TINJAUAN PUSTAKA
3
2.2.1. Kerangka Kontrol Peta
Penentuan kerangka kontrol peta adalah salah satu tahapan yang harus
dilaksanakan dalam proses pembuatan peta topografi. Adapun kerangka kontrol
peta terbagi atas dua macam yaitu: kerangka kontrol horisontal dan kerangka
kontrol vertikal.
2.2.1.1. Kerangka Kontrol Horisontal
Kerangka Kontrol Horisontal adalah kerangka dasar pemetaan yang
memperhatikan posisi titik terhadap unsur-unsur lainnya diatas permukaan bumi
pada biang datar secara horisontal.
Kerangka Kontrol Horisontal juga digunakan untuk memindahkan
bayangan dari sebagian atau seluruh permukaan bumi yang tidak teratur keatas
suatu bidang datar yang disebut peta, dan untuk menggambarakan peta tersebut
perlu dibuat terlebih dahulu suatu kerangka yang mempunyai posisi lokal atau
posisi tetap yang akan melingkupi wilayah yang akan dipetakan untuk
menentukan posisi horisontal relatif titik-titik dalam satu sistem “koordinat”.
A. Metode Pengukuran Kerangka Kontrol Horisontal
Metode yang digunakan dalam pengukuran kerangka kontrol horisontal
antara lain dengan menggunakan metode triangulasi, metode trilaterasi, metode
poligon.
1. Metode Triangulasi
Penentuan posisi horisontal dari satu titik ke titik yang lainnya dengan
metode triangulasi, menggunakan bentuk geometri yaitu berupa segitiga-segitiga.
Unsur-unsur yang diukur adalah sudut-sudut horisontal dan jumlah-jumlah sisi
yang terbatas. Dengan memakai sudut-sudut dan panjang sisi segitiga diselesaikan
secara ilmu ukur segitiga (Trigonometri).
Berikut ini adalah contoh perhitungan untuk mengetahui koordinat titik P
jika diketahui sudut α dan β.
4
D
F
SD SF’
U B SD’’
SD’ SF
SB
SB’ SE’
αAB SE
SC’ SE’’ SG
SC
SA SC’’ E
G
A C
Dan kemudian,
Dan,
2. Metode Trilaterasi
Trilaterasi adalah semua sisi dari segitiga harus diukur jaraknya untuk
mendapatkan posisi horisontal dari suatu titik. Jadi jarak setiap sisi segitiga diukur
sehingga membentuk rangkaian segitiga-segitiga. Metode trilaterasi digunakan
apabila daerah yang diukur salah satunya lebih besar dari pada ukuran lainnya,
maka dibuat rangkaian segitiga. Pada cara ini sudut yang diukur adalah semua sisi
segitiga. Seperti halnya triangulasi, trilaterasi juga dimaksudkan untuk
menentukan posisi titik-titik dipermukaan bumi, yaitu koordinat X dan Y pada
suatu referensi tertentu. Untuk penentuan ini masing-masing titik yang berdekatan
dihubungkan dan diukur jaraknya sehingga membentuk jaringan segitiga. Dengan
diketahui panjang sisi segitiga maka posisi titik satu dengan yang lainnya dapat
diketahui.
5
D
dDF F
dBD
U B dE
dC
F
D dD dF
αAB dA dB E G
B C
E DEG
dCE G
A dAC C
c b
B a C
Panjang sisi segitiga masing-masing a,b,c dan besar sudut segitiga adalah A,B dan
C selanjutnya sudut A dapat diperoleh dengan rumus yaitu:
6
3. Metode Poligon
Poligon adalah metode pengukuran dengan rangkaian segi banyak dalam
menentukan suatu posisi atau titik yang dapat diketahui koordinatnya dengan
menghitung dari pengukuran arah, sudut dan jarak. Penentuan koordinat dengan
cara poligon membutuhkan:
a. Koordinat awal
Bila diinginkan sistem koordinat terhadap suatu sistem tertentu maka dipilih
koordinat titik yang sudah diketahui. Bila dipakai sistem koordinat lokal maka
pilih salah satu titik BM kemudian beri harga koordinat tertentu dan titik tersebut
dipakai sebagai acuan untuk titik-titik yang lain.
