BPH CRS
BPH CRS
Oleh
Pembimbing:
dr. Taufandi, Sp.B
Sistem simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan
leher buli buli. Di tempat-tempat itu banyak terdapat reseptor adrenergik-α. Rangsangan
simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot polos tersebut. Jika kelenjar
ini mengalami hiperplasia jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membuntu
uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.1
2.3. Etiologi
Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon testosteron, yang di
dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi metabolit
aktif dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5α- reduktase. Dihidrotestosteron
inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat
untuk mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat.1
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses
aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasia prostat adalah: (1) teori dihidrotestosteron, (2) adanya ketidak
seimbangan antara estrogen-testosteron, (3) interaksi antara sel stroma dan sel
epitel prostat, (4) berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5) teori stem sel. 1
2.3.1. Teori dihidrotestosteron1
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh
enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk
berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel
dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel
prostat
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh
berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5α-
reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan
sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak
terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
2.6. Diagnosis
Pada pria dengan gejala LUTS, evaluasi keparahan gejala sangatlah penting.
Anamnesis didapatkan tentang keluhan, penyakit sekarang hingga riwayat
trauma. Pemeriksaan fisik terfokus seperti rectal toucher. Urinalis dibutuhkan untuk
diagnosis banding penyebab LUTS selain dari BPH.4
Pada pemeriksaan fisis mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba
massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang
didapatkan urine yang selalu menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu merupakan
pertanda dari inkontinensia paradoksa. 1
Pada colok dubur diperhatikan: (1) tonus sfingter ani/refleks bulbo-kavernosus
untuk menyingkirkan adanya kelainan buli-buli neurogenik, (2) mukosa rektum, dan (3)
keadaan prostat, antara lain: kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi
prostat, simetri antar lobus dan batas prostat Colok dubur pada pembesaran prostat
benigna menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus
kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul; sedangkan pada karsinoma prostat,
konsistensi prostat keras/teraba nodul dan mungkin di antara lobus prostat tidak simetri.1
Gambar 2.6. algoritma diagnosis pada LUTS4
Pemeriksaan ultrasonografi transrektal atau TRUS, dimaksudkan untuk
mengetahui: besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan pembesaran prostat
maligna, sebagai guidance (petunjuk) untuk melakukan biopsi aspirasi prostat,
menentukan jumlah residual urine, dan mencari kelainan lain yang mungkin ada di dalam
buli-buli. Di samping itu ultrasonografi transabdominal mampu untuk mendeteksi adanya
hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.1
Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih,
adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan buli-
buli yang penuh terisi urine, yang merupakan tanda dari suatu retensi urine. 1
Pemeriksaan PIV dapat menerangkan kemungkinan adanya: (1) kelainan pada
ginjal maupun ureter berupa hidoureter atau hidronefrosis, (2) memperkirakan besarnya
kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya indentasi prostat (pendesakan buli-
buli oleh kelenjar prostat) atau ureter disebelah distal yang berbentuk seperti mata kail
atau hooked fish, dan (3) penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya
trabekulasi, divertikel, atau sakulasi buli-buli. Pemeriksaan PIV ini sekarang tidak
direkomendasikan pada BPH. 1
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur:1
Residual urine yaitu jumlah sisa urine setelah miksi. Sisa urine ini dapat
Pancaran urine atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu
2.7. Tatalaksana1
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-
kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan
terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan konsultasi saja. Namun di antara mereka
akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang
lain karena keluhannya semakin parah.
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan
miksi, (2) meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi infravesika, (4)
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume
residu urine setelah miksi, dan (5) mencegah progresifitas penyakit. Hal ini dapat
dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi yang
kurang invasif.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk
menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO Prostat score. skor ini
dihitung berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi
nonbedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan
melakukan kontrol dengan menggunakan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila
WHO PSS 25 keatas atau bila timbul obstruksi.2
Gambar 2.7. algoritma terapi pada BPH4
2.7.1. Watchfull waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7,
yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak
mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang
mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan mengkonsumsi kopi atau
alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang
mengiritasi buli-buli (kopi atau cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang
mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin, dan (5)
jangan menahan kencing terlalu lama.
2.7.2. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik alfa (adrenergik alfa blocker)
dan (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara
menurunkan kadar hormon testosteron /dihidotestosteron (DHT) melalui
penghambat 5α-redukstase. Selain kedua cara di atas, sekarang banyak dipakai terapi
menggunakan fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas.
A. Penghambat reseptor adrenergik-α
Pemberian penyekat- α bertujuan menghambat kontaksi otot polos prostat sehingga
mengurangi resistensi tonus leher kandung kemih dan uretra. contoh obat ini
adalah prasozin 2 x 1-2 mg, tamsulosin 1 x 0,2-0,4 mg. efek samping yang dapat terjadi
adalah hipotensi postural, dizzines atau aastenia. efek samping paling ringan
ditunjukkan oleh obat tamsulosin, yang memiliki sifat sangat selektif terhadap
reseptor α. Dibutuhkan titrasi dosis sebelum penggunaan, kecuali tamsulosin.6
Keuntungan obat penghambat adrenoreseptor alfa ialah efek positif terhadap keluhan,
tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikitpun. Kekurangannya ialah
obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian yang lama.2
Tabel 2.1. Pilihan Terapi pada Hiperplasia Prostat Benigna1
B. Penghambat 5 α-redukstase
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT)
dari testosteron yang dikatalisis oleh enzim 5 α- redukstase di dalam sel-sel
prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-sel
prostat menurun. Dilaporkan bahwa pemberian obat ini (finasteride) 5 mg sehari yang
diberikan sekali setelah enam bulan mampu menyebabkan penurunan prostat hingga 28%;
hal ini memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi.1
C. Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki
gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data farmakologik tentang kandungan zat aktif
yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui dengan
pasti. Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai: anti-estrogen, anti-androgen, menurunkan
kadar sex hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast growth
factor (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF), mengacaukan metabolisme
prostaglandin, efek antiinflammasi, menurunkan outflow resistance, dan memperkecil
volume prostat. Diantara fitoterapi yang banyak dipasarkan adalah: Pygeum africanum,
Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya.1
2.7.3. Pembedahan
Penyelesaian masalah pasien hiperplasia prostat jangka panjang yang paling baik
saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau terapi non invasif lainnya
membutuhkan jangka waktu yang sangat lama untuk melihat hasil terapi.
Desobstruksi kelenjar prostat akan menyembuhkan gejala obstruksi dan miksi yang tidak
lampias. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka, reseksi prostat transuretra
(TURP), atau insisi prostat transuretra (TUIP atau BNI).1
A. Pembedahan terbuka
Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah metode
dari Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang masih banyak
dikerjakan saat ini, paling invasif, dan paling efisien sebagai terapi BPH.
Prostatektomi terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan suprubik transvesikal
(Freyer) atau retropubik infravesikal (Millin). Prostatektomi terbuka dianjurkan untuk
prostat yang sangat besar (>100 gram).
Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka adalah:
inkontinensia urine (3%), impotensia (5-10%), ejakulasi retrograd (60-80%), dan
kontraktur leher buli- buli (3-5%). Dibandingkan dengan TURP dan BNI, penyulit yang
terjadi berupa striktura uretra dan ejakulasi retrograd lebih banyak dijumpai.. Perbaikan
gejala klinis sebanyak 85-100%, dan angka mortalitas sebanyak 2%1.
B. Pembedahan Endourologi
Operasi ini lebih disenangi karena tidak diperlukan insisi pada kulit perut, massa
mondok lebih cepat, dan memberikan hasil yang tidak banyak berbeda dengan tindakan
operasi terbuka. Pembedahan endourologi transuretra dapat dilakukan dengan memakai
tenaga elektrik TURP (Transurethral Resection of the Prostate) atau dengan
memakai
energi Laser. Operasi terhadap prosat berupa reseksi (TURP), insisi (TUIP), atau
evaporasi.
3. Stent1
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi
karena pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal di antara leher buli-
buli dan di sebelah proksimal verumontanum sehingga urine dapat leluasa
melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau
permanen. Yang temporer dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari
bahan yang tidak diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan
jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi.
Stent yang permanent terbuat dari anyaman dari bahan logam super alloy,
nikel, atau titanium. Dalam jangka waktu lama bahan ini akan diliputi oleh
urotelium sehingga jika suatu saat ingin dilepas harus membutuhkan
anestesi umum atau regional. Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi
pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan
yang cukup tinggi.
Seringkali stent dapat terlepas dari insersinya di uretra posterior atau
mengalami enkrustasi. Sayangnya setelah pemasangan kateter ini,
pasien masih merasakan keluhan miksi berupa gejala iritatif, perdarahan
uretra, atau rasa tidak enak di daerah penis.
4. HIFU (High intensity focused ultrasound)
Energi panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis pada prostat
berasal dari gelombang ultrasonografi dari transduser piezokeramik
yang mempunyai frekuensi 0,5-10 MHz. Energi dipancarkan melalui
alat yang diletakkan transrektal dan difokuskan ke kelenjar prostat.
Teknik ini memerlukan anestesi umum. Data klinis menunjukkan
terjadi perbaikan gejala klinis 50–60%.Efek lebih lanjut dari tindakan
belum dikeltahui, dan sementara tercatat bahwa kegagalan terapi terjadi
sebanyak 10% setiap tahun.
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. F
Umur : 68 tahun
Kelamin : laki-laki
Pekerjaan : Petani
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Rao-rao
Tanggal Masuk : 31 Juli 2019
Nomor RM : 13 63 30
ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Tidak bisa buang air kecil sejak 40 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang
Tidak bisa buang air kecil sejak 40 hari yang lalu. Sebelumnya pasien
mengeluhkan buang air kecil tersendat dan mengedan, serta tidak puas setelah
buang air kecil. Pasien dibawa ke IGD RSUD Prof. Dr. M. Ali Hanafiah SM dan
dilakukan pemasangan kateter. Pemasangan kateter tidak ada kendala dan rutin
diganti 2 minggu sekali.
Riwayat trauma pada bagian genital dan tulang belakang tidak ada
Status Generalis
Rambut : beruban dan tidak mudah dicabut
Kulit dan kuku : Turgor kulit baik, tidak ada sianosis
Kepala : Normochepal
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Tidak ditemukan kelainan
Tenggorokan : Tidak ditemukan kelainan
Gigi dan mulut : Tidak ditemukan kelainan
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Dinding dada : Normochest, tidak ada sikatrik atau bekas operasi
Paru
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar dan lien tidak
Perkusi : Timpani
Anus : Tenang
Sfingter : Menjepit
Mukosa : licin
Ampula : lapang
Teraba massa di arah jam 12, dengan permukaan rata, konsistensi kenyal,
DIAGNOSIS KERJA
Hb : 13 gr/dl
Leukosit : 8500/mm3
Trombosit : 442.000 /mm
Hematokrit : 41.1%
Kimia Klinik
GDR : 163 gr/dl
Ureum/Creatinin : 24/1.68
SGOT/SGPT : 20/14
Pemeriksaan Rontgen
TATALAKSANA
PROGNOSIS
• Quo ad vitam : dubia at bonam
• Quo ad functionam : dubia at bonam
• Quo ad sanationam : dubia at bonam
Total score: 0-7 Mildly symptomatic; 8-19 moderately symptomatic; 20-35 severely
symptomatic.
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo BB. 2003. Dasar Dasar urologi: sagung seto;Jakarta, hal 93-114
2. Sjamsuhidajat R, De Jong W. 2010. Tumor Prostat. Dalam: Buku ajar Ilmu
Bedah, EGC, Jakarta
3. American Urological Association AUA. 2010. American Urological Association
Guideline: Management of Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).
4. Nickel JC, Mendez-Probts CE, Whelan TF, Paterson RF, Razvi H. 2010. 2010
Update:Guidelines for the management of benign prostatic hyperplasia. Can Urol
Assoc J.4(5):310-316
5. Bruskewitz RC. 2003. Quality of Life and Sexual Function in Patients with
Benign Prostatic Hyperplasia. Reviews in Urology;5(2):72–80
6. Gaol LA, Mochtar, AC. 2016. Hiperplasia Prostat Jinak. Dalam: Kapita selekta
Kedokteran. Media Aesculapius, Jakarta