Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PASIEN DENGAN HALUSINASI

A. MASALAH UTAMA
Ganguan persepsi sensori : halusinasi
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Definisi
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra
tanda ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi
melaluipanca indra tanpa stimullus eksteren : persepsi palsu. (Prabowo, 2014).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana klien mengalamai
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya
tidak ada. (Damaiyanti, 2012)
2. Penyebab

a. Faktor Predisposisi

1) Faktor Perkembangan  Tugas perkembangan pasien terganggu misalnya


rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan pasienidak mampu
mandiri sehjak kecil, mudah frustasi, hilangnya percaya diri dan lebih rentan
terhadap stress.

2) Faktor Sosiokultural  Seseorang yang merasa tidak diterima di


ingkungannya sejak bayi akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak
percaya pada lingkungannya.

3) Faktor Biokimia  Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa.


Adanya stress yang berlebih dialami seseorang maka di dalam tubuh akan
dihasilkan zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia.

4) Faktor Psikologi  Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab


mudah terjerumus padapenyalahgunaan zat adiktif.
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh  Penelitian menunjukkan bahwaanak sehat
yang diasuh oleh orang tua skizofrenia cenderung mengalamai skizofrenia.
Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang
sangat berpengaruh padapenyakit ini. (Prabowo, 2014)

b. Faktor Presipitasi

1) Biologis  Gangguan dalam momunikasi dan putaran balik otak, yang


mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk m
otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi
stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterprestasikan.
2) Stress Lingkungan  Ambang toleransi terhadap tress yang berinteraksi
terhadap stresosor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan
perilaku.
3) Sumber Koping  Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam
menamggapi stress (Prabowo, 2014).
4) Perilaku  Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku menarik diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan
nyata dan tidak.
3. Jenis
a. Halusinasi Pendengaran (akustik, audiotorik)  Gangguan stimulus dimana
pasien mendengar suara-suara terutama suara-suara orang, biasanya pasien
mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang
dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
b. Halusinasi Pengihatan (visual)  Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti
bentuk pencaran cahaya, gambaraan geometrik, gambar kartun dan/ atau
panorama yang luas dan komplesk.
c. Halusinasi Penghidu (Olfaktori)  Gangguan stimulus pada penghidu, yamg
ditandai dengan adanya bau busuk, amis, dan bau yang menjijikan seperti : darah,
urine atau feses. Kadang-kadang terhidu bau harum.
d. Halusinasi Peraba (Taktil, Kinaestatik)  Gangguan stimulus yang ditandai
dengan adanya sara sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat.
e. Halusinasi Pengecap (Gustatorik) Gangguan stimulus yang ditandai dengan
merasakan sesuatu yang busuk, amis, dan menjijikkan.
f. Halusinasi sinestetik  Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan
fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna
atau pembentukan urine. (Yosep Iyus, 2007).
g. Halusinasi Viseral  Timbulnya perasaan tertentu di dalam tubuhnya.
4. Rentang Respon
Persepsi mengacu pada identifikasi dan interprestasi awal dari suatu stimulus
berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra.

5. Proses Terjadinya Masalah


a. Fase I  Pasien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa
bersalah dan takut serta mencoba berfokus padapikiran yang menyenangkan
untuk meredakan ansietas. Di sini pasien tersenyum atau tertawa yang tidak
sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan
asyik sendiri.
b. Fase II  Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan. Pasien mulai lepas
kendali dan mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan
sumberdipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom
akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan,
dan tekanan darah), asyik dengna pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
untuk membedakan halusinasi dengan realita.
c. Fase III  Pasien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini pasien sukar berhubungan dengan
orang ain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang ain dan
berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutamajika akan berhubungan
dengan orang lain.
d. Fase IV  Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien mengikuti
perintah halusinasi. Di sni terjadi perikalu kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak
mampu berespon terhadap perintah yang komplek dan tidak mampu berespon
lebih dari 1 orang. Kondisi pasien sangan membahayakan (Prabowo, 2014)
6. Tanda dan Gejala
a. Bicara, senyum, dan ketawa sendiri
b. Menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, dan respon verba lambat
c. Menarik diri dari orang lain,dan berusaha untuk menghindari diri dari orang ain
d. Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan keadaan yang tidak nyata
e. Terjadi peningkatan denyut ajntung, pernapasan dan tekanan darah
f. Perhatian dengan lingkunganyang kurang atau hanya beberapa detik dan
berkonsentrasi dengan pengalaman sensorinya.
g. Curiga, bermusuhan,merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya) dan
takut
h. Sulit berhubungan dengan orang lain
i. Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung,jengkel dan marah
j. Tidak mampu mengikuti perintah
k. Tampak tremor dan berkeringat, perilaku panik, agitasi dan kataton (Prabowo,
2014)
7. Akibat
Akibat dari hausinasi adalah resiko mencederai diri, orang lain dan ingkungan.
Ini diakibatkan karena pasien berada di bawah halusinasinya yang meminta dia untuk
melakuka sesuatu hal diluar kesadarannya (Prabowo, 2014).
8. Mekanisme Koping
a. Regresi : menjadi malas beraktivitas sehari-hari
b. Proyeksi : menjeslaskan perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk
mengaliskan tanggung jawab kepada orang lain
c. Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimuus internal.
(Prabowo, 2014)
C. POHON MASALAH

Resiko perilaku kekerasan

Perubahan sensori persepsi : halusinasi

Isolasi sosial : menarik diri

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Perubahan sensori persepsi: halusinasi b/d isolasi sosial

E. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


a. Tujuan Umum : Pasien dapat mengontrol halusinasi yang dialaminya
b. Tujuan Khusus
1) TUK 1 : pasien dapat membina hubungan saling percaya

 Sapa pasien dengan ramah baik verbal maupun non verbal

 Perkenakan nama, nama panggilan dan tujuan perawat berkenalan

 Tanyakan nama lengkap dan panggilan yang disukai pasien

 Buat kontrak yang jelas

 Tunjukkan sikap jujur dan menunjukkan sikap empati serta menerima apa
adanya

 Beri perhatian kepada pasien dan perhatikan kebutuhan dasar pasien

 Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaannya

 Dengarkan ungkapan pasien dengan penuh perhatian ada ekspresi perasaan


pasien.

