Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PANCASILA

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK

DISUSUN OLEH :
YULIANA ANDRIYANI

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO
2018

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang Pancasila
Sebagai Etika Politik ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga saya
berterima kasih kepada Bapak Andree Tiono Kurniawan selaku Dosen Mata Kuliah Pancasila yang
telah memberikan tugas ini pada saya.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai pancasila sebagai etika dalam berpolitik. Saya juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, saya berharap kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun dari anda demi perbaikan makalah
ini di waktu yang akan datang.

Metro, Februari 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………... i


KATA PENGANTAR …………………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………… 1
C. Tujuan dan Manfaat…………………………………………………………………. 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengantar …………………………………………………………………………… 2
1. Pengertian Etika ………………………………………………………………... 3
B. Pengertian Nilai, Norma dan Moral ………………………………………………... 3
1. Pengertian Nilai ………………………………………………………………… 3
2. Hierarki Nilai …………………………………………………………………… 4
3. Nilai Dasar,Nilai Instrumental, Nilai Praksis …………………………………... 6
4. Hubungan Nilai, Norma dan Moral …………………………………………….. 7
C. Etika Politik ………………………………………………………………………… 7
1. Pengertian Politik ………………………………………………………………. 8
2. Dimensi Politis Manusia ……………………………………………………….. 9
3. Nilai-nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik ……………………………. 10
D. Penerapan Etika Politik di Indonesia ………………………………………………. 11
E. Penerapan Pancasila Sebagai Etika Politik ………………………………………… 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………………………… 14
B. Saran ……………………………………………………………………………….. 14

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam rangka pembangunan masyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya di
Negara Indonesia ini merupakan suatu keharusan memiliki sebuah sistem dalam hal ini
sebagai pandangan untuk bagaimana pembagian kekuasaan atau tugas dalam
masyarakat untuk bersama-sama melakukan pembangunan dan pemajuan dalam
masyarakat itu sendiri.
Politik di lingkungan masyarakat dalam hal ini tujuan utamanya untuk kemajuan
masyarakat kedepannya, saat ini mulai meleset dan luntur dari nilai-nilai dan tujuan
utamanya. Dengan politik dipandang lagi sebagai hal yang tidak baik di mata
masyarakat.
Berkenaan dengan masalah dalam masyarakat mengenai politik tersebut, perlu
dilakukan pembenahan pada sistem politik itu sendiri untuk kembali ke tujuan semula,
yaitu dengan adanya pandangan atau kembali ke pokok atau dasar aturan dalam politik.
Di sinilah pancasila yang mengandung nilai-nilai moral dan etika berperan sebagai
etika politik dengan harapan ke depannya akan kemajuan msyarakat, bangsa dan
negara.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Etika Politik?
2. Mengapa pancasila dikatakan sebagai etika politik?
3. Bagaimana penerapan etika politik di Indonesia saat ini?

C. Tujuan dan Manfaat


1. Mengetahu apa itu pancasila.
2. Mengetahui apa itu etika politik.
3. Mengetahui hubungan pancasila sebagai etika politik.
4. Mengetahui penerapan etika politik di Indonesia saat ini.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengantar
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai
sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hokum, norma
moral maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam filsafat Pancasila terkandung di
dalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional,
sistematis, dan komperhensif (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu
nilai. Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-
norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek praksis melainkan
suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar.
Sebagai suatu nilai, pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental
dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Adapun manakala nilai-nilai tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat
praksis atau kehidupan yang nyata dalam bermasyarakat bangsa maupun negara maka
nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas sehingga
merupakan suatu pedoman. Norma-norma tersebut meliputi (1) norma moral yaitu
yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun
buruk. (2) norma hukum yaitu suatu sistem peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka pancasila berkedudukan sebagai
sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Sebagai sumber dari segala sumber
hukum nilai-nilai pancasila sejak dulu telah merupakan suatu cita-cita moral yang luhur
yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk
negara. Atas dasar pengertian inilah maka nilai-nilai pancasila sebenarnya berasal dari
bangsa Indonesia sendiri atau dengan lain perkataan bangsa Indonesia sebagai asal
mula materi nilai-nilai pancasila.
Jadi sila-sila pancasila pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu pedoman yang
langsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-
nilai etika yang merupakan sumber norma baik meliputi norma moral maupun norma
hukum, yang pada gilirannya harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma etika,
moral maupu norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.1

1
Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Penerbit PARADIGMA Yogyakarta, 2010), hlm. 85.
1. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu "ethikos" yang berarti muncul dari
kebiasaan. Secara harafiah, etika adalah sebuah sesuatu di mana dan bagaimana
cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi
mengenai standar dan penilaian moral.
Etika termasuk kelompo filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu
etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar
tentang tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu
ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran
moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab
berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika umum
mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia,
sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya denga
berbagai aspek kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi etiks
individual yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam
hidup masyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.

B. Pengertian Nilai, Norma dan Moral

1. Pengertian Nilai
Nilai atau “value” (bhs.inggris) termasuk bidang kajian filsafat. Persoalan-
persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu Filsafat
Nilai (Axiology, Theory of Value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang
nilai-nilai. Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda
astrak yang artinya “keberhargaan” atau “kebaikan” dan kata kerja yang artinya suatu
tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian, (Frankena, 229).
Di dalam Dictionary of Sociology and Related Science dikemukakan bahwa nilai
adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan
manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau
kelompok. Jadi nilai pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu
objek, bukan objek itu sendiri.
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain, kemudian selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu
merupakan keputusan nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidsk berguna, benar
atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau tidak indah. Keputusan nilai yang
dilakukan oleh subjek penilai tentu berhubungan dengan unsur-unsur yang ada pada
manusia sebagai subjek penilai, yaitu unsur-unsur jasmani, akal, rasa, karsa dan
kepercayaan.
Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita-cita, harapan-harapan, dambaan-dambaan
dan keharusan.
3
2. Hierarki Nilai
Terdapat berbagai macam pandangan tentang nilai hal ini sangat tergantung
pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang
pengertian serta hierarki nilai.
Max Sceler mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada, tidak sama
luhurnya dan sama tingginya. Nilai-nilai itu secara senyatanya ada yang lebih tinggi
dan ada yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi
rendahnya, nilai-nilai dapat dikelompokkan dalam tingkatan sebagai berikut:
a. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkatan ini terdapat deretan nilai-nilai yang
mengenakkan dan tidak mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau
menderita tidak enak.
b. Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkatan ini terdapatlah nilai-nilai yang penting
bagi kehidupan misalnya kesehatan, kesegaran jasmani, kesejahteraan umum.
c. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkatan ini terdapat nilai-nilai kejiwaan yang
sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-
nilai semacam ini ialah keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang
dicapai dalam filsafat.
d. Nilai-nilai Kerohanian: dalam tingakatan ini terdapat modalitas nilai dari yang
suci dan tak suci. Nilai-nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai
pribadi.

Walter G. Everet menggolong-golongkan nilai-nilai manusiawi kedalam


delapan kelompok yaitu:
a. Nilai-nilai ekonomis (ditujukan oleh harga pasar dan meliputi semua benda
yang dapat dibeli).
b. Nilai-nilai kejasmanian (membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan
dari kehidupan badan).
c. Nilai-nilai hiburan (nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat
menyumbangkan pada pengayaan kehidupan).
d. Nilai-nilai sosial (berasal dari keuthan kepribadian dan sosial yang diinginkan).
e. Nilai-nilai estetis (nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni).
f. Nilai-nilai intelektual (nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran).
g. Nilai-nilai keagamaan.

4
Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu:
a. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani
manusia, atau kebutuhan material ragawi manusia.
b. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat
mengadakan kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai-nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia
nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas empat macam:
1) Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal manusia.
2) Nilai keindahan atau estetis, yang bersumber pada unsur perasaan
manusia.
3) Nilai Kebaikan atau moral, yang bersumber pada unsur kehendak
manusia.
4) Nilai religius, yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak.
Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan
manusia.
Masih banyak lagi cara pengelompokkan nilai, misalnya seperti yang dilakukan N.
Rescher, yaitu pembagian nilai berdasarkan pembawa nilai, hakikat keuntungan yang
diperoleh, dan hubungan antara pendukung nilai dan keuntungan yang diperoleh.
Dari uraian mengenai macam-macam nilai diatas, dapat dikemukakan pula bahwa
yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang berujud material saja, akan tetapi
juga sesuatu yang berujud non-material atau immaterial. bahkan sesuatu yang immaterial
itu dapat mengandung nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia. Nilai-nilai
material relatif lebih mudah diukur, yaitu dengan menggunakann alat indra maupun alat
pengukur. Sedangkan nilai kerohanian lebih sulit mengukurnya. Dalam menilai hal-hal
kerohanian, yang menjadi alat ukurnya adalah hati nurani manusia yang dibantu oleh alat
indra, cipta, rasa, karsa, dan keyakinan manusia.
Notonagoro berpendapat bahwa nilai-nilai pancasila tergolong nilai-nilai
kerohanian, tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai
vital. Dengan demikian nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai material,
nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan, nilai kebaikan atau moral, maupun nilai
kesucian yang sistematika-hirarkis, yang dimulai dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai ‘tujuan’ (Darmodiharjo, 1987).

5
3. Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praksis.
Dalam kaitannya dengan derivasi atau penjabarannya maka nilai-nilai dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis.
a. Nilai Dasar
Walaupun nilai memiliki sifat abstra artinya tidak dapat diamati melalui indra
manusia, namun dalam realisasinya nilai berkaitan dengan tingkah laku atau segala aspek
kehidupan manusia yang bersifat nyata namun demikian setiap nilai memiliki sifat dasar,
yaitu merupakan hakikat, esensi, intisari, atau makna yang terdalam dari nilai-nilai
tersebut. Nilai dasar ini bersifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan objektif
segala sesuatu misalnya hakikat Tuhan, manusia atau segala sesuatu yang lainnya.

b. Nilai Instrumental.
Untuk dapat direalisasikan dalam suatu kehidupan praksis maka nilai dasar tersebut
di atas harus memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas. Nilai instrumental
inilah yang merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat diarahkan. Bilamana
nilai instrumental tersebut berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-
hari maka itu akan merupakan suatu norma moral. Maka nilai-nilai instrumental itu
merupakan suatu arahan, kebijaksanaan atau strategi yang bersumber pada nilai dasar.

c. Nilai Praksis
Nilai praksis pada hakikatnya merupakan penjabaran lebi lanjut dari nilai
instrumental dalam suatu kehidupan yang nyata. Sehingga nilai praksis ini merupakan
perwujudan dari nilai instrumental itu. Dapat juga dimungkinkan berbeda-beda wujudnya,
namun demikian tidak bisa menyimpang atau bahkan tidak dapat bertentangan. Artinya
oleh karena nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis itu merupakan suatu sistem yang
perwujudannya tidak boleh menyimpang dari sistem tersebut.

6
d. Hubungan Nilai, Norma dan Moral
Hubungan antara moral dengan etika memang sangat erat sekali dan
kadangkala kedua hal tersebut disamakan begitu saja. Namun sebenarnya kedua hal
tersebut memiliki perbedaan. Moral yaitu merupakan suatu ajaran-ajaran ataupun
wejang-wejangan, patokan-patokan, kumpulan peraturan, baik lisan maupun
tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi
manusia yang baik. Adapun dipihak lain etika adalah suatu cabang filsafat yaitu
suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-
pandangan moral tersebut tersebut 9krammer, 1988 dalam Darmodihardjo, 1996).
Atau juga sebagaimana dikemukakan oleh De Vos (1987), bahwa etika dapat
diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan. Adapun yang dimaksud
dengan kesusilaan adalah identik dengan pengertian moral, sehingga etika pada
hakikatnya adalah sebagai ilmu pengetahuan yang membahas tentang prinsip-
prinsip moralitas.

C. Etika Politik
Secara substantive pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek
sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan
bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian „moral‟
senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral
dibedakan dengan pengertian kewajiban- kewajiban lainnya, karena yang dimaksud
adalah kewajiban manusia sebagai manusia. Walaupun dalam hubungannya dengan
masyarakat, bangsa maupun Negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental
manusia sebagai manusia.
Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didsarkan
kepada hakekat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan
suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa maupun negara bias berkembang kearah
keadaan yang tidak baik dalam arti moral. Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh
penguasa atau rezim yang otoriter, yang memaksakan kehendak kepada manusia tanpa
memperhitungkan dan mendasarkan kepada hak-hak dasar kemanusiaan. Dalam suatu
masyarakat negara yang demikian ini maka seorang yang baik secara moral
kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut negara serta masyarakat otoriter,
karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan yang buruk dalam suatu masyarakat
negara. Oleh karena itu aktualisasi etika harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran
harkat dan martabat manusia sebagai manusia (Suseno, 1987:15). Etika politik yaitu
etika atau aturan tentang bagaimana seharusnya seseorang atau sekelompok orang
bertindak khususnya dalam lingkup pembagian kekuasaan dalam masyarakat atau pada
lingkup pemerintahan.

7
Dari ketiga pengertian terpisah seperti yang telah dijelaskan sebelum ini, maka penerapan
Pancasila sebagai etika politik di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Republik Indonesia
sangatlah penting, bahkan merupakan hal yang teramat fundamental. Mengapa dikatakan
demikian? Dapat dilihat dan dirasakan sendiri, baik dari pengalaman pribadi maupun dari media
massa cetak dan online, bahwa implementasi nilai-nilai Pancasila yang luhur di kehidupan
masyarakat, apalagi negara yang diwakilkan oleh pemerintah dan DPR jauh dari kata "baik dan
memuaskan". Di kehidupan masyarakat, aksi anarkis, tawuran antarmassa, ketidakdisiplinan di
jalan raya, adalah sekelumit dari kurangnya kesadaran akan kehidupan sosial yang perlu akan
adanya tenggang rasa dan saling menghormati. Sedangkan, dalam penyelenggaraan system
kenegaraan, pemerintah dan DPR seakan berlomba-lomba menunjukkan prestasi yang sayangnya
kurang elok dan etis dilihat dan dirasakan oleh mayoritas rakyat Indonesia.
Korupsi yang merajalela, sistem dan penerapan hukum yang lemah dan melukai rasa
keadilan masyarakat, hanyalah beberapa fragmen dari keseluruhan sistem dan penyelenggara
Negara yang tidak baik.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, di sinilah pancasila berperan penting
dalam kaitannya dengan etika politik. Tergolong penting karena pancasila merupakan dasar negara
yang menjadi pedoman hidup bermasyarakat juga sepatunya diaplikasikan secara nyata dalam
bermasyarakat khususnya dalam dunia politik. Pancasila sebagai etika politik yaitu dimana
pancasila dijadikan sebagai dasar/tolak ukur dalam pembuatan aturan-aturan tentang bagaimana
seharusnya bertindak atau berperilaku di dalam dunia politik

1. Pengertian Politik.
Pengertian ‘politik’ berasal dari kosakata ‘politics’, yang memiliki makna bermacam-macam
kegiatan dalam suatu sistem politik atau ‘negara’, yang menyangkut proses penentuan tujuan-
tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. ‘Pengambilan keputusan’
atau ‘decisionmaking’ mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut
seleksi antara beberapa alternative dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah
dipilih itu.
Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum
atau public policies, yang menyangkut peraturan dan pembagian dari sumber-sumber yang ada.
Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, dipelukan suatu kekuasaan, dan
kewenangan, yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama Mupu untuk menyelesaikan
konflik yang mungkin timbul dalam proses ini.

8
Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi, dan jika perlu dilakukan pemaksaan. Tanpa
adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka yang tidak
akan pernah terwujud. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat, dan tujuan
pribadi seseorang. Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai
politik, lembaga masyarakat maupun perseorangan. Politik adalah proses pembentukan dan
pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud dalam proses pembuatan
keputusan, khususnya dalam Negara. Pengertian ini adalah upaya penggabungan antara berbagai
definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
2. Dimensi Politis Manusia
a. Manusia sebagai Makhluk Individu-Sosial.
Paham individualisme yang merupakan cikal bakal paham liberalism, memandang manusia
sebagai makhluk individu yang bebas. Konskuensinya dalam setiap kehidupan, masyarakat,
bangsa maupun negara dasar ontologis ini merupakan dasar moral politik negara. Segala hak dan
kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan
bedasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu. Sebaliknya kalangan kolektivisme
yang merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme memandang sifat kodrat manusia sebagai
makhluk sosial saja. Individu menurut paham kolektivisme dipandang sekedar sebagai sarana bagi
masyarakat. Oleh karena itu konsekuensinya segala aspek dalam realisasi kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara paham kolektivisme mendasarkan kepada sifat kodrat manusia sebagai makhluk
sosial. Manusia adalah bebas sejauh dia sendiri mampu mengembangkan pikirannya dalam
hubungan dengan tujuan-tujuan dan sarana-sarana kehidupannya dan sejauh ia dapat mencoba
untuk bertindak sesuai dengannya.
Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai individu dan segala
aktivitas dan kreativitas dalam hidupnya dengan senantiasa tergantung kepada orang lain, hal ini
dikarenakan manusia sebagai warga masyarakat atau sebagai makhluk sosial.
Dasar filosofis sebagaimana terkandung dalam pancasila yang nilainya terdapat dalam
budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah bersifat ‘monodualis’,
yaitu sebagai makhluk individu dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Maka sifat serta ciri khas
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia bukanah totalitas individualistis ataupun sosialistis,
melainkan monodualistis. Secara moralitas negara bukanlah hanya demi tujuan kolektivitas saja
melainkan tujuan bersama baik meliputi kepentingan dan kesejahteraan individu maupun
masyarakat secara bersama. Dasar ini merupakan basis moralitas bagi pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara, sehingga konsekuensinya segala keputusan, kebijaksanaan serta arah dari
tujuan negara Indonesia harus dapat dikembalikan secara moral kepada dasar-dasar tersebut.

9
a. Dimensi Politis Kehidupan Manusia.

Dalam kehidupan manusia secara alamiah, jaminan atas kebebasan manusia baik sebagai
individu maupun makhluk sosial sulit untuk dapat dilaksanakan, karena terjadinya perbenturan
kepentingan diantara mereka sehingga terdapat suatu kemungkinan terjadinya anarkisme dalam
masyarakat.
Dimensi politis manusia ini memiliki dua segi fundamental, yaitu pengertian dan kehendak
untuk bertindak, sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan
manusia.
Penataan efektif masyarakat adalah penataan yang de facto, yaitu penataan yang berdasarkan
kenyataan menentukan kelakuan masyarakat. Namun perlu dipahami bahwa negara yang memiliki
kekuasaan itu adalah sebagai perwujudan sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk
sosial, jadi lembaga negara yang memiliki kekuasaan adalah lembaga negara sebagai kehendak
untuk hidup bersama.
3. Nilai-nilai Pancasila sebagai Sumber Etika Politik.
Sebagai dasar filsafat negara pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan
perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moraltas tertama dalam hubungannya
dengan legitimasi kekuasaan, hokum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara. Sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ serta sila kedua ‘Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab’ adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan
dan kenegaraan. Negara Indonesia yang berdasarkan sila I ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ bukanlah
negara ‘Toleransi’ yang mendasarkan kekuasaan negara dan penyelenggaraan negara pada
legitimasi religius. Kekuasaan kepala negara tidak bersifat mutlak berdasarkan legitimasi religius,
melainkan berdasarkan legitimasi hukum serta legitimasi demokrasi. Oleh karena itu asas sila
‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ lebih berkaitan dengan legitimasi moral. Hal inilah yang
membedakan negara yang berketuhanan yang maha esa dengan negara teokrasi. Walaupun dalam
negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitimasi religius, namun secara moralitas kehidupan
negara harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta moral dalam
kehidupan negara.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam
negara dijalankan sesuai dengan (1) asas legalitas, yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang
berlaku; (2) disahkan dan dijalankan secara demokratis, dan (3) dilaksanakan berdasarkan prinsip-
prinsip moral atau tidak bertentangan dengannya. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki
tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasaan,
kebijaksaan yang menyangkut publik pembagian serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi
moral religius serta moral kemanusiaan.

10
D. Penerapan Etika Politik di Indonesia
Sekarang ini keadaan politik di Indonesia tidak seperti yang diinginkan. Banyak
rakyat yang beranggapan bahwa politik di Indonesia adalah sesuatu yang hanya
mementingkan dan merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Pemerintahan Indonesia pun tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai wakil
rakyat. Hal ini ditunjukan oleh sebagian rakyat yang mengeluh, karena hidup mereka
belum dapat disejahterakan oleh negara. Pandangan masyarakat terhadap politik itu
sendiri menjadi buruk, dikarenakan pemerintah Indonesia yang tidak menjalankan
kewajibannya sebagai wakil rakyat dengan baik bagi mereka politik hanyalah sesuatu
yang buruk dalam mencapai kekuasaan.
Dapat dilihat pada penyelenggara negara misalnya dalam soal pembelian mobil
mewah untuk para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II atau juga pembangunan pagar
istana presiden yang menelan biaya puluhan miliar rupiah. Kebijakan itu jelas
mencederai rasa keadilan public karena di saat yang sama kemiskinan masih mengharu
biru Indonesia.

E. Penerapan Pancasila Sebagai Etika Politik


Penerapan pancasila sebagai etika politik yaitu dengan berpedoman pada prinsip-
prinsip dasar etika politik pancasila.
1. Pluralisme
Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk
hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat
yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat.[5] Pluralisme
mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir,
kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan
kepribadian seseorang dan sekelompok orang.

2. Hak Asasi Manusia


Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusia yang adil dan
beradab. Mengapa? Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia
wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus
diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.

11
3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga
demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup
menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang
sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembnag secara
melingkar: keluarga, kampong, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan,
solidaritas sebagai manusia. Maka di sini termasuk rasa kebangsaan. Manusia menjadi
seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan
keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu dilanggar dengan kasar oleh korupsi.

4. Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia, atau
sebuah elit, atau sekelompok ideology, atau sekelompok pendeta/pastor/ulama
berhak untuk menentukan dan memaksakan (menuntut dengan pakai ancaman)
bagaimana orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran
bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka
dan kemana mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah “kedaulatan rakyat plus
prinsip keterwakilan”.Jadi demokrasi memerlukan sebuah system penerjemah
kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik. Keadilan Sosial Keadilan
merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Maksud baik
apa pun kandas apabila melanggar keadilan. Moralitas masyarakat mulai dengan
penolakan terhadap ketidakadilan.

5. Keadilan sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat.
Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Tuntutan
keadilan sosial tidak boleh dipahami secara idoleogis, sebagai pelaksanaan ide-ide,
ideologi-ideologi, agama-agama tertentu, keadilan sosial tidak sama dengan
sosialisme. Keadilan sosial adalah keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan,
keadilan sosial diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang
ada dalam masyarakat. Ketidakadilan adalah diskriminasi di semua bidang terhadap
perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya

12
Pertanyaan dan Jawaban:

1. Mengapa ada orang yang ingin memisahkan antara agama dan politik?
Jawaban: Agar rakyat tahu mana yang agama, dan mana yang politik. Hal ini dilakukan untuk
menghindari konflik horizontal, seperti antarsuku/antaragama.

2. Apa yang dimaksud dengan 4 tingkat nilai dalam hirarki nilai menurut Max Scheller?
Jawaban:
- Nilai kenikmatan, yaitu nilai yang berkaitan dengan indra manusia yang menyebabkan
manusia senang atau menderita.
- Nilai kehidupan, yaitu nilai yang penting bagi kehidupan.
- Nilai kejiwaan, yaitu nilai yang tidak tergantung pada keadaan jasmani maupun
lingkungan.
- Nilai kerohanian, yaitu moralitas nilai dari suci dan tidak suci.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Bahwa pancasila merupakan lima nilai atau asas yang memuat nilai moral dan etika yang
dapat dijadikan sebagai pedoman hidup.
2. Bahwa etika politik merupakan norma atau aturan yang mengatur bagaimana seharusnya
berbuat atau bertingkah dalam dunia politik.
3. Bahwa pancasila sebagai etika politik yaitu pancasila yang mengandung nilai etika maupun
nilai moral dapat dijadikan sebagai pedoman atau patokan beretika dalam dunia politik.
4. Penerapan pancasila sebagai etika politik dapat dilakukan berdasarkan lima prinsip yang
terkandung dalam pancasila itu sendiri yaitu pluralisme, HAM, solidaritas bangsa,
demokrasi dan keadilan sosial.

B. Saran

Sebagai warga negara negara Indonesia khususnya para generasi muda yang tengah menempuh
pendidikan baik dalam lingkup formal maupun informal ke depannya akan menjadi penerus dari
para pelaku politik saat ini baiknya sudah mampu menghayati dan mengamalkan prinsip-prinsip
pancasila sebagai etika politik.

14
DAFTAR PUSTAKA

Kaelan.2010.Pendidikan Pancasila.Yogyakarta: Penerbit PARADIGMA Yogyakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai