Ihsa 22
Ihsa 22
Al Baqarah ayat 83
Ihsan kepada Allah yaitu berlaku ihsan dalam menyembah atau beribadah kepada Allah Swt., baik
dalam bentuk ibadah khusus yang disebut ibadah mahdah (murni, ritual) maupun ibadah umum yang
disebut ibadah gairu mahdah (ibadah sosial).Ibadah mahdah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
Adapun ibadah gairu mahdah seperti belajar-mengajar, berdagang, makan, tidur, dan semua
perbuatan manusia yang tidak bertentangan dengan aturan agama.
Berdasarkan salahsatu hadis tentang ihsan, ihsan kepada Allah mengandung dua tingkatan, berikut
merupakan
Tingkatan Ihsan kepada Allah Swt.
1. Beribadah kepada Allah Swt. seakan-akan melihat-Nya.
Keadaan ini merupakan tingkatan ihsan yang paling tinggi karena dia berangkat dari sikap
membutuhkan, harapan, dan kerinduan. Dia menuju dan berupaya mendekatkan diri kepada-Nya.
Berbuat baik kepada anak yatim ialah dengan cara mendidiknya dan memelihara hak-haknya. Banyak
ayat dan hadis menganjurkan berbuat baik kepada anak yatim, di antaranya sabda Rasulullah saw.
yang artinya: Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini (seraya
menunjukkan jari telunjuk jari tengahnya). (HR. Bukhari, Abu Daud, dan Timidzi).
Berbuat baik kepada fakir miskin ialah dengan memberikan bantuan kepada mereka terutama pada
saat mereka mendapat kesulitan. Rasulullah saw. bersabda. “Orang-orang yang menolong janda dan
orang miskin, seperti orang yang berjuang di jalan Allah.”,(H.R. Muslim dari Abu Hurairah).
Berbuat baik kepada tetangga meliputi tetangga dekat, baik kerabat maupun tetangga yang berada di
dekat rumah, serta tetangga jauh baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.
Teman sejawat adalah teman yang berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan, pertemanan, teman
sekolah atau teman kampus, perjalanan, ma’had, dan sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam
kategori tetangga.
Seorang tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi tetangga muslim mempunyai dua
hak yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim. Adapun tetangga muslim dan kerabat mempunyai
tiga hak yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim, dan sebagai kerabat.
Rasulullah saw. bersabda, “Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman.” Para sahabat
bertanya, “Siapakah yang tidak beriman , ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seseorang yang tidak
aman tetangganya dari gangguannya>” (H.R. Al-Syaikhani).
Pada hadis yang lain, Rasulullah bersabda, “Tidak beriman kepadaku barang siapa yang kenyang
pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia mengetahuinya.” (H.R. At-Tabrani).
Berbuat baik kepada tamu, secara umum adalah dengan menghormati dan menjamunya. Rasulullah
Saw. bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah memuliakan
tamunya.” (H.R. Jama’ah, kecuali Nasa’i).
Cara berbuat baik kepada karyawan atau orang-orang yang terikat perjanjian kerja dengan kita,
termasuk pembantu, tukang, dan sebagainya, adalah membayar upah mereka sebelum keringat
mereka kering (segera) dan tidak membebani mereka dengan sesuatu yang mereka tidak sanggup
melakukannya. Kita juga harus mengormati dan menghargai profesi mereka.
Berbuat baik kepada sesama manusia dapat kita lakukan dengan cara melembutkan ucapan, saling
menghargai satu sama lain dalam pergaulan, serta menyuruh kepada yang makruf dan mencegah
kemungkaran. Menunjukkan jalan jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak
mereka, serta tidak mengganggu mereka dengan tidak melakukan hal-hal yang dapat mengusik dan
melukai mereka. Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya: Barang siapa beriman kepada Allah
dan hari kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Berbuat baik terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar, mengobatinya jika
ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan
mengistirahatkannya jika ia lelah.
Pada saat menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, dan menggunakan pisau yang
tajam, Sebagaiman sabda Rasulullah saw. yang artinya: Maka apabila kamu membunuh hendaklah
dengan cara yang baik, dan kamu menyembelih maka sembelihlah denga cara yang baik dan
hendaklah menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihnya. (H.R. Muslim).
10. IHSAN KEPADA ALAM SEKITAR
Berbuat baik kepada alam sekitar dapat kita lakukan dengan cara memanfaatkannya secara
bertanggung jawab, menjaga kelestariannya, dan tidak merusaknya karena pada dasarnya alam raya
beserta isinya diciptakan untuk kepentingan manusia. Sebagaiman firman Allah Swt. yang artinya:
Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baikkepadamu dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat
kerusakan.
Apa maksudnya?
Kita pun tidak pernah bisa melihat Allah, namun seorang hamba yang kokoh ilmu
pengetahuannnya tentang Allah, tentang nama-Nya, shifat-Nya, penciptaan semesta alam ini yang
luar biasa, maka seakan-akan ia melihat Allah Ta’laa. Orang yang mencapai tingkatan ini maka
orang tersebut sangat luar biasa.
Lihatlah Rasulullah, para sahabat, mereka merasakan kelezatan dalam beribadah ketika
bermunajat kepada Rabb semesta alam.
Lihatlah Abdullah bin ‘Umar, ketika ia hendak diamputasi, ia berkata silahkan lakukan ketika aku
hendak shalat, maka rasa takutnya kepada Allah mengalahkan rasa sakitnya diamputasi tersebut.
Jika engkau tidak bisa melihat Allah, maka sesungguhnya Allah melihat kita.
Maksudnya adalah selalu merasa diawasi oleh Allah, dan berusaha mengawasi gerak-gerik kita
karena amalan ibadah kita selalu dicatat oleh Allah, selalu mengawasi jiwa kita, selalu
memperbaiki perbuatan kita.
Dan maksud dari penafsiran hadits ini, yaitu menghadirkan keagungan Allah di hati kita. Dan
melakukan muraqabah (merasa di awasi oleh Allah) di dalam beribadah. Berusahalah dalam
memperbaiki ibadah kita.
Selayaknya seorang hamba itu bermuraqabah sebelum beramal dan ketika sedang beramal.
Berkata Wahab bin Munabih disebutkan dalam Hikmah Alu Dawud: hendaklah orang yang berakal
itu tidak menyia-nyiakan empat waktu yaitu:
Sesungguhnya muraqabah itu membantu empat keadaan tersebut, ketika kita makan atau minum
misalnya, kita berusaha untuk mendapatkan amalan yang besar, bagaimana adab-adab yang pernah
dicontohkan oleh Rasulullah, lauk pauk yang Allah berikan, bagaimana kelezatan-kelezatan yang
diberikan Allah kepada kita, makan kita berubah menjadi amalan yang besar.
1. Tingkatan Musyahadah
Yaitu seseorang beribadah kepada Allah seolah-oleh dia melihat-Nya. Maksud melihat di sini
bukanlah melihat dzat-Nya, tetapi melihat sifat-sifat-Nya, yaitu dengan melihat bekas-bekas dari
sifat-sifat-Nya yang bisa disaksikan pada ciptaan-Nya.
Ilmu dan keyakinan seorang mukmin dengan nama-nama Allah Ta’ala dan sifat-sifat-Nya akan
menjadikannya mengembalikan segala sesuatu yang dia lihat di alam ini kepada salah satu nama di
antara nama-nama Allah atau sifat diantara sifat-sifat-Nya. Ketika dia melihat sesuatu yang
menyenangkan, maka dia langsung ingat akan keluasan rahmat-Nya. Ketika dia melihat suatu
musibah, maka dia langsung ingat akan kekuasaan Allah dan dalamnya hikmah-Nya. Dia senantiasa
mengembalikan segala sesuatu yang dia lihat kepada nama diantara nama-nama Allah Ta’ala atau
sifat diantara sifat-sifat-Nya. Dengan demikian, maka nama-nama Allah yang maha indah dan sifat-
sifat-Nya yang maha tinggi akan senantiasa hadir dalam hatinya, khususnya ketika beribadah
kepada Allah Ta’ala.
2. Tingkatan Muraqabah
Yaitu seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan disertai perasaan bahwasanya Allah
senantiasa mengawasinya. Jika seorang hamba beribadah kepada Allah dengan perasaan demikian,
maka dia akan senantiasa berusaha membaguskan ibadahnya karena Allah Ta’alasenantiasa
mengawasinya. Ketika dia memulai shalat, dia yakin bahwa Allah mengawasinya dan dia sedang
berdiri dihadapan-Nya. Oleh karena itu, dia akan senantiasa memperhatikan gerakan-gerakan di
dalam shalat tersebut, dan membaguskannya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Kamu tidak
berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Quran dan kamu tidak
mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu
melakukannya.” (QS. Yunus: 61)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika menjelaskan tentang makna ihsan,
“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun, jika engkau tidak bisa
melakukannya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
Tingkatan yang pertama (tingkatan musyahadah) ditunjukkan oleh sabda beliau, “Engkau
beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya.” Sedangkan tingkatan muraqabah, yaitu
tingkatan yang lebih rendah dari tingkatan musyahadah, ditunjukkan oleh sabda beliau, “Namun,
jika engkau tidak bisa melakukannya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”