2) TUK 2 : pasien dapat mengenal halusinasinya


 Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap

 Observasi tingkah laku yang terkait dengan halusinasi (verbal dan nono
verbal)

 Bantu mengenal halusinasi

 Jika pasien tidak sedang berhalusinasi klarivikasi tentang adanya pengalaman


halusinasi, diskusikan dengan pasien isi, waktu, dn frekuensi halusinasi pagi,
siang , sore, malam atau sering, jarang )

 Diskusikan tentang apa yang dirasakaan saat terjadi hausinasi

 Dorong untuk mengungkapkan perasaan saat terjadi halusinasi

 Diskusikan tentang dampak yang akan dialami jika pasien menikmati


halusinasinya.

3) TUK 3 : pasien dapat mengontrol halusinasinya

 Identifikasi bersama tentang cara tindakan jika terjadi halusinasi

 Diskusikan manfaat cara yang digunakan paisen

 Diskusikan cara baru untuk memutus/ mengontrol halusinasi

 Bantu pasien memiih cara yang sudah dianjurkan dan latih untuk mencobanya

 Pantau pelaksanaan tindakan yang telah dipiih dan dilatih, jika berhasi beri
pujian

4) TUK 4 : pasien dapat dukungan dari keluarga daam mengontrol hausinasi

 Buat kontak pertemuan dengan keluarga (waktu, topik, tempat)

 Diskusikan dengan keluarga : pemgertian halusianasi, tanda gejala, proses


terjadi, cara yang bisa diakukan oleh pasien dan keluarga untuk memutus
halusinasi, obat-obat halusinasi, cara merawat pasien halusinasi dirumah, beri
informasi waktu follow up atau kapan perlu mendapat bantuan.

 Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga

5) TUK 5 : pasien dapat menggunakan obat dengan benar


 Diskusikan tentang manfaat dan kerugian tidak minum obat, dosis, nama,
frekuensi, efek samping minum obat

 Pantau saat pasien minum obat

 Anjurkan pasien minta sendiri obatnya pada perawat

 Beri reinforcemen jika pasien menggunakan obat dengan benar

 Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter

 Anjurkan pasien berkonsultasi dengan dokter/perawat jika terjadi hal-ha yang


tidak diinginkan. (Prabowo, 2014)

F. DAFTAR PUSTAKA
 Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.
 Iyus, Y. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT refika Aditama.
 Mukhripah Damayanti, Iskandar . (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung:
Refika Aditama.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PASIEN DENGAN ISOLASI SOSIAL

A. MASALAH UTAMA
Isolasi sosial : menarik diri
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan di mana seseorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya
(Damaiyanti, 2008)
Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat
adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan
mengganggu fungsi seseorang dalam dalam hubungan sosial (Depkes RI, 2000).
2. Penyebab
a. Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus
dilalui individu dengan sukses. Keluarga adalah tempat pertama yang
memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang
lain.
2) Faktor social budaya Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan
merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga
disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga,
seperti anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
3) Faktor biologis Genetik merupakan salah satu faktor pendukung yang
menyebabkan terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang
jelas mempengaruhi adalah otak .
b. Faktor presipitasi
1) Stresor sosial budaya Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam
berhubungan seperti perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kesepian
karena ditinggal jauh, dirawat di rumah sakit atau dipenjara.
2) Stresor psikologi Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan
menurunnya kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain
(Damaiyanti, 2012)
3. Rentang respon
Berdasarkan buku keperawatan jiwa dari Stuart (2006) menyatakan bahwa
manusia adalah makhluk sosial, untuk mencapai kepuasan dalam kehidupan, mereka
harus membina hubungan interpersonal yang positif.

4. Proses terjadinya masalah

a. Faktor predisposisi

1) Faktor perkembangan Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas
perkembangan yang harus dilalui individu dengan sukses agar tidak terjadi
gangguan dalam hubungan sosial.
2) Faktor biologis Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif
3) Faktor sosial budaya Isolasi sosial merupakan faktor utama dalam gangguan
berhubungan. Hal ini diakibatkan oleh norma yang tidak mendukung pendekatan
terhadap orang lain, atau tidak menghargai anggota masyarakat yang tidak
produktif seperti lansia, orang cacat, dan penderita penyakit kronis.
4) Faktor komunikasi dalam keluarga  Pada komunikasi dalam keluarga dapat
mengantarkan seseorang dalam gangguan berhubungan, bila keluarga hanya
menginformasikan hal-hal yang negative dan mendorong anak mengembangkan
harga diri rendah.
b. Stressor presipitasi
1) Stressor sosial budaya Stres dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara
faktor lain dan faktor keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan
berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat di
rumah sakit.
2) Stressor psikologis Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi
bersamaan dengan keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk
berpisah dengan orang dekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi
kebutuhan ketergantungan dapat menimbulkan kecemasan tingkat tinggi
(Prabowo, 2014)
5. Tanda dan gejala
a. Gejala subjektif
 Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain

 Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain

 Klien merasa bosan

 Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan

 Klien merasa tidak berguna


b. Gejala objektif

 Menjawab pertanyaan dengan singkat, yaitu “ya” atau “tidak” dengan pelan

 Respon verbal kurang dan sangat singkat atau tidak ada

 Berpikir tentang sesuatu menurut pikirannya sendiri

 Menyendiri dalam ruangan, sering melamun

 Mondar-mandir atau sikap mematung atau melakukan gerakan secara berulang-


ulang

 Apatis (kurang acuh terhadap lingkungan)

 Ekspresi wajah tidak berseri

 Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri

 Kontak mata kurang atau tidak ada dan sering menunduk

 Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya


6. Akibat
Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri atau
isolasi sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga yang bisa dialami pasien
dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan, ketegangan, kekecewaan, dan
kecemasan.(Prabowo, 2014)
7. Mekanisme koping
a. Regresi adalah mundur ke masa perkembangan yang telah lain.

b. Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran pikiran yang tidak dapat diterima
secara sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran.

c. Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan timbulnya


kegagalan defensif dalam menghubungkan perilaku dengan motivasi atau
bertentangan antara sikap dan perilaku.

