Anda di halaman 1dari 14

BAB 1.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia, nilai, moral, dan hukum merupakan sesuatu yang tidak
dapat dipisahkan. Masalah – masalah serius yang dihadapi bangsa
Indonesia berkaitan dengan nilai, moral, dan hukum antara lain mengenai
kejujuran, keadilan, menjilat, dan perbuatan negatif lainnya sehingga perlu
dikedepankan pendidikan agama dan moral karena dengan adanya
panutan, nilai, bimbingan, dan moral dalam diri manusia akan sangat
menentukan kepribadian individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial
dan kehidupan setiap insan. Pendidikan nilai yang mengarah kepada
pembentukan moral yang sesuai dengan norma kebenaran menjadi suatu
yang esensial bagi pengembangan manusia yang utuh dalam konteks
sosial.
Pendidikan moral tidak hanya terbatas pada lingkungan akademis,
tetapi dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Secara umum ada
tiga lingkungan yang sangat kondusif untuk melaksanakan pendidikan
moral yaitu lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan
masyarakat. Peran keluarga dalam pendidikan mendukung terjadinya
proses identifikasi, internalisasi, panutan dan reproduksi langsung dari
nilai – nilai moral yang hendak ditanamkan sebagai pola orientasi dari
kehidupan keluarga. Hal – hal yang juga perlu diperhatikan dalam
pendidikan moral di lingkungan keluarga adalah penanaman nilai – nilai
kejujuran, kedisiplinan dan tanggung jawab dalam segenap aspek.

1.2 Rumusan Masalah


1. Pengertian manusia, nilai, moral dan hukum
2. Fungsi nilai, moral dan hukum dalam masyarakat
3. Proses terbentuknya nilai, moral dan hukum dalam kehidupan
4. Perwujudan
5. Keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan masyarakat sebagai wujud
masyarakat yang bermoral dan mentaati hukum
1.3 Manfaat

1
1. Mengetahui perbedaan nilai, moral dan hukum
2. Mengetahui peran nilai, moral dan hukum
3. Mengerti fungsi nilai, moral dan hukum

1.4 Tujuan
1. Membedakan pengertian manusia, nilai, moral dan hukum
2. Mengerti fungsi nilai, moral dan hukum dalam kehidupan manusia
3. Mengetahui proses terbentuknya nilai, moral dan hukum dalam
kehidupan
4. Menjelaskan perwujudan nilai, moral dan hukum dalam masyarakat
5. Menganalisis keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan masyarakat
bermoral dan mentaati hukum

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1 Pengertian Manusia, Nilai, Moral dan Hukum
2.1.1 Pengertian Manusia
Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sanskerta),
“mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi (mampu menguasai
makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau
sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau
seorang individu. Manusia adalah makhluk yang tidak dapat dengan segera
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
2.1.2 Pengertian Nilai
Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia baik lahir maupun batin. Bagi
manusia nilai dijadikan sebagai landasan, alasan atau motivasi dalam
bersikap dan bertingkah laku, baik disadari atau tidak.
2.1.3 Pengertian Moral
Moral adalah perbuatan,tingkah laku atau ucapan seseorang dalam
berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai
dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima
serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai
mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Jadi, moral adalah
tata aturan norma – norma yang bersifat abstrak yang mengatur kehidupan
manusia untuk melakukan perbuatan tertentu dan sebagai pengendali yang
mengatur manusia untuk menjadi manusia yang baik.
2.1.4 Pengertian Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas
rangkaian kekuasaaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan
kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai
cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar
masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana
yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi
hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan
hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan
di mana mereka yang akan dipilih.

3
2.2 Fungsi Nilai, Moral dan Hukum Dalam Kehidupan Manusia
Nilai moral dan hukum mempunyai keterkaitan yang sangat erat
sekali. Nilai dianggap penting oleh manusia itu harus jelas, harus diyakini
oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan. Moralitas
diindentikkan dengan perbuatan baik dan perbuatan buruk (etika) yang
mana cara mengukurnya adalah melalui nilai – nilai yang terkandung
dalam perbuatan tersebut.
Pada dasarnya nilai, moral, dan hukum mempunyai fungsi yaitu
untuk melayani manusia. Pertama, berfungsi mengingatkan manusia untuk
melakukan kebaikan demi diri sendiri dan sesama sebagai bagian dari
masyarakat. Kedua, menarik perhatian pada permasalahan – permasalahan
moral yang kurang ditanggapi manusia. Ketiga, dapat menjadi penarik
perhatian manusia kepada “Pembiasaan emosional”.
Selain itu fungsi dari nilai, moral dan hukum yaitu dalam rangka
untuk pengendalian dan pengaturan. Pentingnya sistem hukum ialah
sebagai perlindungan bagi kepentingan – kepentingan yang telah
dilindungi agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan karena belum
cukup kuat untuk melindungi dan menjamin mengingat terdapat
kepentingan – kepentingan yang tidak teratur. Untuk melindungi lebih
lanjut kepentingan yang telah dilindungi kaidah – kaidah tadi maka
diperlukan sistem hukum. Hukum yang mengatur kehidupan masyarakat
dan nyata berlaku dalam masyarakat disebut hukum positif.
Istilah hukum positif dimaksudkan untuk menandai perbedaan dan
hukum terhadap kaidah – kaidah lain dalam masyarakat tampil lebih jelas
tegas, dan didukung oleh perlengkapan yang cukup agar diikuti oleh
anggota masyarakat. Bahkan tatkala terjadi dilema dalam hukum sendiri,
yang dapat disebabkan karena adanya konflik, baik dari lembaga hukum,
saranan prasarana hukum bahkan rendahnya budaya hukum dalam
masyarakat, maka setiap orang (masyarakat dan aparat hukum) harus
mengembalikannya pada rasa keadilan hukum masyarakat, artinya harus
mengutamakan moralitas masyarakat.

4
2.3 Proses Terbentuknya Nilai, Moral, dan Hukum Dalam Masyarakat
dan Negara
Permasalahan – permasalahan sosial selalu ada dalam suatu
masyarakat ataupun Negara. Untuk mengatasi permasalahan sosial tersebut
dibutuhkanlah yang dinamakan dengan moralitas dan hukum, baik
moralitas dan hukum dalam artian masing – masing. Maupun moralitas
dan hukum sebagai satu – kesatuan.
Dalam artian, moralitas dan hukum sebagai satu kesatuan maka
dikenal dengan istilah Hukum Moral. Hukum ini berbeda dengan hukum
lainnya. Yaitu sebagai “Tatanan Pengarah” manusia untuk mencapai
keadilan dan ketertiban. Hukum moral sendiri meliputi rangkaian aturan
permanen, seperti kewajiban menghormati kontrak antar pribadi, peraturan
hidup, larangan untuk melakukan tindakan yang merugikan orang lain.
Terdapat 5 fungsi perumusan hukum moral. Pertama, mewariskan
himpunan kebijakan dari jama dulu kepada generasi sekarang. Kedua,
mengusahakan keamanan secara psikologis dan sosial. Ketiga, membantu
manusia mengambil keputusan dan mencegah terjadinya “Paralis Moral”.
Keempat, membantu manusia untuk mengenal kekurangan dan kegagalan
sehingga manusia dapat memperbaiki diri. Kelima, membagikan
pengalaman supaya bisa tercipta tingkah laku personal dan sosial.
Supaya hubungan manusia dalam masyarakat dan negara terlaksana
sebagaimana yang diharapkan, maka diciptakan norma – norma yang
bersumber pada nilai – nilai dan moral masyarakat melalui tahapan berikut
: 1) Cara (Usage) yaitu menunjuk pada suatu kegiatan. 2) Kebiasaan
(Folkway) yaitu perbuatan yang diulang – ulang dalam bentuk yang sama.
3) tata kelakuan (mores) yaitu kebiasaan yang dianggap sebagai cara
berperilaku dan diterima noram – norma pengatur. 4) Adat istiadat
(custom) tata klakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola –
pola masyarakat, disertai sanksi tertentu.
2.4 Perwujudan Nilai, Moral, dan Hukum Dalam Masyarakat dan Negara

5
Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan
hukum atau efektifitas hukum untuk menggambarkan keterkaitan antara
kesadaran hukum dengan ketaatan hukum terdapat suatu hipotesis yang
dikemukakan oleh Beri Kutchinsky, yaitu “A strong legal consciousness is
sometimes considered the cause of adherence to law (sometimes it is just
another word for that) while a weak Irgal counciousness is consideredto
cause of crime and evil”. Kuatnya kesadaran tentang undang – undang
(hukum) kadang dipertimbangkan menjadi penyebab kesetiaan dan
ketaatan hukum (meskipun hanya sekedar kata – kata saja), sedangkan
lemahnya kesadaran tentang undang – undang (hukum) dipertimbangkan
menjadi penyebab utama terjadinya kejahatan dan malapetaka.
Kesadaran hukum memiliki perbedaan dengan perasaan hukum.
Perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum yang timbul secara
serta merta dari masyarakat dalam kaitannya dengan masalah keadilan.
Tentang faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum antara
lain :
1. Compliance ; diartikan sebagai suatu kepatuhan berdasarkan pada
harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari
hukuman atau sanksi ynag mungkin dikenakan apabila seseorang
melanggar ketentuan hukum, baik hukum formal ataupun berdasarkan
norma – norma masyarakat.
2. Identification ; terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah – kaidah hukum
bukan ada karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan
kelompok serta hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang
untuk menerapkan hukum tersebut teap terjaga.
3. Internalization ; seseorang mematuhi hukum dikarenakan secara
intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan.
4. Society interest ; maksudnya adalah kepentingan – kepentingan para
warga masyarakat terjamin oleh wadah hukum yang ada.
Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai – nilai yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat, dengan demikian masyarakat menaaati
hukum bukan karena paksaan, terdapat 4 indikator kesadaran hukum

6
yaitu pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum, pola
perilaku hukum.
Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai
beberapa perilaku terntentu yang sudah diatur oleh hukum, yang
dimaksud diisi hukum ialah hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
Pemahaman hukum dalam adalah sejumlah informasi yang dimiliki
seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Sikap
hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena
adanya penghargaan terhadap hukum sebagai suatu yang bermanfaat
atau menguntungkan bila ditaati.
Pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran
hukum, karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau
tidak di dalam masyarakat dengan demikian seberapa jauh kesadaran
hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum suatu
masyarakat.

7
2.5 Keadilan, Ketertiban dan Kesejahteraan Masyarakat Sebagai Wujud
Masyarakat yang Bermoral dan Mentaati Hukum
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dan
membutuhkan bantuan dengan sesamanya. Dengan adanya hubungan
sesama seperti itulah perlu adanya keteraturan sehingga individu dapat
berhubungan secara harmoni dengan individu lainnya. Oleh karena itu
diperlukan aturan yang disebut “Hukum”. Hukum diciptakan dengan
tujuan yang berbeda – beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum
adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kegunaan, ada yang
menyatakan kepastian hukum, dll.
Hukum yang ada kaitannya dengan masyarakat mempunyai tujuan
utama yaitu dapat direduksi untuk ketertiban (order). Menurut Mochtar
Kusumaatmadja “Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala
hukum, kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok
(fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur,
ketertiban sebagai tujuan hukum, merupakan fakta objektif yang berlaku
bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya untuk mencapat
ketertiban ini diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar
manusia dalam masyarakat.”
Kant mengatakan “Jika seseorang yang suka mengganggu dan
menyesatkan masyarakat yang cinta damai, akhirnya menerima
cambukan secukupnya, hal ini menyakitkan, tetapi tiap orang menyetujui
dan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dalam dirinya”. Dia
mengatakan hal tersebut karena Kant melihat realita – realita baru di
dunia, di mana hukum saat ini melahirkan ironi. Hukum tidak dianggap
ironi jika diberlakukan “Pay Back”(pembayaran kembali). Maksud dari
pay back adalah bagi mereka yang terbukti melakukan kejahatan layak
dikenai pembayaran kembali atas tindakannya. Banyak orang dalam
masyarakat sekarang setuju dengan pendapat Kant, bahwa orang harus
dihukum karena melakukan kesalahan, tetapi hukumannya tetap setimpal
sesuai dengan kadar beratnya kejahatan dalam kehidupan sosial, kita

8
wajib melakukan yang baik dan benar serta berani menolaknya dengan
baik.
Disini norma hukum menjadi suatu hal yang penting dan jika
norma hukum tidak dijalankan maka dampaknya hukum menjadi tidak
berwibawa. Hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali.
Dengan demikian hukum tidak berarti tanpa dijiwai moralitas. Meskipun
hubungan hukum dan moral begitu erat sekali tetapi tetap berbeda,
perbedaannya diungkapkan oleh K.Bertens yang menyatakan ada empat
perbedaan antara hukum dan moral. Pertama, Hukum lebih
dimodifikasikan daripada moralitas, artinya dibukukan secara sistematis
dalam kitab perundang – undangan. Kedua, meski hukum dan moral
mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada
tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut sikap batin
seseorang. Ketiga, sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan
sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar
dapat dipaksakan, pelanggar akan terkena hukumannya. Tetapi norma
etis tidak dapat dipaksakan, satu – satunya sanksi di bidang moralitas
adalah hati nurani yang tidak tenang. Keempat, hukum didasarkan atas
kehendak masyarakat dan akhirnya kehendak negara.
Alasan hukum untuk menahan tersangka, yaitu :
1. Tersangkan dianggap dapat merusak / menghilangkan alat bukti
2. Tersangka dikhawatirkan melarikan diri
3. Tersangka mempersulit pemeriksaan
Telah terjadi sebuah kesepakatan bersama bahwa manusia adalah
makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu berinteraksi dan
membutuhkan bantuan orang lain atau sesamanya. Dalam konteks
hubungan sesama, seperti itulah perlu adanya keteraturan sehingga
individu dapat berhubungan secara harmonis dengan individu lainnya,
untuk terciptanya keteraturan tersebut diperlukan aturan yang disebut kita
yaitu hukum.

9
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Studi Kasus
Masyarakat baru saja melihat kejadian hukum yang merusak
moralitas sehingga berkembang persepsi bahwa kini sudah tidak ada lagi
keadilan di lembaga penegak hukum. Pertama, putusan hakim terhadap
Minah (55) yang diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan
3 bulan atas dakwaan pencurian 3 buah kakao di perkebunan milik PT
Rumpun Sari Antan (RSA), Banyumas.
Belum hilang keheranan publik, hukum juga memaksa Basar dan
Kolil mendekam dalam LP Kelas A Kota Kediri karena mencuri Rp 5.000.
Keterkejutan memuncak ketika hukum melalui PT Banten menuntut Prita
Mulyasari mengganti kerugian material dan immaterial kepada RS Omni
Rp 204 juta karena dakwaan pencemaran nama baik atas pelayanan buruk
yang dikeluhkan melalui surat elektronik.
Terakhir, Manisih (40) dan tiga kerabatnya Rabu (10/12) menjalani
persidangan di PN Batang atas sangkaan mencuri 14 kilogram kapuk randu
di perkebunan PT Segayung, Kecamatan Tulis, Batang. Sidang dilanjutkan
Senin (14/12) ini, untuk mendengarkan eksepsi penasihat hukum terdakwa
tersebut.
Kejadian – kejadian hukum tersebut pada akhirnya menimbulkan
pengaruh sosial yang bermakna bagi masyarakat, lalu tak kalah penting
untuk dipahami, kejadian hukum itu akan meruntuhkan kepercayaan
masyarakat terhadap pengadilan sebagai sumber keadilan. Mengapa
kejadian ini berdampak pada pengadilan? Seberapa penting pengaruhnya?

3.2 Pembahasan
Untuk itulah berkembang adagium klasik di dunia hukum bahwa
sebaik atau seburuk apapun teks perundang – undangan maka produk
keadilan yang dihasilkan tetap tergantuung pada sosok – sosok yang
menjalankannya. Disinilah pentingnya moralitas hukum yang harus
dipegang oleh penguasa pengadilan.

10
Pernyataan itu dapat dikatakan suatu jawaban atas fenomena
hilangnya keadilan di pengadilan adanya kasus Minah, Basar – Kholil, dan
Prita Mulyasari. Di sisi lain, semuanya merupakan kelompok masyarakat
kelas bawah sehingga menjadi bukti langsung bahwa hukum belum dapat
dicerna oleh masyarakat awam.
Hukum dan moral sama – sama berkaitan dengan tingkahlaku
manusia agar selalu baik, namun positifisme hukum yang murni justru
tidak memberikan kepastian hukum. Itulah sebabnya hukuman terhadap
Amir Mahmud, sopir di BNN hanya karena sebuah pil ekstasi justru
dikenai hukuman 4 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat, sedangkan
jaksa Ester dan Dara yang telah menggelapkan 343 butir ekstasi hanya
divonis 1 tahun.
Hukum merupakan positivasi nilai moral yang berkaitan dengan
kebenaran, keadilan, kesamaan derajat, kebebasan, tanggung jawab, dan
hati nurani manusia. Hukum sebagai positivasi nilai moral adalah
legitimasi karena adil bagi semua orang.
Tanpa moral, hukum tidak akan mengikat secara nalar karena
moral mengutamakan pemahaman dan kesadaran subjek dalam mematuhi
hukum. Hal ini sebagaimana diungkapkan K Bertens bahwa quid leges
sine moribus yang memiliki arti apa gunanya undang – undang kalau tidak
disertasi moralitas.
Moral jelas menjadi senjata ampuh yang dapat membungkam
kesewenangan hukum dan pertimbangan kepantingan lain dalam
penegakan keadilan di pengadilan. Minah, Manisih CS, Basar dan Kolil
secara substansi hukum memang melakukan pelanggaran berupa delik
pencurian, namu secara moral mesti dipahami bahwa keadilan di tengah
lalu lintas hukum modern adalah menekankan pada struktur rasional,
prosedur, dan format.
Jika hal ini ditiadakan, maka akan menegaskan tulisan Harold
Rothwax dalam buku Guilty – The Collapse of the Criminal Justice
System bahwa masyarakat modern tidak lagi mencari keadilan tetapi
mencari kemenangan dengan segala cara. Setidaknya hal demikian dapat

11
terbaca dalam kasus Prita yang menjadi tersangka pencemaran nama baik
Omni International Hospital Alam Sutera Tangerang. Prita dituduh setelah
menulis keluhan pelayanan rumah sakit itu terhadap dirinya melalu
internet.

3.3 Pendapat Kelompok


Keluhan yang dikirim dalam email ke beberapa temannya semula
merupakan ranah pribadi, tetapi kemudian surat elektronik tersebut masuk
dalam mailing list sehingga menjadi ranah publik. Subjektivitas muncul
karena dalam konteks tersebut, moralitas dalam pengadilan tidak membaca
adanya Prita sebagai korban yang membutuhkan keadilan melinkan rumah
sakit tersebut sebagai korban.
Menurut Thomas Aquinas dalam buku On The Book Of Job,
keadilan akan musnah dalam dua kemungkinan, yaitu karena sebuah
kebijaksanaan yang tidak bijaksana atau karena perbuatan tidak terpuji dari
seseorang yang memiliki kekuasaan atas pengadilan.
Masyarakat harus melakukan check and balances agar hukum benar
– benar memiliki visi moral, yaitu mengutamakan kesamaan perlakuan
dihadapan hukum tanpa ada diskriminasi, sedangkan profesional hukum
harus melakukan lompatan penafsiran atas hukum positif.
Secara kebetulan, kejadian yang menimpa Minah, Manisih CS,
Basar, Kolil dan Prita sekaligus ketimpangan kasus anatar Ester – Dara
dan Amir Mahmud akan menjadi gerbang sosialisasi gratis untuk
pembelajaran masyarakat dalam ranah hukum pidana dan perdata.
Perlu menyolisiasikan kembali tentang pentingnya pemahaman
hukum dan kesadaran hukum yang berwawasan moralitas di masyarakat
melalui dua domain pencapaian. Pertama, pengembangan atas desa sadar
hukum. Kedua, adanya pendidikan hukum rakyat secara dini agar
masyarakat mampu mengawal penegakan keadilan baik secara prosedural
maupun moral.
Dalam kenyataan tersebut, kasus – kasus antara hukum itu adalah
konflik antara hukum dan moral sehingga membawa kondisi pertarungan

12
nilai – nilai keadilan yang harus dijunjung dalam pengadilan. Oleh karena
itu prinsip epikea mesti dijunjung sebagai suatu interpretasi terhadap
hukum positif bukan menurut naskah hukum melainkan menurut semangat
keadilan moral kebatinan pemegang kuasa pengadilan. Epikea bermaksud
mempertahankan esensi hukum yang bersifat intrinsik dan tidak tertulis,
bukan dalih pengingkaran atas hukum yang berlaku.
Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil. Hasil amandemen ini memiliki misi agar tidak terjadi pembiaran
penguasa pengadilan menjatuhkan vonis sesuai kepentingan tertentu, tetapi
memiliki semangat berdasarkan pada keadilan.
Jelas bukan suatu keadilan kalau gara – gara pencurian semangka
seharga Rp 5.000, negara harus menanggung biaya makan Basar dan Kolil
di penjara yang jumlahnya lebih dari berlipat – lipat ganda. Bukankah
putusan hakim justru merugikan?
Moral hukum berupa “adil” ini menjadikan para hakim untuk
terdorong menggali rasa keadilan substantif daripada terbelenggu
ketentuan UUU. Setidaknya hal tersebut telah menjadi dasar kepada semua
hakim mengingat bahwa setiap putusan, hakim selalu menegaskan kalau
putusan yang dibuat di pengadilan adalah “demi keadilan bersadarkan
Ketuhanan yang Maha Esa”, nukan “demi kepastian hukum berdasarkan
Undang – undang“. Karena itu, keadilan harus disikapi sesuai karakter
masing – masing.

13
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
 Nilai diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat
bagi kehidupan manusia baik lahir maupun batin.
 Moral secara eksplesit adalah hal – hal yang berhubungan dengan
proses sosialisasi individu, tanpa moral manusia tidak bisa melakukan
proses sosialisasi.
 Hukum hanya sebagai kumpulan pearturan yang tidak hanya mengikat
masyarakat juga hakim. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, yang tentunya sesuai
pula atau merupakan cerminan dari nilai – nilai yang berlaku dalam
masyarakat.
 Manusia, moral, nilai dan hukum adalah suatu hal yang saling
berkaitan dan saling menunjang. Sebagai warga negara, kita perlu
mempelajari, mengahayati dan melaksanakan dengan ikhlas mengenai
nilai, moral dan hukum agar terjadi keselarasan dan harmoni
kehidupan.
4.2 Saran
Penegakan hukum harus memperhatikan keselarasan antara
keadilan dan kepastian hukum. Karena, tujuan hukum antara lain adalah
untuk menjamin terciptanya keadilan, kepastian hukum, dan kesebandingan
hukum.
Penegakan hukum-pun harus dilakukan dalam proporsi yang baik
dengan penegakan hak asasi manusia. Dalam arti, jangan lagi ada penegakan
hukum yang bersifat diskriminatif, menyuguhkan kekerasan dan tidak sensitif
jender. Penegakan hukum jangan dipertentangkan dengan penegakan HAM.
Karena, sesungguhnya keduanya dapat berjalan seiring ketika para penegak
hukum memahami betul hak – hak warga negara dalam konteks hubungan
anatar negara hukum dengan masyarakat sipil.

14

Anda mungkin juga menyukai