Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jalan Tol


Berdasarkan Standart Konstruksi dan Bangunan Geometri Jalan Bebas
Hambatan Untuk Jalan Tol Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Bina
Marga No. 007/BM/2009, Jalan Tol adalah jalan umum yang merupakan bagian
sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan
membayar tol.
Penyelenggaraan jalan umum dilakukan dengan mengutamakan
pembangunan jaringan jalan di pusat-pusat produksi serta jalan-jalan yang
menghubungkan pusat-pusat produksi dengan daerah pemasaran, serta
pembangunan jalan umum diarahkan untuk pembangunan jaringan jalan dalam
rangka memperkokoh kesatuan wilayah nasional sehingga menjangkau daerah
terpencil (PPRI No. 34 Tahun 2006).

2.2. Peta Topografi


Pengukuran topografi dilaksanakan untuk mengetahui perubahan (Relief)
permukaan bumi dan untuk penentuan letak lokasi ciri-ciri alamiah dan
kebudayaan diatasnya. Peta topografi adalah penyajian dari sebagian permukaan
bumi yang memperlihatkan kebudayaan, relief, hidrografi, dan mungkin tumbuh-
tumbuhan. Ciri-ciri kebudayaan (buatan) adalah produk manusia, misalkan jalan,
gedung, jembatan, saluran dan garis batas.
Untuk mendapatkan peta topografi dengan skala besar maka dilakukan
dengan metode terrestris yakni survei topografi dengan menggunakan peralatan
Theodolite, Waterpass, alat ukur jarak, serta peralatan modern lainnya (GPS,
Total Station dan lainnya). Peta topografi dibuat untuk memberikan informasi
tentang keberadaan, lokasi, dan jarak, seperti lokasi penduduk, rute perjalanan dan
komunikasi. Peta topografi juga menampilkan variasi daerah, ketinggian kontur,
dan tingkat tutupan vegetasi.

3
2.2.1. Kerangka Kontrol Peta
Penentuan kerangka kontrol peta adalah salah satu tahapan yang harus
dilaksanakan dalam proses pembuatan peta topografi. Adapun kerangka kontrol
peta terbagi atas dua macam yaitu: kerangka kontrol horisontal dan kerangka
kontrol vertikal.
2.2.1.1. Kerangka Kontrol Horisontal
Kerangka Kontrol Horisontal adalah kerangka dasar pemetaan yang
memperhatikan posisi titik terhadap unsur-unsur lainnya diatas permukaan bumi
pada biang datar secara horisontal.
Kerangka Kontrol Horisontal juga digunakan untuk memindahkan
bayangan dari sebagian atau seluruh permukaan bumi yang tidak teratur keatas
suatu bidang datar yang disebut peta, dan untuk menggambarakan peta tersebut
perlu dibuat terlebih dahulu suatu kerangka yang mempunyai posisi lokal atau
posisi tetap yang akan melingkupi wilayah yang akan dipetakan untuk
menentukan posisi horisontal relatif titik-titik dalam satu sistem “koordinat”.
A. Metode Pengukuran Kerangka Kontrol Horisontal
Metode yang digunakan dalam pengukuran kerangka kontrol horisontal
antara lain dengan menggunakan metode triangulasi, metode trilaterasi, metode
poligon.
1. Metode Triangulasi
Penentuan posisi horisontal dari satu titik ke titik yang lainnya dengan
metode triangulasi, menggunakan bentuk geometri yaitu berupa segitiga-segitiga.
Unsur-unsur yang diukur adalah sudut-sudut horisontal dan jumlah-jumlah sisi
yang terbatas. Dengan memakai sudut-sudut dan panjang sisi segitiga diselesaikan
secara ilmu ukur segitiga (Trigonometri).
Berikut ini adalah contoh perhitungan untuk mengetahui koordinat titik P
jika diketahui sudut α dan β.

4
D
F
SD SF’
U B SD’’
SD’ SF
SB
SB’ SE’
αAB SE
SC’ SE’’ SG
SC
SA SC’’ E
G
A C

Gambar 2.1 Mencari Nilai B Dengan Metode Perhitungan Triangulasi


Perhitungan berdasarkan atas rumus sinus:

Dan kemudian,

Dan,

Maka selanjutnya menghitung koordinat menggunakan rumus:


XB = AB.Sin Sa XC = CA.Sin Sa
YB = AB.Cos Sa YC = CA.Cos Sa

2. Metode Trilaterasi
Trilaterasi adalah semua sisi dari segitiga harus diukur jaraknya untuk
mendapatkan posisi horisontal dari suatu titik. Jadi jarak setiap sisi segitiga diukur
sehingga membentuk rangkaian segitiga-segitiga. Metode trilaterasi digunakan
apabila daerah yang diukur salah satunya lebih besar dari pada ukuran lainnya,
maka dibuat rangkaian segitiga. Pada cara ini sudut yang diukur adalah semua sisi
segitiga. Seperti halnya triangulasi, trilaterasi juga dimaksudkan untuk
menentukan posisi titik-titik dipermukaan bumi, yaitu koordinat X dan Y pada
suatu referensi tertentu. Untuk penentuan ini masing-masing titik yang berdekatan
dihubungkan dan diukur jaraknya sehingga membentuk jaringan segitiga. Dengan
diketahui panjang sisi segitiga maka posisi titik satu dengan yang lainnya dapat
diketahui.