C. POHON MASALAH

Risiko Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi

Isolasi Sosial: menarik diri

Harga Diri Rendah

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Isolasi sosial menarik diri b/d harga diri rendah

E. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

a. Tujuan umum : Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain


b. Tujuan khusus
1) TUK 1 : Dapat membina hubungan saling percaya
 Sapa pasien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
 Perkenalkan diri dengan sopan
 Tanyakan nama lengkap pasien dan nama kesukaan pasien
 Jelaskan tujuan pertemuan
 Buat kontrak interaksi yang jelas
 Jujur dan menepati janji
 Tunjukkan sikap empati dan menerima pasien apa adanya
 Ciptakan lingkungan yang tenang dan bersahabat
 Beri perhatian dan penghargaan : temani pasien walau tidak menjawab
 Dengarkan dengan empati beri kesempatan bicara, jangan buru-buru, tunjukkan
bahwa perawat mengikuti pembicaraan pasien
 Beri perhatian dan perhatikan kebutuhan dasar pasien
2) TUK 2 : Pasien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
 Tanyakan pada pasien tentang orang terdekat

 Kaji pengetahuan pasien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya

 Beri kesemapatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaan penyebab


menarik diri tidak mau bergaul

 Diskusikan pada pasien tentang perilaku menarik diri, tanda serta penyebab
yang muncul

 Berikan reinforcement (penguatan) positif terhadap kemampuan pasien dalam


mengungkapkan perasaannya.

3) TUK 3 : Pasien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain
 Kaji pengetahuan pasien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan
dengan orang lain serta kerugiannya bila tidak berhubungan dengan orang lain

 Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya tentang


berhubungan dengan orang lain

 Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya tentang


kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain

 Diskusikan bersama tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain dan


kerugian tidak berhubungan dengan orang lain

 Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan


tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian bila tidak
berhubungan dengan orang lain

4) TUK 4 : Pasien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap


 Observasi perilaku pasien saat berhubungan dengan orang lain
 Beri motivasi dan bantu pasien untuk berkenalan/ berkomunikasi dengan orang
lain melalui: pasien-perawat, pasien-perawat-perawat lain, pasien-perawat-
perawat lain pasien lain, pasien-perawat-perawat lain-pasien lain-masyarakat

 Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang telah dicapai

 Bantu pasien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan dengan orang lain

 Beri motivasi dan libatkan pasien dalam terapi aktivitas kelompok sosialisasi

 Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan bersama pasien dalam mengisi
waktu luang

 Memotivasi pasien untuk melakukan kegiatan sesuai dengan jadwal yang telah
dibuat

 Beri reinforcement atas kegiatan pasien dalam memperluas pergaulan melalui


aktivitas yang dilaksanakan

5) TUK 5 : Pasien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan


orang lain

 Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan


orang lain/kelompok

 Diskusikan dengan pasien tentang perasaan manfaat berhubungan dengan


orang lain

 Beri reinforcement atas kemampuan pasien mengungkapkan perasaannya


berhubungan dengan orang lain

6) TUK 6 : Pasien dapat memberdayakan system pendukung atau keluarga mampu


mengembangkan kemampuan pasien untuk berhubungan dengan orang lain
 Bina hubungan saling percaya dengan keluarga: salam, perkenalkan diri,
sampaikan tujuan, buat kontrak eksplorasi perasaan keluarga

 Diskusikan pentingnya peranan keluarga sebagai pendukung untuk mengatasi


perilaku menarik diri

 Diskusikan dengan anggota keluarga tentang: perilaku menarik diri , penyebab


perilaku menarik diri, akibat yang akan terjadi jika perilaku menarik diri tidak
ditanggapi, cara keluarga menghadapi pasien menarik diri

 Diskusikan potensi keluarga untuk membantu mengatasi pasien menarik diri

 Latih keluarga merawat pasien menarik diri


 Tanyakan perasaan keluarga setelah mencoba cara yang dilatih

 Anjurkan anggota keluarga untuk memberi dukungan kepada pasien untuk


berkomunikasi dengan orang lain

 Dorong anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk pasien


minimal satu kali seminggu

 Beri reinforcement atas hal-hal yang telah dicapai keluarga

7) TUK 7 : Pasien dapat menggunakan obat dengan benar dan tepat

 Diskusikan dengan pasien tentang kerugian dan keuntungan tidak minum, serta
karakteristik obat yang diminum (nama, dosis, frekuensi, efek samping minum
obat)

 Bantu dalam menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar pasien, obat,
dosis, cara, waktu)

 Anjurkan pasien minta sendiri obatnya kepada perawat agar pasien dapat
merasakan manfaatnya

 Beri reinforcement positif bila pasien menggunakan obat dengan benar

 Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter

 Anjurkan pasien untuk konsultasi dengan dokter/perawat apabila terjadi hal-hal


yang tidak diinginkan

F. DAFTAR PUSTAKA
 Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.
 Mukhripah Damaiyanti & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT
Refika Aditama.
 Sundeen, S. &. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PASIEN DENGAN HARGA DIRI RENDAH

A. MASALAH UTAMA
Harga Diri Rendah
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Definisi
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga,tidak berarti dan rendah diri
yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan
diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu
mencapai keinginan sesuai ideal diri (Yosep, 2009).
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri sendiri atau
kemampuan diri yang negatif yang dapat secara langsung atau tidak langsung
diekspresikan (Towsend, 2008).
2. Penyebab
a. Faktor predisposisi
1) Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua, harapan
orang tua yang tidak realistik, kegagalan yang berulang, kurang mempunyai
tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, dan ideal diri yang
tidak realistis.
2) Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah stereotipe peran gender,
tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya
3) Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi ketidakpercayaan orangtua,
tekanan dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur sosial. (Stuart & Sundeen,
2006)
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah kehilangan
bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh,kegagalan atau produktivitas yang
menurun. Secara umum, gangguan konsep diri harga diri rendah ini dapat terjadi
secara emosional atau kronik. Secara situasional karena trauma yang muncul secara
tiba-tiba, misalnya harus dioperasi,kecelakaan,perkosaan atau dipenjara, termasuk
dirawat dirumah sakit bisa menyebabkan harga diri rendah disebabkan karena
penyakit fisik atau pemasangan alat bantu yang membuat klien sebelum sakit atau
sebelum dirawat klien sudah memiliki pikiran negatif dan meningkat saat dirawa
(Yosep, 2009).
3. Jenis
a. Situasional  Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus dioperasi,
kecelakaan,dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja. Pada pasien yang
dirawat dapat terjadi harga diri rendah karena privasi yang kurang diperhatikan.
Pemeriksaan fisik yang sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan, harapan
akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena dirawat/penyakit,
perlakuan petugas yang tidak menghargai (Makhripah D & Iskandar, 2012).
b. Kronik  Yaitu perasaan negativ terhadap diri telah berlangsung lama,yaitu
sebelum sakit/dirawat. Pasien mempunyai cara berfikir yang negativ. Kejadian sakit
dan dirawat akan menambah persepsi negativ terhadap dirinya. Kondisi ini
mengakibatkan respons yang maladaptive, kondisi ini dapat ditemukan pada pasien
gangguan fisik yang kronis atau pada pasien gangguan jiwa. (Makhripah D &
Iskandar, 2012)
4. Rentang Respon

