Rasional:Mengawasi masukan konsumsi/kualitas kekurangan
konsumsi makanan.

2) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, anemia, retensi


produk sampah dan prosedur dialisis.
Tujuan: Dalam waktu 1x24 jam pasien dapat berpartisipasi dalam aktivitas
yang dapat ditoleransi.
Kriteria evaluasi:
(1) Berkurangnya keluhan lelah.
(2) Perasaan lebih berenergi.
(3) Frekuensi pernapasan dan frekuensi jantung kembali dalam rentang
normal setelah penghentian aktivitas.\
Intervensi:
(1) Kaji faktor yang menimbulkan keletihan: anemia,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, retensi produk sampah,
depresi.
Rasional: Menyediakan informasi mengenai indikasi tingkat
keletihan.
(2) Bantu pasien dalam beraktivitas bila pasien tidak mampu
melakukannya sendiri.
30

Rasional: Agar bertahap secara mandiri dan tidak ketergantungan


dengan orang lain.
(3) Anjurkan aktivitas alternatif pada saat istirahat.
Rasional: Mendorong latihan dan aktivitas dalam batas-batas yang
dapat ditoleransi dan istirahat yang cukup.
(4) Anjurkan untuk istirahat setelah dialisis.
Rasional: Istirahat yang adekuat setelah dialisis dianjurkan, bagi
banyak pasien yang melelahkan.
(5) Kolaborasi dengan dokter bila keluhan kelelahan menetap.
Rasional: Ini dapat menandakan kemajuan kerusakan ginjal dan
perlunya penilaian tambahan dalam terapi.

3) Hipervolemia berhubungan dengan penurunan volume urine, retensi


cairan dan natrium
Tujuan: Dalam waktu 1x24 jam tidak terjadi kelebihan volume cairan
sistemik.
Kriteria evaluasi:
(1) Pasien tidak sesak napas.
(2) Edema ekstremitas berkurang.
(3) Piting edema (-).
(4) Produksi urine >600 ml/hari.
Intervensi:
(1) Kaji adanya edema ekstremitas
Rasional: Curiga gagal kongestif/kelebihan volume cairan.
(2) Istirahatkan/anjurkan pasien untuk tirah baring pada saat edema
masih terjadi.
Rasional: Menjaga pasien dalam keadaan tirah baring selama
beberapa hari mungkin diperlukan untuk meningkatkan
dieresis yang bertujuan mengurangi edema.
(3) Kaji tekanan darah.
Rasional: Sebagai ssalah satu cara untuk mengetahui peningkatan
jumlah cairan yang dapat diketahui dengan
31

meningkatkan beban kerja jantung yang dapat diketahui


dari meningkatnya tekanan darah.
(4) Ukur intake dan output.
Rasional: Penurunan curah jantung, mengakibatkan gangguan
perfusi ginjal, retensi natrium/air, dan penurunan urine
output.
(5) Timbang berat badan.
Rasional: Perubahan tiba-tiba dari berat badan menunjukkan
gangguan keseimbangan cairan.
(6) Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker sesuai
dengan indikasi.
Rasional: Meningkatkan sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard
untuk melawan efek hipoksia/iskemia
.
4) Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
gangguan status metabolic, sirkulasi (anemia, iskemia jaringan) dan
sensasi (neuropati perifer), penurunan turgor kulit, penurunan aktivitas
akumulasiureum dalam kulit.
Tujuan: Dalam waktu 1x24 jam tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
Kriteria evaluasi:
(1) Kulit tidak kering.
(2) Hiperpigmentasi berkurang.
(3) Memar pada kulit berkurang.
Intervensi:
(1) Kaji terhadap kekeringan kulit, pruritus, ekskoriasi, dan infeksi.
Rasional: Perubahan mungkin disebabkan oleh penurunan aktivitas
kelenjar keringat atau pengumpulan kalsium dan fosfat
pada lapisan kutaneus.
(2) Kaji terhadap adanya petekie dan purpura.
Rasional: Perdarahan yang abnormal sering dihubungkan dengan
penurunan jumlah dan fungsi platelet akibat uremia.
32

(3) Monitor lipatan kulit dan area edema.


Rasional: Area-area ini sangat mudah terjadinya injury.
(4) Gunting kuku dan pertahankan kuku terpotong pendek dan bersih.
Rasional: Penurunan curah jantung, mengakibatkan gangguan
perfusi ginjal, retensi natrium/air, dan penurunan urine
output.
(5) Kolaborasi dalam pemberian pengobatan antipruritus sesuai
pesanan.
Rasional: Mengurangi stimulus gatal pada kulit

5) Gangguan konsep diri (gambaran diri) berhubungan dengan penurunan


fungsi tubuh, tindakan dialysis, koping maladaptif.
Tujuan:Dalam waktu 1 jam pasien mampu mengembangkan koping.
Kriteria evaluasi:
(1) Pasien kooperatif pada setiap intervensi keperawatan.
(2) Mampu menyatakan atau mengkonsumsi denagn orang terdekat
tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi.
(3) Mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi.
(4) Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri
dengan cara yang akurat tanpa harga dri yang negatif.
Intervensi:
(1) Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat
ketidakmampuan.
Rasional: Menentukan bantuan individual dalam menyusun rencana
perawatan atau pemilihan intervensi.
(2) Identifikasi arti dari kehilangan atau disfungsi pada pasien.
Rasional: Mekanisme koping pada beberapa pasien dapat menerima
dan mengatur perubahan fungsi secara efektif dengan
sedikit penyesuaian diri, sedangkan yang lain mengalami
koping maladaptive dan mempunyai kesulitan dalam
membandingkan, mengenal, dan mengatur kekurangan
yang terdapat pada dirinya.
33

(3) Anjurkan pasien untuk mengekspresikan perasaan.


Rasional: Menunjukkan penerimaan, membantu pasien untuk
mengenal dan mulai menyesuaikan dengan perasaan
tersebut.
(4) Catat ketika pasien menyatakan terpengaruh seperti sekarat atau
mengingkari dan menyatakan inilah kematian.
Rasional: Mendukung penolakan terhadap bagian tubuh atau
perasaan negative terhadap gambaran tubuh dan
kemampuan menunjukkan kebutuhan dan intervensi serta
dukungan emosional.
(5) Pernyataan pengakuan terhadap penolakan tubuh, mengingatkan
kembali fakta kejadian tentang realitas bahwa masih dapat
menggunakan sisi yang sakit dan belajar mengontrol sisi yang sehat.
Rasional: Membantu pasien untuk melihat bahwa perawat menerima
kedua bagian sebagai bagian dari seluruh tubuh.
Mengijinkan pasien untuk merasakan adanya harapan dan
mulai menerima situasi baru.
(6) Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki
kebiasaan.
Rasional:Membantu mengingatkan perasaan harga diri dan
mengontrol lebih dari satu area kehidupan.
(7) Anjurkan orang yang terdekat untuk mengijinkan pasien melakukan
sebanyak-banyaknya hal-hal untuk dirinya.
Rasional: Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan
membantu perkembangan harga diri, serta memengaruhi
proses rehailitasi.
(8) Dukung perilaku atau usaha seperti peningkatan minat atau
partisipasi dalam aktivitas rehabilitasi.
Rasional: Pasien dapat beradaptasi terhadap perubahan dan
pengertian tentang peran individu masa mendatang.
34

3.1.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh
perawat terhadap pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan rencana keperawatan diantaranya: Intervensi dilaksanakan
sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi; keterampilan
interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat dan efisien
pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi serta
dokumentasi intervensi dan respon pasien. Pada tahap implementasi ini
merupakan aplikasi secara kongkrit dari rencana intervensi yang telah dibuat
untuk mengatasi masalah kesehatan dan perawatan yang muncul pada
pasien (Nurarif, 2015).

3.1.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan yaitun
membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi keperawatan
dengan tujuan yang diharapkan dalam perencanaan (Nurarif, 2015).
1) Berhasil: perilaku klien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau tanggal
yang ditetapkan di tujuan.
2) Tercapai sebagian: klien menunjukan prilaku tetapi tidak sebaik yang
ditentukan dalam pernyataan tujuan.
3) Belum tercapai: klien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku
yang diharapakan sesuai dengan pernyataan tujuan.

Anda mungkin juga menyukai