b. Koordinat akhir
Koordinat titik ini dibutuhkan untuk memenuhi syarat geometri hitungan
koordinat dan harus dipilih titik yang mempunyai sistem koordinat yang sama
dengan koordinat awal.
c. Azimuth awal
Azimuth awal harus diketahui sehubungan dengan arah orientasi dari sistem
koordinat yang dihasilkan dan pengadaan datanya dapat dapat ditempuh dengan
dua cara sebagai berikut:
1) Hasil hitungan koordinat titik-titik yang telah diketahui dan akan
dipakai sebagai titik acuan sistem koordinatnya.
2) Hasil pengamatan astronomis (matahari) pada salah satu titik poligon
sehingga didapatkan azimuth ke matahari dari tiitk yang bersangkutan.
Dan selanjutnya dihasilkan azimuth kesalah satu poligon tersebut
dengan ditambahkan ukuran sudut mendatar (azimuth matahari).
d. Data ukuran sudut dan jarak
Sudut mendatar pada setiap stasiun dan jarak antar dua titik kontrol perlu
diukur dilapangan.
Untuk menghasilkan sebuah peta dan kerangka acuan sebagai patokan nya
maka diperlukan beberapa metode pengukuran dalam poligon, berikut ini adalah
macam-macam pengukuran poligon yang sering digunakan dalam pemetaan:
7
a. Poligon Tertutup
Poligon tertutup adalah bangun datar segi banyak yang merupakan bangun
tertutup. Istilah tertutup ini merupakan titik awal poligon sama dengan titik
akhirnya. Pada dasarnya, poligon tertutup sama dengan poligon terbuka, hanya
perbedaannya adalah pada bentuk geometrinya yaitu titik awal dan titik akhir pada
poligon terbuka tidak berhimpit, sedangkan pada poligon tertutup titik awal dan
titik akhir berhimpit. Perbedaan ini tentu saja membawa perbedaan dalam
ketentuan syarat poligon (Basuki, 2006).
B
αA-1
A
d4-A
S0 dA-1
α 4-A
αA-B
4 S1 1
S4 α1-2
d3-4 S3 S2 d1-2
3 2
α2-3
d2-3
α3-4
1. Syarat Geometri
= (n-2) x 180o . ...................................................................................... (2.3)
= 0 .......................................................................................................... (2.4)
8
= 0 ......................................................................................................... (2.5)
2. Koreksi kesalahan poligon
f(s) = [(n-2) x 180o] - ......................................................................... (2.6)
Keterangan rumus:
ΣS : jumlah sudut
Σd Sin α : jumlah ∆x
Σd Cos α : jumlah ∆y
S : kesalahan sudut
: Jumlah sudut
: Jumlah absis
: Jumlah ordinat
Xn, Yn : Koordinat titik n
Xn-1, Yn-1 : Koordinat titik n-1
n : nomor titik
dn : Jarak sisi titik n-1 ke n
αn-1.n : Azimuth sisi n-1 ke n
f(dx) : Kesalahan absis (departure)
f(dy) : Kesalahan ordinat (latitude)
9
f(d) : Kesalahan Jarak
f(x) : Kesalahan linier absis
f(y) : Kesalahan linier ordinat
: Jumlah jarak
KL : Ketelitian linier
b. Poligon Terbuka Terikat Sempurna
Poligon terbuka terikat sempurna adalah poligon yang titik awal dan titik
akhir tidak bertemu, namun kedua titik tersebut terikat oleh koordinat dan azimuth
baik titik awal maupun titik akhir. Kelebihan dan keuntungan dari poligon ini
adalah kesalahan sudut serta kesalahan jaraknya dapat dikoreksi.
β6 αC-D
α4-5
αA-B β2 α2-3 β4
C
α1-2 α3-4 α5-C
A β1
1 β3 3 β5
d4-C
dB-1 d1-2 d2-3 d3-4
B 2 4 D
Keterangan Gambar:
A, B, C, D : Titik tetap yang diketahui koordinatnya
1,2,3,4 : Titik yang akan ditentukan koordinatnya
αA-B, αC-D : Azimuth awal dan akhir
αB-1, α1-2................... : Azimuth titik-titik poligon
β1, β2 ........................ : Sudut poligon
dB-1, d1-2 ................... : Jarak antar titik poligon
1. Syarat Geometri:
= (α akhir – α awal) + (n-1) x 180o ........................................... (2.15)
= (X akhir – X awal) – 0 ............................................................ (2.16)
= (Y akhir – Y awal) – 0 ............................................................ (2.17)
10
1. Koreksi Kesalahan
F(s) = (α akhir – α awal) – [ – (n-1) x 180o ] ..................................... (2.18)
dx = (X akhir – X awal) - .............................................................. (2.19)
dy = (Y akhir – Y awal) - .............................................................. (2.20)
Keterangan rumus:
: Jumlah sudut titik 1 (satu) sampai titik n
: Jumlah titik departure dari titik 1 (satu) sampai titik n
: Jumlah latitude dari titik 1 (satu) sampai titik n
n : banyak nya point
f(s) : Kesalahan sudut
α awal : Azimuth awal
dx : Kesalahan absis (departure)
dy : Kesalahan ordinat (latitude)
11
simultan ke beberapa satelit GPS yang koordinatnya telah diketahui. Dalam hal
ini, parameter yang akan ditentukan adalah vektor posisi geosentrik pengamat (R).
Untuk itu, karena vektor posisi geosentrik satelit GPS ( r ) telah diketahui, maka
yang perlu ditentukan adalah vektor posisi toposentris satelit terhadap pengamat
(p).
Pada pengamatan dengan GPS, yang dapat diukur hanyalah jarak antar
pengamat dengan satelit dan bukan vektornya. Untuk mengatasi hal ini, penetuan
posisi pengamat dilakukan melalui pengamatan terhadap beberapa satelit
sekaligus secara simultan, dan tidak hanya terhadap satu satelit. Pada
operasionalisasinya, prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS, tergantung pada
mekanisme implementasinya, dapat diklasifikasikan atas beberapa metode
penentuan posisi.
Gambar 2.6 Prinsip Dasar Penentuan Posisi Dengan GPS (Pendekatan Vektor)
(Abidin, 2011 )
Disamping itu, GPS dapat memberikan posisi secara instan (real time)
ataupun sudah pengamatan setelah data pengamatannya diproses secara lebih
ekstensif (post processing) yang biasanya dilakukan untuk mendapatkan ketelitian
yang lebih baik.
B. Segmen GPS
Pada dasarnya GPS terdiri atas tiga segmen utama, yaitu segmen angkasa
(space segment) yang terutama terdiri dari satelit-satelit GPS, segmen sistem
kontrol (control system segment) yang terdiri dari stasiun-stasiun pemonitor dan
12
pengontrol satelit, dan segmen pemakai (user segment) yang terdiri dari pemakai
GPS termasuk alat-alat penerima dan pengolah sinyal dan data GPS.
Ke-enam bidang orbit satelit GPS mempunyai spasi sudut yang sama antar
sesamanya. Meskipun begitu, setiap orbit ditempati oleh 4 satelit dengan interval
13
jarak yang tidak sama. Jarak antara satelit diatur sedemikian rupa untuk
memaksimalkan probabilitas kenampakan setidaknya 4 satelit yang bergeometri
baik dari setiap tempat di permukaan bumi setiap saat (Bagley and Lamons,1992).
2. Segmen Kontrol
Segmen kontrol terdapat pusat pengendali utama yang terdapat di Colorodo
Springs, dan 5 stasiun pemantau lainnya dan 3 antena yang tersebar di bumi ini.
Stasiun kontrol/pengendali semua satelit GPS dan mengumpulkan informasinya.
Stasiun kontrol kemudian mengirimkan informasi tersebut kepada pusat
pengendali utama yang kemudian melakukan perhitungan dan pengecekan orbit
satelit. Informasi tersebut kemudian dikoreksi dan dilakukan pemuktahiran dan
dikirim ke satelit GPS.
Secara spesifik, segmen sistem kontrol terdiri dari Ground Antenna Stations
(GAS), Monitor Stations (MS), Prelaunch Compatibility Station (PCS), dan
Master Control Station (MCS).
14
3. Segmen Pengguna
Segmen pengguna terdiri dari para pengguna satelit GPS baik di darat, laut,
udara, maupun di angkasa. Dalam hal ini, alat penerima sinyal GPS (GPS
Receiver) diperlukan untuk meneriman dan memproses sinyal dari satelit GPS
untuk digunakan dalam penentuan posisi, kecepatan, waktu maupun parameter
turunan lainnya.
Komponen utama dari suatu receiver GPS secara umum adalah (Seeber,2003
dalam Abidin, 2006) : antena dengan pre-amplifier, pemroses sinyal, pemroses
data, osilator presisi, unit pengontrolan receiver dan pemrosesan (user and
external communication), satu daya, memori, serta perekam data.
15
Gambar 2.12 Metode Absolut/Point Positioning
(Sumber: https://mupego.wordpress.com/2015/08/20/prinsip-dan-
metoda-penentuan-posisi-dengan-gps/)
b) Metode Relatif/Differential Positioning
Metode relatif atau biasa disebut dengan metode Differential Positioning
merupakan penentuan posisi dengan menggunakan dua receiver atau
lebih. Dimana salah satu dari receiver tersebut digunakan sebagai base
atau referensi. Untuk ketelitian yang dihasilkan adalah ketelitian tinggi,
sehingga metode ini dapat digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan yang
membutuhkan ketelitian posisi yang tinggi.
16
1. Penentuan posisi secara Statik
Penentuan posisi secara statik (static positioning) adalah penentuan posisi
dari titik-titik yang statik (diam). Penentuan posisi tersebut dapat dilakukan secara
absolut maupun diferensial, dengan menggunakan data pseudorange dan/atau
fase. Dibandingkan dengan metode penentuan posisi kinematik, ukuran lebih pada
suatu titik pengamatan yang diperoleh dengan metode statik biasanya lebih
banyak. Hal ini menyebabkan keandalan dan ketelitian posisi yang diperoleh
umumnya relatif lebih tinggi (dapat mencapai orde 5 mm sampai 10 mm).
Pada prinsipnya, survei GPS bertumpu pada metode-metode penentuan posisi
statik secara diferensial dengan menggunakan data fase. Dalam hal ini
pengamatan satelit GPS umumnya dilakukan baseline per baseline selama selang
waktu tertentu (beberapa puluh menit sampai beberapa jam tergantung tingkat
ketelitian yang diinginkan) dalam suatu jaringa (kerangka) radial dari titik-titik
yang akan ditentukan posisinya.
17
Gambar 2.15 Penentuan Posisi Metode Kinematik
(Sumber: http://geodesy. gd.itb. ac.id / hzabidin/wp-content/ uploads/2007
/02/gps-3-upd.pdf)
18
2. Perataan jaringan yang melibatkan semua baseline untuk menentukan
koordinat dari titik-titik dalam jaringan network
3. Transformasi koordinat titik-titik tersebut dari datum WGS84 ke datum yang
diperlukan oleh pengguna.
Pengolahan data dari setiap baseline GPS pada dasarnya adalah bertujuan
menentukan nilai estimasi vektor baseline atau koordinat relatif (dX,dY,dZ ).
Proses estimasi yang digunakan untuk pengolahan baseline umumnya berbasiskan
metode kuadrat terkecil ( least-squares ).
19
2. Bias Troposfer
Ketika melalui lapisan troposfer, sinyal GPS akan mengalami refraks, yang
menyebabkan perubahan kecepatan dan arah sinyal GPS. Bias troposfer ini
akan mempengaruhi kecepatan sehingga akan menghasilkan ukuran jarak yang
kurang teliti. Efek utama dari troposfer berpengaruh pada kecepatan, atau
dengan kata lain terhadap hasil ukuran jarak.
3. Multipath
Multipath merupakan fenomena dimana sinyal dari satelit tiba di antena
GPS melalui dua atau lebih lintasan yang berbeda (Abidin, 2006). Dalam hal
ini, satu sinyal merupakan sinyal langsung dari satelit ke antena, sedangkan
yang lainnya merupakan sinyal-sinyal tidak langsung yang dipantulkan oleh
benda-benda (seperti: gedung, jalan raya, mobi, pepohonan, dll) di sekitar
antena sebelum tiba di antena. Perbedaan panjang lintasan menyebabkan sinyal-
sinyal tersebut berinteferensi ketika tiba di antena yang mengakibatkan
kesalahan pada hasil pengamatan. Kesalahan akibat multipath akan
menghasilkan ukuran jarak yang kurang teliti. Multipath akan mempengaruhi
hasil ukuran pseudorange dan carrier phase.
20
Gambar 2.20 Kesalahan Multipath (Abidin,2006)
5. Kesalahan Jam
Kesalahan jam ini dapat berupa kesalahan jam satelit maupun kesalahan
jam receiver. Bentuk kesalahannya dapat berupa bentuk offset waktu, offset
frekuensi, maupun frequency drift. Kesalahan jam ini akan langsung
mempengaruhi ukuran jarak, baik pseudorange maupun jarak fase. Untuk
mendapatkan nilai dt yang teliti maka kedua jam yang terlibat (jam satelit dan
jam receiver) harus :
1. Mengacu ke sistem waktu yang sama (sistem waktu UTC).
2. Sinkron satu sama lainnya.
3. Terjaga kestabilannya.
21
B. DOP (Dilution of Precision)
DOP (Dilution of Precision) adalah istilah yang menggambarkan kekuatan
akurasi dari konfigurasi geometri satelit. Ketika satelit yang muncul berdekatan di
atas langit, geometrinya menjadi lemah dan DOP-nya tinggi. Namun ketika
berjauhan maka geometrinya menjadi kuat dan nilai DOP menjadi rendah.
Sehingga dengan rendahnya nilai DOP maka keakuratan posisi GPS menjadi lebih
baik karena adanya separasi sudut yang luas dari satelit-satelit yang digunakan
dalam memperhitungakan posisi unit GPS.
Dalam prakteknya, berbagai bentuk DOP digunakan, tergantung pada
kebutuhan. Misalnya, untuk keperluan umum posisi GPS, pengguna mungkin
tertarik dalam meneliti efek dari geometri satelit pada kualitas yang dihasilkan
posisi 3D (lintang, bujur, dan ketinggian) kontelasi satelit. Hal ini dapat dilakukan
dengan memeriksa nilai PDOP.
PDOP dapat dibagi menjadi dua komponen: Horizontal Dilution of
Precision ( HDOP ) dan Vertikal Dilution of Precision ( VDOP ). Dan oleh karena
pengguna GPS hanya dapat melacak satelit dengan prioritas horisontal, maka
VDOP akan selalu lebih besar daripada HDOP. Akibatnya, resolusi vertikal GPS
akan kurang tepat dibandingkan dengan resolusi horisontal. nilai VDOP dapat
ditingkatkan oleh supplementing GPS dengan cara menggabungkannya dengan
sensor lain, misalnya: pseudolites. DOP lainnya yang umum digunakan ialah Time
Dilution of Precision ( TDOP ) dan Geometry Dilution of Precision ( GDOP ).
GDOP merupakan gabungan efek dari PDOP dan TDOP.
22
2.2.1.3. Kerangka Kontrol Vertikal
Ketinggian suatu titik pada dasarnya menunjukan posisi suatu titik diatas
bidang datum tertentu. Koordinatnya merupakan jarak titik tersebut terhadap
bidang datum sehingga hanya terdiri dari satu parameter saja (Kusumawati, 2014).
23
permukaan bumi adalah tinggi muka laut rata-rata (Mean Sea Level) atau pun titik
lokal yang sudah diketahui ketinggiannya.
Hasil pengukuran beda tinggi digunakan untuk:
Desain jalan raya, rel kereta api, saluran air, dll.
Menggambarkan konstruksi proyek.
Menghitung volume tanah dan material lainnya.
Menyelidiki karakteristik drainase suatu area.
Mengembangkan peta konfigurasi tanah secara umum.
Mempelajari Earth Subsidence (penyusutan bumi) dan Creostal Movement
(pergerakan kerak bumi).
1. Metode Pengukuran Kerangka Kontrol Verikal
Secara prinsip metode pengukuran beda tinggi (leveling) dikelompokan
menjadi tiga, yaitu:
1. Metode Barometris (Barometric leveling)
Penentuan beda tinggi metode barometris berdasarakan pada perbedaan
tekanan udara antara dua tempat. Prinsipnya adalah tekanan udara di
dataran rendah (daerah pantai) akan lebih besar dibandingkan dengan
tekanan udara di dataran tinggi (pegunungan).
Beda tinggi antara dua tempat secara umum dirumuskan sebagai berikut:
dH = -dP / (ρ.g)
Keterangan:
dH : Beda tinggi
dP : Perbedaan tekanan udara
ρ : Kepadatan udara
g : Percepatan gaya berat
Selain tekanan udara, beda tinggi barometris juga dipengaruhi oleh
temperatur udara, kelembaban udara, posisi lintang titik ukur, dan
ketinggian titik ukur. Tingkat ketelitian metode ini adalah yang paling
rendah dibanding dua metode yang lain.
2. Metode Trigonometris (Trigonometric leveling)
Pada metode ini digunakan alat ukur theodolite, sehingga garis bidik alat
ukur bisa dibuat dalam keadaan miring (tidak mendatar). Alat ukur
24
ditempatkan diatas titik ukur, sedangkan pada titik ukur lainnya
ditempatkan rambu. Data yang diukur adalah bacaan rambu (Benang atas
Ba, Benang tengah Bt, Benang bawah Bb), sudut vertikal (z) atau sudut
miring (ɵ), dan tinggi alat ukur (ti). Untuk jarak dekat (>1000 feet) efek
kelengkungan bumi dan refraksi diabaikan.
25
titik adalah selisih antara dua bidang yang melewati kedua titik yang
diukur.
HI = Elev + Bt
Keterangan:
HI : Tinggi alat dari datum
Elev : Titik tinggi
Bt : Benang tengah
2. Penempatan Waterpass
Ada tiga cara penempatan watepass yaitu:
1. Pada posisi tepat diatas salah satu titik yang akan ditentukan adalah beda
tingginya.
26
Gambar 2.24 Posisi Diantara Dua Titik
∆Hab = Bta – Btb atau ∆Hab = Btblk – Btm
Hb = Ha + ∆Hab
Keterangan:
∆Hab : Beda tinggi dari titik a ke titik b
Bta : Betang tengah titik a
Btb : Benang tengah titik b
Btblk : Benang tengah belakang
Btm : Benang tengah muka
Hb : Tinggi titik b
Ha : Tinggi titik a
3. Pada posisi selain dari kedua metode tersebut sebelumnya, dalam hal ini
alat didirikan disebelah kiri atau kanan dari salah satu titik yang akan
ditentukan selisih tingginya.
27
Hab = Bta – Btb atau Hba = Btb – Bta
Keterangan:
Hab : Beda tinggi dari titik a ke titik b
Hba : Beda tinggi dari titik b ke titik a
Bta : Benang tengah titik a
Btb : Benang tengah titik b
Bila titik C diketahui = Hc dan tinggi garis bidik diatas titik C = T, maka:
Hb = TIa – Btb dan Ha = TIa – Bta
Keterangan:
Hb : Tinggi titik b
Ha : Tinggi titik a
TIa : Tinggi alat titik a
Btb : Benang tengah titik b
Bta : Benang tengah titik a
28
Gambar 2.26 Pengukuran Profil Melintang (Salmani, 2012)
29
digunakan untuk mengetahui tinggi permukaan tanah sepanjang garis
memanjang (sumbu proyek) yang tegak lurus dengan garis melintang.
30
2.2.3. Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan perhitungan maupun penyusunan data
mentah menjadi informasi lengkap yang tersusuna rapi dengan maksud agar
informasi yang dihasilkan tersusun secara berurut dan bisa dipahami oleh pemberi
pekerjaan. Adapun processing data meliputi:
31
Cara numeris/digital: penggambaran titik-titik detail dengan menggunakan
komputer.
3. Penggambaran obyek (detail)
Penggambaran objek (detail), dilakukan dengan menggunakan software
autodesk land desktop.
32