5. Proses terjadinya masalah


a. Faktor predisposisi
1) Kehilangan atau kerusakan bagian tubuh
2) Penolakan
3) Kurang penghargaan, pola asuh overprotektif, otoriter,tidak konsisten,terlalu
dituruti,terlalu dituntut
4) Kesalahan dan kegagalan berulang
5) Tidak mampu mencapai standar
6) Stereotipik peran seks
7) Tuntutan peran kerja
8) Ketidakpercayaan orang tua
b. Faktor presipitasi
1) Trauma adalah masalah spesifik dengan konsep diri dimana situasi yang membuat
individu sulit menyesuaikan diri, khususnya trauma emosi seperti penganiayaan
seksual dan phisikologis pada masa anak-anak atau merasa terancam atau
menyaksikan kejadian yang mengancam kehidupannya.
2) Ketegangan peran adalah rasa frustasi saat individu merasa tidak mampu
melakukan peran yang bertentangan dengan hatinya atau tidak merasa sesuai
dalam melakukan perannya. Ketegangan peran ini sering dijumpai saat terjadi
konflik peran, keraguan peran dan terlalu banyak peran. Konflik peran terjadi saat
individu menghadapi dua harapan peran yang bertentangan dan tidak dapat
dipenuhi. Keraguan peran terjadi bila individu tidak mengetahui harapan peran
yang spesifik atau bingung tentang peran yang sesui
3) Perilaku
 Citra tubuh  Yaitu menolak menyentuh atau melihat bagian tubuh tertentu,
menolak bercermin, tidak mau mendiskusikan keterbatasan atau cacat tubuh,
menolak usaha rehabilitasi, usaha pengobatan ,mandiri yang tidak tepat dan
menyangkal cacat tubuh.
 Harga diri rendah diantaranya mengkritrik diri atau orang lain, produkstivitas
menurun, gangguan berhubungan ketengangan peran, pesimis menghadapi
hidup, keluhan fisik, penolakan kemampuan diri, pandangan hidup
bertentangan, distruktif kepada diri, menarik diri secara sosial, khawatir,
merasa diri paling penting, distruksi pada orang lain, merasa tidak mampu,
merasa bersalah, mudah tersinggung/marah, perasaan negatif terhadap tubuh.
 Keracunan identitas diantaranya tidak ada kode moral, kepribadian yang
bertentangan, hubungan interpersonal yang ekploitatif, perasaan hampa,
perasaan mengambang tentang diri, kehancuran gender, tingkat ansietas tinggi,
tidak mampu empati pada orang lain, masalah estimasi.
 Depersonalisasi meliputi afektif, kehidupan identitas, perasaan terpisah dari
diri, perasaan tidak realistis, rasa terisolasi yang kuat, kurang rasa
berkesinambungan, tidak mampu mencari kesenangan. Perseptual halusinasi
dengar dan lihat, bingung tentang seksualitas diri,sulit membedakan diri dari
orang lain, gangguan citra tubuh, dunia seperti dalam mimpi, kognitif bingung,
disorientasi waktu, gangguan berfikir, gangguan daya ingat, gangguan
penilaian, kepribadian ganda. ( Herman,2011)
6. Tanda dan gejala
a. Mengkritik diri sendiri
b. Menarik diri dari hubungan sosial
c. Pandangan hidup yang pesimis
d. Perasaan lemah dan takut
e. Penolakan terhadap kemampuan diri sendiri
f. Pengurangan diri/mengejek diri sendiri
g. Ketidakmampuan menentukan tujuan
h. Ekspresi wajah malu dan rasa bersalah
i. Menunjukkan tanda depresi (sukar tidur dan sukar makan)
7. Akibat
Harga diri rendah dapat diakibatkan oleh rendahnya cita-cita seseorang. Hal ini
mengakibatkan berkurangnya tantangan dalam mencapai tujuan. Tantangan yang rendah
menyebabkan upaya yang rendah. Selajutnya hal ini menyebutkan penampilan
seseorang yang tidak optimal. Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung
mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuanya. Ketika seseorang mengalami
harga diri rendah,maka akan berdampak pada orang tersebut mengisolasi diri dari
kelompoknya. Dia akan cenderung menyendiri dan menarik diri (Eko P, 2014).
8. Mekanisme koping
a. Pertahanan jangka pendek :
1) Aktivitas yang memberikan pelarian semestara dari krisis identitas diri (misalnya,
konser musik, bekerja keras, menonton tv secara obsesif)
2) Aktivitas yang memberikan identitas pengganti semestara (misalnya, ikut serta
dalam klub sosial, agama, politik, kelompok, gerakan, atau geng)
3) Aktivitas yang sementara menguatkan atau meningkatkan perasaan diri yang tidak
menentu ( misalnya, olahraga yang kompetitif, prestasi akademik, kontes untuk
mendapatkan popularitas)
b. Pertahanan jangka panjang
1) Penutupan identitas : adopsi identitas prematur yang diinginkan oleh orang
terdekat tanpa memerhatikan keinginan, aspirasi, atau potensi diri individu
2) Identitas negatif : asumsi identitas yang tidak sesuai dengan nilai dan harapan
yang diterima masyarakat.
C. POHON MASALAH
Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah Kronik