5
D
dDF F
dBD
U B dE
dC
F
D dD dF
αAB dA dB E G
B C
E DEG
dCE G
A dAC C

Gambar 2.2 Bentuk Jaringan Trilaterasi (Hadiman, 1989)

Dari hasil ukuran sisi trilaterasi selanjutnya dengan menggunakan rumus


cosinus sebuas segitiga.
A

c b

B a C

Gambar 2.3 Sisi Dan Sudut Segitiga (Hadiman, 1989)

Panjang sisi segitiga masing-masing a,b,c dan besar sudut segitiga adalah A,B dan
C selanjutnya sudut A dapat diperoleh dengan rumus yaitu:

Cos (A) = (b2 + c2 – a2) / 2bc ..................................................................................(2.1)

Pada kenyataannya, nilai ukuran sisi a, b dan c masing-masing mengandung


kesalahan sebesar va, vb dan vc sehingga hasil hitungan sudut A juga akan
mengandung kesalahan sebesar dA.
Dengan memperhatikan nilai kesalahan sisi segitiga dan pengaruhnya sebesar dA
pada sudut A, maka persamaanya dapat ditulis (Hadiman, It., MSc.: 1989):

Cos (A + dA) = ((b + vb)2 + (c + vc)2 / (2(b + vb) (c + vc)) ...............................(2.2)

6
3. Metode Poligon
Poligon adalah metode pengukuran dengan rangkaian segi banyak dalam
menentukan suatu posisi atau titik yang dapat diketahui koordinatnya dengan
menghitung dari pengukuran arah, sudut dan jarak. Penentuan koordinat dengan
cara poligon membutuhkan:
a. Koordinat awal
Bila diinginkan sistem koordinat terhadap suatu sistem tertentu maka dipilih
koordinat titik yang sudah diketahui. Bila dipakai sistem koordinat lokal maka
pilih salah satu titik BM kemudian beri harga koordinat tertentu dan titik tersebut
dipakai sebagai acuan untuk titik-titik yang lain.
b. Koordinat akhir
Koordinat titik ini dibutuhkan untuk memenuhi syarat geometri hitungan
koordinat dan harus dipilih titik yang mempunyai sistem koordinat yang sama
dengan koordinat awal.
c. Azimuth awal
Azimuth awal harus diketahui sehubungan dengan arah orientasi dari sistem
koordinat yang dihasilkan dan pengadaan datanya dapat dapat ditempuh dengan
dua cara sebagai berikut:
1) Hasil hitungan koordinat titik-titik yang telah diketahui dan akan
dipakai sebagai titik acuan sistem koordinatnya.
2) Hasil pengamatan astronomis (matahari) pada salah satu titik poligon
sehingga didapatkan azimuth ke matahari dari tiitk yang bersangkutan.
Dan selanjutnya dihasilkan azimuth kesalah satu poligon tersebut
dengan ditambahkan ukuran sudut mendatar (azimuth matahari).
d. Data ukuran sudut dan jarak
Sudut mendatar pada setiap stasiun dan jarak antar dua titik kontrol perlu
diukur dilapangan.

Untuk menghasilkan sebuah peta dan kerangka acuan sebagai patokan nya
maka diperlukan beberapa metode pengukuran dalam poligon, berikut ini adalah
macam-macam pengukuran poligon yang sering digunakan dalam pemetaan:

7
a. Poligon Tertutup
Poligon tertutup adalah bangun datar segi banyak yang merupakan bangun
tertutup. Istilah tertutup ini merupakan titik awal poligon sama dengan titik
akhirnya. Pada dasarnya, poligon tertutup sama dengan poligon terbuka, hanya
perbedaannya adalah pada bentuk geometrinya yaitu titik awal dan titik akhir pada
poligon terbuka tidak berhimpit, sedangkan pada poligon tertutup titik awal dan
titik akhir berhimpit. Perbedaan ini tentu saja membawa perbedaan dalam
ketentuan syarat poligon (Basuki, 2006).

B
αA-1
A
d4-A
S0 dA-1
α 4-A
αA-B
4 S1 1
S4 α1-2

d3-4 S3 S2 d1-2

3 2
α2-3
d2-3
α3-4

Gambar 2.4 Poligon Tertutup (Sosrodarsono, 1997)


Keterangan gambar:
A, B : Titik tetap yang koordinatnya telah diketahui
1,2,3,4 : Titik yang akan ditentukan koordinatnya
αA-B : Azimuth awal
αA-1, α1-2 ... : Azimuth titik-titik poligon
S0, S1 ........ : Sudut poligon
dA-1, d1-2 ... : Jarak poligon

1. Syarat Geometri
= (n-2) x 180o . ...................................................................................... (2.3)
= 0 .......................................................................................................... (2.4)

8
= 0 ......................................................................................................... (2.5)
2. Koreksi kesalahan poligon
f(s) = [(n-2) x 180o] - ......................................................................... (2.6)

f(dx) = – 0 ......................................................................................... (2.7)


f(dy) = – 0 ......................................................................................... (2.8)
3. Koordinat sementara semua titik poligon, persamaan yang digunakan:
Xn = Xn-1 + d Sin αn-1.n .................................................................................... (2.9)
Yn = Yn-1 + d Cos αn-1.n .................................................................................. (2.10)
4. Koordinat terkoreksi dari semua titik poligon dihitung dengan persamaan:
Xn = Xn-1.n + dn Sin αn-1.n + (dn / ) x f(dx) ........................................... (2.11)
Yn = Yn-1.n + dn Cos αn-1.n + (dn / ) x f(dy) .......................................... (2.12)
5. Ketelitian Poligon dinyatakan dengan persamaan:
Kesalahan jarak
f(d) =[f(dx)2 + f(dy)2]1/2 ................................................................................. (2.13)
KL = / f(d) ............................................................................................. (2.14)

Keterangan rumus:
ΣS : jumlah sudut
Σd Sin α : jumlah ∆x
Σd Cos α : jumlah ∆y
S : kesalahan sudut
: Jumlah sudut
: Jumlah absis
: Jumlah ordinat
Xn, Yn : Koordinat titik n
Xn-1, Yn-1 : Koordinat titik n-1
n : nomor titik
dn : Jarak sisi titik n-1 ke n
αn-1.n : Azimuth sisi n-1 ke n
f(dx) : Kesalahan absis (departure)
f(dy) : Kesalahan ordinat (latitude)

9
f(d) : Kesalahan Jarak
f(x) : Kesalahan linier absis
f(y) : Kesalahan linier ordinat
: Jumlah jarak
KL : Ketelitian linier
b. Poligon Terbuka Terikat Sempurna
Poligon terbuka terikat sempurna adalah poligon yang titik awal dan titik
akhir tidak bertemu, namun kedua titik tersebut terikat oleh koordinat dan azimuth
baik titik awal maupun titik akhir. Kelebihan dan keuntungan dari poligon ini
adalah kesalahan sudut serta kesalahan jaraknya dapat dikoreksi.

β6 αC-D
α4-5
αA-B β2 α2-3 β4
C
α1-2 α3-4 α5-C
A β1
1 β3 3 β5
d4-C
dB-1 d1-2 d2-3 d3-4
B 2 4 D

Gambar 2.5 Poligon Terbuka Terikat Sempurna (Sosrodarsono, 1997)

Keterangan Gambar:
A, B, C, D : Titik tetap yang diketahui koordinatnya
1,2,3,4 : Titik yang akan ditentukan koordinatnya
αA-B, αC-D : Azimuth awal dan akhir
αB-1, α1-2................... : Azimuth titik-titik poligon
β1, β2 ........................ : Sudut poligon
dB-1, d1-2 ................... : Jarak antar titik poligon

1. Syarat Geometri:
= (α akhir – α awal) + (n-1) x 180o ........................................... (2.15)
= (X akhir – X awal) – 0 ............................................................ (2.16)
= (Y akhir – Y awal) – 0 ............................................................ (2.17)

10
1. Koreksi Kesalahan
F(s) = (α akhir – α awal) – [ – (n-1) x 180o ] ..................................... (2.18)
dx = (X akhir – X awal) - .............................................................. (2.19)
dy = (Y akhir – Y awal) - .............................................................. (2.20)

Keterangan rumus:
: Jumlah sudut titik 1 (satu) sampai titik n
: Jumlah titik departure dari titik 1 (satu) sampai titik n
: Jumlah latitude dari titik 1 (satu) sampai titik n
n : banyak nya point
f(s) : Kesalahan sudut
α awal : Azimuth awal
dx : Kesalahan absis (departure)
dy : Kesalahan ordinat (latitude)

2.2.1.2. GPS (Global Positioning System)


GPS (Global Posotioning System) merupakan sistem satelit navigasi dan
penentuan posisi menggunakan satelit. GPS dapat digunakan oleh banyak
pengguna sekaligus dalam segala cuaca. GPS didesain untuk memberikan posisi
dan kecepatan tiga dimensi yang teliti serta informasi mengenai waktu seacara
kontinu di seluruh dunia. Pada dasarnya GPS terdiri atas tiga dimensi segmen
utama, yaitu segmen angkasa (space segment) yang terdiri dari satelit-satelit GPS,
segmen kontrol (control system segment) yang terdiri dari stasiun-stasiun
pemonitor dan pengontrol satelit, dan segmen pemakai (user segment) yang terdiri
dari pemakai GPS termasuk alat-alat penerima dan pengolah sinyal dan data GPS.
Pada dasarnya penentuan posisi dengan GPS adalah resesi (pengikatan ke
belakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke
beberapa satelit GPS yang koordinatnya telah diketahui. Pada pengamatan dengan
GPS, yang bisa diukur hanyalah jarak antara pengamat dengan satelit dan bukan
vektornya.
A. Sistem GPS (Global Positioning System )
Pada dasarnya konsep penentuan posisi dengan GPS adalah resection
(pengikatan ke belakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara

11
simultan ke beberapa satelit GPS yang koordinatnya telah diketahui. Dalam hal
ini, parameter yang akan ditentukan adalah vektor posisi geosentrik pengamat (R).
Untuk itu, karena vektor posisi geosentrik satelit GPS ( r ) telah diketahui, maka
yang perlu ditentukan adalah vektor posisi toposentris satelit terhadap pengamat
(p).
Pada pengamatan dengan GPS, yang dapat diukur hanyalah jarak antar
pengamat dengan satelit dan bukan vektornya. Untuk mengatasi hal ini, penetuan
posisi pengamat dilakukan melalui pengamatan terhadap beberapa satelit
sekaligus secara simultan, dan tidak hanya terhadap satu satelit. Pada
operasionalisasinya, prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS, tergantung pada
mekanisme implementasinya, dapat diklasifikasikan atas beberapa metode
penentuan posisi.

Gambar 2.6 Prinsip Dasar Penentuan Posisi Dengan GPS (Pendekatan Vektor)
(Abidin, 2011 )

Disamping itu, GPS dapat memberikan posisi secara instan (real time)
ataupun sudah pengamatan setelah data pengamatannya diproses secara lebih
ekstensif (post processing) yang biasanya dilakukan untuk mendapatkan ketelitian
yang lebih baik.

B. Segmen GPS
Pada dasarnya GPS terdiri atas tiga segmen utama, yaitu segmen angkasa
(space segment) yang terutama terdiri dari satelit-satelit GPS, segmen sistem
kontrol (control system segment) yang terdiri dari stasiun-stasiun pemonitor dan

12
pengontrol satelit, dan segmen pemakai (user segment) yang terdiri dari pemakai
GPS termasuk alat-alat penerima dan pengolah sinyal dan data GPS.

Gambar 2.7 Tiga Segmen GPS (Abidin, 1998)


1. Segmen Angkasa
Segmen angkasa terdiri dari 24 satelit yang beroperasi dalam 6 orbit pada
ketinggian 20.200 km dan inklinasi 55 derajat dengan periode 12 jam (satelit akan
kembali ke titik yang sama dalam 12 jam). Satelit tersebut memutari orbitnya
sehingga minimal ada 6 satelit yang dapat dipantau pada titik manapun di bumi
ini. Satelit tersebut mengirimkan posisi dan waktu kepada pengguna seluruh
dunia.

Gambar 2.8 Konfigurasi Orbit Satelit-satelit GPS (Abidin, 2006)

Ke-enam bidang orbit satelit GPS mempunyai spasi sudut yang sama antar
sesamanya. Meskipun begitu, setiap orbit ditempati oleh 4 satelit dengan interval

13
jarak yang tidak sama. Jarak antara satelit diatur sedemikian rupa untuk
memaksimalkan probabilitas kenampakan setidaknya 4 satelit yang bergeometri
baik dari setiap tempat di permukaan bumi setiap saat (Bagley and Lamons,1992).

2. Segmen Kontrol
Segmen kontrol terdapat pusat pengendali utama yang terdapat di Colorodo
Springs, dan 5 stasiun pemantau lainnya dan 3 antena yang tersebar di bumi ini.
Stasiun kontrol/pengendali semua satelit GPS dan mengumpulkan informasinya.
Stasiun kontrol kemudian mengirimkan informasi tersebut kepada pusat
pengendali utama yang kemudian melakukan perhitungan dan pengecekan orbit
satelit. Informasi tersebut kemudian dikoreksi dan dilakukan pemuktahiran dan
dikirim ke satelit GPS.
Secara spesifik, segmen sistem kontrol terdiri dari Ground Antenna Stations
(GAS), Monitor Stations (MS), Prelaunch Compatibility Station (PCS), dan
Master Control Station (MCS).

Gambar 2.9 Lokasi Stasiun-stasiun Sistem Kontrol GPS (Sumber: http://4.bp.


blogspot.com)

Gambar 2.10 Skema Kerja Sistem Kontrol GPS (Abidin,2007)

14
3. Segmen Pengguna
Segmen pengguna terdiri dari para pengguna satelit GPS baik di darat, laut,
udara, maupun di angkasa. Dalam hal ini, alat penerima sinyal GPS (GPS
Receiver) diperlukan untuk meneriman dan memproses sinyal dari satelit GPS
untuk digunakan dalam penentuan posisi, kecepatan, waktu maupun parameter
turunan lainnya.
Komponen utama dari suatu receiver GPS secara umum adalah (Seeber,2003
dalam Abidin, 2006) : antena dengan pre-amplifier, pemroses sinyal, pemroses
data, osilator presisi, unit pengontrolan receiver dan pemrosesan (user and
external communication), satu daya, memori, serta perekam data.

Gambar 2.11 Komponen Utama Dari Receiver GPS (Abidin,2004)

C. Metode Penentuan Posisi Dengan GPS


Secara umum, metode penentuan posisi dengan menggunakan GPS dibagi
menjadi dua, diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Metode Absolut/Point Positioning
Metode absolut merupakan penentuan posisi yang hanya menggunakan
satu GPS dimana digunakan sebagai receiver saja. Sedangkan untuk
ketelitiannya tergantung pada posisi geometri satelit dan ketelitian data
(yang terakhir berkait erat dengan receiver-nya), sehingga metode ini
tidak cocok digunakan untuk penentuan posisi yang bersifat memiliki
ketelitian yang tinggi. Metode ini cocok digunakan untuk navigasi.

15
Gambar 2.12 Metode Absolut/Point Positioning
(Sumber: https://mupego.wordpress.com/2015/08/20/prinsip-dan-
metoda-penentuan-posisi-dengan-gps/)
b) Metode Relatif/Differential Positioning
Metode relatif atau biasa disebut dengan metode Differential Positioning
merupakan penentuan posisi dengan menggunakan dua receiver atau
lebih. Dimana salah satu dari receiver tersebut digunakan sebagai base
atau referensi. Untuk ketelitian yang dihasilkan adalah ketelitian tinggi,
sehingga metode ini dapat digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan yang
membutuhkan ketelitian posisi yang tinggi.

Gambar 2.13 Metode Relatif Atau Differential Positioning


(Sumber: https:// mupego.wordpress.com/2015/08/20/prinsip-dan-
metoda-penentuan-posisi-dengan-gps/)
Sedangkan secara detailnya, untuk melakukan penentuan posisi dengan
menggunakan GPS ada beberapa cara yang digunakan diantaranya penentuan
posisi secara statik, penentuan posisi secara kinematik, penentuan posisi secara
rapid statik, penentuan posisi secara pseudo kinematik, penentuan posisi secara
stop and go.

16
1. Penentuan posisi secara Statik
Penentuan posisi secara statik (static positioning) adalah penentuan posisi
dari titik-titik yang statik (diam). Penentuan posisi tersebut dapat dilakukan secara
absolut maupun diferensial, dengan menggunakan data pseudorange dan/atau
fase. Dibandingkan dengan metode penentuan posisi kinematik, ukuran lebih pada
suatu titik pengamatan yang diperoleh dengan metode statik biasanya lebih
banyak. Hal ini menyebabkan keandalan dan ketelitian posisi yang diperoleh
umumnya relatif lebih tinggi (dapat mencapai orde 5 mm sampai 10 mm).
Pada prinsipnya, survei GPS bertumpu pada metode-metode penentuan posisi
statik secara diferensial dengan menggunakan data fase. Dalam hal ini
pengamatan satelit GPS umumnya dilakukan baseline per baseline selama selang
waktu tertentu (beberapa puluh menit sampai beberapa jam tergantung tingkat
ketelitian yang diinginkan) dalam suatu jaringa (kerangka) radial dari titik-titik
yang akan ditentukan posisinya.

Gambar 2.14 Penentuan Posisi Metode Statik


(Sumber: http://geodesy.gd.itb.ac. id/ hzabidin/wp-content/ uploads/2007 /02/gps-
3-upd.pdf)

2. Penentuan posisi secara Kinematik


Metode penentuan posisi kinematik dipakai untuk menentukan posisi dan
kecepatan suatu benda yang bergerak seperti pesawat terbang dan kapal laut.
Metode ini dapat dilakukan secara Real Time Kinematic (RTK) atau Post
Processing.

17
Gambar 2.15 Penentuan Posisi Metode Kinematik
(Sumber: http://geodesy. gd.itb. ac.id / hzabidin/wp-content/ uploads/2007
/02/gps-3-upd.pdf)

3. Penentuan posisi secara Stop and Go


Metode yang dilakukan dengan receiver GPS/GNSS yang bergerak dari satu
titik ke titik lainnya, tetapi selama perjalanan dari satu titik ke titik lainnya
receiver tetap melakukan koleksi data.

Gambar 2.16 Penentuan Posisi Metode Stop and Go (Abidin, 2004)

Pada survei dengan GPS, pemrosesan data GPS untuk menentukan


koordinat dari titik-titik dalam jaringan umumnya akan mencakup tiga tahapan
utama perhitungan, yaitu:
1. Pengolahan data dari setiap baseline pada jaringan network .

18
2. Perataan jaringan yang melibatkan semua baseline untuk menentukan
koordinat dari titik-titik dalam jaringan network
3. Transformasi koordinat titik-titik tersebut dari datum WGS84 ke datum yang
diperlukan oleh pengguna.

Gambar 2.17 Penentuan Posisi Titik-titik Dengan Metode Statik (Abidin,2006)

Pengolahan data dari setiap baseline GPS pada dasarnya adalah bertujuan
menentukan nilai estimasi vektor baseline atau koordinat relatif (dX,dY,dZ ).
Proses estimasi yang digunakan untuk pengolahan baseline umumnya berbasiskan
metode kuadrat terkecil ( least-squares ).

D. Kesalahan dan Bias GPS


Dalam perjalanannya dari satelit hingga mencapai antena di permukaan
Bumi, sinyal GPS akan dipengaruhi oleh beberapa kesalahan dan bias
diantaranya:
1. Kesalahan Ephemeris (Orbit)
Kesalahan ephemeris merupakan kesalahan dimana orbit satelit yang
dilaporkan oleh ephemeris satelit tidak sama dengan orbit satelit yang sebenarnya
sehingga akan mempengaruhi ketelitian koordinat titik-titik yang ditentukan.

Gambar 2.18 Kesalahan Ephemeris (orbit) (Abidin,2006)

19
2. Bias Troposfer
Ketika melalui lapisan troposfer, sinyal GPS akan mengalami refraks, yang
menyebabkan perubahan kecepatan dan arah sinyal GPS. Bias troposfer ini
akan mempengaruhi kecepatan sehingga akan menghasilkan ukuran jarak yang
kurang teliti. Efek utama dari troposfer berpengaruh pada kecepatan, atau
dengan kata lain terhadap hasil ukuran jarak.

Gambar 2.19 Efek Troposfer Terhadap Sinyal GPS (Abidin, 2006)

3. Multipath
Multipath merupakan fenomena dimana sinyal dari satelit tiba di antena
GPS melalui dua atau lebih lintasan yang berbeda (Abidin, 2006). Dalam hal
ini, satu sinyal merupakan sinyal langsung dari satelit ke antena, sedangkan
yang lainnya merupakan sinyal-sinyal tidak langsung yang dipantulkan oleh
benda-benda (seperti: gedung, jalan raya, mobi, pepohonan, dll) di sekitar
antena sebelum tiba di antena. Perbedaan panjang lintasan menyebabkan sinyal-
sinyal tersebut berinteferensi ketika tiba di antena yang mengakibatkan
kesalahan pada hasil pengamatan. Kesalahan akibat multipath akan
menghasilkan ukuran jarak yang kurang teliti. Multipath akan mempengaruhi
hasil ukuran pseudorange dan carrier phase.

20
Gambar 2.20 Kesalahan Multipath (Abidin,2006)

4. Ambiguitas Fase (Cycle Ambiguity)


Ambiguitas fase dari pengamatan fase sinyal GPS merupakan jumlah
gelombang penuh yang tidak terukur oleh receiver GPS (Abidin, 2006). Untuk
dapat merekonstruksi jarak ukuran antara satelit dengan antena maka harga
ambiguitas fase tersebut harus ditentukan terlebih dahulu. Hal ini diperlukan
pada saat pengubahan data fase menjadi hasil ukuran jarak sehingga dihasilkan
ketelitian yang sangat presisi. Nilai ambiguitas fase akan selalu tetap selama
pengamatan tidak terjadi cycle slip. Penentuan ambiguitas fase ini dilakukan
dengan cara pemberian koreksi terhadap nilai ambiguitas fase yang
mengembang ( float) sehingga diperoleh nilai ambiguitas fase yang integer.

5. Kesalahan Jam
Kesalahan jam ini dapat berupa kesalahan jam satelit maupun kesalahan
jam receiver. Bentuk kesalahannya dapat berupa bentuk offset waktu, offset
frekuensi, maupun frequency drift. Kesalahan jam ini akan langsung
mempengaruhi ukuran jarak, baik pseudorange maupun jarak fase. Untuk
mendapatkan nilai dt yang teliti maka kedua jam yang terlibat (jam satelit dan
jam receiver) harus :
1. Mengacu ke sistem waktu yang sama (sistem waktu UTC).
2. Sinkron satu sama lainnya.
3. Terjaga kestabilannya.

21
B. DOP (Dilution of Precision)
DOP (Dilution of Precision) adalah istilah yang menggambarkan kekuatan
akurasi dari konfigurasi geometri satelit. Ketika satelit yang muncul berdekatan di
atas langit, geometrinya menjadi lemah dan DOP-nya tinggi. Namun ketika
berjauhan maka geometrinya menjadi kuat dan nilai DOP menjadi rendah.
Sehingga dengan rendahnya nilai DOP maka keakuratan posisi GPS menjadi lebih
baik karena adanya separasi sudut yang luas dari satelit-satelit yang digunakan
dalam memperhitungakan posisi unit GPS.
Dalam prakteknya, berbagai bentuk DOP digunakan, tergantung pada
kebutuhan. Misalnya, untuk keperluan umum posisi GPS, pengguna mungkin
tertarik dalam meneliti efek dari geometri satelit pada kualitas yang dihasilkan
posisi 3D (lintang, bujur, dan ketinggian) kontelasi satelit. Hal ini dapat dilakukan
dengan memeriksa nilai PDOP.
PDOP dapat dibagi menjadi dua komponen: Horizontal Dilution of
Precision ( HDOP ) dan Vertikal Dilution of Precision ( VDOP ). Dan oleh karena
pengguna GPS hanya dapat melacak satelit dengan prioritas horisontal, maka
VDOP akan selalu lebih besar daripada HDOP. Akibatnya, resolusi vertikal GPS
akan kurang tepat dibandingkan dengan resolusi horisontal. nilai VDOP dapat
ditingkatkan oleh supplementing GPS dengan cara menggabungkannya dengan
sensor lain, misalnya: pseudolites. DOP lainnya yang umum digunakan ialah Time
Dilution of Precision ( TDOP ) dan Geometry Dilution of Precision ( GDOP ).
GDOP merupakan gabungan efek dari PDOP dan TDOP.

22
2.2.1.3. Kerangka Kontrol Vertikal
Ketinggian suatu titik pada dasarnya menunjukan posisi suatu titik diatas
bidang datum tertentu. Koordinatnya merupakan jarak titik tersebut terhadap
bidang datum sehingga hanya terdiri dari satu parameter saja (Kusumawati, 2014).

Gambar 2.21 Ketinggian (H)


Datum ketinggian mempunyai tiga bentuk, yaitu:
1. Bidang datar
Datum ini hanya berlaku untuk daerah dengan ukuran maksimal 55 km x 55
km.
2. Ellipsoid
Adalah bidang lengkung beraturan yang dibentuk oleh suatu elips yang
diputar 1800 terhadap sumbu pendeknya. Datum ini digunakan untuk
perhitungan geodesi.
3. Geoid
Adalah bidang ekuipotensial gaya berat bumi, artinya permukaan yang
mempunyai potensial gaya berat tetap/sama disetiap tempat. Permukaan geoid
tidak beraturan.
Beda tinggi antara dua titik adalah jarak antara bidang ekuipotensial yang
melalui suatu titik dengan bidang ekuipotensial yang melalui titik lainnya.
Pengukuran beda tinggi adalah pengukuran yang bertujuan untuk menentukan
beda tinggi antar titik-titik atau tinggi suatu titik secara relatif terhadap bidang
acuan tertentu. Bidang acuan (datum) untuk menentukan tinggi titik-titik di

23
permukaan bumi adalah tinggi muka laut rata-rata (Mean Sea Level) atau pun titik
lokal yang sudah diketahui ketinggiannya.
Hasil pengukuran beda tinggi digunakan untuk:
 Desain jalan raya, rel kereta api, saluran air, dll.
 Menggambarkan konstruksi proyek.
 Menghitung volume tanah dan material lainnya.
 Menyelidiki karakteristik drainase suatu area.
 Mengembangkan peta konfigurasi tanah secara umum.
 Mempelajari Earth Subsidence (penyusutan bumi) dan Creostal Movement
(pergerakan kerak bumi).
1. Metode Pengukuran Kerangka Kontrol Verikal
Secara prinsip metode pengukuran beda tinggi (leveling) dikelompokan
menjadi tiga, yaitu:
1. Metode Barometris (Barometric leveling)
Penentuan beda tinggi metode barometris berdasarakan pada perbedaan
tekanan udara antara dua tempat. Prinsipnya adalah tekanan udara di
dataran rendah (daerah pantai) akan lebih besar dibandingkan dengan
tekanan udara di dataran tinggi (pegunungan).
Beda tinggi antara dua tempat secara umum dirumuskan sebagai berikut:
dH = -dP / (ρ.g)
Keterangan:
dH : Beda tinggi
dP : Perbedaan tekanan udara
ρ : Kepadatan udara
g : Percepatan gaya berat
Selain tekanan udara, beda tinggi barometris juga dipengaruhi oleh
temperatur udara, kelembaban udara, posisi lintang titik ukur, dan
ketinggian titik ukur. Tingkat ketelitian metode ini adalah yang paling
rendah dibanding dua metode yang lain.
2. Metode Trigonometris (Trigonometric leveling)
Pada metode ini digunakan alat ukur theodolite, sehingga garis bidik alat
ukur bisa dibuat dalam keadaan miring (tidak mendatar). Alat ukur

24
ditempatkan diatas titik ukur, sedangkan pada titik ukur lainnya
ditempatkan rambu. Data yang diukur adalah bacaan rambu (Benang atas
Ba, Benang tengah Bt, Benang bawah Bb), sudut vertikal (z) atau sudut
miring (ɵ), dan tinggi alat ukur (ti). Untuk jarak dekat (>1000 feet) efek
kelengkungan bumi dan refraksi diabaikan.

Gambar 2.22 Metode Trigonometris


∆H = ti ± (D sin z cos z)-Bt atau ∆H = ti ± (D tg ɵ)-Bt
D = 100 x (Ba-Bb) x sin2z atau D = 100x(Ba-Bb)xcos2 ɵ
Keterangan:
∆H : Beda tinggi z : Sudut vertikal
ti : Tinggi alat ukur Bt : Benang tengah
D : Jarak optis Ba : Benang atas
ɵ : Sudut Miring Bb : Benang bawah
3. Metode Sipat Datar
Metode sipat datar adalah metode penentuan beda tinggi yang paling teliti
dibandingkan dengan kedua metode diatas. Alat ukur yang digunakan pada
pengukuran beda tinggi metode sipat datar adalah waterpass (level),
dimana garis bidiknya dalam keadaan mendatar. Beda tinggi antara dua

25
titik adalah selisih antara dua bidang yang melewati kedua titik yang
diukur.
HI = Elev + Bt
Keterangan:
HI : Tinggi alat dari datum
Elev : Titik tinggi
Bt : Benang tengah
2. Penempatan Waterpass
Ada tiga cara penempatan watepass yaitu:
1. Pada posisi tepat diatas salah satu titik yang akan ditentukan adalah beda
tingginya.

Gambar 2.23 Posisi Diatas Titik


∆Hab = Ta – Btb
Hb = Ha + ∆Hab
Keterangan:
∆Hab : Beda tinggi dari titik a ke titik b
Ta : Tinggi alat di titik a
Btb : Betang tengah titik b
Hb : Tinggi titik b
Ha : Tinggi titik a
2. Pada posisi di tengah-tengah antara dua titik tanpa memperhatikan apakah
posisi tersebut membentuk satu garis lurus atau tidak terhadap titik yang
akan diukur.

26
Gambar 2.24 Posisi Diantara Dua Titik
∆Hab = Bta – Btb atau ∆Hab = Btblk – Btm
Hb = Ha + ∆Hab
Keterangan:
∆Hab : Beda tinggi dari titik a ke titik b
Bta : Betang tengah titik a
Btb : Benang tengah titik b
Btblk : Benang tengah belakang
Btm : Benang tengah muka
Hb : Tinggi titik b
Ha : Tinggi titik a
3. Pada posisi selain dari kedua metode tersebut sebelumnya, dalam hal ini
alat didirikan disebelah kiri atau kanan dari salah satu titik yang akan
ditentukan selisih tingginya.

Gambar 2.25 Posisi Disamping Titik

27
Hab = Bta – Btb atau Hba = Btb – Bta
Keterangan:
Hab : Beda tinggi dari titik a ke titik b
Hba : Beda tinggi dari titik b ke titik a
Bta : Benang tengah titik a
Btb : Benang tengah titik b
Bila titik C diketahui = Hc dan tinggi garis bidik diatas titik C = T, maka:
Hb = TIa – Btb dan Ha = TIa – Bta
Keterangan:
Hb : Tinggi titik b
Ha : Tinggi titik a
TIa : Tinggi alat titik a
Btb : Benang tengah titik b
Bta : Benang tengah titik a

2.2.2. Pengukuran Profil


Pengukuran profil merupakan pengukuran yang dilakukan untuk
menentukan tinggi rendahnya tanah. Sedang pengukuran profil sendiri, terdapat
dua jenis pengukuran profil diantaranya adalah:
a. Pengukuran Profil Melintang
Pengukuran profil melintang merupakan pengukuran yang dilakukan untuk
menentukan tinggi rendahnya tanah atau untuk mendapatkan bentuk
permukaan titik sepanjang garis tertentu. Kegunaan dari pengukuran ini
adalah sebagai dasar dalam menentukan volume galian dan timbunan dalam
perencanaan pembuatan jalan raya, jalan kereta api, saluran irigasi dan lain
sebagainya. Pengukuran profil melintang sendiri digunakan untuk
menentukan tinggi rendahnya tanah sepanjang garis melintang yang tegak
lurus dengan garis sumbu proyek.

28
Gambar 2.26 Pengukuran Profil Melintang (Salmani, 2012)

 Perhitungan Jarak Optis Detail


Rumus:
D = (BA – BB) x 100
Dimana:
D = Jarak Optis
BA = Benang Atas
BB = Benang Bawah
 Perhitungan Beda Tinggi Detail
Rumus:
∆H = Tinggi Alat – BT Detail
Dimana:
∆H = Beda Tinggi
BT = Benang Tengah

b. Pengukuran Profil Memanjang


Pengukuran profil memanjang pulang pergi merupakan salah satu jenis dari
sekian banyak macam pengukuran sipat datar memanjang. Pengukuran sipat
datar memanjang pulang pergi digunakan apabila jarak antara dua stasiun
yang akan ditentukan beda tingginya sangat berjauhan (berada diluar
jangkauan jarak pandang). Pengukuran sipat datar memanjang sendiri

29
digunakan untuk mengetahui tinggi permukaan tanah sepanjang garis
memanjang (sumbu proyek) yang tegak lurus dengan garis melintang.

Gambar 2.27 Pengukuran Profil Memanjang (Salmani,2012)

 Perhitungan Jarak Optis Detail


Rumus:
D = (BA – BB) x 100
Dimana:
D = Jarak Optis
BA = Benang Atas
BB = Benang Bawah
 Perhitungan Beda Tinggi Detail
Rumus:
∆H = BtB – BtM
Dimana:
∆H = Beda Tinggi
BtB = Benang Tengah Belakang
BtM = Benang Tengah Muka

30
2.2.3. Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan perhitungan maupun penyusunan data
mentah menjadi informasi lengkap yang tersusuna rapi dengan maksud agar
informasi yang dihasilkan tersusun secara berurut dan bisa dipahami oleh pemberi
pekerjaan. Adapun processing data meliputi:

2.2.3.1. Penyusunan Data Poligon


Penyusunan data poligon dimaksudkan untuk melakukan pengurutan
data-data disepanjang pengukuran dilapangan yang dilakukan dengan bantuan
Microsoft excel 2010 yang didalamnya berupa data koordinat dan Id data.

2.2.3.2. Penyusunan Data Detail


Penyusunan data detail dimaksudkan untuk melakukan pengurutan data-
data hasil ikatan dari data poligon pada setiap kerangka disepanjang pengukuran
dengan bantuan Microsoft excel 2010 yang didalamnya berupa data koordinat dan
Id data. Contoh Id data tersebut adalah Jl (jalan), SL (Selokan), M (marka), S
(spot), dll.

2.2.4. Penggambaran Peta Topografi Digital


Penggambaran peta topografi digital merupakan salah satu cara dalam
penggambaran peta, dimana penggambaran peta dilakukan secara digital.
Sehingga penggambaran peta topografi secara digital memudahkan dalam
melakukan penyimpanan.
Dalam penggambaran peta biasanya dilaksanakan beberapa tahapan,
yaitu:
1. Plotting titik-titik kerangka kontrol peta
 Koordinat titik-titik BM (benchmark)
 Koordinat titik-titik poligon
2. Plotting titik-titik detail
Plotting titik-titik detail dapat dilakukan dengan cara:
 Cara Grafis: posisi horisontal dari titik-titik detail digambar secara
langsung dengan bantuan alat-alat gambar (busur derajat dan penggaris
skala), dan posisi vertikal titik detail langsung diplot dari hasil hitungan
datanya.

31
 Cara numeris/digital: penggambaran titik-titik detail dengan menggunakan
komputer.
3. Penggambaran obyek (detail)
Penggambaran objek (detail), dilakukan dengan menggunakan software
autodesk land desktop.

32

Anda mungkin juga menyukai