Koping Keluarga Tidak Efektif

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Harga diri rendah berhubungan dengan koping keluarga tidak efektif
E. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
a. Tujuan Umum : Pasien memiliki konsep diri yang positif
b. Tujuan Khusus
1) TUK 1 : Pasian dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
 Sapa pasien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
 Perkenalkan diri dengan sopan
 Tanyakan nama lengkap pasien dan nama panggilan yang disukai pasien
 Jelaskan tujuan pertemuan
 Jujur dan menepati janji
 Tunjukkan sikap empati dan menerima pasien apa adanya
 Beri perhatian kepada pasien dan perhatikan kebutuhan dasar pasien
2) TUK 2 : Pasien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
 Diskusikan kemampuan aspek positif , keluarga dan lingkungan yang dimiliki
pasien
 Bersama pasien membuat daftar tentang : Aspek positif pasien, keluarga, dan
lingkungan, kemampuan yang dimiliki pasien
 Utamakan memberi pujian yang realistik dan hindarkan penilaian negative
3) TUK 3 : Pasien dapat menilai kemampuan yang dimiiki untuk digunakan
Diskusikan dengan pasien kemampuan yang masih dapat dilaksanakan dan
digunakan selama sakit
 Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya
4) TUK 4 : Pasien dapat (menetapkan) merencanakan kegiatan sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki
 Rencanakan bersama pasien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai
kemampuan
 Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi pasien
 Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh pasien lakukan
5) TUK 5 : Pasien dapat melakukan kegiatan sesuai dengan rencana yang telah dibuat
 Beri kesempatan pada pasien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan
 Pantau kegiatan yang dilaksanakan pasien
 Beri pujian atas keberhasilan pasien
 Diskusikan kemungkinan pelaksanaan kegiatan setelah pasien pulang
6) TUK 6 : Pasien dapat memanfaatkan system pendukung yang ada
 Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat pasien dengan
harga diri rendah
 Bantu keluarga memberikan dukungan selama pasien dirawat
 Bantu keluaga menyiapkan lingkungan rumah
7) TUK 7 : Pasien dapat memanfaatkan obat dengan baik
Diskusikan dengan pasien dan keluarga tentang dosis, frekuensi dan manfaat
obat
 Diskusikan akibat berhentinya tanpa konsultasi
 Bantu pasien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar
F. DAFTAR PUSTAKA
 Herdman. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
 Iskandar, M. D. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.
 Prabowo, E. (2014). Konsep&Aplikasi ASUHAN KEPERAWATAN JIWA.
Yogyakarta : Nuhamedika.
 Townsend. (2008). Nursing Diagnosis in Psuchiatric Nursing a Pocket Guide for
Care Plan Construction. jakarta: EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
PASIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN
A. MASALAH UTAMA
Resiko Perilaku Kekerasan
B. PROSES TERJADINNYA MASALAH
1. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psiklogis. Berdasarkan definisi tersebut maka perilaku
kekerasan dapat dilakukakn secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan
lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu sedang
berlangsung kekerasan atau perilaku kekerasan terdahulu (riwayat perilaku kekerasan).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain dan
lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman (Kartika Sari, 2015).
2. Penyebab
a. Faktor Predisposisi
1) Teori Biologis
 Neurologic Faktor  Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap,
neurotransmitter, dendrit, akson terminalis mempunyai peran memfasilitasi
atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang mempengaruhi sifat
agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku
bermusuhan dan respon agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012).
 Genetic Faktor  Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua,
menjadi potensi perilaku agresif.
 Cycardian Rhytm  Irama sikardian memegang peranan individu. Menurut
penelitian pada jam sibuk seperti menjellang masuk kerja dan menjelang
berakhirnya kerja ataupun pada jam tertentu akan menstimulasi orang untuk
lebih mudah bersikap agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012).
 Faktor Biokimia  Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak
contohnya epineprin, norepenieprin, dopamin dan serotonin sangat berperan
dalam penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh.
 Brain Area Disorder  Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal,
siindrom otak, tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi
ditemukan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan
(Mukripah Damaiyanti, 2012).
2) Teori Psikogis
 Teori Psikoanalisa  Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh
riwayat tumbuh kembang seseorang.
 Imitation, modelling and information processing theory  Menurut teori ini
perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang mentolelir
kekerasan.
 Learning Theory  Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu
terhadap lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah saat
menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana respon ibu saat marah
(Mukripah Damaiyanti, 2012).
3. Rentang respon

4. Proses Terjadinya Masalah


1) Faktor Predisposisi
1) Psikologis
 Teori Psikoanalitik, teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa
aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri
yang rendah.
 Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajarai,
individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap perilaku kekerasan lebih
cenderung untuk dipengaruhioleh peran eksternal (Nuraenah, 2012).
2) Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek ini
menstiumulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan (Eko Prabowo, 2014).
3) Sosial budaya, proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi
memberikan dampak terhadap nilai-niali sosial dan budaya pada masyarakat. Di
sisi lain, tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk
mnyesuaikan dengan berbagai perubahan, serta mengelola konflik dan stress
(Nuraenah, 2012).
4) Bioneurologis, banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus
temporal dan ketidak seimbangan neurotransmitter turut berperan dalam
terjadinya perilaku kekerasan (Eko Prabowo, 2014).
2) Faktor Presipitasi
1) Konsis klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang
penuh dengan agresif dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
2) Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang, merasa terancam baik internal
dari permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal dari lungkungan.
3) Lingkungan: panas, padat dan bising
4. Tanda dan Gejala
a. Muka merah dan tegang
b. Mata melotot atau pandangan tajam
c. Tangan mengepal
d. Rahang mengatup
e. Wajah memerah dan tegang
f. Postur tubuh kaku
g. Pandangan tajam
h. Jalan mondar mandir
5. Akibat
Seseorang dapat mengalami perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain
dapat menunjukan perilaku (Kartikasari, 2015) :
a. Mengungkapkan mendengar atau melihat obyek yang mengancam
b. Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir
c. Wajah tegang merah
d. Mondar mandir
e. Mata melotot, rahang mengatup
f. Tangan mengepal
g. Keluar banyak keringat
h. Tatapan mata tajam
6. Mekanisme Koping
a. Sublimasi  Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata
masyarakat unutk suatu dorongan yang megalami hambatan penyalurannya secara
normal.
b. Proyeksi  Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang tidak
baik, misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terdadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya
tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
c. Represi  Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahayakan masuk kedalam
sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak
disukainya.
d. Reaksi formasi  Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresika.dengan
melebih lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan sebagai
rintangan misalnya sesorangan yang tertarik pada teman suaminya,akan
memperlakukan orang tersebut dengan kuat (Mukhripah Damaiyanti, 2012).
e. Deplacement  Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan pada
objek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu ,misalnya: timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru
saja mendapatkan hukuman dari ibunya karena menggambar didinding kamarnya.
C. POHON MASALAH
Resiko menciderai diri

Resiko perilaku kekerasan

Halusinasi
D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Resiko perilaku kekerasan berhubungan dengan halusinasi
E. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
a. Tujuan Umum : Klien dapat melanjutkan hubungan peran sesuai denga tanggung
jawab
b. Tujuan Khusus
1) TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya
 Beri salam dan panggil nama kien
 Sebutkan nama perawat sambil berjabat tangan
 Jelaskan maksud hubungan interaksi
 Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
 Beri rasa aman dan sikap empati
 Lakukan kontak singkat tapi sering
2) TUK II : Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
 Beri kesempatan mengungkapkan perasaannya
 Bantu klien mengungkap perasaannya
3) TUK III : Kien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
 Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami saat marah/jengkel
 Observasi tanda-tanda perilaku kekerasan pada klien
 Simpulkan bersama klien tanda-tanda klien saat jengkel/marah yang dialami
4) TUK IV : Klien dapat mengidentifikasi perilakuk kekerasan yang biasa dilakukan
 Anjurkan klien mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan klien
 Bantu klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan
 Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya
selesai
5) TUK V : Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
 Bicarakan akibat kerugian dari cara yang dilakukan klien
 Bersama klien menyimpulkan akibat cara yang dilakukan oleh klien
 Tanyakan pada klien apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat
6) TUK VI : Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap
kemarahan secara konstruktif
 Tanyakan pada klien apakah ingin mempelajari car baru
 Beri pujian jika klien menemukan cara yang sehat
 Diskusikan dengan klien mengenai cara lain
7) TUK VII : Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan
 Bantu klien memilih cara yang tepat untuk klien
 Bantu klien mengidentifikasi manfaat cara yang dipilih
 Bantu klien menstimulasi cara tersebut
 Berikan reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara
tersebut
 Anjurkan klien menggunakan cara yang telah dipilihnya jika ia sedang
kesal/jengkel
8) TUK VIII : Klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku
kekerasan
 Identifikasi kemampuan keluarga merawat klien dari sikap apa yang telah
dilakukan keluarga terhadap klien selam ini
 Jelaskan peran serta keluarga dalam perawatan klien
 Jelaskan cara merawat klien
 Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat kien
 Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi
9) TUK IX : Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program
pengobatan)
 Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien
 Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa izin
dokter
F. DAFTAR PUSTAKA
 Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi ASUHAN KEPERAWATAN JIWA.
Yogyakarta: Nuha Medika.
 Mukhripah Damaiyanti. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Samarinda: Refka
Aditama.
 Nuraenah. (2012). Hubungan Dukungan Keluarga dan Beban Keluarga dalam
Merawat Anggota dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di RS. Jiwa Islam Klender
Jakarta Timur, 29-37.
 Sari, K. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta: Trans
Info Media.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PASIEN DENGAN DEFISIT PERAWATAN DIRI

A. MASALAH UTAMA
Defisit perawatan diri
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Definisi
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya,kesehatan dan kesejateraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien
dinyatakan terganggu keperatawan dirinya jika tidak dapat melakukan keperawatan diri
(Depkes, 2000)
Defisit perawatan diri adalah kurangnya perawatan diri pada pasien dengan
gangguan jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk
melakukan aktivitas perawatan diri menurun (Damaiyanti, 2012).
2. Penyebab
Menurut Depkes (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah:
a. Faktor predisposisi
1) Perkembangan  Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu
2) Biologis  Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun  Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan
realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan
termasuk perawatan diri.
4) Sosial  Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam
perawatan diri.
b. Faktor presipitasi
1) Body Image  Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu
tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
2) Praktik Sosial  Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri,
maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3) Status Sosial Ekonomi  Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti
sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan
uang untuk menyediakannya.
4) Pengetahuan  Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena
pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien
penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5) Budaya  Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
6) Kebiasaan seseorang  Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk
tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.
7) Kondisi fisik atau psikis  Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk
merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya
3. Jenis
Menurut (Damaiyanti, 2012) jenis perawatan diri terdiri dari :
a. Defisit perawatan diri : mandi  Hambatan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan mandi/beraktivitas perawatan diri sendiri
b. Defisit perawatan diri : berpakaian  Hambatan kemampuan untuk melakukan
ata menyelesaikan aktivitas berpakaian dan berhias untuk diri sendiri.
c. Defisit perawatan diri : makan  Hambatan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas sendiri
d. Defisit perawatan diri : eliminasi  Hambatn kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas eliminasi sendiri.
4. Rentang respon
5. Proses terjadinya masalah
a. Factor predisposisi
1) Perkembangan  Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu
2) Biologis  Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun  Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan
realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan
termasuk perawatan diri.
4) Sosial  Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam
perawatan diri.
b. Faktor presipitasi
1) Body Image  Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu
tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
2) Praktik Sosial  Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri,
maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3) Status Sosial Ekonomi  Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti
sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan
uang untuk menyediakannya.
4) Pengetahuan  Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena
pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien
penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5) Budaya  Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
6) Kebiasaan seseorang  Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk
tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.
7) Kondisi fisik atau psikis  Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk
merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya
6. Tanda dan gejala
a. Mandi/hygine  Klien mengalami ketidakmapuan dalam membersihkan badan,
memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi,
mendapatkan perlengkapan mandi, mengerikan tubuh, serta masuk dan keluar
kamar mandi
b. Berpakaian  Klien mempunyai kelemahan dalam meletakan atau mengambil
potongan pakian, menangalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar pakaian
c. Makan  Klien mempunyai ketidak mampuan dalam menelan makanan,
mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan,
menggunakan alat tambahan, mendapat makanan, membuka container,
memanipulasi makanan dalam mulut,mengambil makanandari wadah lalu
memasukan ke mulut, melengkapi makanan,mencerna makanan menurut cara
yang diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna cukup
makanan dengan aman
d. Eliminasi  Klien memiliki kebatasan atau krtidakmampuan dalam mendapatkan
jamban atau kamar kecil atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian
toileting, membersihkan diri setelah BAK/BAB dengan tepat, dan menyiram toilet
atau kamar kecil.
7. Akibat
a. Dampak fisik  Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena
tidak tidak terpeliharanya kebersihan perorangandengan baik, gangguan fisik yang
seering terjadi adalah: gangguan integritas kulit, gangguan membrane mukosa
mulut, infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku
b. Dampak psikososial  Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygine
adalah gangguan kebutuhan aman nyaman , kebutuhan cinta mencintai, kebutuhan
harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial (Damaiyanti, 2012)
8. Mekanisme koping
a. Mekanisme koping adaptif  Mekanisme koping yang mendukung fungsi
integrasi pertumbuhan belajar dan mencapai tujuan. Kategori ini adalah klien bisa
memenuhi kebutuhan perawatan diri secara mandiri.
b. Mekanisme koping maladaptif  Mekanisme koping yang menghambat fungsi
integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai
lingkungan. Kategorinya adalah tidak mau merawat diri (Damaiyanti, 2012)
C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
a. Tujuan Umum : Pasien tidak mengalami defisit perawatan diri.
b. Tujuan Khusus
1) TUK 1 : Pasien bisa membina hubungan saling percaya dengan perawat
 Sapa pasiendengan ramah, baik verbal maupun non verbal
 Perkenalkan diri dengan sopan
 Tanyakan nama lengkap dan nama panggilan yang di sukai pasien
 Jelaskan tujuan pertemuan
 Jujur dan menepati janji
 Tunjukkan sikap empati dan menerima pasien apa adanya
 Beri perhatian dan perhatikan kebutuhan dasar pasien
2) TUK 2 : Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
 Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
 Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
 Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
 Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
3) TUK 3 : Pasien mampu melakukan berhias/ berdandan secara baik
 Untuk pasien laki-laki latihan meliputi : berpakaian, menyisir rambut, bercukur
 Untuk pasien wanita, latihannya meliputi : berpakaian, menyisir rambut,
berhias
4) TUK 4 : Pasien mampu melakukan makan dengan baik
 Menjelaskan cara mempersiapkan makan
 Menjelaskan cara makan yang tertib
 Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
 Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
5) TUK 5 : Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
 Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
 Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
 Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK

D. DAFTAR PUSTAKA
 Damaiyanti. (2012). Asuhan keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.
 Depkes, R. (2000). Keperawatan Jiwa : Teori dan Tindakan keperawatan Jiwa.
Jakarta: Depkes RI.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PASIEN DENGAN WAHAM

A. MASALAH UTAMA
Gangguan proses pikir : waham
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Definisi
Menurut (Depkes RI, 2000) Waham adalah suatu keyakinan klienyang tidak
sesuai dengan kenyataan, tetapi dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh
orang lain.
Gangguan isi pikir adalah ketidakmampuan individu memprosesstimulus internal
dan eksternal secara akurat. Gangguannya adalah berupawaham yaitu keyakinan
individu yang tidak dapat divalidasi atau dibuktikandengan realitas. Keyakinan individu
tersebut tidak sesuai dengan tingkat intelektual dan latar belakang budayanya, serta
tidak dapat diubah dengan alasan yang logis. Selain itu keyakinan tersebut diucapkan
berulang kali (Kusumawati, 2010).
2. Penyebab
Gangguan orientasi realitas menyebar dalam lima kategori utamafungsi otak Menurut
Kusumawati, (2010) yaitu :
a. Gangguan fungsi kognitif dan persepsi menyebabkan kemampuan menilaidan
menilik terganggu.
b. Gangguan fungsi emosi, motorik, dan sosial mengakibatkan
kemampuanberespons terganggu, tampak dari perilaku nonverbal (ekspresi
dangerakan tubuh) dan perilaku verbal (penampilan hubungan sosial).
c. Gangguan realitas umumnya ditemukan pada skizofrenia.
d. Gejala primer skizofrenia (bluer) : 4a + 2a yaitu gangguan asosiasi,
efek,ambivalen, autistik, serta gangguan atensi dan aktivitas. Gejala sekunder:
halusinasi, waham, dan gangguan daya ingat.
3. Jenis
Waham dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, menurut Direja (2011) yaitu :
a. Waham kebesaran  Keyakinan secara berlebihan bahawa dirinya memiliki
kekuatan khusus atau kelebihan yang berbeda dengan orang lain, diucapkan
berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan
b. Waham agama  Keyakinan terhadap suatuagama secara berlebihan, diucapkan
berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
c. Waham curiga  Keyakinan seseorang atau sekelompok orang yang mau
merugikan atau mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapai tidak sesuai
dengan kenyataan.
d. Waham somatik  Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau sebagian tubuhnya
terserang penyakit, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
e. Waham nihlistik  Keyakinan seseorang bahwa dirinya sudah meninggal dunia,
diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
4. Rentang respon

5. Tanda dan gejala


Menurut Kusumawati, (2010) yaitu :
a. Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat)  Cara berfikir magis dan
primitif, perhatian, isi pikir, bentuk, dan pengorganisasian bicara (tangensial,
neologisme, sirkumtansial).
b. Fungsi persepsi  Depersonalisasi dan halusinasi.
c. Fungsi emosi  Afek tumpul kurang respons emosional, afek datar, afek tidak
sesuai, reaksi berlebihan, ambivalen.
d. Fungsi motorik  Imfulsif gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme, stereotipik
gerakan yang diulang-ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi stimulus yang
jelas, katatonia.
e. Fungsi sosial kesepian  Isolasi sosial, menarik diri, dan harga diri rendah.
f. Dalam tatanan keperawatan jiwa respons neurobiologis yang sering muncul
adalah gangguan isi pikir: waham dan PSP: halusinasi.
6. Mekanisme koping
Menurut Direja (2011), Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri
dari pengalaman berhubungan dengan respon neurobioligi :
a. Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
menanggulangi ansietas, hanya mempunyai sedikit energi yang tertinggal untuk
aktivitas hidup sehari-hari
b. Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi.
c. Menarik diri
C. POHON MASALAH
Resiko perilaku kekerasan

Gangguan proses pikir : Waham

Halusinasi
D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan proses pikir : waham berhubungan dengan halusinasi
E. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
a. Tujuan Umum : Klien dapat berkomunikasi dengan baik dan terarah.
b. Tujuan Khusus
1) TUK 1 : Klien dapat membina hubungan saling percaya.
 Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
 Perkenalkan diri dengan sopan
 Tanyakan nama lengkap dan nama yang disukai klien.
 Jelaskan tujuan pertemuan
 Jujur dan menepati janji
 Tunjukkan rasa empati dan menerima klien dengan apa adanya.
2) TUK 2 : Klien dapat mengidentifikasikan kemampuan yang dimiliki.
 Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien yang realistis
 Diskusikan dengan klien kemampuan yang dimiliki pada waktu lalu dan saat
ini.
 Tanyakan apa yang bisa dilakukan (kaitkan dengan aktivitas sehari-hari dan
perawatan diri) kemudian anjurkan untuk melakukan saat ini.
 Jika klien selalu bicara tentang wahamnya dengarkan sampai kebutuhan
waham tidak ada.
 Perawat perlu memperhatikan bahwa klien sangat penting.
3) TUK 3 : Klien dapat mengidentifikasi kebutuhan yang tidak dimiliki.
 Observasi kebutuhan klien sehari-hari
 Diskusikan kebutuhan klien yang tidak terpenuhi selama dirumah maupun di
RS.
 Hubungkan kebutuhan yang tidak terpenuhi dengan timbulnya waham
 Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan klien dan memerlukan
waktu dan tenaga.
 Atur situasi agar klien tidak mempunyai waktu untuk menggunakan wahamnya
4) TUK 4 : Klien dapat berhubungan dengan realitas.
 Berbicara dengan klien dalam konteks realitas (realitas diri, realitas orang lain,
waktu dan tempat).
 Sertakan klien dalam terapi
 aktivitas kelompok : orientasi realitas.
 Berikan pujian tiap kegiatan positif yang dilakukan oleh klien.
5) TUK 5 : Klien dapat dukungan dari keluarga.
 Diskusikan dengan keluarga tentang : gejala waham cara merawat, lingkungan
keluarga, follow up dan obat.
 Anjurkan keluarga
 melaksanakan dengan bantuan perawat.
6) TUK 6 : Klien dapat menggunakan obat dengan benar.
 Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang obat, dosis, dan efek samping
obat dan akibat penghentian.
 Diskusikan perasaan klien setelah minum obat.
 Berikan obat dengan prinsip lima benar dan observasi setelah minum obat.
F. DAFTAR PUSTAKA
 Kusumawati, F. Hartono. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
 Direja, Ade Herman. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PASIEN DENGAN RESIKO BUNUH DIRI

A. MASALAH UTAMA
Resiko bunuh diri
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Definisi
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
Menciderai diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari individu
untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
2. Penyebab
a. Kegagalan beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres.
b. Perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan
c. Interpersonal/ gagal melakukan hubungan yang berarti.
d. Perasaan marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri.
e. Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
3. Faktor yang mempengaruhi
a. Faktor Predisposisi
1) Diagnostik > 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri,
mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat
membuat individu beresiko untuk bunuh diri yaitu gangguan apektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
2) Sifat kepribadian  Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya
resiko bunuh diri adalah rasa bermusuhan, implisif dan depresi.
3) Lingkungan psikososial  Seseorang yang baru mengalami kehilangan,
perpisahan/perceraian, kehilangan yang dini dan berkurangnya dukungan sosial
merupakan faktor penting yang berhubungan dengan bunuh diri.
4) Riwayat keluarga  Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri
merupakan faktor resiko penting untuk prilaku destruktif.
5) Faktor biokimia  Data menunjukkan bahwa secara serotogenik, apatengik, dan
depominersik menjadi media proses yang dapat menimbulkan prilaku destrukif
diri.
b. Faktor Presipitasi
1) Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
melakukan hubungan yang berarti.
2) Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stress
3) Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri.
4) Cara untuk mengakhiri keputusan.
4. Patopsikologi
Prilaku bunuh diri biasanya dibagi menjadi 3 kategori:
a. Ancaman bunuh diri  Peningkatan verbal atau nonverbal bahwa orang tersebut
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Ancaman menunjukkan ambevalensi
seseorang tentang kematian kurangnya respon positif dapat ditafsirkan seseorang
sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri.
b. Upaya bunuh diri  Semua tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan
oleh individu yang dapat mengarah pada kematian jika tidak dicegah.
c. Bunuh diri  Mungkin terjadi setelah tanda peningkatan terlewatkan atau
terabaikan. Orang yang melakukan percobaan bunuh diri dan yang tidak langsung
ingin mati mungkin pada mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui tepat pada
waktunya. Percobaan bunuh diri terlebih dahulu individu tersebut mengalami
depresi yang berat akibat suatu masalah yang menjatuhkan harga dirinya (Stuart &
Sundeen, 2006).
5. Rentang respon

6. Tanda dan Gejala


Pengkajian orang yang bunuh diri juga mencakup apakah orang tersebut tidak
membuat rencana yang spesifik dan apakah tersedia alat untuk melakukan rencana
bunuh diri tersebut adalah: keputusasaan, celaanterhadap diri sendiri, perasaan gagal
dan tidak berguna, alam perasaan depresi, agitasi dan gelisah, insomnia yang menetap,
penurunan BB, berbicara lamban, keletihan, menarik diri dari lingkungan sosial.
C. POHON MASALAH
Cidera/Kematian

Resiko bunuh diri

Harga diri rendah

D. DIANOSA KEPERAWATAN
Resiko bunuh diri berhubungan dengan harga diri rendah
E. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
a. Tujuan umum: Klien dapat berhubungan dengan lain secara optimal untuk
mengungkapkan sesuatu yang dia rasakan pada orang yang dipercaya.
b. Tujuan khusus
1) TUK 1 : Klien dapat membina hubungan saling percaya
 Sapa klien dengan ramah secara verbal dan non verbal.
 Perkenalkan diri dengan sopan.
 Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
 Jelaskan tujuan pertemuan.
 Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya.
 Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien.
2) TUK 2 : Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki.
 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
 Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien.
 Utamakan memberi pujian yang realistik.
3) TUK 3 : Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
 Diskusikan penggunaannya.kemampuan yang masih dapat digunakan.
 Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan
F. DAFTAR PUSTAKA
 Captain, C. (2008). Assesing suicide risk, nursing made incredibly easy, vol.6. USA.
 Sundeen, S. &. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai